Lompat ke isi

Wangsa Mataram: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baskoro Aji (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 20: Baris 20:
}}
}}


'''Wangsa Mataram''' atau '''Dinasti Mataram''' adalah sebutan bagi [[wangsa]] atau keluarga yang menguasai tahta [[Kesultanan Mataram]]. Setelah [[Perang Tahta Jawa Ketiga|Perang Suksesi Jawa]] pada abad ke-18 hingga saat ini, keluarga Wangsa Mataram memerintah kerajaan-kerajaan pecahan [[Kesultanan Mataram]] (Catur Sagatra).
'''Wangsa Mataram''' atau '''Dinasti Mataram''' adalah sebutan bagi [[wangsa]] atau keluarga yang menguasai tahta [[Kesultanan Mataram]]. Setelah [[Perang Tahta Jawa Ketiga|Perang Suksesi Jawa]] pada abad ke-18 hingga saat ini, keluarga Wangsa Mataram memerintah monarki-monarki pecahan [[Kesultanan Mataram]] (Catur Sagatra).


== Sejarah ==
== Sejarah ==

[[Berkas:Sultan Agung.jpg|right|thumb|[[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] ([[1613]]–[[1645]]), raja terbesar [[Kesultanan Mataram]].]]
[[Berkas:MsGiyanti.jpg|right|thumb|Naskah [[Perjanjian Giyanti]], yang membagi wilayah [[Kasunanan Kartasura|Mataram]] menjadi dua, [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]].]]


Menurut [[Babad Tanah Jawi]], Wangsa Mataram merupakan keturunan dari [[Ki Ageng Sela]] lewat cucunya, [[Ki Ageng Pemanahan]]. Tokoh yang terakhir ini adalah [[ayah]] dari [[Panembahan Senapati]], raja pertama Mataram. Ki Ageng Sela sendiri diriwayatkan merupakan keturunan dari [[Brawijaya V]], raja terakhir [[Majapahit]] menurut versi [[babad]].
Menurut [[Babad Tanah Jawi]], Wangsa Mataram merupakan keturunan dari [[Ki Ageng Sela]] lewat cucunya, [[Ki Ageng Pemanahan]]. Tokoh yang terakhir ini adalah [[ayah]] dari [[Panembahan Senapati]], raja pertama Mataram. Ki Ageng Sela sendiri diriwayatkan merupakan keturunan dari [[Brawijaya V]], raja terakhir [[Majapahit]] menurut versi [[babad]].
Baris 30: Baris 33:
== Setelah Kemerdekaan Indonesia ==
== Setelah Kemerdekaan Indonesia ==


Para penguasa di empat monarki (kerajaan) pecahan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] masih berkuasa turun-temurun setelah monarki-monarki tersebut bergabung dengan [[Republik Indonesia]]. [[Kasunanan Surakarta]] merupakan monarki pertama yang bergabung dengan pemerintah [[Indonesia]] pada tanggal [[1 September]] [[1945]], disusul dengan monarki lain seperti [[Praja Mangkunegaran|Mangkunegaran]], [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]], dan [[Kadipaten Paku Alaman|Pakualaman]]. Masing-masing monarki mendapat pengakuan sebagai sebuah [[daerah istimewa]] dari pemerintah pusat, namun pada perjalanannya, akibat kerusuhan politik yang menimpa [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]] dan [[Praja Mangkunegaran|Mangkunegaran]], pada [[16 Juni]] [[1946]] [[Daerah Istimewa Surakarta]] dicabut statusnya oleh pemerintah demi stabilnya keamanan. Kedudukan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] dan [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] hanya sebagai simbol kebudayaan dan pemersatu di tengah masyarakat [[Surakarta]] (penguasa monarki seremonial), dan proses suksesi tahta secara turun-temurun masih bertahan dan diakui hingga sekarang. Untuk [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman|Pakualaman]], kedudukan [[Sultan Hamengkubuwana IX]] dan [[Paku Alam VIII|Adipati Pakualam VIII]] tetap bertahan sebagai gubernur dan wakil gubernur [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] hingga berlanjut ke keturunan-keturunannya sampai sekarang.
Para penguasa di empat monarki (kerajaan dan kadipaten) pecahan [[Kesultanan Mataram|Mataram]] masih berkuasa turun-temurun setelah monarki-monarki tersebut bergabung dengan [[Republik Indonesia]]. [[Kasunanan Surakarta]] merupakan monarki pertama yang bergabung dengan pemerintah [[Indonesia]] pada tanggal [[1 September]] [[1945]], disusul dengan monarki lain seperti [[Praja Mangkunegaran|Mangkunegaran]], [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]], dan [[Kadipaten Paku Alaman|Pakualaman]]. Masing-masing monarki mendapat pengakuan sebagai sebuah [[daerah istimewa]] dari pemerintah pusat, namun pada perjalanannya, akibat kerusuhan politik yang menimpa [[Kasunanan Surakarta|Surakarta]] dan [[Praja Mangkunegaran|Mangkunegaran]], pada [[16 Juni]] [[1946]] [[Daerah Istimewa Surakarta]] dicabut statusnya oleh pemerintah demi stabilnya keamanan. Kedudukan [[Pakubuwana XII|Susuhunan Pakubuwana XII]] dan [[Mangkunegara VIII|Adipati Mangkunegara VIII]] hanya sebagai simbol kebudayaan dan pemersatu di tengah masyarakat [[Surakarta]] (penguasa monarki seremonial), dan proses suksesi tahta secara turun-temurun masih bertahan dan diakui hingga sekarang. Untuk [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman|Pakualaman]], kedudukan [[Sultan Hamengkubuwana IX]] dan [[Paku Alam VIII|Adipati Pakualam VIII]] tetap bertahan sebagai gubernur dan wakil gubernur [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] hingga berlanjut ke keturunan-keturunannya sampai sekarang.


== Makam Penguasa Dinasti Mataram ==
== Makam Penguasa Dinasti Mataram ==


Raja-raja pertama Mataram sebelum [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] dimakamkan di [[Pasarean Mataram|Astana Kotagede]]. Setelah pembangunan [[Pemakaman Imogiri|Astana Pajimatan Imogiri]] di [[Bantul]] oleh [[Sultan Agung]] pada tahun [[1632]], raja-raja setelah Sultan Agung hingga para penguasa kedua pewaris penuh Wangsa Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) berhak dimakamkan di [[Pemakaman Imogiri|Astana Pajimatan Imogiri]]. Sementara untuk penguasa Mangkunegaran dimakamkan di Astana Utaranayu di [[Surakarta]] serta [[Astana Mangadeg]] dan [[Astana Girilayu]], [[Karanganyar]]. Dan terakhir para penguasa Pakualaman dimakamkan di Astana Girigondo, [[Kulon Progo]].
Raja-raja pertama Mataram sebelum [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] dimakamkan di [[Pasarean Mataram|Astana Kotagede]]. Setelah pembangunan [[Pemakaman Imogiri|Astana Pajimatan Imogiri]] di [[Bantul]] oleh [[Sultan Agung|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] pada tahun [[1632]], raja-raja setelah Sultan Agung hingga para penguasa kedua pewaris penuh Wangsa Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) berhak dimakamkan di [[Pemakaman Imogiri|Astana Pajimatan Imogiri]]. Sementara untuk penguasa Mangkunegaran dimakamkan di Astana Utaranayu di [[Surakarta]] serta [[Astana Mangadeg]] dan [[Astana Girilayu]], [[Karanganyar]]. Dan terakhir para penguasa Pakualaman dimakamkan di Astana Girigondo, [[Kulon Progo]].


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 21 September 2015 07.28

Wangsa Mataram
NegaraKesultanan Mataram (sekarang bagian dari Republik Indonesia)
Kelompok etnisJawa
DidirikanAbad ke-16 oleh Ki Ageng Pemanahan
Gelar

Panembahan, Sultan, dan Susuhunan Mataram

  • Susuhunan Surakarta
  • Sultan Yogyakarta
  • Adipati Mangkunegaran
  • Adipati Pakualaman

Wangsa Mataram atau Dinasti Mataram adalah sebutan bagi wangsa atau keluarga yang menguasai tahta Kesultanan Mataram. Setelah Perang Suksesi Jawa pada abad ke-18 hingga saat ini, keluarga Wangsa Mataram memerintah monarki-monarki pecahan Kesultanan Mataram (Catur Sagatra).

Sejarah

Berkas:Sultan Agung.jpg
Sultan Agung Hanyakrakusuma (16131645), raja terbesar Kesultanan Mataram.
Naskah Perjanjian Giyanti, yang membagi wilayah Mataram menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Menurut Babad Tanah Jawi, Wangsa Mataram merupakan keturunan dari Ki Ageng Sela lewat cucunya, Ki Ageng Pemanahan. Tokoh yang terakhir ini adalah ayah dari Panembahan Senapati, raja pertama Mataram. Ki Ageng Sela sendiri diriwayatkan merupakan keturunan dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit menurut versi babad.

Setelah Perang Suksesi Jawa usai, terbentuklah tiga kerajaan, dua di antaranya menjadi pewaris penuh Wangsa Mataram (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta), serta satu monarki keadipatian yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Saat perpecahan Mataram, Sultan Hamengkubuwana I, Sunan Pakubuwana II, dan Adipati Mangkunegara I kesemuanya masih bersaudara. Ketika Inggris berkuasa di Jawa, Raffles menempatkan Pangeran Natakusuma, putra Sultan Hamengkubuwana I, sebagai pangeran merdeka yang menguasai sebuah monarki keadipatian baru, Kadipaten Pakualaman, sebagai balas jasa atas bantuannya membantu perlawanan Kesultanan Yogyakarta yang menentang kekuasaan Inggris[1].

Setelah Kemerdekaan Indonesia

Para penguasa di empat monarki (kerajaan dan kadipaten) pecahan Mataram masih berkuasa turun-temurun setelah monarki-monarki tersebut bergabung dengan Republik Indonesia. Kasunanan Surakarta merupakan monarki pertama yang bergabung dengan pemerintah Indonesia pada tanggal 1 September 1945, disusul dengan monarki lain seperti Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Pakualaman. Masing-masing monarki mendapat pengakuan sebagai sebuah daerah istimewa dari pemerintah pusat, namun pada perjalanannya, akibat kerusuhan politik yang menimpa Surakarta dan Mangkunegaran, pada 16 Juni 1946 Daerah Istimewa Surakarta dicabut statusnya oleh pemerintah demi stabilnya keamanan. Kedudukan Susuhunan Pakubuwana XII dan Adipati Mangkunegara VIII hanya sebagai simbol kebudayaan dan pemersatu di tengah masyarakat Surakarta (penguasa monarki seremonial), dan proses suksesi tahta secara turun-temurun masih bertahan dan diakui hingga sekarang. Untuk Yogyakarta dan Pakualaman, kedudukan Sultan Hamengkubuwana IX dan Adipati Pakualam VIII tetap bertahan sebagai gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta hingga berlanjut ke keturunan-keturunannya sampai sekarang.

Makam Penguasa Dinasti Mataram

Raja-raja pertama Mataram sebelum Sultan Agung Hanyakrakusuma dimakamkan di Astana Kotagede. Setelah pembangunan Astana Pajimatan Imogiri di Bantul oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1632, raja-raja setelah Sultan Agung hingga para penguasa kedua pewaris penuh Wangsa Mataram (Surakarta dan Yogyakarta) berhak dimakamkan di Astana Pajimatan Imogiri. Sementara untuk penguasa Mangkunegaran dimakamkan di Astana Utaranayu di Surakarta serta Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, Karanganyar. Dan terakhir para penguasa Pakualaman dimakamkan di Astana Girigondo, Kulon Progo.

Referensi

Lihat Pula