Lompat ke isi

Waduk Pluit: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7: Baris 7:


==Pendangkalan==
==Pendangkalan==
Karena daerah bibir Waduk Pluit ditempati oleh perumahan, maka secara perlahan terjadi pendangkalan dan peralihan fungsi sebesar 20 Hektar dari total 80 Hektar lahan yang semestinya menjadi waduk penyimpan air. Sejak tahun 1990an, warga mulai merebut tanah di pinggir Waduk Pluit yang seharusnya menjadi milik negara dan tidak boleh dibangun. Awalnya bangunan ini semi permanen, dengan menjadikan tembok waduk sebagai penahan. Sampah dan lumpur dari hulu sungai, ditambah sampah rumah tangga warga di sekitar, membuat pendangkalan semakin parah sehingga Waduk Pluit kehilangan fungsinya.<ref name=merdeka>Has.[http://www.merdeka.com/jakarta/cerita-waduk-pluit-039dijarah039-warga.html ''Cerita Waduk Pluit Dijarah Warga''.] diakses dari situs berita merdeka pada 8 November 2013</ref>

Akibat pendangkalan, kapasitas penyimpanan air kala musim hujan menjadi berkurang. Air waduk yang awalnya bisa mencapai kedalaman 10 meter, pada tahun 2012 hanya setinggi 2 meter. <ref name=merdeka/>

==Referensi==
==Referensi==
<references/>
<references/>

Revisi per 8 November 2013 11.12

Waduk Pluit (asal nama pluit berasal dari kata Belanda fluitschip yang artinya kapal layar panjang berlunas ramping), adalah waduk yang dibangun di Kecamatan Penjaringan, Pluit, Jakarta Utara. Awalnya lahan ini berupa rawa-rawa. Dulu Belanda meletakkan sebuah fluitschip bernama Het Whitte Paert, yang sudah tidak laik laut di pantai sebelah timur muara Kali Angke sehingga daerah ini mendapat nama Pluit. [1]

Sejarah

Proyek Waduk Pluit dimulai sejak 1960, dengan dinyatakannya Pluit sebagai kawasan tertutup. Kawasan ini direncanakan sebagai polder Pluit dan pekerjaan pengerukan kali melalui Keputusan Peperda Jakarta Raya dan Sekitarnya No 387/ Tahun 1960. Namun, di bawah Otorita Pluit, ada pengembangan Pluit Baru untuk pengembangan perumahan, industri, dan waduk. Adapun daerah Muara Karang, Teluk Gong dan Muara Angke untuk perumahan dan pembangkit listrik, serta kampung nelayan.[1]

Pada tahun 1971, Proyek Pluit terus dilanjutkan dengan perluasan wilayah hingga ke Jelambar dan Pejagalan. Pada tahun 1976 kawasan Pluit menjadi permukiman moderen dengan tempat rekreasi dan lokasi perindustrian. Pada tahun 1981, barulah Waduk Pluit selesai dan ditandai dengan banjir besar di wilayah Pluit. [1]

Pendangkalan

Karena daerah bibir Waduk Pluit ditempati oleh perumahan, maka secara perlahan terjadi pendangkalan dan peralihan fungsi sebesar 20 Hektar dari total 80 Hektar lahan yang semestinya menjadi waduk penyimpan air. Sejak tahun 1990an, warga mulai merebut tanah di pinggir Waduk Pluit yang seharusnya menjadi milik negara dan tidak boleh dibangun. Awalnya bangunan ini semi permanen, dengan menjadikan tembok waduk sebagai penahan. Sampah dan lumpur dari hulu sungai, ditambah sampah rumah tangga warga di sekitar, membuat pendangkalan semakin parah sehingga Waduk Pluit kehilangan fungsinya.[2]

Akibat pendangkalan, kapasitas penyimpanan air kala musim hujan menjadi berkurang. Air waduk yang awalnya bisa mencapai kedalaman 10 meter, pada tahun 2012 hanya setinggi 2 meter. [2]

Referensi

  1. ^ a b c Dina. Begini Ceritanya Tentang Pluit. Diakses dari situs berita Tempo pada 8 November 2013
  2. ^ a b Has.Cerita Waduk Pluit Dijarah Warga. diakses dari situs berita merdeka pada 8 November 2013