Lompat ke isi

Peristiwa Mangkuk Merah 1967: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Pierrewee (bicara | kontrib)
Pierrewee (bicara | kontrib)
Baris 12: Baris 12:
PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara [[Gurkha]], Inggris, dan [[Australia]] sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi medan perjuangan pasukan PGRS/Paraku.
PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara [[Gurkha]], Inggris, dan [[Australia]] sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi medan perjuangan pasukan PGRS/Paraku.


=== Pasca Gerakan 30 September ==
=== Pasca Gerakan 30 September ===
Meletusnya tragedi politik [[Gerakan 30 September|Gerakan 30 September/PKI]] (G30S/PKI) telah meniadakan peran politik Sukarno serta kekuatan politik kiri ([[komunis]]) selaku pendukung utama konfrontasi terhadap Malaysia, termasuk peran pasukan PGRS/Paraku. Bahkan pasca G30S/PKI, pemerintah rezim [[Orde Baru]] di bawah [[Suharto]] melakukan upaya penumpasan terhadap seluruh kekuatan politik kiri (komunis) termasuk PGRS/Paraku ini.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 10 Agustus 2017 13.31

Peristiwa Mangkuk Merah 1967 adalah peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran yang dilakukan suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967.[1][2] Peristiwa ini menjadi salah satu tragedi kemanusiaan dalam sejarah Indonesia. Mangkuk merah sendiri merupakan istilah ritual dan adat suku Dayak sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas subsuku yang efektif dan efesien dan simbol dimulainya perang.[3]

Peristiwa Mangkuk Merah 1967 yang sangat kental dengan nuansa politik ini dipicu oleh serangkaian rekayasa pembunuhan sejumlah tokoh Dayak dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuduh pelakunya adalah PGRS/Paraku dan etnis Tionghoa merupakan penyokong mereka.[2] Peristiwa ini mengakibatkan setidaknya 3.000 korban tewas terbunuh di pedalaman dan sekitar 4.000-5.000 korban tewas di pengungsian di Pontianak dan Singkawang karena gizi buruk, minimnya fasilitas sanitasi, kesehatan, dan keterbatasan pasokan pangan.[3][4]

Latar belakang

Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Dari tahun 1963 hingga 1966, pemerintah Indonesia melakukan konfrontasi terhadap Malaysia. Konfrontasi yang didasari oleh penolakan pemerintah Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia ini melibatkan warga Tionghoa di Kalimantan bagian Utara, yang juga memiliki sikap sama dengan Indonesia, yakni menentang pendirian Federasi Malaysia yang didukung penuh oleh Inggris. Penolakan warga Tionghoa ini didasari oleh kecemasan akan adanya dominasi warga Melayu Semenanjung Malaya terhadap rakyat Kalimantan Utara, khususnya warga Tionghoa.

Dalam upayanya "mengganyang" Malaysia, pemerintahan rezim Sukarno mengikutsertakan sebagian rakyat Kalimantan Utara (Sarawak) yang juga menolak pembentukan Federasi tersebut. Sukarno menugaskan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, untuk menggalang kekuatan warga Tionghoa Kalimantan Utara yang anti-Malaysia guna mendukung konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris. Hasilnya, hampir 900 orang Tionghoa Kalimantan Utara bersedia pindah ke daerah Kalimantan Barat untuk memperoleh pelatihan kemiliteran dan dipersenjatai oleh pemerintah Indonesia dan kemudian membentuk Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS) dan Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di bawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal Supardjo, yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Komando Tempur IV Mandau.[1]

PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi. Wilayah perbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Utara menjadi medan perjuangan pasukan PGRS/Paraku.

Pasca Gerakan 30 September

Meletusnya tragedi politik Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) telah meniadakan peran politik Sukarno serta kekuatan politik kiri (komunis) selaku pendukung utama konfrontasi terhadap Malaysia, termasuk peran pasukan PGRS/Paraku. Bahkan pasca G30S/PKI, pemerintah rezim Orde Baru di bawah Suharto melakukan upaya penumpasan terhadap seluruh kekuatan politik kiri (komunis) termasuk PGRS/Paraku ini.

Referensi

  1. ^ a b "Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme 'Mengawini' Rasialisme". 20 Januari 2013. Diakses tanggal 10 Agustus 2017. 
  2. ^ a b Aristono Edi Kiswantoro (09 Juli 2010). "Mangkok Merah 1967: Tionghoa Dalam Dinamika Politik dan Etnisitas di Kalimantan Barat" (PDF). Universitas Negeri Yogyakarta. 
  3. ^ a b Superman. "Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat Tahun 1967". Jurnal Historia, Volume 5, Nomor 1, Tahun 2017. Diakses tanggal 10 Agustus 2017. 
  4. ^ "Insiden Pembunuhan Etnis China 1967 di Kalimantan Barat". Suara Pemred Kalbar. 07 Maret 2016. Diakses tanggal 10 Agustus 2017.