Lompat ke isi

Keadilan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 72: Baris 72:
* {{Cite book|last=Garaudy|first=Roger, dkk|year=2008|title=Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran|location=Yogyakarta|publisher=Citra Griya Aksara Hikmah|isbn=978-979-2607-15-4|page=|ref={{sfnref|Garaudy, dkk|2008}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Garaudy|first=Roger, dkk|year=2008|title=Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran|location=Yogyakarta|publisher=Citra Griya Aksara Hikmah|isbn=978-979-2607-15-4|page=|ref={{sfnref|Garaudy, dkk|2008}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Sarbini|first=|year=2005|title=Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan|location=Yogyakarta|publisher=Pilar Media|isbn=979-979-3921-23-4|page=|ref={{sfnref|Sarbini|2005}}}}
* {{Cite book|last=Sarbini|first=|year=2005|title=Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan|location=Yogyakarta|publisher=Pilar Media|isbn=979-979-3921-23-4|page=|ref={{sfnref|Sarbini|2005}}}}
*{{Cite book|last=Sujarwa|first=|year=2001|title=Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9075-69-7|page=|ref={{sfnref|Sujarwa|2001}}|url-status=live}}


== Pranala luar ==
== Pranala luar ==

Revisi per 4 Juli 2021 04.49

Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam (Engineer 1999, hlm. 57–58).

Islam awalnya lebih dari sekadar gerakan religius dan juga merupakan gerakan ekonomi. Agama ini dengan kitab sucinya, Al-Quran, sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi Makkah waktu itu sebagai tempat asal mula Islam dan juga kota-kota lainnya di seluruh dunia. Islam lantas menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi, tetapi Islam tidak merasa dibatasi olehnya. Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam. Al-Qur’an mengajarkan kepada umat muslim untuk berlaku adil dan berbuat kebaikan. Orang-orang yang beriman juga disebutkan dilarang berbuat tidak adil, meskipun kepada musuhnya. Islam di sinilah menempatkan keadilan sebagai bagian integral dari ketakwaan. Dengan kata lain, takwa di dalam Islam bukan hanya sebuah konsep ritual, tetapi secara integral juga terkait dengan keadilan sosial dan ekonomi.

Etimologi

Kata kunci yang digunakan dalam Al-Qur’an mengenai masalah keadilan adalah 'adl dan qist. 'Adl dalam bahasa Arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat.[1] Kata itu juga mengandung makna equalizing (penyamarataan) dan levelling (kesamaan). Penyamarataan dan kesamaan ini berlawanan dengan kata zulm dan jaur (kejahatan dan penindasan). Qist mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, keadilan, kejujuran, dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Qistas, kata turunan lainnya, berarti keseimbangan berat.[2] Hal inilah yang menyebabkan kata di dalam Al-Qur’an yang digunakan untuk menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata, termasuk distribusi materi dan penimbunan harta dalam kasus tertentu diperbolehkan asalkan untuk kepentingan sosial.[3]

Ayat tersebut di atas juga didukung oleh ayat-ayat lainnya yang sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama. “Supaya kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.” “Mereka menanyakan kepadamu berapa mereka harus menafkahkan. Jawablah, ‘Kelebihan dari keperluanmu.” Al-Qur’anjuga mengancam orang-orang kaya yang suka pamer, dan kehidupan yang seperti ini akan membawa kehancuran. “dan bila kami bermaksud menghancurkan sebuah kota, Kami berikan perintah kepada orang-orang yang hidup dengan kemewahan supaya patuh, tetapi mereka melanggar peraturan itu. Maka sepantasnyalah berlaku kutukan atas mereka, lalu Kamipun membinasakannya.”

Bagi seseorang yang memperhatikan Al-Qur’an secara teliti, keadilan untuk golongan masyarakat lemah merupakan ajaran pokok Islam (Engineer 1999, hlm. 57–58).

Al-Qur’an bukan saja menentang penimbunan harta (dalam arti tidak disumbangkan untuk fakir miskin, janda-janda dan anak yatim), namun juga menentang kemewahan dan tindakan menghambur-hamburkan uang (untuk kesenangan dan kemewahan diri sendiri, sementara banyak yang miskin yang membutuhkannya). Keduanyan merupaka tindakan jahat, dan makanya mereka mengganggu keseimbangan di dalam Al-Qur’an bukan hanya berarti norma hukum (rule of law), namun juga berarti keadilan yang distributif (karena hukum, kata Socrates, seringkali menguntungkan orang yang kaya dan kuat). Keseimbangan sosial hanya dapat dijaga, bila kekayaan sosial (social wealth) dimanfaatkan secara merata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara yang wajar. Penumpukan kekayaan dan penggunaannya yang tidak sebagaimana mestinya tidak akan dapat menjaga keseimbangan tersebut. Itu hanya akan mengarah pada kehancuran masyarakat secara total. Sebagaimana telah disebutkan Al-Qur’an di atas, kehancuran ini merupakan suatu keniscayaan.

Jika orang mengkaji Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam dengan teliti, ia akan menjumpai banyak sekali ayat-ayat yang membahas keadilan dalam berbagai aspek yang berbeda. Menurut Al-Qur’an, hanya apa yang telah diusahakannya yang akan diperoleh manusia. “Dan manusia tidak akan mendapatkan kecuali yang diusahakannya,” kata Al-Qur’an dengan nada yang mantap. Dengan ungkapan yang pendek itu, seluruh model produksi yang kapitalistik menjadi tidak berlaku. Yang menjadi pemilik yang sebenarnya adalah produsen, bukan pemilik alat-alat produksi. Masalah ini akan dibahas secara singkat dalam kaitannya dengan kebijakan pertanahan Islam. Namun demikian, harus dipahami secara jelas bahwa Al-Qur’an bukanlah sebuah esai tentang ekonomiyang bersifat kesukuan, feodal atau kapitalistik. Al-Qur’an berikan pernyataan-pernyataan yang berorientasi nilai (value-oriented declarations). Al-Qur’an tidak menetapkan suatu dogma ekonomi. Apa yang menjadi maksudnya adalah membangun sebuah masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan dan kejujuran. Sedangkan untuk mencapainya dibutuhkan waktu dan cara tersendiri. Sehingga Al-Qur’an tidak membingkai kreatifitas manusia. Namun demikian, manusia diperingatkan agar jangan sampai memperkuat suatu struktur yang menindas dan mengeksploitasi.

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Cowan (1976), hlm. 506
  2. ^ Cowan (1976), hlm. 628
  3. ^ Engineer (1999), hlm. 60

Daftar pustaka

  • Cowan, J. Milton (1976). A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-344-7020-02-2. 
  • Engineer, Asghar Ali (1999). Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9289-01-8. 
  • Garaudy, Roger, dkk (2008). Demi Kaum Tertindas: Akar Revolusi Islam di Iran. Yogyakarta: Citra Griya Aksara Hikmah. ISBN 978-979-2607-15-4. 
  • Sarbini (2005). Islam di Tepian Revolusi: Ideologi, Pemikiran, dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. ISBN 979-979-3921-23-4. 
  • Sujarwa (2001). Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ISBN 978-979-9075-69-7. 

Pranala luar