Lompat ke isi

D. Djajakusuma: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Glorious Engine (bicara | kontrib)
Baris 69: Baris 69:


Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi [[Kalkuta]], [[Chennai|Madras]], dan [[New Delhi]]
Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi [[Kalkuta]], [[Chennai|Madras]], dan [[New Delhi]]

Pada tahun tersebut, Djajakusuma juga bertugas sebagai [[Unit manajer produksi|manajer produksi]] untuk ''[[Pedjuang]]'' karya Ismail{{sfn|Hoerip|1995|p=30}} dan menyutradarai ''Mak Tjomblang'', sebuah film komedi yang diadaptasi dari drama ''[[Marriage (sandiwara)|Marriage]]'' dari tahun 1842 buatan [[Nikolai Gogol]].{{sfn|Filmindonesia.or.id, Mak Tjomblang}}


===Karir selanjutnya===
===Karir selanjutnya===

Revisi per 30 Mei 2014 08.49

Djadoeg Djajakusuma
Djajakusuma, 1950-an
Lahir(1918-08-01)1 Agustus 1918
Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda
Meninggal28 Oktober 1987(1987-10-28) (umur 69)
Jakarta, Indonesia
Sebab meninggalStroke
MakamTPU Karet Bivak
KebangsaanIndonesia
PekerjaanSutradara, produser, kritikus budaya
Tahun aktif1952–87

Djadoeg Djajakusuma (1 Agustus 1918 – 28 Oktober 1987) adalah pemeran dan sutradara film Indonesia yang pernah bermain dalam film "Perempuan Dalam Pasungan" pada tahun 1980. Film yang disutradarainya banyak dibintangi oleh para aktris terkenal diera itu seperti Rd Ismail, Bambang Hermanto, Titi Savitri, dan Sulastri.

Biografi

Kehidupan awal

Djajakusuma lahir pada 1 Agustus 1918 di Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, Hindia Belanda,[1] dari seorang ayah priyayi, Raden Mas Aryo Djojokoesomo, dan istrinya Kasimah. Djajakusuma adalah anak kelima dari enam bersaudara

Ketika pengaruh film-film Hollywood mulai meluas, ia sering menonton film-film Barat dan karya-karya yang dibintangi oleh Charlie Chaplin.[2]

Ia menyelesaikan pendidikannya di Semarang, Jawa Tengah,[3] lulus dari program ilmu pengetahuan alam di sekolah menengah keatas disana pada 1941.[2] Meskipun keluarganya berharap agar ia menjadi karyawan pemerintahan seperti ayahnya, Djajakusuma lebih tertarik pada seni pertunjukan.[4]

Setelah itu, pada awal 1943 – setahun setelah Hindia Belanda diduduki oleh Kekaisaran Jepang – Djajakusuma pindah ke pusat politik koloni tersebut, Jakarta, untuk mencari pekerjaan.[5]

Djajakusuma menjadi karyawan di Pusat Kebudayaan[a] sebagai seorang penerjemah dan aktor dibawah pengarahan Armijn Pane.[6] Ketika bekerja, ia menerjemahkan beberapa karya buatan pembuat drama Swedia August Strindberg dan pembuat drama Norwegia Henrik Ibsen,[b][7] serta sejarah Jepang dan beberapa permainan panggung kabuki.[5]

Bersama dengan Maya, Djajakusuma melakukan perjalanan dari desa ke desa untuk mengadakan pertunjukan.[8]

Revolusi Nasional Indonesia

Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.

Usmar Ismail

Setelah Revolusi Nasional Indonesia berakhir dengan pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada 1949, Djajakusuma melanjutkan pekerjaannya sebagai seorang jurnalis Patriot (yang kemudian berganti nama menjadi Tentara) dan majalah Kebudajaan Nusantara;[3] Mataram kembali dibuka, dan Djajakusuma mulai mengajar kembali selain mengurusi bioskop Soboharsono dan menulis beberapa drama panggung.[9]

Karir dengan Perfini

Saat mempersiapkan film kedua-nya, Enam Djam di Jogja, Ismail disuruh Djajakusuma ke Jakarta. Pada film tersebut, Djajakusuma membantu Ismail mengadaptasi Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai latarnya.

Peluncuran Embun membuat Djajakusuma menjadi salah satu dari empat sutradara yang berkarya dengan Perfini; yang lainnya adalah Ismail, Nya Abas Akup, dan Wahyu Sihombing.[10]

Djajakusuma membuat sebuah kapal untuk menuju ke Sumatra saat pemfilman Arni, ca 1955

Pada 1954, Djajakusuma menyutradarai dua film komedi yakni Putri dari Medan dan Mertua Sinting.

Satu-satunya film buatannya pada tahun tersebut, sebuah drama yang berjudul Arni, menceritakan tentang seorang pria yang menikahi wanita lainnya sementara istrinya yang sakit pergi ke Padang, Sumatra untuk menjalani pengobatan.[11]

Djajakusuma belajar sinematografi di Amerika Serikat, pertama di Universitas Washington di Seattle, kemudian di Sekolah Seni Sinematik Universitas California Selatan, dari 1956 sampai 1957.[4]

Ketika pulang ke Indonesia, Djajakusuma mulai membuat sebuah karya yang berjudul Tjambuk Api, yang mengkritik korupsi di Indonesia

Pada periode ini, ia mempelajari teater tradisional India, dengan cara mengunjungi Kalkuta, Madras, dan New Delhi

Pada tahun tersebut, Djajakusuma juga bertugas sebagai manajer produksi untuk Pedjuang karya Ismail[12] dan menyutradarai Mak Tjomblang, sebuah film komedi yang diadaptasi dari drama Marriage dari tahun 1842 buatan Nikolai Gogol.[13]

Karir selanjutnya

Sebuah penampilan wayang orang
Sebuah penampilan lenong
Djajakusuma mempromosikan modernisasi wayang orang (atas) dan revitalisasi lenong.

Setelah akhir masanya dengan Perfini, Djajakusuma kembali aktif dalam kesenian tradisional.

Pada 1967, ia menyutradarai sebuah film yang terinspirasi dari wayang berjudul Bimo Kroda pada Pantja Murti Film,[14] yang menggunakan penggambaran Pandawa – orang-orang bersaudara dalam epik Hindu Mahābhārata – untuk mewakili penculikan dan serangkaian pembunuhan lima jenderal tentara saat Gerakan 30 September pada 1965.[15]

Djajakusuma membantu mempromosikan jenis-jenis kesenian seperti lenong dari suku Betawi dan ludruk dari suku Jawa selama beberapa tahun.[16]

Ia kemudian mengenalkan para muridnya berbagai pertunjukan panggung, yang meliputi noh yang diadaptasi dari Jepang dan opera Tiongkok;[17] beberapa diantaranya ditampilkan di Taman Ismail Marzuki.[3]

Pada 1971, ia menyutradarai film terakhir-nya yakni Api di Bukit Menoreh dan Malin Kundang (Anak Durhaka). Film yang pertama, diluncurkan oleh Penas Film Studio dan berdasarkan pada sebuah novel karya Singgih Hadi Mintardja, menceritakan parap prajurit dari Kerajaan Pajang dalam pertempuran mereka melawan para prajurit dari kerajaan Jipang.[18] Film yang kedua adalah sebuah adaptasi dari legenda Melayu dengan nama yang sama.[4] Dibintangi oleh Rano Karno dan Putu Wijaya sebagai karakter utama

Tahun-tahun terakhir dan kematian

Pada 1977, Djajakusuma bertugas menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI).[c]

Perempuan dalam Pasungan memenangkan Penghargaan FFI untuk Film Bioskop Terbaik pada Festival Film Indonesia 1981,[19] dan Djajakusuma berniat ingin membuat film-film berikutnya, namun, tidak pernah terealisasikan.[20]

Pada awal 1987, Djajakusuma didiagnosa telah mengidap serangan jantung oleh dokternya, yang membuat Djajakusuma mulai melakukan diet dan berhenti merokok.[21]

Djajakusuma pingsan pada 28 Oktober 1987 saat memberikan pidato pada upacara peringatan Sumpah Pemuda di IKJ. Setelah dibawa ke Rumah Sakit Umum Cikini, ia dinyatakan meninggal pada pukul 10:05 waktu setempat (UTC+7). Ia dikuburkan di TPU Karet Bivak pada sore hari, setelah upacara pemakaman di IKJ yang dipimpin oleh penulis Sutan Takdir Alisjahbana dan disembahyangkan di Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail.[22]

Djajakusuma tidak pernah menikah, namun meninggalkan beberapa keponakan dan sepupu yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.[23]

Dalam sebuah upacara peringatan hari kematian Djajakusuma yang kelima, seluruh dokumen dan bukunya disumbangkan ke perpustakaan IKJ.[24]

Gaya

Set film karya Djajakusuma pada 1960 yang berjudul Lahirnja Gatotkatja; film tersebut merupakan salah satu dari dua film yang ia sutradarai yang sangat dipengaruhi oleh cerita-cerita wayang.

Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,[25] dan dua diantaranya (Lahirnja Gatotkatja dan Bimo Kroda) berdasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan alur yang terinspirasi dari wayang.[26] Fokus pada aspek kebudayaan tradisional ini ditinggalkan secara umum setelah 1965, dengan digantikan oleh film-film mengenai kehidupan perkotaan.[27]

Sosiolog Indonesia Umar Kayam, yang bertugas pada Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, memandangnya sebagai seorang sutradara yang sangat disiplin.

Pencapaian

Berkas:Djajakusuma Djaja 1970 p25.jpg
Djajakusuma berjabat tangan dengan Menteri Pendidikan Mashuri Saleh setelah film-filmnya meraih penghargaan

Film karya Djajakusuma yang berjudul Harimau Tjampa meraih Penghargaan Permainan Latar Terbaik di Festival Film Asia 1954.[28] Kemudian, filmnya yang berjudul Bimo Kroda dipuji oleh Departemen Informasi Indonesia karena mempromosikan kebudayaan tradisional.[29] Pada 1970, ia mendapatkan Penghargaan Kesenian dari pemerintah Indonesia karena "Jasa terhadap Negara sebagai Pembina Utama Drama Modern".[28] Pada Festival Film Infonesia 1987, ia diberikan penghargaan khusus untuk kontribusinya pada industri film,[20] dan pada November 2003, secara anumerta, ia diberikan Penghargaan Budaya Parama Dharma oleh Presiden Megawati Sukarnoputri untuk kontribusinya pada pengembangan kebudayaan Indonesia.[d][30]

Tanggapan yang didapatkan terbilang positif. Sutradara pemenang penghargaan Teguh Karya menyatakan bahwa karya-karya buatan Djajakusuma, Usmar Ismail, dan Asrul Sani sebagai "legendaris" dan memiliki pengaruh yang sangat besar.[31] Koreografer Bagong Kussudiardjo dikabarkan mengenang Djajakusuma dengan cara menamai putranya dengan nama Djadoeg.[32] Menurut sebuah peringatan dalam surat kabar Kompas, Djajakusuma juga dijuluki "legenda hidup" saat berkunjung ke Nantes.[15] Artikel Kompas selanjutnya menyatakan mengenai karya-karya Djajakusuma yang paling diingat yakni Harimau Tjampa dan Tjambuk Api. Dua karya tersebut merupakan yang paling sering ditampilkan, selain salinan-salinan yang masih dapat diputar yang dijual di Sinematek Indonesia; film buatannya yang lain yang masih ada adapula yang dalam bentuk negatif film.[33]

Filmografi

Catatan penjelas

  1. ^ Pusat Kebudayaan memiliki penyebutan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Nama Indonesia-nya adalah Poesat Keboedajaan, sementara nama Jepang-nya adalah Keimin Bunka Shidōsho (啓民文化指導所). Pusat Kebudayaan mempromosikan perkembangan berbagai bentuk kesenian, meliputi film dan drama, with the ultimate goal of providing propaganda for posisi politik Jepang (Hoerip 1995, hlm. 8).
  2. ^ Neither Norway nor Sweden was at war with Japan at the time, meaning such translations were considered acceptable by Djajakusuma's superiors (Hoerip 1995, hlm. 9).
  3. ^ Djajakusuma subsequently served on the jury several times (Panembahan 1987, Barangkali, 40 pCt Manusia).
  4. ^ Pemenang lainnya meliputi komedian Bing Slamet dan aktris Fifi Young (Unidjaja 2003, Megawati awards).

Referensi

Kutipan karya

  • Anwar, Rosihan (2004). Sejarah Kecil (Petite Histoire) Indonesia (dalam bahasa Indonesian). 2. Jakarta: Kompas. ISBN 978-979-709-428-7. 
  • Ardan, S.M. (1 November 1987). "Djaduk Djajakusuma Bukan Cuma Pengabdi Seni". Suara Pembaruan (dalam bahasa Indonesian). hlm. 11. 
  • "Arni". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Biran, Misbach Yusa, ed. (1979). Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926–1978. Sinematek Indonesia. OCLC 6655859. 
  • Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Komunitas Bamboo working with the Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2. 
  • "Budayawan D. Djajakusuma Sudah Tiada". Kompas (dalam bahasa Indonesian). 29 October 1987. hlm. 1. 
  • "D.Djajakusuma Tutup Usia". Suara Karya (dalam bahasa Indonesian). 29 October 1987. hlm. 1, 9. 
  • Darmawi, Suslanna (28 February 1982). "Djadoeg Djajakusuma". Suara Karya (dalam bahasa Indonesian). hlm. 1. 
  • Dharyono (7 November 1987). "Selamat Jalan Djadug Djajakoesoema: Sutradara dan Pencipta Wayang Orang Modern yang Pertama". Berita Buana (dalam bahasa Indonesian). hlm. 5. 
  • "Djaduk Djajakusuma". Encyclopedia of Jakarta (dalam bahasa Indonesian). Jakarta City Government. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang & Teater Sejak Duduk di Sekolah Dasar". Berita Buana (dalam bahasa Indonesian). 13 November 1975. hlm. 4. 
  • "Djaduk Djajakusuma Pencetus "Wayang Gaya Baru"". Berita Buana (dalam bahasa Indonesian). 14 November 1975. hlm. 4. 
  • "Filmografi". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Hoerip, Satyagraha (1995). Dua Dunia dalam Djadoeg Djajakoesoema (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Jakartan Ministry of Culture working with the Jakarta Institute of Art. ISBN 978-979-8699-00-9. 
  • Imanjaya, Ekky (2006). A to Z about Indonesian Film (dalam bahasa Indonesian). Bandung: Mizan. ISBN 978-979-752-367-1. 
  • Iskandar, Eddy D. (17 July 1983). "Sebagian Besar Hidupnya Untuk Seni". Suara Karya Minggu (dalam bahasa Indonesian). hlm. 1, 11. 
  • Kadarjono, BZ. (1970). "Profil Seorang Seniman: D. Djajakusuma". Djaja (dalam bahasa Indonesian) (452): 25. 
  • Loven, Klarijn (2008). Watching Si Doel: Television, Language, and Culture Identity in Contemporary Indonesia. Leiden: KITLV Press. ISBN 978-90-6718-279-9. 
  • "Mak Tjomblang". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Marselli (6 November 1987). "Mengenang D. Djajakusuma dalam Perfilman Indonesia". Kompas (dalam bahasa Indonesian). hlm. 6. 
  • "Masa Topan dan Badai". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Mertua Sinting". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pak Prawiro". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Putu Wijaya". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesian). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Taufiq Ismail". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesian). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Pandangan Tokoh: Teguh Karya". Tokoh Perfilman Indonesia (dalam bahasa Indonesian). National Library of Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Panembahan, Harianto Gede (6 September 1987). "Barangkali, 40 pCt Manusia di Dunia Hasil Keisengan". Sinar Pagi (dalam bahasa Indonesian). hlm. 4. 
  • "Pekan Film Djajakusuma: Mengenang "Legenda Hidup" Perfilman Indonesia". Kompas (dalam bahasa Indonesian). 22 January 1993. hlm. 16. 
  • "Perempuan dalam Pasungan". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Putri dari Medan". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "Rimba Bergema". Filmindonesia.or.id (dalam bahasa Indonesian). Konfidan Foundation. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Said, Salim (1982). Profil Dunia Film Indonesia (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Grafiti Pers. OCLC 9507803. 
  • Sen, Krishna; Hill, David T. (2000). Media, Culture and Politics in Indonesia. Melbourne: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-553703-1. 
  • Setiawan, Iwan (1 March 2009). "National Film Month: Time warp, anyone?". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • Unidjaja, Fabiola Desy (8 November 2003). "Megawati awards posthumously Hero title to Gorontalo figure". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 August 2012. Diakses tanggal 6 August 2012. 
  • "(Untitled)". Nasional (dalam bahasa Indonesian). 26 September 1960. hlm. 3. 

Pranala luar

Templat:Link FA