Lompat ke isi

Subak: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 50: Baris 50:
Ada beberapa karakteristis dari subak yang merupakan sistem irigasi tradisional, yaitu:
Ada beberapa karakteristis dari subak yang merupakan sistem irigasi tradisional, yaitu:


a.      Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya subak di Bali.
* Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya subak di Bali.
* Melaksanakan ritual keagamaan dalam kegiatan subak bagi anggota yang tergabung dalam wadah organisasi subak. Melalui pelaksanaan ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota dalam satu subak dan antara subak satu dengan subak yang lainnya dapat diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan ketenteraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan maupun petani dengan sesama dan lingkungannya.
* Subak memiliki struktur organisasi yang memadahi sesuai dengan keperluannya. Struktur ini mengatur secara tegas mengenai tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pengurus.
* Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau lebih sumber mata air seperti ''empelan'' (bendungan), mata air, ''tirisan'' (rembesan) dari subak-subak di atasnya.
* Setiap sistem irigasi subak memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu setiap hamparan sawah garapan dari anggota subak memiliki ''tembuku pengalapan'' (tempat masuknya air) dan ''pengutangan'' (tempat keluarnya air atau tempat pembuangan air yang berlebihan) tersendiri.
* Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabilitas.


b.     Melaksanakan ritual keagamaan dalam kegiatan subak bagi anggota yang tergabung dalam wadah organisasi subak. Melalui pelaksanaan ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota dalam satu subak dan antara subak satu dengan subak yang lainnya dapat diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan ketenteraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan maupun petani dengan sesama dan lingkungannya.

c.      Subak memiliki struktur organisasi yang memadahi sesuai dengan keperluannya. Struktur ini mengatur secara tegas mengenai tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pengurus.

d.     Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau lebih sumber mata air seperti ''empelan'' (bendungan), mata air, ''tirisan'' (rembesan) dari subak-subak di atasnya.

e.      Setiap sistem irigasi subak memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu setiap hamparan sawah garapan dari anggota subak memiliki ''tembuku pengalapan'' (tempat masuknya air) dan ''pengutangan'' (tempat keluarnya air atau tempat pembuangan air yang berlebihan) tersendiri.

f.      Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabilitas.
== Galeri ==
== Galeri ==
<center>{{wide image|Jatiluwih rice terraces.jpg|800px|Terasering [[Kabupaten Tabanan|Jatiluwih]]}}<gallery widths="175">
<center>{{wide image|Jatiluwih rice terraces.jpg|800px|Terasering [[Kabupaten Tabanan|Jatiluwih]]}}<gallery widths="175">

Revisi per 13 Maret 2022 14.38

Sawah berundak di Jatiluwih, Bali.

Subak adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah (irigasi) yang digunakan dalam bercocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak pada umumnya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani. Pura tersebut diperuntukkan bagi Dewi Sri, yaitu dewi kemakmuran dan kesuburan menurut kepercayaan masyarakat Bali. Sistem irigasi ini diatur oleh seorang pemuka adat (Pekaseh) yang juga adalah seorang petani di Bali.

Sejarah

Sebuah palinggih atau altar pemujaan bagi dewa-dewi pelindung pertanian.

Bali adalah bagian dari kepulauan Indonesia, terletak di antara delapan dan sembilan derajat selatan khatulistiwa. Mencakup area seluas 563.300 hektare termasuk tiga pulau lepas pantai, pulau tersebut telah lama dicirikan di dunia sebagai "surga" terakhir di Bumi, yang penduduknya meluangkan cukup banyak waktu dan materi untuk upacara-upacara adat demi dewa-dewi Hindu yang mereka puja. Oleh karena itu, hubungan antara aspek berwujud dan tidak berwujud merupakan aspek utama dari budaya dan warisan nenek moyang masyarakat Bali.

Kombinasi antara iklim tropis, hujan dan tanah vulkanis yang subur menjadikan pulau Bali sebagai tempat yang ideal untuk budidaya tanaman; termasuk tumbuhan padi, kelapa, cengkih dan kopi. Kegiatan pertanian ini mempunyai pengaruh yang besar pada lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Selama seribu tahun terakhir, masyarakat Bali melakukan modifikasi demi menyesuaikan lahan pertanian dengan kondisi pulau mereka, dengan cara membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan, sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.

Sistem irigasi yang rumit telah dibuat untuk memanfaatkan air semaksimal mungkin. Dalam wujud rasa syukur terhadap air—yang memungkinkan kegiatan pertanian—masyarakat Bali membuat ritual pada sistem irigasi. Sistem irigasi ini juga memungkinkan koordinasi antar petani yang dikenal sebagai sistem organisasi "subak". Organisasi tersebut adalah sebuah organisasi demokratis; para petani yang memanfaatkan sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk bermsyawarah dan mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura Subak.

Dalam Prasasti Raja Purana (Tahun 994 Saka / 1072 Masehi), terdapat kata “kasuwakara” yang diduga berasal dari kata “suwak“, kata ini kemudian berkembang menjadi “subak“.

Kata “suwak” sendiri, terdiri atas atas dua suku kata yaitu “su-” yang berarti baik dan “wak” yang memiliki arti pembicaraan. Sehingga “suwak” atau Subak sendiri bisa diartikan sebagai “melakukan pembicaraan dengan niat baik untuk kepentingan bersama.[1]

Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Hal ini sangatlah berbeda dengan sistem subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan padi yang melimpah pada awalnya, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air.[2] Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.

Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan peneliti lain seperti J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.

Pada tahun 2012, UNESCO mengakui Lanskap kultur Provinsi Bali yang dipengaruhi oleh subak sebagai Situs Warisan Dunia, pada sidang pertama yang berlangsung di Saint Petersburg, Rusia.[3][4]

Museum

Museum Subak di Kabupaten Tabanan dibuka pada tahun 1981.[5]

Pengertian

Beberapa pakar memiliki pendapat tersendiri mengenai definisi subak yang ada di Bali. Windia menjelaskan bahwa subak merupakan organisasi pengairan tradisional di bidang pertanian yang berlandaskan atas seni dan budaya serta diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat di pulau dewata. Subak biasanya memiliki pura yang dinamakan dengan nama Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga seorang petani di Bali, yang disebut dengan Pekaseh.

Shusila memberikan beberapa definisi mengenai subak, yaitu (1) subak sebagai lembaga irigasi dan pertanian yang bercorak sosio-religius, terutama bergerak dalam pengelolaan air untuk produksi tanaman setahun (khususnya padi) berdasarkan prinsip Tri Hita Karana; (2) subak sebagai sistem fisik dan sistem sosial. Subak sebagai sistem fisik diartikan sebagai lingkungan fisik yang berkaitan erat dengan irigasi, seperti sumber-sumber air beserta fasilitas irigasi berupa bendungan, dam, dan saluran-saluran air, sedangkan subak sebagai sistem sosial adalah organisasi sosial yang mengelola sistem fisik tersebut; (3) subak sebagai organisasi petani pemakai air yang sawah-sawah para anggotanya memperoleh air dari sumber yang sama dan memiliki satu atau lebih Pura Bedugul serta memiliki otonomi penuh, baik ke dalam (mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri) maupun ke luar dalam artian bebas mengadakan hubungan langsung dengan pihak luar secara mandiri.

Subak sendiri tidak berada di bawah kendali desa. Batas subak adalah batas hidrologis, bukan batas administratif. Hal inilah yang menyebabkan adanya banyak kasus area kawasan subak saling tumpang tindih dengan area batas desa. Dengan demikian, area kawasan beberapa subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa, ataupun dapat juga sebaliknya. Luas kawasan subak sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumber daya air yang tersedia.

Asal-Usul

Kemunculan subak tidak dapat dilepaskan dari sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Bali sejak berabad-abad silam. Beberapa arkeolog meyakini bahwa masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad Masehi. Hal ini didasarkan atas temuan alat-alat pertanian kuno yang digunakan untuk menanam padi di Desa Sembiran (salah satu desa tertua yang ada di Bali). Di sisi lain, para arkeolog belum mampu menjabarkan cara yang digunakan untuk bertani dan irigasi masyarakat pada waktu itu.

Keterangan tertulis mengenai praktik bertani masyarakat Bali pertama kali ditemukan dalam Prasasti Sukawarna yang bertitimangsa 882. Di dalam prasasti tersebut terdapat kata huma yang berarti sawah. Masyarakat Bali sampai sekarang lazim menggunakan kalimat tersebut untuk menyebut sawah dan irigasi. Meskipun demikian, belum ada keterangan tentang pengelolaan irigasi pertanian dalam prasasti tersebut.

Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan yang berangka tahun 891. Dalam prasasti tersebut tersua kata serdanu yang berarti kepala urusan air danau. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah mengenal cara pengelolaan irigasi pada akhir abad ke-9. Masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak, meskipun kata tersebut belum dikenal pada waktu itu.

Kesimpulan ini diperkuat oleh Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022) yang ditemukan di Buleleng. Kedua prasasti tersebut menjelaskan bahwa terdapat tiga kelompok pekerja khusus sawah, yang salah satunya merupakan ahli pembuat terowongan air yang disebut dengan undagi pangarung. Pekerja ini biasa dipakai dalam subak di masa modern.

Adapun kata subak sendiri dinilai sebagai bentuk modern dari kata suwak. Suwak ditemukan di dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Prasasti Klungkung (1072). Suwak berasal dari dua kata, yaitu su yang berarti baik dan wak yang berarti pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik. Wilayah yang mendapatkan pengairan yang baik disebut kasuwakan rawas. Penamaan tersebut tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.

Pembentukan kasuwakan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama Hindu yang mayoritas dianut oleh masyarakat setempat. Agama Hindu pada waktu itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Pencapaian kebahagiaan hanya bisa dilakukan melalui harmonisasi tiga unsur, yaitu parhyangan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia), dan palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam). Masyarakat Bali mempercayai bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, namun kepemilikan kedua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi.

Konsep Tri Hita Karana lantas mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan air dan tanah, masyarakat kemudian mendirikan beberapa bangunan keagamaan di dekat sawah. Bangunan tersebut dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan). Hal inilah yang menyebabkan beberapa pura di Bali bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah yang ada di Bali.

Karakteristik

Ada beberapa karakteristis dari subak yang merupakan sistem irigasi tradisional, yaitu:

  • Subak memiliki hak otonomi untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hak otonomi ini sudah melekat sejak awal terbentuknya subak di Bali.
  • Melaksanakan ritual keagamaan dalam kegiatan subak bagi anggota yang tergabung dalam wadah organisasi subak. Melalui pelaksanaan ritual keagamaan ini diharapkan berbagai potensi konflik antar anggota dalam satu subak dan antara subak satu dengan subak yang lainnya dapat diminimalisir. Pelaksanaan ritual agama ini agar dapat mewujudkan ketenteraman dan keharmonisan hubungan antara petani dengan Tuhan maupun petani dengan sesama dan lingkungannya.
  • Subak memiliki struktur organisasi yang memadahi sesuai dengan keperluannya. Struktur ini mengatur secara tegas mengenai tugas, tanggung jawab, dan hak masing-masing pengurus.
  • Subak memiliki satu atau lebih sumber air bersama dan satu atau lebih Pura Bedugul. Sumber mata air bersama ini diperoleh dari satu atau lebih sumber mata air seperti empelan (bendungan), mata air, tirisan (rembesan) dari subak-subak di atasnya.
  • Setiap sistem irigasi subak memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu setiap hamparan sawah garapan dari anggota subak memiliki tembuku pengalapan (tempat masuknya air) dan pengutangan (tempat keluarnya air atau tempat pembuangan air yang berlebihan) tersendiri.
  • Pengambilan keputusan di subak dalam pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan demokratis, berkeadilan, transparan, dan akuntabilitas.

Galeri

Terasering Jatiluwih

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Kurniawan, Ari (3 Mei 2021). "SUBAK: PENGERTIAN, SISTEM DAN FUNGSI SUBAK DI BALI". Pradnya.org. Diakses tanggal 10 Mei 2021. 
  2. ^ (Inggris) Balinese Water Temples Diarsipkan 2006-10-04 di Wayback Machine.
  3. ^ "Subak Diakui Sebagai Warisan Budaya Dunia". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-11. Diakses tanggal 2012-05-20. 
  4. ^ Mulyati (Juni 2019). "Subak, Filosofi Keserasian dalam Masyarakat Agraris di Pulau Bali". Jurnal Jantra. 14 (1). ISSN 1907-9605. 
  5. ^ Post, The Jakarta. "A thousand years on, can subak survive?". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-25. 

Referensi

  • (Inggris) J. Stephen Lansing, Priests and Programmers: Technology of Power in the Engineered Landscape of Bali Princeton University Press.
  • (Inggris) "Balinese Water Temples Withstand Tests of Time and Technology" - National Science Foundation
  • (Inggris) Simulation Modeling of Balinese Irrigation (extract) Diarsipkan 2012-02-04 di Wayback Machine. by J. Stephen Lansing (1996)
  • (Inggris) "The Impact of the Green Revolution and Capitalized Farming on the Balinese Water Temple System" by Jonathan Sepe (2000). Literature review.