Lompat ke isi

Keadilan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
[[Islam]] awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, [[Al-Qur'an|Al-Quran]], sangat menentang [[struktur sosial]] yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi [[Makkah]] waktu itu sebagai tempat asal mula Islam dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia. Islam lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama [[Agama Yahudi|Yahudi]], tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat [[muslim]] untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep [[ritual]], tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.
[[Islam]] awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, [[Al-Qur'an|Al-Quran]], sangat menentang [[struktur sosial]] yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi [[Makkah]] waktu itu sebagai tempat asal mula Islam dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia. Islam lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama [[Agama Yahudi|Yahudi]], tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, [[keadilan]] untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat [[muslim]] untuk berlaku [[adil]] dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep [[ritual]], tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.


Pemerintahan Islam sepeninggal [[Muhammad]] bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah ''empty shell'' (kerangka yang kosong). [[Kekhalifahan Umayyah]] dan [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi [[takwa]] menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap [[saleh]] adalah mereka yang mengajarkan [[salat]], membayar [[zakat]], dan menunaikan [[haji]]. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.
Pemerintahan Islam sepeninggal [[Muhammad]] bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah ''empty shell'' (kerangka yang kosong). [[Kekhalifahan Umayyah]] dan [[Kekhalifahan Abbasiyah|Abbasiyah]] yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi [[takwa]] menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap [[saleh]] adalah mereka yang mengajarkan [[salat]], membayar [[zakat]], dan menunaikan [[haji]]. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.
Baris 6: Baris 6:


== Norma ==
== Norma ==
“Sungguh, Allah mencintai keadilan dan kebaikan, “kata Al-Qur’an. Lebih lanjut disebutkan bahwa kebencian terhadap suatu kaum atau masyarakat tidak boleh menjadikan orang yang beriman sampai berbuat tidak adil, “Hai orang-orang yang beriman ! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah tasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada taqwa.”
{{cquote|''Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Tuhan. Dan, janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena itu lebih dekat kepada takwa''
––––– Al-Qur'an [[Surah Al-Maidah]] ayat ke-8|}}Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah ''<nowiki/>'adl'' dan ''qist''. ''<nowiki/>'Adl'' dalam [[bahasa Arab]] bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan ''sawiyyat''. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna ‘distribusi, angsuran, jarak yang merata’, dan juga ‘keadilan, kejujuran dan kewajaran’. Taqassata, slah satu kata turunannya, juga bermakna ‘distribusi yang merata bagi masyarakat’. Dan qista, kata turunan lainnya, berarti ;keseimbangan berat’. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna ‘distribusi yang merata’, termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.

Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah ‘adl dan qist. Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna ‘distribusi, angsuran, jarak yang merata’, dan juga ‘keadilan, kejujuran dan kewajaran’. Taqassata, slah satu kata turunannya, juga bermakna ‘distribusi yang merata bagi masyarakat’. Dan qista, kata turunan lainnya, berarti ;keseimbangan berat’. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna ‘distribusi yang merata’, termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.


Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “Supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” “Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah, ‘Kelebihan dari keperluanmu.” Al-Qur’anjuga mengancam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kehancuran. “dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, tetapi mereka melanggar peraturan itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.”
Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “Supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” “Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah, ‘Kelebihan dari keperluanmu.” Al-Qur’anjuga mengancam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kehancuran. “dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, tetapi mereka melanggar peraturan itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.”
Baris 59: Baris 58:


== Rujukan ==
== Rujukan ==

== Daftar pustaka ==

* {{Cite book|last=Cowan|first=J. Milton|year=1976|title=A Dictionary of Modern Written Arabic|location=New York|publisher=Otto Harrassowitz Verlag|isbn=978-344-7020-02-2|page=|ref={{sfnref|Cowan|1976}}|url-status=live}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

{{sedang ditulis}}
* [https://www.republika.co.id/berita/pv02nz458/keadilan-sebagai-sunatullah Keadilan Sebagai Sunatullah]
* [https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/166818/kembali-ke-fitrah-keadilan-dalam-perspektif-islam-dan-kebangsaan Kembali ke Fitrah Keadilan dalam Perspektif Islam dan Kebangsaan]
* [https://www.republika.co.id/berita/q7ud54458/kisah-tegaknya-keadilan-dalam-islam Kisah Tegaknya Keadilan dalam Islam]
* [https://nasional.okezone.com/read/2018/10/24/337/1968200/konsep-keadilan-menurut-perspektif-islam Konsep Keadilan Menurut Perspektif Islam]

[[Kategori:Diskriminasi]]
[[Kategori:Diskriminasi]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Filsafat]]

Revisi per 3 Juli 2021 15.11

Islam awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, Al-Quran, sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia. Islam lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi, tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat muslim untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.

Pemerintahan Islam sepeninggal Muhammad bersifat dinasti, yaitu menghancurkan keadilan struktur sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Pemerintahan tersebut kemudian membuat peraturan-peraturan yang justru menindas. Kebijakan ini telah mengebiri semangat revolusi Islam, tetapi sekarang yang tersisa hanyalah sebuah empty shell (kerangka yang kosong). Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang menindas telah mencampakan konsep keadilan Islam dan mereduksi takwa menjadi sekadar konsep ritualistik. Orang yang dianggap saleh adalah mereka yang mengajarkan salat, membayar zakat, dan menunaikan haji. Namun, kesalehannya dijauhkan dari masalah keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Dalam sejarah Islam, pemerintahan yang demikian selalu membangkitkan protes yang didasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur’an, yang menekankan pentingnya keadilan.

Selama Kekhalifahan Utsmaniyah, khalifah ketiga, kekayaan mulai terkonsentrasi kepada segelintir orang. Seiring hal itu, Islam mulai kehilangan semangat karena para pemimpinnya terlena oleh kemakmuran. Melihat hal ini, seorang sahabat nabi bernama Abu Dzar Al-Ghifari, memprotes kebijakan tersebut. Protesnya yang didasarkan kepada ayat Al-Qur’an secara tegas mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk kekayaan. Ayat ini dikenal dengan ayah-e-kanz (ayat tentang penumpukan harta), yaitu Al-Qur'an Surah At-Taubah ayat ke-34–35.

Norma

Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah 'adl dan qist. 'Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan (equalizing) dan kesamaan (levelling). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna ‘distribusi, angsuran, jarak yang merata’, dan juga ‘keadilan, kejujuran dan kewajaran’. Taqassata, slah satu kata turunannya, juga bermakna ‘distribusi yang merata bagi masyarakat’. Dan qista, kata turunan lainnya, berarti ;keseimbangan berat’. Sehingga kedua kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna ‘distribusi yang merata’, termasuk distribusi materi, dan dalam kasus tertentu, penimbunan harta diperbolehkan asal untuk kepentingan sosial.

Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “Supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” “Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah, ‘Kelebihan dari keperluanmu.” Al-Qur’anjuga mengancam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kehancuran. “dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, tetapi mereka melanggar peraturan itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.”

Al-Qur’an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak yatim), namun juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak yang miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupaka tindakan jahat, dan makanya mereka mengganggu keseimbangan di dalam Al-Qur’an bukan hanya berarti norma hukum (rule of law), namun juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata Socrates, seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat). Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial (social wealth) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah pada kehancuran masyarakat secara total. Sebagaimana telah disebutkan Al-Qur’an di atas, kehancuran ini merupakan suatu keniscayaan.

Jika orang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, ia akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya,” kata Al-Qur’an dengan nada yang mantap. Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik yang sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertanahan Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomiyang bersifat kesukuan, feodal atau kapitalistik. Al-Qur’an berikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai (value-oriented declarations). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi. Apa yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Sehingga Al-Qur’an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, manusia diperingatkan agar jangan sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.

Keadilan dalam Bidang Agrikultur

Meskipun menekankan nilai-nilai tertentu secara tegas, Al-Qur’an tidak menentukan rupa dan bentuk kepemilikan terhadap suatu barang. Al-Qur’an juga tidak mencela atau menetapkan suatu doktrin kepemilikan. Namun demikian, Al-Qur’an menegaskan penggunaan harta yang tepat dengan cara yang betul-betul bertanggungjawab. Kepemilikan tanah sejak awal telah menjadi masalah yang diperdebatkan dalam Islam. Maulana Maududi dan teman-temannya berpendapat bahwa pemilikan tanah untuk kepentingan pribadi itu diperbolehkan, tetapi banyak juga yang secara tegas menolak pendapat itu. Al-Qur’an sendiri dengan kalimat retoris menyatakan bahwa bumi ini milik Allah. Juga seringkali disebutkan dalam literatur-literatur Islam bahwa al-ardu lillah. Mereka yang setuju dengan kepemilikan tanah untuk kepentingan pribadi memberi alasan pertanyaan ‘bumi ini milik Allah’, artinya Dialah yang menciptakan, dan juga pernyataan itu tidak membuktikan bahwa kepemilikan tanah pribadi dilarang dalam Islam. Akan tetapi, mereka yang tidak setuju, pernyataan tersebut dipahami sebagai bukti dari argumentasi mereka bahwa semua kekayaan alam, termasuk tanah, merupaka milik seluruh umat manusia sebagai satu kesatuan dan tidak dapat dimiliki secara pribadi. Kepemilikan kekayaan alam seperti bumi secara pribadi dianggap mencampuri urusan Allah dalam pembagian rizki kepada umat manusia. Pendapat ini juga didukung oleh hadits. Kita akan membicarakan beberapa hadits yang berkaitan dengan masalah ini. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu tidak ada usaha agrikultural di Mekah sebagai sactum sanctorum bangsa Arab dan sebagai tempat lahirnya Islam. Ada beberapa usaha agrikultural di Thaqif (sebuah bukit dekat Mekah) dan juga ada oase di dekat Madinah, sebuah kota yang menjadi tujuan hijrah Nabi dan beliau menetap di sana. Sebelum Islam datang, ada beberapa bentuk kepemilikan dan pengolahan tanah, juga praktek tengkulak yang kemudian berkembang. Tentu saja sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab sudah terbiasa dengan feodalisme. Sebaliknya sistem sosio-ekonomi Islam tidak memiliki rujukan khusus baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi.

Selanjutnya, umat Islam secara perlahan tenggelam dalam praktek-praktek dan nilai-nilai feodal melalui perluasan dan tukar-menukar wilayah, integrasi antar negara dan bercampurnya berbagai kebudayaan. Perkembangan ini betul-betul menggerogoti semangat keadilan Al-Qur’an, sebuah keadaan yang sampai sekarang belum dapat dikembangkan seperti sedia kala. Menyataan menunjukkan bahwa feodalisme yang sama sekali tidak mendapat tempat dalam Islam, dengan cepat menjadi bagian integrasi, dan “Islam peranakan’ ini (hybrid Islam) di amat umat yang tinggal di berbagai negara Islam yang feodalistik, terlihat sebagai kewajaran, sebagaimana Islam dilihat oleh umat Islam di Arab pada awal pertumbuhannya.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pertengkulakan (sharecropping) merupaka tulang punggung sistem yang feodalistik dan sumber dari segala macam ketidak adilan. Jika kita mengkaji hadits secara teliti, maka akan mendapat hadits-hadits yang sangat menentang pertengkulakan ini, meskipun hadits-hadits itu ditafsirkan secara berbeda-beda. Meskipun terdapat perbedaan penafsiran, tidaklah sulit untuk menunjukkan sikap Nabi dan sahabat-sahabatnya yang secara tegas menentang praktek ketidakadilan ini. Bahkan sebagian besar ahli hukum yang terkenal, seperti Abu Hanifa, Maliki dan Syafi’i (pendiri fiqih Suni) secara umum dan jelas menyatakan bahwa semua jenis ketidakadilan sebelum Islam, seperti istikra’ al-ard bi ba’di ma yakhruju minha, yaitu menyewa tanah dengan sitem bagi hasil yang tidak adil, pada dasarnya tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan dalam syari’at, karena berlawanan dengan tiga prinsip dasar etika ekonomi. Gharar, atau transaksi ekonomi yang aleatory, menyewa orang dengan upah yang tidak ditentukan da tidak jelas, dan juga memberi hasil pertanian, padi misalnya, sebelum layak dipanen. Para fuqahadengan pernyataan yang sangat keras sepakat melarang praktek-praktek seperti ini.

Jabir bin ‘Abdalah, sahabat Nabi mengatakan Nabi pernah berkata bahwa beliau melarang praktek muhaqula’ (jual-beli sewaktu masih di ladang), muzabina (penjualan yang tidak diketahui takaran, hitungan dan timbangannya) dan mukhabira’ (perjanjian pengolahan tanah dengan hasil tertentu) serta thuniya (perkecualian yang tidak dikenal dalam penjualan). Masih banyak perkataan Nabi yang secara khusus melarang mukhabira’ yang tiada lain kecuali pertengkulakan. Alasan utama pelarangan praktek yang seperti ini, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ahli hukum, adalah praktek tersebut mengarah pada pembagian hasil produksi pertanian yang belum diketahui jumlahnya, karena transaksinya dilakukan ketika tanaman masih muda, sehingga seringkali menimbulkan eksploitasi. Kita tidak tahu berapa banyak hasil produksinya sebelum dipanen, dan ini tidak adil.

Hampir semua ahli hukum sepakat untuk melarang peminjaman tanah dengan uang karena tidak diketahui berapa hasil yang akan dipanen. Imam Malik mengutip sebuah hadits tentang masalah ini dari Rafi’i bin Khadij. Ibn Hazm, seorang ahli hukum yang terkenal, yang menganggap Al-Qur’an sebagai doktrin al hurumat qisas. (balasan untuk orang yang melanggar hak orang lain), mencetuskan sebuah hukum kontrak (theory of contract). Untuk kontrak tanah atau kontrak hasil pertanian, dia dengan tegas mensyaratkan pembuatan kesepakatan antara pemilik tanah dan penyewanya agar memberikan hak penuh kepada petani sebagai penyewa dengan buruhnya, sebagaimana pemilik tanah yang mempunyai hak penuh atas tanahnya. Perlu dicatat bahwa Ibn Hazm ‘dengan garang’menyerang hukum pinjaman uang yang dibuat Maliki dan Syafi’i yang tidak cukup memperhatikan kesulitan yang dihadapi petani. Menurut Ibn Hazm, ketika petani, karena hasil panen yang buruk, tidak mendapatkan hasil sedikitpun, maka pemilik tanah juga mestinya tidak mempunyai hak untuk mendapatkan uang sewa tanahnya itu. Ibn Hazm berpendapat kedua belah pihak harus menanggung kerugian secara bersama-sama, inilah yang harus dijadikan dasar untuk sistem penyewaan tanah.

Saya akan mengutip sebuah hadits penting yang melarang praktek muhaqala yang dijalankan semasa Islam belum datang. Hadits ini diriwayatkan oleh Usayd ibn Zuhayr, keponakan sahabat Nabi ibn Khadij. Dikatakannya, Nabi pernah bersabda bahwa manakala seorang diantara kita memiliki kelebihan tanah, maka dia harus memberikan sebagian kelebihan tanahnya itu kepada orang lain untuk digarapnya dengan pembagian keuntungan sepertiganya, atau seperempat, atau setengah dari hasil panennya. Selanjutnya, beliau juga menetapkan kondisi-kondisi khusus, misalnya, pemilik tanah mendapatkan tiga bagian dari hasil panen yang tanah pertaniannya diairi dengan selokan yang kecil. Sisa-sisa biji padi yang jatuh di luar alat perontoknya menjadi milik yang menyewakan tanah tersebut, dan juga semua padi yang diairi dengan sistem rabi’. Kalau ini yang terjadi, maka akan menimbulkan kesulitan bagi para penggarap sawah, karena pengerjaan tanah dilakukan dengan bajak dan alat-alat lainnya. Pemilik tanah memperoleh keuntungan yang banyak dengan digunakannya alat-alat ini. Mengetahui praktek ini, Rafi’i ibn Khadij dengan keras menyatakan ketidak setujuannya, “Sungguh, Nabi telah melarang kamu dari perbuatan semacam ini, mahaqala, yang hanya menguntungkan kamu saja. Tetapi kalau kamu mematuhi Allah dan Nabi-Nya, kamu pasti akan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Sebenarnya, beliau juga melarang kamu dari haql dan mengatakan bahwa orang yang mempunyai kelebihan tanah, harus memberikannya kepada saudaranya (muslim)agar diolahnya, atau dia harus benar-benar memelihatanya”.

Dengan demikian dapat kita pahami di dalam Islam terdapat konsensus yang sama tentang pelanggaran pertengkulakan. Hampir semua kumpulan hadits memuat hadits yang melarang praktek tersebut karena, pemilik tanah mendapatkan keuntungan, sedangkan penggarap tanahnya mengalami kerugian. Etika ekonomi Islam meralang eksploitasi dan karenanya juga melarang pertengkulakan. Hal ini yang perlu dicatat adalah bahwa hadits di atas, Nabi mengajarkan kepada umatnya untuk mengolah tanahnya sendiri, atau memberikan kepada saudaranya yang mampu mengolah tanah itu. Ini merupakan ajaran yang sangat revolusioner. Sayangnya, umat Islam sekarang ini sibuk dengan ritual yang hanya memuja-muja Nabi, tetapi hampir tidak dijumpai adanya praktek pemberian tanah kepada saudaranya yang membutuhkan untuk digarap. Praktek ini mungkin hanya dijumpai pada aliran Qaranita yang mengelola tanahnya secara bersdama-sama termaasuk menyantuni anak-anak dan wanita. Sampai di sini kita telah mengupas hadits-hadits yeng berkenaan dengan masalah tengkulak secara cukup lengkap, nilai-nilai feodal betul-betul menghalangi sitem keadilan sosio-ekonomi dalam Islam. Namun kemudian feodalisme justru menjadi bagian integral dari Islam, sampai pada praktek-praktek etisnya. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk mengkaji secara serius sosio-ekonomi Islam dalam rangka memutus dan membersihkannya dari feodalisme. Namun demikian, tidaklah mudah melakukan semua ini, karena pemahaman umat yang keliru telah mempersulit upaya ini dan juga para ulama sendiri telah menjadi bagian dari kemapanan yang feodalistik, padahal semestinya dunia Islam justru membebaskan diri dari struktur sosial yang semi feodal ini. Dunia Islam mungkin masih ragu untuk melangkah menuju sistem ekonomi yang lebih modern, kecuali genggamannya pada etika feodal betul-betul dilepaskan. Tidak ada teolog Islam yang serius mendalami masalah ini. Walaupun sudah lama dirasakan perlunya merekontruksi pemikiran Islam, belum juga ada orang yang serius menyelesaikan tugas ini.

Perdagangan yang Adil Mekah, tempat kelahiran Islam, merupakan pusat perdagangan internasional. Namun demikian, pada zaman pra Islam tidak ada aturan dasar perdagangan yang adil dan jujur. Penipuan dan penggelapan bukan lagi biasa, namun sudah “terkenal”. Al-Qur’an datang ketika sistem perdagangan yang tidak mengindahkan etika itu berlangsung, sepeti mengurangi timbangan ketika menjual dan menambahkannya pada saat membeli. “Celakalah orang-orang yang berbuat curang. Yakni orang-orang yang bila menerima takaran dari orang lain, menuntut takaran sepenuhnya. Tapi bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi takarannya. Apakah mereka mengira bahwa mereka tidak akan dibangkitkan pada hari yang dahsyat.

Nabi sangat memperhatikan berbagai malpraktek perdgangan dan perniagaan. Malpraktek ini satu demi satu dihapuskan oleh Nabi memalui dakwah kepada sahabat-sahabatnya. Satu prinsip utama yang jelas adalah penolakannya yang tegas terhadap spekulasi. Sebenarnya, sangat banyak masalah dalam masyarakat industrial atau niaga yang berasal dari praktek-praktek spekulatif yang membuka jalan untuk meraih keuntungan dengan cepat. Semua praktek spekulatif telah dilarang dengan tegas di dalam Islam. Dilarang menjual buah yang belum masak yang belum dipetik, karena tidak diketahui berpa jumlahnya. Sama juga orang tidak boleh menjual bayi hewan yang masih dalam kandungannya, karena kesehatan dan kondisinya tidak diketahui, demikian juga induknya.

Nabi juga melarang penimbunan barang untuk menaikkan harga. Nabi pernah berkata kepada Hazrat “Umar bahwa siapa saja yang menimbun barang, Allah mengutuknya dan barangnya itu berhak diambil darinya dan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga biasa. Kemudian menurut Ibn Taymitta, Nabi juga melarang perdagangan perantara (brokerage), karena sering kali menimbulkan inflasi harga. Ibn Taymiyya berkata, “Nabi melarang orang kota yang mengetahui harga pasar untuk menjadi agen dari orang luar kota yang ingin membeli barang-barang, karena dia mengetahui netapa diperlukannya barang tersebut sehingga memungkinkan dia menaikkan harga seenaknya. Dia telah menjadi agen khusus.” Nabi juga melarang penjualan barang yang belum diketahui oleh pembelinya karena akan menimbulkan eksploitasi, termasuk barter antara hasil pertanian atau logam dalam ukurran yang sama, misalnya dengan emas atau perak, hanya emas yang bisa ditukar dalamk ukuran yang sama dengan emas, dan perak dengan perak, atau gandum dengan gandum, dan sebagainya. Barter barang-barang yang tidak sejenis dinamakan riba, karena mengarah pada eksploitasi. Larangan untuk semua praktek ini sangat dikenal dalam Islam, dan riba betul-betul dikecam dalam kitab Suci Al-Qur’an.

Banyak pemikir Islam yang melanggar riba bukan hanya berarti bunga, namun secara umum juga bermakna eksploitasi . semua praktek yang mengarah pada eksploitasi sesama manusia, termasuk industri dan perniagaan yang tidak adil, dinggap riba. Sesungguhnya, dalam masyarakat industrial modern, semua praktek monopoli, kartel dan pengawasan multinasional terhadap pasar, harus diperlukan sebagai riba. Semua ini jelas bagi orang yang paham ekonomi i9ndustri, bahwa penghapusan bunga atau memberlakukan bank bebas bunga tidak akan menyelesaikan substansi personal monopoli atau ekonomi yng dikontrol oleh multi negara. Sistem ekonomi yang seperti ini hanya akan mengakibatkan kerugian. Namun demikian, sayangnya, para ulama tradisional dengan ‘bodohnya’ terantuk pada konsep riba yang masih tradisional dan tidak mau tahu dengan istilah-istilah mekanis ekonomi industrial modern yang mencengeram berjuta-juta orangtdan praktek-praktek multinasional yang eksploitatif betul-betul merampok negara-negara duia ketiga. Sebenarnya, sekarang ini seluruh perusahaan multinasional Amerika, mungkin kecuali Iran. Kepemimpinan politik Islam saat ini, termasuk para elit dan ulamanya (mereka jujur, namun terlalu konservatif untuk menyadari implikasi buruk dari perekonomian modern), mewarisi sistem ekonomi yang dikontrol oleh kekuatan multinasional. Mereka itu hidup dalam dunia yang konservatif dan dengan teologi tradisional. Hanya sedikit pemikir Islam yang radikal yang mengerti kehancuran ekonomi dan terampasnya kekayaan sumber daya dunia ke tiga. Hanya pemikir yang demikian inilah yang dapat menangkap semangat dan tujuan Islam yang sebarnya untuk menciptakan sistem ekonomi yang tidak eksploitatif.

Sekali lagi agar tidak salah tangkap terhadap dimensi relijius dari masalah ini, Ibn Taymayya menjelaskannya. Menurutnya, keadlian dan suatu bentuk kerja sama dengan kejahatan masih lebih baik daripada apa yang disebutnya tirani yang saleh (pious tyrany). Katanya, “Kehidupan manusia di dunia yang diatur dengan keadilandan kerja sama dengan kejahatan, masih lebih baik dari pada dengan tirani yang saleh. Inilah mengapa dikatakan bahwa Allah ‘menghargai’ negara yang adil meskipun kafir (ma’al kufr), namun tidak demikian dengan negara yang tidak adil meskipun Muslim. Juga disebutkan bahwa dunia dapat bertahan dengan keadilan dan kearifan, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam. Nabi SAW mengatakan, “Tidak ada dosa yang lebih cepat mendapatkan balasan kecuali menindas orang lain dan memutuskan tali persaudaraan.” Bagi para penindas, hukuman langsungditimpakan di dunia, dan mungkin akan dimaafkan dan mendapatkan ampunan kelak di akhirat.

Berikut ini argumentasi Ibn Taymiyya. Keadilan itu adalah suatu tatanan yang universal. Anehnya, kehidupan di dunia yang berlangsung dengan adil, pemimpinnya justru tidak mendapatkan pahala di akhirat kelak. Namun, sebagian besar ulama yang mendapatkan keuntungan dari kemapanan justru, sebaliknya, memperoleh pahala di akhirat. Mereka mengikuti pemerintahan yang tiran, meskipun mereka orang yang saleh. Bagi mereka, taqwa itu dipahami secara konnensional dan ritualistik, serta lebih penting daripada keadilan, padahal Nabi sendiri memberikan penekanan yang lebih pada keadilan. Ironisnya, justru prinsip keadilan itu berada di tangan para ulama sendiri. Sejarah Islam mengatakan pada kita dengan bukti yang cukup bahwa ulama berada dalam satu pihak dengan kemampuan yang menindas atas nama Islam. Hal ini tidak baik, suatu semangat Islam yang buruk. Allah memberikan keputusan jelas kepada mereka, “Dan mereka yang memutuskan perkara tidak menurut kehendak Allah, merekalah orang-orang kafir, merekalah durjana, merekalah orang yang membangkang” (5:44-47). Allah juga memerintahkan kepada Nabi untuk “memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah turuti hawa nafsu mereka. Dan hati-hatilah terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkanmu dari sebagian apa yang Allah turunkan kepadamu.”

Al-Qur’an secara jelas memerintahkan kepada Nbi untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka. Sesungguhnya, syarat yang pokok bagi terwujudnya keadilan adalah mencegah hawa nafsu. Dorongan hawa nafsulah yang menjadikan seseorang menjadi eksploitator, tiran dan penindaS. Al-Qur’an mensyaratkan ketundukan untuk berlaku adil meskipun bertentangan dengan kepentingan sendiri, orang tuanya, kerabatnya, orang kaya yang berpengaruh dan untuk tidak menurutkan hawa nafsunya. Al-Qur’an juga memperingatkan mereka yang merusak keadilan akan diberi balasan yang mengerikan.

Dan keadilan bukanlah peraturan yang didasarkan pada kepentingan orang yang kaya dan berpengaruh. Keadilan, sesuai dengan Al-Qur’an, tidak dapat diperoleh dengan mengikuti aturan mereka. Dan dalam mengahdapi tiran yang kuat, kaum Muslim dibenarkan untuk melakukan jihad. Juga, keadilan lebih diutamakan daripada Islam formal. Tidak ada orang yang benar-benar tunduk kepada Allah tanpa benar-benar mempedulikan keadilan. Sebenarnya di daam Islam, ada penekanan yang lebih pada keadilan, bahkan daripada pada cinta, karena peduli pada keadilan sebenarnya adalah peduli kepada kemanusiaan.

Namun demikian, pada akhir periode kekhalifahan dan pergantian kepemimpinan senantiasa diwarnai dengan pertumpahan darah, kekuasaan mulai mengungkung keadilan dan secara bertahap terjadi kolusi antar ulama dan pemerintahan Umayyah dan Abassiah yang lebih mementingkan kekuasaan daripada keadilan sebagai simbol Islam Suni, sedangkan keadilan justru disosialisasikan dengan kelompok Syiah, Qaramita dan Mu’tazilah dan kelompok yang sejenis. Kelompok-kelompok ini mengadakan pemberontakan melawan kekuasaan politik yang kuat (kecuali Mu’tazilah), dan keadilan menjadi sentra bagi pemikiran relijius mereka. Mereka memilih berada di luar sistem dan menjalani asketisme dan cinta Syi’ah, Isma’ili dan Qaramita menghadapi tangtangan politik yang berat dan terpaksa menjadi aktivisme dan sangat menekankan pentingnya keadilan, dan berjuang melawan penindasan. Sehingga kelompok-kelompok ini, meskipun dikecam ‘bid’ah’ lebih ‘fanatik’ dalam mengikuti semangat Al-Qur’an.

Jika kita mengamati zaman permulaan, sangat mudah dilihat bahwa sesungguhnya Islam terbagi menjadi tiga, yakni kekuasaan, keadilan dan cinta. Ortodoksi Suni memilih kekuasaan, Syi’ah keadilan dan Sufi cinta dan asketisme. Namun demikian, menurut pendapat saya, sulit untuk membuat kategorisasi yang rigid secara tepat. Tidak ada sejarah manusia yang dapat dikategorikan secara sangat ketat. Namun orang bisa saja mengatakan bahwa mosaik sejarah Islam diwarnai dengan perjuangan untuk kekuasaan, keadilan dan cinta, dan polanya selalu didominasi oleh kekuasaan.

Lihat pula

Rujukan

Daftar pustaka

  • Cowan, J. Milton (1976). A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-344-7020-02-2. 

Pranala luar