Kiai Madja: Perbedaan antara revisi
Hidayatsrf (bicara | kontrib) k ←Suntingan 39.253.100.69 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Bozky |
Rachmat-bot (bicara | kontrib) k →Keluarga: rapikan, replaced: diluar → di luar |
||
Baris 19: | Baris 19: | ||
== Keluarga == |
== Keluarga == |
||
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.<ref name=a /> Ayah Kyai Madja adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo.<ref name=a /> Desa tersebut berada di daerah Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja [[Surakarta]].<ref name=a /> Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah, merupakan saudara perempuan [[Sri Sultan Hemangkubuwono III]].<ref name=a /> Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kyai Madja dibesarkan |
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.<ref name=a /> Ayah Kyai Madja adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo.<ref name=a /> Desa tersebut berada di daerah Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja [[Surakarta]].<ref name=a /> Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah, merupakan saudara perempuan [[Sri Sultan Hemangkubuwono III]].<ref name=a /> Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kyai Madja dibesarkan di luar keraton.<ref name=a /> |
||
== Kehidupan == |
== Kehidupan == |
Revisi per 2 Januari 2016 15.09
Kyai Madja adalah seorang ulama dari Jawa Tengah yang menentang gerakan pemurtadan di kalangan bangsawan dan sultan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa penjajahan.[1] Kyai Madja lahir pada tahun 1792 dan memiliki nama asli Muslim Mochammad Khalifah.[1]
Keluarga
Kyai Madja lahir dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah.[1] Ayah Kyai Madja adalah seorang ulama di desa Baderan dan Modjo.[1] Desa tersebut berada di daerah Pajang dan merupakan tanah pemberian Raja Surakarta.[1] Ibu Kyai Madja, R.A Mursillah, merupakan saudara perempuan Sri Sultan Hemangkubuwono III.[1] Meskipun ibunya seorang ningrat keraton, Kyai Madja dibesarkan di luar keraton.[1]
Kehidupan
Pada 17 November 1828, terjadi penangkapan di desa Kembang Arum, Jawa Tengah oleh Belanda.[1] Kyai Madja dibawa dan diasingkan ke Batavia kemudian diasingkan kembali ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.[1] Selama masa pengasingannya, Kyai Madja mendirikan kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi awal masuknya Agama Islam di Minahasa.[1] Di Tondano ia menyalurkan ilmu kesaktiannya yaitu ilmu kanugaran yang dipelajarinya di Ponorogo, kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri.[1] Ilmu bela diri ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal pencak silat.[1] Kyai Madja wafat di tempat pengasingan pada tanggal 20 Desember 1849 diusia 57 tahun.[1]
Wasiat
Selama hidupnya Kyai Madja dikenal sebagai tokoh ulama yang giat menentang Belanda.[1] Kyai Madja meninggalkan wasiat dalam bahasa Jawa, yaitu[2]:
"Den sira para satria nagari mentaram, nagari jawi heng dodotira sumimpen, watak wantune sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina kasan, sumimpen kakendale sayyidina kusen, den seksana hing wanci suro landa bakal den sira sirnaake saka tanah jawa, krana sinurung pangribawaning para satrianing muhammad yaitu ngali, kasan, kusen.[2] Sira padha lumaksananna yudha kairing takbir lan shalawat, yen sira gugur hing bantala, cinandra, guguring sakabate sayyidina kusen hing Nainawa, sira kang wicaksana hing yudha,pinates tampa sesilih ali basya.[2] (Babad Perang Diponegoro,karya pujangga Yasadipura II Surakarta)"
Arti dalam bahasa Indonesia:
Wahai kalian Satria Mataram, negara jawa tersimpan dalam pemahaman kalian.[2] Pada kalian tersimpan Watak prilaku, kebijaksanaan Sayyidina Ali dan Sayyidina Hasan.[2] Tersimpan keberanian Al Husain, perhatikanlah pada waktu suro belanda akan kalian hilangkan dari tanah jawa, karena terdorong kekuatan para satria muhammad yaitu ali,hasan dan husain.[2] Berperanglah teriring takbir dan shalawat, jika kalian syahid maka akan tercatat spt syahid nya para sahabat al husain di nainawa.[2]