Lompat ke isi

Abdul Qadir bin Abdul Mutalib: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k clean up, replaced: beliau → ia (14), Beliau → Ia (2) using AWB
Carriearchdale (bicara | kontrib)
k WPCleaner v1.33 - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
Baris 56: Baris 56:
| box_width =
| box_width =
}}
}}
'''Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan''', lahir pada 1910 <ref name=niknasri>{{harvnb|NikNasri.com|2014}}.</ref> adalah seorang ulama Nusantara kenamaan Melayu<ref name=alkisah1>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 1|2014}}.</ref> . Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib bin Hassan di lahirkan pada tahun 1329 Hijriyah, di desa [[Sigalapang]], [[Panyabungan]], [[Mandailing Natal]] (dahulu masih [[Tapanuli Selatan]], [[Sumatera Utara]]. Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul ''Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak, karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga peng­ajar di Pusat Pengajian Islam dan Pem­bangunan Sosial, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai''<ref name=alkisah1/>. Ia berasal dari kalangan keluarga petani<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/>. Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/>. Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu<ref name=alkisah1/>. Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh [[Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili]], kelahiran [[Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal]], [[Sumatera Utara]]. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu<ref name=alkisah1/>.
'''Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan''', lahir pada 1910 <ref name=niknasri>{{harvnb|NikNasri.com|2014}}.</ref> adalah seorang ulama Nusantara kenamaan Melayu.<ref name=alkisah1>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 1|2014}}.</ref> Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib bin Hassan di lahirkan pada tahun 1329 Hijriyah, di desa [[Sigalapang]], [[Panyabungan]], [[Mandailing Natal]] (dahulu masih [[Tapanuli Selatan]], [[Sumatera Utara]]. Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul ''Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak, karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga peng­ajar di Pusat Pengajian Islam dan Pem­bangunan Sosial, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai''.<ref name=alkisah1/> Ia berasal dari kalangan keluarga petani.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/> Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/> Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu.<ref name=alkisah1/> Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh [[Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili]], kelahiran [[Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal]], [[Sumatera Utara]]. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu.<ref name=alkisah1/>


== Pendidikan Awal ==
== Pendidikan Awal ==
Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke Kedah kerana mendalami ilmu agama<ref name=niknasri/>.
Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke Kedah kerana mendalami ilmu agama.<ref name=niknasri/>


== Hijrah ke Malaysia ==
== Hijrah ke Malaysia ==


Saat ia hijrah ke Kedah, Malaysia, pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pen­dang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/>.
Saat ia hijrah ke Kedah, Malaysia, pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pen­dang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah1/>


Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim Abdul Qadir. Setelah 10 tahun bel­ajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934<ref name=alkisah1/>.
Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim Abdul Qadir. Setelah 10 tahun bel­ajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934.<ref name=alkisah1/>


Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail, yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di Makkah<ref name=alkisah1/>.
Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail, yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di Makkah.<ref name=alkisah1/>


== Guru di Masjidil Haram ==
== Guru di Masjidil Haram ==
Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar<ref name=alkisah1/>, di antara seperti :
Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar,<ref name=alkisah1/> di antara seperti :
* Sayyid Bakri Syatha‘ Ad-Dimyathi,
* Sayyid Bakri Syatha‘ Ad-Dimyathi,
* Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani,
* Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani,
Baris 87: Baris 87:


== Mengajar di Makkah ==
== Mengajar di Makkah ==
Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan<ref name=alkisah2>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 2|2014}}.</ref>. Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama Masjidil haram. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu<ref name=alkisah2/>.
Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan.<ref name=alkisah2>{{harvnb|Majalah Alkisah Bagian 2|2014}}.</ref> Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama Masjidil haram. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu.<ref name=alkisah2/>


Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan, Presiden [[Soekarno]] juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja Arab Saudi menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>. Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>. Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)"<ref name=niknasri/>.
Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan, Presiden [[Soekarno]] juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja Arab Saudi menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)".<ref name=niknasri/>


== Karya ==
== Karya ==
Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi pelbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, siyasah, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya di masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme<ref name=alkisah1/><ref name=alkisah2/>.
Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi pelbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, siyasah, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya di masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.<ref name=alkisah1/><ref name=alkisah2/>


Diantara karya-karya ia adalah :
Diantara karya-karya ia adalah :
Baris 109: Baris 109:


== Murid ==
== Murid ==
Muridnya yang terkenal ialah Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Kelantandan Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti<ref name=niknasri/>. Salah seorang anak ia, Syeikh Muhammad al-Mandili merupakan guru agama di Masjidil Haram sekarang ini<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>.
Muridnya yang terkenal ialah Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Kelantandan Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti.<ref name=niknasri/> Salah seorang anak ia, Syeikh Muhammad al-Mandili merupakan guru agama di Masjidil Haram sekarang ini.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>


== Karakter dan kepribadian ==
== Karakter dan kepribadian ==
Syeikh Abdul Qadir sangat gigih mengajar dan tidak mengenal keadaan sakit. Apabila ditanya oleh anak muridnya apakah ia sudah sembuh, ia menjawab, ''"kalau menangis pun bukan nak lega"''<ref name=niknasri/>, demikian dari kalangan melayu menyebutnya.
Syeikh Abdul Qadir sangat gigih mengajar dan tidak mengenal keadaan sakit. Apabila ditanya oleh anak muridnya apakah ia sudah sembuh, ia menjawab, ''"kalau menangis pun bukan nak lega"'',<ref name=niknasri/> demikian dari kalangan melayu menyebutnya.


== Wafatnya Syeikh Abdul Qadir ==
== Wafatnya Syeikh Abdul Qadir ==


Setelah menetap 29 tahun<ref name=alkisah2/> lamanya di Makkah mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 18 Rabiul Akhir 1385<nowiki>]</nowiki></small><ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>, Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili me­ngem­buskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami pe­nyakit pada kakinya<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>. Masyarakat Makkah sangat berduka cita dengan kewafatannya, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan pensolat menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir a-Manidili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>.
Setelah menetap 29 tahun<ref name=alkisah2/> lamanya di Makkah mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M <small><nowiki>[</nowiki>[[Kalender Hijriyah]]: 18 Rabiul Akhir 1385<nowiki>],</nowiki></small><ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili me­ngem­buskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami pe­nyakit pada kakinya.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Masyarakat Makkah sangat berduka cita dengan kewafatannya, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan pensolat menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir a-Manidili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/>


== Catatan kaki ==
== Catatan kaki ==

Revisi per 28 Oktober 2014 05.45

Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan
LahirMandailing, Sumatera Utara, Indonesia
PekerjaanUlama, guru, Da'i
Dikenal atasPesantren
Orang tuaAbdul Muthalib bin Hassan (ayah)

Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hassan, lahir pada 1910 [1] adalah seorang ulama Nusantara kenamaan Melayu.[2] Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Mutalib bin Hassan di lahirkan pada tahun 1329 Hijriyah, di desa Sigalapang, Panyabungan, Mandailing Natal (dahulu masih Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Biografinya telah diangkat dalam sebuah buku yang berjudul Syeikh Abdul Qadir Al-Mandaili (1910-1965): Biografi dan Pendidikan Akhlak, karya Prof. Madya Dr. Ramli Awang, seorang tenaga peng­ajar di Pusat Pengajian Islam dan Pem­bangunan Sosial, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai.[2] Ia berasal dari kalangan keluarga petani.[1][2] Ia dijuluki “Al-Mandaili” karena berasal dari suku Mandailing.[1][2] Ada dua nama Syaikh Abdul Qadir asal Mandailing yang terkenal, satu terkenal di Makkah dan satunya lagi terkenal di dunia Melayu.[2] Yang lebih senior dan terkenal di Makkah adalah Syeikh Abdul Qadir bin Shobir Al Mandili, kelahiran Huta Siantar, Panyabungan Kota, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Sedangkan Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib lebih terkenal di Melayu dahulu baru kemudian pada tahun 1936 berangkat ke Makkah untuk menuntut ilmu.[2]

Pendidikan Awal

Ia mendapat pendidikan awal di Sekolah Belanda pada 1917 dan lulus kelas Lima pada 1923. Pada 1924, Ia berhijrah ke Kedah kerana mendalami ilmu agama.[1]

Hijrah ke Malaysia

Saat ia hijrah ke Kedah, Malaysia, pada tahun 1924, awalnya Syaikh Abdul Qadir muda berguru kepada Tuan Guru Haji Bakar Tobiar, di Pondok Penyarum, Pen­dang, selanjutnya ia melanjutkannya ke Pondok Air Hitam di bawah bimbingan Tuan Guru Haji Idris dan Lebai Dukun.[1][2]

Pada 1926, Syaikh Abdul Qadir bersekolah di Madrasah Darul Sa’adah Al-Islamiyah atau Pondok Titi Gajah, yang ketika itu diasuh Syaikh Wan Ibrahim Abdul Qadir. Setelah 10 tahun bel­ajar, ia diterima sebagai guru di pondok ini sekitar 1934.[2]

Sesudah 12 tahun berada di Titi Gajah, dahaganya kepada ilmu semakin memuncak. Ia berkeinginan untuk berguru kepada Syaikh Wan Ismail, yang tak lain adalah kakak Syaikh Wan Ibrahim, yang mengajar di Makkah.[2]

Guru di Masjidil Haram

Di Makkah ia berguru kepada banyak ulama besar,[2] di antara seperti :

  • Sayyid Bakri Syatha‘ Ad-Dimyathi,
  • Syaikh Abdul Karim Ad-Daghistani,
  • Syaikh Ali Al-Fathani,
  • Syaikh Muhammad Ali Al-Maliki,
  • Syaikh Hassan Al-Masysyath,
  • Syaikh Muhammad Al-Arabi,
  • Sayyid Alwi bin Abbas Al-Hasani,
  • Syaikh Muham­mad Ahyad,
  • Syaikh Hasan Al-Yamani,
  • Syaikh Umar Ham­dan Al-Mahrasyi,
  • Syaikh Muhammad Nur Saif,
  • Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadani,
  • Syaikh Abdullah Al-Lahji,
  • Syaikh Zakaria Bila.

Mengajar di Makkah

Setelah sekian lama berguru kepada banyak ulama Tanah Suci, ia mendapatkan izin mengajar di Masjidil Haram. Ia mengajar selama hampir 30 tahun, dalam berbagai cabang keilmuan.[3] Majelisnya yang terkenal adalah sebuah majelis yang terletak di sisi Bab Al-Umrah, salah satu pintu utama Masjidil haram. Halaqahnya ini amat terkenal di kalangan penuntut ilmu di Masjidil Haram, terutama di kalangan santri Melayu.[3]

Ketika menjadi guru di Masjidil Haram, Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di Cape Town, Afrika Selatan, Presiden Soekarno juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja Arab Saudi menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar.[1][3] Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram.[1][3]Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)".[1]

Karya

Syeikh Abdul Qadir juga aktif dalam menulis, sekitar 24 buah karya tulis dalam bahasa Melayu dan Arab[1][3] telah lahir dari kegigihan ia menutut ilmu dan mengajar, termasuk di antaranya enam buah karya terjemahan. Tulisannya meliputi pelbagai bidang seperti ushuludin, fiqih, siyasah, pendidikan, hukum, dan akhlaq, politik, dan perundangan. Syaikh Abdul Qadir telah lebih dahulu "modern" dalam pemikiran di kalangan ulama-ulama tradisional lainnya di masa itu tatkala ia memperbincangkan ideologi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme.[2][3]

Diantara karya-karya ia adalah :

  • Risalah Pokok Qadiani, memaparkan kesesatan dan bahaya ajaran Mirza Ghulam Ahmad[1][3]
  • (1949) Senjata Tok Haji dan Tok Labai[1][3]
  • (1950) Pembantu bagi Sekalian Orang Islam dengan Harus Membaca Quran dan Sampai Pahalanya kepada Sekalian Yang Mati [1][3]
  • (1952) Tuhfah al-Qari‘ al-Muslim fi al-Ahadits al-Muttafaq ‘Alaiha Bayn al-Imam al-Bukhari wa al-Imam Muslim [1][3]
  • (1953) Bekal Orang yang Menunaikan Haji [1][3]
  • (1956) Hukm al-Ihram min Jaddah, Penawar bagi Hati, Perisai bagi Sekalian Mukallaf, Pendirian bagi agama Islam [1][3]
  • (1956) Pendirian Agama Islam , memperbincang­kan ideologi ciptaan manusia seperti kapitalisme, sosialisme, dan komunisme serta persinggungannya dengan aqidah dan pemikiran Islam[1][3]
  • (1958) Sinar Matahari Buat Penyuluh Kesilapan Abu Bakar al-Asy’ari , kritik pemikiran golongan kaum muda[1][3]
  • (1958) Al-Madzhab atau Tiada Haram Bermadzhab , kritik pemikiran golongan kaum muda
  • (1959) Siasah dan Loteri dan Alim Ulama dan Islam: Agama dan Kedaulatan, yang menjelaskan hukum judi yang dilegalisasi pemerintah lalu dana­nya digunakan untuk membina masjid dan sekolah agama[1][3]
  • (1961) Kebagusan Undang-undang Islam dan Kecelaan Undang-undang Ciptaan Manusia , menjelaskan ke­pada orang Melayu, yang dengan itu kar­yanya ditulis dalam bahasa Melayu, ten­tang keadilan dan kebaikan undang-un­dang Allah serta kekeliruan hukum cara manusia, terlebih lagi infiltrasi undang-un­dang penjajah di negeri-negeri Melayu[1][3]
  • Al-Khaza‘in as-Saniyyah min Masyahir al-Kutub al-Fiqhiyyah Li A‘immatina al-Fuqaha‘ asy-Syafi’iyyah.[1][3]

Murid

Muridnya yang terkenal ialah Tuan Guru Haji Abdul Rahman Sungai Durian, Kelantandan Tuan Guru Haji Umar Daud Meranti.[1] Salah seorang anak ia, Syeikh Muhammad al-Mandili merupakan guru agama di Masjidil Haram sekarang ini.[1][3]

Karakter dan kepribadian

Syeikh Abdul Qadir sangat gigih mengajar dan tidak mengenal keadaan sakit. Apabila ditanya oleh anak muridnya apakah ia sudah sembuh, ia menjawab, "kalau menangis pun bukan nak lega",[1] demikian dari kalangan melayu menyebutnya.

Wafatnya Syeikh Abdul Qadir

Setelah menetap 29 tahun[3] lamanya di Makkah mengabdikan dirinya dalam keilmuan, pada 1965 M [Kalender Hijriyah: 18 Rabiul Akhir 1385],[1][3] Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib bin Hasan Al-Mandaili me­ngem­buskan napas yang terakhir pada usia 63 tahun lebih setelah mengalami pe­nyakit pada kakinya.[1][3] Masyarakat Makkah sangat berduka cita dengan kewafatannya, para pelajar sangat kehilangan ulama panutan mereka, isak tangis menyelubungi kewafatan seorang ulama yang alim, banyaknya para pelayat dan pensolat menunjukkan betapa besarnya kecintaan mereka kepada Syeikh Abdul Qadir a-Manidili, ia di kuburkan di perkuburan Ma`la Makkah Mukarramah.[1][3]

Catatan kaki

Daftar pustaka

Website

Pranala Luar

Lihat Pula