Lompat ke isi

Masjid Nabawi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Almarayya (bicara | kontrib)
Almarayya (bicara | kontrib)
Baris 26: Baris 26:
[[Berkas:Rekonstruksi Rumah Nabi 1.jpg|thumb|280px|right|Miniatur dari rekonstruksi rumah nabi {{saw}} yang menempel di dinding masjid Nabawi.]]
[[Berkas:Rekonstruksi Rumah Nabi 1.jpg|thumb|280px|right|Miniatur dari rekonstruksi rumah nabi {{saw}} yang menempel di dinding masjid Nabawi.]]


Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi {{saw}}. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah.<ref name="haekal"/> Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ''ahlussufah'' atau para penghuni teras masjid. Ahlussuffah berjumlah 50 orang, mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani. Mereka tidak memiliki istri serta anak. Apabila salah satu dari mereka ada yang menikah maka yang bersangkutan akan keluar dari "group" ini. Ahlussufah mengabdikan diri mereka untuk beribadah dan loyal kepada Rasulullah {{saw}}. Diantara para Ahlussufah ini terdapat nama-nama yang tidak asing lagi bagi yang mempelajari Hdits dan sejarah Islam. Diantara para Ahlussuffah tersebut yakni ; Abu Hurairah ra. (yang kemudian ditugaskan sebagai Gubernur Bahrain oleh Khalifah Umar bin Khattab), Abu Dzar Al-Ghifari ra. (diabadikan sebagai nama sebuah Masjid di Madinah), Ka'ab bin Malik ra., Salman Al-Farsi atau biasa disebut juga Salman Al-Farisi ra. (beliau yang mengusulkan pembuatan "khandaq"/parit pada perang Khandaq), Hanzhalh bin Abi Amr ra., Huzaifah bin Yaman ra., Abdullah bin Mas'ud ra. dan Bilal bin Rabah (dikenal sebagai penyeru Adzan).
Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi {{saw}}. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah.<ref name="haekal"/> Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ''ahlussufah'' atau para penghuni teras masjid. Ahlussuffah berjumlah 50 orang, mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani. Mereka tidak memiliki istri serta anak. Apabila salah satu dari mereka ada yang menikah maka yang bersangkutan akan keluar dari "group" ini. Ahlussufah mengabdikan diri mereka untuk beribadah dan loyal kepada Rasulullah {{saw}}. Diantara para Ahlussufah ini terdapat nama-nama yang tidak asing lagi bagi yang mempelajari Hadits dan sejarah Islam. Diantara para [http://Ahlussuffah Ahlussuffah] tersebut yakni ; Abu Hurairah ra. (yang kemudian ditugaskan sebagai Gubernur Bahrain oleh Khalifah Umar bin Khattab), Abu Dzar Al-Ghifari ra. (diabadikan sebagai nama sebuah Masjid di Madinah), Ka'ab bin Malik ra., Salman Al-Farsi atau biasa disebut juga Salman Al-Farisi ra. (beliau yang mengusulkan pembuatan "khandaq"/parit pada perang Khandaq), Hanzhalh bin Abi Amr ra., Huzaifah bin Yaman ra., Abdullah bin Mas'ud ra. dan Bilal bin Rabah (dikenal sebagai penyeru Adzan).


Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah [[Umar bin Khattab]] pada tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah [[Utsman bin Affan]] pada tahun 29 H. Di zaman modern, [[Abdul-Aziz bin Saud|Raja Abdul Aziz]] dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, [[Raja Fahd]] pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.<ref name="ghani"/>
Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah [[Umar bin Khattab]] pada tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah [[Utsman bin Affan]] pada tahun 29 H. Di zaman modern, [[Abdul-Aziz bin Saud|Raja Abdul Aziz]] dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, [[Raja Fahd]] pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.<ref name="ghani"/>

Revisi per 1 November 2015 03.52

Al-Masjid al-Nabawi
PetaKoordinat: 24°28′6.000″N 39°36′39.000″E / 24.46833333°N 39.61083333°E / 24.46833333; 39.61083333
Agama
Lokasi
LokasiArab Saudi Medina, Arab Saudi
AdministrasiPemerintah Arab Saudi
Arsitektur
Gaya arsitekturKlasik dan Kontemporer Islamic; Ottoman; Mamluk revivalist
Spesifikasi
Kapasitas600.000 (bertambah menjadi 1.000.000 pada musim haji)
Menara10
Tinggi menara105 meter (344 kaki)

Masjid Nabawi, adalah salah satu mesjid terpenting yang terdapat di Kota Madinah, Arab Saudi karena dibangun oleh Nabi Muhammad ﷺ dan menjadi tempat makam Nabi Muhammad dan para Sahabatnya. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang utama bagi umat Muslim setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar ke-2 di dunia, setelah Masjidil Haram di Mekkah.

Sejarah

Masjid Nabawi adalah masjid kedua yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ, setelah Masjid Quba yang didirikan dalam perjalanan hijrah dia dari Mekkah ke Madinah. Masjid Nabawi dibangun sejak saat-saat pertama Rasulullah ﷺ. tiba di Madinah, yalah di tempat unta tunggangan Nabi ﷺ. menghentikan perjalanannya. Lokasi itu semula adalah tempat penjemuran buah kurma milik anak yatim dua bersaudara Sahl dan Suhail bin ‘Amr, yang kemudian dibeli oleh Rasulullah ﷺ. untuk dibangunkan masjid dan tempat kediaman dia.[1][2]

Awal pembangunan Masjid Nabawi dilakukan dalam 2 tahap. Tahap Awal, masjid ini berukuran 35 x 30 meter dengan tinggi 2,5 meter. Kemudian pada tahap kedua diperluas menjadi 50 × 50 meter, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m[3]. Awalnya Masjid Nabawi hanya digunakan sebagai tempat ibadah (melaksanakan shalat) saja. Kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan Islam, madrasah tempat mengajarkan agama Islam dan juga urusan pemerintahan seperti pengadilan dan rapat-rapat. Rasulullah ﷺ. turut membangunnya dengan tangannya sendiri, bersama-sama dengan para shahabat dan kaum muslimin baik kaum muhajirin yang ikut hijrah bersama Beliau dan kaum Anshar yang merupakan penduduk Madinah. Tembok di keempat sisi masjid ini terbuat dari batu bata dan tanah, sedangkan atapnya dari daun kurma dengan tiang-tiang penopangnya dari batang kurma. Sebagian atapnya dibiarkan terbuka begitu saja. Selama sembilan tahun pertama, masjid ini tanpa penerangan di malam hari. Hanya di waktu Isya, diadakan sedikit penerangan dengan membakar jerami.[1]

Berkas:Rekonstruksi Masjid Nabawi 1.jpg
Miniatur dari rekonstruksi Masjid Nabawi sesuai bentuk asal pada masa Nabi ﷺ.
Berkas:Rekonstruksi Rumah Nabi 1.jpg
Miniatur dari rekonstruksi rumah nabi ﷺ yang menempel di dinding masjid Nabawi.

Kemudian melekat pada salah satu sisi masjid, dibangun kediaman Nabi ﷺ. Kediaman Nabi ini tidak seberapa besar dan tidak lebih mewah dari keadaan masjidnya, hanya tentu saja lebih tertutup. Selain itu ada pula bagian yang digunakan sebagai tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak memiliki rumah.[1] Belakangan, orang-orang ini dikenal sebagai ahlussufah atau para penghuni teras masjid. Ahlussuffah berjumlah 50 orang, mereka sebagian besar berprofesi sebagai pedagang dan petani. Mereka tidak memiliki istri serta anak. Apabila salah satu dari mereka ada yang menikah maka yang bersangkutan akan keluar dari "group" ini. Ahlussufah mengabdikan diri mereka untuk beribadah dan loyal kepada Rasulullah ﷺ. Diantara para Ahlussufah ini terdapat nama-nama yang tidak asing lagi bagi yang mempelajari Hadits dan sejarah Islam. Diantara para Ahlussuffah tersebut yakni ; Abu Hurairah ra. (yang kemudian ditugaskan sebagai Gubernur Bahrain oleh Khalifah Umar bin Khattab), Abu Dzar Al-Ghifari ra. (diabadikan sebagai nama sebuah Masjid di Madinah), Ka'ab bin Malik ra., Salman Al-Farsi atau biasa disebut juga Salman Al-Farisi ra. (beliau yang mengusulkan pembuatan "khandaq"/parit pada perang Khandaq), Hanzhalh bin Abi Amr ra., Huzaifah bin Yaman ra., Abdullah bin Mas'ud ra. dan Bilal bin Rabah (dikenal sebagai penyeru Adzan).

Setelah itu berkali-kali masjid ini direnovasi dan diperluas. Renovasi yang pertama dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 17 H, dan yang kedua oleh Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 29 H. Di zaman modern, Raja Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia meluaskan masjid ini menjadi 6.024 m² pada tahun 1372 H. Perluasan ini kemudian dilanjutkan oleh penerusnya, Raja Fahd pada tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Masjid Nabawi kini dapat menampung kira-kira 535.000 jemaah.[3]

Keutamaan Masjid Nabawi

Keutamaannya dinyatakan oleh Nabi ﷺ, sebagaimana diterima dari Jabir ra. (yang artinya):

"Satu kali salat di masjidku ini, lebih besar pahalanya dari seribu kali salat di masjid yang lain, kecuali di Masjidil Haram. Dan satu kali salat di Masjidil Haram lebih utama dari seratus ribu kali salat di masjid lainnya." (Riwayat Ahmad, dengan sanad yang sah)[4]

Diterima dari Anas bin Malik bahwa Nabi ﷺ bersabda (yang artinya):

"Barangsiapa melakukan salat di mesjidku sebanyak empat puluh kali tanpa luput satu kali salat pun juga, maka akan dicatat kebebasannya dari neraka, kebebasan dari siksa dan terhindarlah ia dari kemunafikan." (Riwayat Ahmad dan Thabrani dengan sanad yang sah)[4]

Dari Sa’id bin Musaiyab, yang diterimanya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda (yang artinya):

"Tidak perlu disiapkan kendaraan, kecuali buat mengunjungi tiga buah masjid: Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsa." (Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)[5]

Berdasarkan hadis-hadis ini maka Kota Medinah dan terutama Masjid Nabawi selalu ramai dikunjungi umat Muslim yang tengah melaksanakan ibadah haji atau umrah sebagai amal sunah.

Raudlah

Masjid Nabawi saat berumur 1 tahun.

Salah satu bagian Masjid Nabawi terkenal dengan sebutan Raudlah (taman surga). Doa-doa yang dipanjatkan dari Raudlah ini diyakini akan dikabulkan oleh Allah swt. Raudlah terletak di antara mimbar dengan makam (dahulu rumah) Rasulullah ﷺ Diterima dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ bersabda (yang artinya):

"Tempat yang terletak di antara rumahku dengan mimbarku merupakan suatu taman di antara taman-taman surga, sedang mimbarku itu terletak di atas kolamku." (Riwayat Bukhari)[6]

Makam Nabi

Masjid Nabawi dari depan. Makam Nabi ﷺ terletak di bawah kubah hijau di sebelah kanan

Rasulullah ﷺ dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khattab.[7] Karena perluasan-perluasan Masjid Nabawi, ketiga makam itu kini berada di dalam masjid, yakni di sudut tenggara (kiri depan) masjid. Sedangkan Aisyah dan kebanyakan shahabat yang lain, dimakamkan di pemakaman umum Baqi. Dahulu terpisah cukup jauh, kini dengan perluasan masjid, Baqi jadi terletak bersebelahan dengan halaman Masjid Nabawi.

Catatan kaki

  1. ^ a b c Haekal, M. Husain. 1994. Sejarah Hidup Muhammad. (Terj.) Cet. ke-17. Penerbit Litera AntarNusa, Jakarta. Hal. 191-194
  2. ^ Qol’ahji, M. Rawwas. 2007. Sirah Nabawiyah, sisi politis perjuangan Rasulullah ﷺ. Penerbit Al Azhar Press, Bogor. Hal. 154-155
  3. ^ a b Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. Sejarah Madinah Munawwarah bergambar. (Terj.) Al Rasheed Printers, Madinah. Hal. 29-31.
  4. ^ a b Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:248
  5. ^ Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:247
  6. ^ Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih sunnah. (Terj.) Cet. ke-12. Penerbit Almaarif, Bandung. Jil. 5:252
  7. ^ Abdul Ghani, M. Ilyas. 2005. op cit. Hal. 39-41.

Pranala luar