Lompat ke isi

Muhamad Musa: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Merapikan
k Merapikan
Baris 22: Baris 22:
| occupation = Sastrawan, Penghulu, Ulama
| occupation = Sastrawan, Penghulu, Ulama
}}
}}
[[Berkas:Teks “Ayang-ayang gung” karya Raden Hadji Moehamad Moesa versi Poeradiredja, dalam Moriyama (2013).jpg|thumb|left|280px|Pada fragmen hidupnya HoofdPenghoeloe (Kepala Penghulu) Limbangan (Garoet) ini merasa khawatir karir anaknya akan dikalahkan oleh salah satu lawan politiknya, kepala distrik (Wedana) Soetji, seorang lelaki bernama “Tanoe”. Moesa yang memang dikenal juga sebagai seorang sastrawan Sunda terkemuka, kemudian menggubah sebuah lagu (kawih). Dalam kawih itu kemampuan Tanoe dipertanyakan, kelicikannya diejek. Dan mengetahui bahwa rumor dapat menjadi senjata tajam, maka ia berupaya agar lagu itu menjadi lebih dikenal luas. Alhasil, seantero tanah Sunda memang akhirnya mengenal kawih: “Ayang-ayang gung…”. <br/> <br/>Teks ''Ayang-ayang gung'' versi Poeradiredja, dalam Moriyama (2013).
{{cquote|<big>Ajang-ajang goeng – goeng,
<br/>
goeng goongna ramè – mè,
<br/>
mènak Ki Mas Tanoe – noe
<br/>
noe djadi Wadana – na
<br/>
naha mana kitoe – toe
<br/>
toekang olo olo – lo
<br/>
loba anoe giroek – roek
<br/>
roeket ka koempeni – ni
<br/>
niat djadi pangkat – kat
<br/>
katon kagorèngan – ngan
<br/>
ngantos Kandjeng Dalem – lem
<br/>
lempa lempi lempong,
<br/>
ngadoe pipi djeung noe ompong.</big>}}
]]
[[Berkas:Teks “Ayang-ayang gung” karya Raden Hadji Moehamad Moesa pada artikel Soendasche Kinderliederen En Spelen dalam majalah tigamingguan “Djawa” dari Java-Instituut edisi No. 1 Januari-April 1921..jpg|thumb|left|280px|Teks ''Ayang-ayang gung'' pada artikel ''Soendasche Kinderliederen En Spelen'' dalam majalah tigamingguan ''[[Djawa]]'' dari Java-Instituut edisi No. 1 Januari-April [[1921]].]]

'''Muhamad Musa''', atau, dengan nama lengkap beserta gelarnya '''Raden Hadji Moehamad Moesa''' ([[1822]] – [[10 Agustus]] [[1886]]), pengarang, pelopor kesustraan cetak Sunda, ulama dan tokoh [[Sunda]] [[abad ke-19]].
'''Muhamad Musa''', atau, dengan nama lengkap beserta gelarnya '''Raden Hadji Moehamad Moesa''' ([[1822]] – [[10 Agustus]] [[1886]]), pengarang, pelopor kesustraan cetak Sunda, ulama dan tokoh [[Sunda]] [[abad ke-19]].


== Biografi ==
== Biografi ==
Muhamad Musa dilahirkan di [[Garut]] sebagai keturunan bangsawan, putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten [[Limbangan]]. Ia kemudian dilepas untuk mengikuti pendidikan formal di sebuah [[pesantren]] di [[Purwakarta]] dan diajak ikut oleh ayahnya untuk berangkat [[haji]] ke [[Makkah]] saat masih muda.
Muhamad Musa dilahirkan di [[Garut]] sebagai keturunan bangsawan, putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten [[Limbangan]]. Ia kemudian dilepas untuk mengikuti pendidikan formal di sebuah [[pesantren]] di [[Purwakarta]] dan diajak ikut oleh ayahnya untuk berangkat [[haji]] ke [[Makkah]] saat masih muda. Ia menolak tawaran Pemerintah [[Hindia-Belanda]] yang akan menjadikannya sebagai kepala gudang, karena ia lebih suka memilih bidang keagamaan. Setelah menjadi [[penghulu]], pada tahun [[1864]] ia diangkat menjadi Penghulu Besar ([[bahasa Belanda|Belanda]]: ''Hoofdpanghoeloe'') di kabupaten Limbangan sampai wafatnya.

Ia menolak tawaran Pemerintah [[Hindia-Belanda]] yang akan menjadikannya sebagai kepala gudang, karena ia lebih suka memilih bidang keagamaan. Setelah menjadi [[penghulu]], pada tahun [[1864]] ia diangkat menjadi Penghulu Besar ([[bahasa Belanda|Belanda]]: ''Hoofdpanghoeloe'') di kabupaten Limbangan sampai wafatnya.


Muhamad Musa bersahabat erat dengan [[Karel Frederik Holle|K. F. Holle]], pengusaha perkebunan teh bangsa Belanda di [[Cikajang]], yang merupakan penasehat Pemerintah [[Hindia-Belanda]] mengenai bangsa pribumi (terutamanya di [[Priangan]]). Oleh Pemerintah Hindia-Belanda ia sangat dipercayai.
Muhamad Musa bersahabat erat dengan [[Karel Frederik Holle|K. F. Holle]], pengusaha perkebunan teh bangsa Belanda di [[Cikajang]], yang merupakan penasehat Pemerintah [[Hindia-Belanda]] mengenai bangsa pribumi (terutamanya di [[Priangan]]). Oleh Pemerintah Hindia-Belanda ia sangat dipercayai.
Baris 43: Baris 70:
* [[1872]]: ''Wawacan Lampah Sekar;''
* [[1872]]: ''Wawacan Lampah Sekar;''
* [[1881]]: ''Santri Gagal, Hibat.''
* [[1881]]: ''Santri Gagal, Hibat.''

==Pranala luar==
* {{cite web|url=https://naratasgaroet.wordpress.com/2015/08/30/ayang-ayang-gung-black-campaign-ala-menak-garoet/|title=“Ayang-ayang Gung”: ‘Black Campaign’ Ala Menak Garoet|publisher=Naratas Garoet|date= 30/08/2015|accessdate=8 Oktober 2015|archiveurl=https://archive.is/wE8hO|archivedate=7 Oct 2015 17:26:10 UTC}}


== Lihat juga ==
== Lihat juga ==

Revisi per 7 Oktober 2015 17.28

Raden Hadji Moehamad Moesa
Berkas:Raden Hadji Moehamad Moesa (foto dokumen Semangat Baru, 2013).jpg
Lahir1822
Belanda Garut, Hindia Belanda
Meninggal1886
Belanda Garut, Hindia Belanda
Nama lainRaden Haji Muhamad Musa
PekerjaanSastrawan, Penghulu, Ulama
Dikenal atasPengarang, pelopor kesustraan cetak Sunda, ulama dan Tokoh Sunda abad ke-19.
Suami/istriRaden Ayu Ria
Anak
Orang tuaRaden Rangga Suryadikusumah
Berkas:Teks “Ayang-ayang gung” karya Raden Hadji Moehamad Moesa versi Poeradiredja, dalam Moriyama (2013).jpg
Pada fragmen hidupnya HoofdPenghoeloe (Kepala Penghulu) Limbangan (Garoet) ini merasa khawatir karir anaknya akan dikalahkan oleh salah satu lawan politiknya, kepala distrik (Wedana) Soetji, seorang lelaki bernama “Tanoe”. Moesa yang memang dikenal juga sebagai seorang sastrawan Sunda terkemuka, kemudian menggubah sebuah lagu (kawih). Dalam kawih itu kemampuan Tanoe dipertanyakan, kelicikannya diejek. Dan mengetahui bahwa rumor dapat menjadi senjata tajam, maka ia berupaya agar lagu itu menjadi lebih dikenal luas. Alhasil, seantero tanah Sunda memang akhirnya mengenal kawih: “Ayang-ayang gung…”.

Teks Ayang-ayang gung versi Poeradiredja, dalam Moriyama (2013).

Ajang-ajang goeng – goeng,
goeng goongna ramè – mè,
mènak Ki Mas Tanoe – noe
noe djadi Wadana – na
naha mana kitoe – toe
toekang olo olo – lo
loba anoe giroek – roek
roeket ka koempeni – ni
niat djadi pangkat – kat
katon kagorèngan – ngan
ngantos Kandjeng Dalem – lem
lempa lempi lempong,
ngadoe pipi djeung noe ompong.

Teks Ayang-ayang gung pada artikel Soendasche Kinderliederen En Spelen dalam majalah tigamingguan Djawa dari Java-Instituut edisi No. 1 Januari-April 1921.

Muhamad Musa, atau, dengan nama lengkap beserta gelarnya Raden Hadji Moehamad Moesa (182210 Agustus 1886), pengarang, pelopor kesustraan cetak Sunda, ulama dan tokoh Sunda abad ke-19.

Biografi

Muhamad Musa dilahirkan di Garut sebagai keturunan bangsawan, putra Raden Rangga Suryadikusumah, Patih Kabupaten Limbangan. Ia kemudian dilepas untuk mengikuti pendidikan formal di sebuah pesantren di Purwakarta dan diajak ikut oleh ayahnya untuk berangkat haji ke Makkah saat masih muda. Ia menolak tawaran Pemerintah Hindia-Belanda yang akan menjadikannya sebagai kepala gudang, karena ia lebih suka memilih bidang keagamaan. Setelah menjadi penghulu, pada tahun 1864 ia diangkat menjadi Penghulu Besar (Belanda: Hoofdpanghoeloe) di kabupaten Limbangan sampai wafatnya.

Muhamad Musa bersahabat erat dengan K. F. Holle, pengusaha perkebunan teh bangsa Belanda di Cikajang, yang merupakan penasehat Pemerintah Hindia-Belanda mengenai bangsa pribumi (terutamanya di Priangan). Oleh Pemerintah Hindia-Belanda ia sangat dipercayai.

Eratnya hubungan Musa dengan Holle menguntungkan kedua pihak. Bagi Musa, ia beruntung terutama karena mempermudah pergaulannya dengan bangsa Belanda. Musa oleh Pemerintah Hindia-Belanda sangat dipercayai, sehingga oleh karena jasa-jasanya ia pernah dijanjikan jabatan tinggi hingga sampai tujuh turunan. Berkat eratnya persahabatan dengan Holle, Musa juga bisa mengembangkan bakat/minat menulis dan mengarangnya sehingga karya-karyanya (baik karangan sendiri maupun saduran atau terjemahan) bisa dicetak sampai ribuan eksemplar di Batavia. Di antara para putranya, yang mewarisi bakat menulisnya adalah Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Karta Winata.

Karya-karyanya

Karya Muhamad Musa yang paling terkenal adalah Wawacan Panji Wulung yang terbit pada tahun 1871. Karya-karya lainnya yang dicetak di antaranya,

  • 1862: Wawacan Raja Sudibya, Wawacan Wulang Krama, Wawacan Dongéng-dongéng, Wawacan Wulang Tani;
  • 1863: Carita Abdurahman jeung Abdurahim, Wawacan Seca Nala;
  • 1864: Ali Muhtar, Élmu Nyawah;
  • 1865: Wawacan Wulang Murid, Wawacan Wulang Guru;
  • 1866: Dongéng-dongéng nu Aranéh;
  • 1867: Dongéng-dongéng Pieunteungeun;
  • 1872: Wawacan Lampah Sekar;
  • 1881: Santri Gagal, Hibat.

Pranala luar

Lihat juga

Rujukan

  • Mikihiro Moriyama. 2005. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 979-9100-23-2.
  • Ajip Rosidi. 2000. Ensiklopedia Sunda. 2000. Pustaka Jaya, Jakarta.
  • Terrarum, O. (2006). West Meets East: Images of China and Japan, 1570 to 1920, Special Collections, De Beer Gallery, Central Library of the University of Otago, 10 February to 26 May 2006. New Zealand Journal of Asian Studies, 8, 122-179.