Sukarton Marmosujono: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 2: | Baris 2: | ||
'''Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosujono, SH''' ({{lahirmati|[[Tegal]]|3|10|1937|Jakarta|29|6|1990}}) adalah [[Jaksa Agung Republik Indonesia|Jaksa Agung]] pada [[Kabinet Pembangunan V]] [[Indonesia]]. Ia meninggal dunia pada tahun [[1990]] sewaktu masih menjabat. |
'''Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosujono, SH''' ({{lahirmati|[[Tegal]]|3|10|1937|Jakarta|29|6|1990}}) adalah [[Jaksa Agung Republik Indonesia|Jaksa Agung]] pada [[Kabinet Pembangunan V]] [[Indonesia]]. Ia meninggal dunia pada tahun [[1990]] sewaktu masih menjabat. |
||
== Kehidupan Awal == |
|||
Sukarton lahir di [[Batuagung, Balapulang, Tegal|Desa Batuagung]], [[Kabupaten Tegal|Tegal]] pada [[3 Oktober]] [[1937]]. Masa kecilnya berada dalam pusaran [[Perang Kemerdekaan Indonesia]]. Ayahnya saat itu berprofesi sebagai guru yang menolak bekerja di sekolah Belanda. Sedangkan ibunya bertugas di dapur umum pasukan. Saat pertempuran makin meluas, ayahnya ini membawa seluruh keluarga bersama penduduk lainnya mengungsi ke kaki [[Gunung Slamet]]. Dan saat keadaan sangat tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah, kelompok pengungsi ini melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Slamet hingga tiba di [[Wonosobo]]. |
|||
Beberapa hal mengerikan saat perang juga pernah disaksikanya, seperti pembumihangusan desa, ibu hamil yg melahirkan tanpa bantuan, dan pemuda-pemuda yang dibunuh dengan disiksa terlebih dahulu oleh [[Belanda]]. Di masa kecilnya Sukarton juga pernah dimintai seorang tentara untuk mengamati gerak-gerik tentara Belanda. Menurutnya dalam sebuah wawancara pada [[1988]], ini adalah pengalaman yang tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya. |
|||
Saat keluarga ini tiba di [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], Sukarton lalu dimasukkan ke dalam Sekolah Rakyat [[Puro Pakualaman]]. Menjadi anak desa yang jarang bersepatu tidak menjadi halangan baginya bersekolah di sekolah yang notabene sebagai tempat bersekolah anak-anak petinggi di Yogya, para [[priyayi]] yang menggunakan tata krama dan berbicara dengan bahasa krama inggil. Pernah suatu hari Sukarton memperingatkan temannya "''Ee.. mas, cungurmu ana cemonge''" (hidungmu ada kotorannya). Yang diperingatkan bukannya berterima kasih malah menjotos Sukarton. Sukarton lalu membalasnya dan terjadi baku hantam. Belakangan, ia mengetahui juga kata-kata yang diucapkannya dengan maksud baik tersebut, tidak sopan bagi orang keraton. Di Kota Yogyakarta juga ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum [[Universitas Gajah Mada]].<ref name="kartskrtonpmV">Majalah Kartini, 17 April 1988. "Orang-orang baru di kabinet bercerita tentang masa kecil mereka : Dari yang menjadi komandan gembala sampai mata-mata cilik"</ref> |
|||
== Pernikahan == |
|||
Sukarton adalah suami dari Lastri Fardani Sukarton yang merupakan jurnalis [[Kartini (majalah)|Majalah Kartini]] dan penulis buku antologi puisi Gunung Biru Di Atas Dusunku. |
|||
{{clr}} |
{{clr}} |
Revisi per 19 Agustus 2015 13.15
Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosujono, SH (3 Oktober 1937 – 29 Juni 1990) adalah Jaksa Agung pada Kabinet Pembangunan V Indonesia. Ia meninggal dunia pada tahun 1990 sewaktu masih menjabat.
Kehidupan Awal
Sukarton lahir di Desa Batuagung, Tegal pada 3 Oktober 1937. Masa kecilnya berada dalam pusaran Perang Kemerdekaan Indonesia. Ayahnya saat itu berprofesi sebagai guru yang menolak bekerja di sekolah Belanda. Sedangkan ibunya bertugas di dapur umum pasukan. Saat pertempuran makin meluas, ayahnya ini membawa seluruh keluarga bersama penduduk lainnya mengungsi ke kaki Gunung Slamet. Dan saat keadaan sangat tidak memungkinkan untuk kembali ke rumah, kelompok pengungsi ini melanjutkan perjalanan mendaki Gunung Slamet hingga tiba di Wonosobo.
Beberapa hal mengerikan saat perang juga pernah disaksikanya, seperti pembumihangusan desa, ibu hamil yg melahirkan tanpa bantuan, dan pemuda-pemuda yang dibunuh dengan disiksa terlebih dahulu oleh Belanda. Di masa kecilnya Sukarton juga pernah dimintai seorang tentara untuk mengamati gerak-gerik tentara Belanda. Menurutnya dalam sebuah wawancara pada 1988, ini adalah pengalaman yang tidak dapat dilupakan sepanjang hidupnya.
Saat keluarga ini tiba di Yogyakarta, Sukarton lalu dimasukkan ke dalam Sekolah Rakyat Puro Pakualaman. Menjadi anak desa yang jarang bersepatu tidak menjadi halangan baginya bersekolah di sekolah yang notabene sebagai tempat bersekolah anak-anak petinggi di Yogya, para priyayi yang menggunakan tata krama dan berbicara dengan bahasa krama inggil. Pernah suatu hari Sukarton memperingatkan temannya "Ee.. mas, cungurmu ana cemonge" (hidungmu ada kotorannya). Yang diperingatkan bukannya berterima kasih malah menjotos Sukarton. Sukarton lalu membalasnya dan terjadi baku hantam. Belakangan, ia mengetahui juga kata-kata yang diucapkannya dengan maksud baik tersebut, tidak sopan bagi orang keraton. Di Kota Yogyakarta juga ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.[1]
Pernikahan
Sukarton adalah suami dari Lastri Fardani Sukarton yang merupakan jurnalis Majalah Kartini dan penulis buku antologi puisi Gunung Biru Di Atas Dusunku.
Didahului oleh: Hari Suharto |
Jaksa Agung Republik Indonesia 1988 - 1990 |
Diteruskan oleh: Singgih |
- ^ Majalah Kartini, 17 April 1988. "Orang-orang baru di kabinet bercerita tentang masa kecil mereka : Dari yang menjadi komandan gembala sampai mata-mata cilik"