Lompat ke isi

KOMTEVE: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:



KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE)
KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE)
Baris 49: Baris 48:
a. Stilasi tulisan KOMTEVE berwarna putih diatas dasar warna biru menggambarkan jati diri KOMTEVE yang bersifat terbuka, jujur, dan selalu berada diatas kebenaran.
a. Stilasi tulisan KOMTEVE berwarna putih diatas dasar warna biru menggambarkan jati diri KOMTEVE yang bersifat terbuka, jujur, dan selalu berada diatas kebenaran.
b. Dibawahnya ditulis kalimat Komunitas Televisi dalam bahasa Indonesia dan Indonesian Television Community dalam bahasa Inggris dengan warna hitam diatas dasar putih adalah penegasan jati diri dan identitas KOMTEVE sebagai organisasi dari insan komunitas televisi Indonesia yaitu praktisi/profesional televisi, insan industri terkait, maupun pemerhati televisi.
b. Dibawahnya ditulis kalimat Komunitas Televisi dalam bahasa Indonesia dan Indonesian Television Community dalam bahasa Inggris dengan warna hitam diatas dasar putih adalah penegasan jati diri dan identitas KOMTEVE sebagai organisasi dari insan komunitas televisi Indonesia yaitu praktisi/profesional televisi, insan industri terkait, maupun pemerhati televisi.

'''MASUKAN KOMTEVE TERKAIT REGULASI PENYIARAN'''

'''1. Kepada Mahkamah Konstitusi'''
MASUKAN KOMUNITAS PENYIARAN INDONESIA (KOMTEVE)
KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
ATAS GUGATAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA
TERHADAP UU NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN DAN SENGKETA LEMBAGA NEGARA

Terhadap pengajuan uji materiil UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan uji sengketa antar lembaga negara oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Mahkamah Konstitusi, Komteve memberikan tanggapan sebagai berikut :

1. TENTANG KEWENANGAN MEMBERIKAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN :

Inti dari konflik itu adalah soal siapa yang berhak memberikan izin penyiaran termasuk di dalamnya izin frekuensi. KPI bersikukuh bahwa berdasarkan UU nomor 32 Tahun 2002 hal itu adalah kewenangannya. Sebaliknya Depkominfo merasa hal itu adalah kewenangannya. Jika betul betul dicermati UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, konflik kewenangan itu sebenarnya tidak perlu terjadi.

Berikut analisis pasal pasal terkait dari UU nomor 32 Tahun 2002 :
Pasal 7 ayat (2) : KPI sebagai lembaga Negara yang bersifat independen mengatur hal hal mengenai penyiaran. Dari bunyi pasal ini terlihat kekuasaan dan kewenangan KPI begitu besar, karena apapun yang menyangkut penyiaran pengaturannya menjadi urusan KPI. Namun pasal ini sebenarnya diperjelas dan dilimitasi oleh pasal 8 ayat (1),(2) dan (3). Dalam pasal dan ayat tersebut jelas sekali apa fungsi, wewenang , tugas dan kewajiban KPI. Intisari isi pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) tersebut adalah :

1. Fungsi KPI adalah mewadahi dan mewakili masyarakat melalui kewenangan, tugas dan kewajiban KPI.
2. Kewenangan KPI adalah :
- mengatur, mengawasi isi siaran
- koordinasi/kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat
3. Tugas dan kewajiban KPI adalah :
- menjamin public right to know
- ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran
- ikut membangun kompetisi yang sehat
- memelihara tatanan infromasi
- public complain handling
- menyusun perencanaan SDM Penyiaran

Dari isi pasal ini jelas sekali terlihat titik berat kewenangan KPI adalah tunggal yaitu menyangkut isi siaran. Itupun dalam konteks bekerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.

Lalu dimana konteksnya pasal 33 ayat (5) yang menyebutkan secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI terkait dengan pasal 8 ayat (1),(2) dan (3) tersebut diatas ?

Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang didalamnya termasuk izin frekuensi, merupakan salah satu infrastruktur penyiaran. Dan yang menyangkut infrastruktur penyiaran ini tercantum dalam tugas dan kewajiban KPI yaitu ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran. Seperti apa peran “ikut membantu” ini sebenarnya sudah di perjelas dalam pasal 33 ayat (4) yaitu :
- melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan pemohon izin
- memberikan rekomendasi kelayakan kepada pemohon
- mengusulkan izin alokasi dan penggunaan spectrum frekuensi radio (frekuensi) untuk pemohon kepada pemerintah
- mengikuti forum rapat bersama perizinan dengan pemerintah

Dari uraian tersebut diatas, sebenarnya tidak ada alasan bagi KPI dan Pemerintah/Depkominfo untuk berkonflik menyangkut kewenangan menerbitkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Dipisahkannya kata “Negara” dan KPI menegaskan tugas dan kewajiban KPI dalam “ikut membantu” pengaturan infrastruktur penyiaran. Dengan kata lain memang KPI bukan yang menerbitkan izin karena KPI hanya berperan sebagai “ikut membantu”. Mengingat dalam UU 32 Tahun 2002 hanya ada kata Negara dan KPI maka konkritisasi “negara” sebagai eksekutor adalah pemerintah.

2. TENTANG KEWENANGAN MEMBUAT PERATURAN PEMERINTAH :

Terhadap uji materil tentang kewenangan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang juga diajukan oleh KPI, Komteve berpendapat sebaiknya kembali saja ke putusan Mahkamah Konstitusi Perkara. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 005/PUU-I/2003 atas uji materiil yang disampaikan oleh Komteve dan beberapa organisasi penyiaran lainnya, maka kewenangan membuat PP ada pada pemerintah. Dan untuk siapapun boleh memberikan masukan sepanjang pemerintah memerlukannya. Jadi sangat tidak logis kemudian ada pihak yang menolak dengan alasan tidak diajak bicara atau dimintai pendapat, dan bahkan mempersoalkan isinya di berbagai forum termasuk media massa. Seharusnya keberatan itu dari awal melalui mekanisme hukum yaitu uji materil ke Mahkamah Agung. Sayangnya hal itu dilakukan sangat terlambat setelah waktu dan energi dihabiskan untuk berpolemik diluar jalur hukum.
3. KERUGIAN INDUSTRI PENYIARAN ATAS KONFLIK BERKEPANJANGAN ANTARA KPI DAN PEMERINTAH :

Konflik berkepanjangan antara KPI dan Depkominfo lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat bagi industri penyiaran di tanah air. Apalagi konflik tersebut berada berputar pada masalah masalah yang tidak prinsipil sehingga terkesan lebih banyak berebut kekuasan dan kewenangan daripada menyangkut substansi pengaturan penyiaran.

Sebenarnya jika saja hukum dijadikan pijakan, maka tidak perlu terjadi konflik yang berkepanjangan. Berlarut larutnya persoalan kekuasan dan kewenangan ini karena UU nomor 32 Tahun 2002 dan aturan pelaksanaannya, dibawa ke tataran politis sehingga tidak ada acuan dalam adu pendapat dan argumentasi. Yang menjadi acuan hanyalah faktor kepentingan masing masing pihak yang berkonflik. Karena itu berbagai organisasi penyiaran termasuk Komteve yang bergabung dalam Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI) memberikan reaksi keras ketika KPI dan DPR menolak PP Penyiaran yang diterbitkan pemerintah sesuai kewenang konstitusionalnya.

Reaksi keras ini selain didasari sikap prihatin terhadap penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan juga karena kejengkelan kalangan industri penyiaran atas ketidakpedulian para pihak yang berkonflik akan akibat yang ditanggung industri penyiaran akibat konflik tersebut.

Beberapa kerugian tersebut antara lain :
1. ASPEK LEGALITAS DAN KEPASTIAN HUKUM

a. Izin Penyesuaian :


Konteks :
Penyesuaian izin penyiaran kepada televisi dan radio yang dilakukan Menteri Kominfo, tidak diakui oleh KPI. Padahal penyesuaian itu diperlukan untuk menyesuaikan dengan UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Khususnya bagi 10 stasiun televisi swasta nasional, penyesuaian itu diperlukan dalam rangka beralih ke Sistem Stasiun Berjaringan (SSB).

Akibat :
Karena KPI menolak PP Penyiaran maka tidak ada kepastian sistem penyiaran seperti apa yang menjadi acuan termasuk konsep stasiun jaringan (SSB). Pemerintah mengakui eksistensi televisi nasional ketika berubah menjadi SSB. Dilain pihak KPI menganggap bahwa segalanya harus dimulai dari nol termasuk saat televisi nasional berubah menjadi jaringan. Dengan demikian bagi televisi nasional tidak ada kepastian bahwa kanal frekuensi yang sudah dialokasikan sebelumnya untuk siaran, akan tetap teralokasi oleh KPI/KPID ketika beralih ke sistem stasiun jaringan. Padahal kepastian tetap teralokasi ini merupakan jaminan eksistensi masing masing stasiun televisi nasional yang jauh sebelum UU nomor 32 Tahun 2002 telah lahir. Dengan kata lain beralihnya televisi nasional ke sistem stasiun berjaringan bisa berakibat matinya bisnis penyiaran 10 stasiun televisi nasional.
b. Perpanjangan Izin

Konteks :
Sepanjang periode 1998 sampai dengan 2005 saat PP Penyiaran lahir, banyak sekali izin penyiaran terutama radio yang habis masa berlakunya. Mestinya sebelum habis masa berlaku, pemegang izin sudah mengajukan perpanjangan melalui mekanisme peraturan perundang undangan yang berlaku. Namun karena PP Penyiaran ditolak oleh KPI/KPID maka mekanisme perpanjangan izin penyiaran tidak dapat diimplementasikan.

Akibat :
Perpanjangan izin penyiaran tidak dapat dilakukan karena harus melalui KPI/KPID yang menolak PP Penyiaran. Akibatnya stasiun penyiaran yang izinnya habis tetap melaksanakan siaran dalam kondisi izin siaran yang telah habis masa berlakunya alias siaran tanpa izin. Secara hokum stasiun penyiaran sangat dirugikan dengan kondisi seperti ini karena salah satunya setiap saat bisa di sweeping oleh Balai Monitoring Frekuensi ataupun oleh aparat penegak hukum.

c. Pengajuan Izin Baru

Konteks :
Seperti halnya perpanjangan izin, pengajuan izin baru juga harus mengikuti UU nomor 32 Tahun 2002. Namun karena aturan pelaksanaannya (PP) di tolak oleh KPI/KPID maka pengajuan izin baru tidak dapat diproses.

Akibat :
Para pemohon yang telah mengikuti proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) oleh KPI/KPID tidak bisa berlanjut prosesnya ke pemerintah karena EDP tsb dianggap oleh pemerintah tidak diselenggarakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sebaliknya KPI/KPID menganggap sah aturan KPI dan tetap menolak PP Penyiaran. Akibatnya tidak satupun izin baru yang berhasil di terbitkan sampai saat masukan ini dibuat.

2. ASPEK WAKTU PENYESUAIAN KE UU NOMOR 32 TAHUN 2002

Konteks :
PP nomor 50 Tahun 2005 sebagai aturan pelaksanaan dari UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, memberikan batas waktu stasiun televisi nasional beralih menjadi Sistem Stasiun Berjaringan (SSB) paling lambat 28 Desember 2007. Namun akibat penolakan oleh KPI/KPID maka PP tersebut tidak bisa dijalankan karena proses beralih dari televisi nasional menjadi jaringan harus melalui dan atau melibatkan KPI/KPID.

Akibat :
Stasiun televisi nasional jelas akan kekurangan waktu karena tinggal tersisa sekitar 9 (sembilan) bulan saja. Waktu yang tersisa tersebut tidak cukup untuk membuat dan mengesahkan badan hukum Perseroan Terbatas (PT) sejumlah separuh dari jumlah propinsi jangkauan siarannya. Misalnya RCTI yang harus membuat dan mengesahkan kurang lebih 16 PT. Itu belum terhitung waktu untuk mencari mitra lokal dan membangun fasilitas studio, rekaman dan kantor di daerah.

3. ASPEK PERKEMBANGAN USAHA DAN PERTUMBUHAN INDUSTRI

Konteks :
Pengembangan usaha televisi memerlukan mitra dalam hal pendanaan misalnya. Namun setiap kali akan ada kerjasama atau transaksi maka selalu saja calon mitra mempertanyakan tentang konflik KPI dan Pemerintah serta akibat akibat yang akan timbul terhadap kerjasama yang direncanakan.

Akibat :
Calon mitra bisnis kebanyakan merasa tidak aman dengan situasi konflik KPI dan Pemerintah. Dan akibatnya banyak calon mitra yang mundur atau ragu ragu dalam bekerjasama.

4. ASPEK FOKUS BISNIS

Konteks :
Sebagai objek dari regulasi ataupun kewenangan yang diperebutkan antara KPI dan Pemerintah, mau tidak mau akhirnya industri penyiaran termasuk televisi masuk ke pusaran konflik.

Akibat :
Masuknya industri penyiaran kedalam konflik tersebut mengakibatkan terganggunya konsentrasi dalam menjalankan bisnis. Berkali kali diundang oleh DPR, Pemerintah maupun oleh KPI, sangat menyita nergi yang seharusnya didedikasikan untuk menjalankan bisnis penyiaran.

5. ASPEK PENCITRAAN

Konteks :
Pada dasarnya industri penyiaran akan patuh kepada peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini karena investasi sangat besar yang sudah dilakukan mengharuskan pebisnisnya untuk tidak berspekulasi dengan menabrak atau melanggarnya.

Akibat :
Namun justru kepatuhan ini secara politis dicitrakan kepada publik bahwa industri penyiaran itu pro kepada pemerintah, anti demokratisasi penyiaran, anti otonomi daerah, anti diversity of content, anti diversity of ownership dan lain lain yang negatif sehingga terkesan industri penyiaran adalah public enemy yang harus dimusnahkan.

6. ASPEK KONTEN/ISI SIARAN

Konteks :
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan KPI, menurut keputusan MK seharusnya berada dalam kerangka PP yang diterbitkan pemerintah. Namun kenyataannya P3SPS tersebut diterbitkan lebih dahulu dan diluar kerangka PP.

Akibat :
Dari sisi prosedur hukum, bila industri penyiaran mengabaikan P3SPS sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran karena status hukum P3SPS memang cacat hukum. Namun industri penyiaran selkalu mendapakan teguran pelanggaran isi siaran dari KPI yang menggunakan P3SPS sebagai acuan.

4. HARAPAN KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI :
Sehubungan akan diputusnya 2 gugatan KPI oleh Mahkamah Konstitusi (MK), perkenankan Komteve menyampaikan harapan sebagai berikut :
1. Kiranya MK dapat memberikan keputusan yang akan memberi kepastian hukum dan kepastian usaha bagi industri penyiaran nasional.
2. Dalam memutuskan siapa yang memberikan izin penyiaran (termasuk frekuensi) , selain mempertimbangkan kejelasan ketentuan UU 32 tahun 2002 seperti yang kami sampaikan, kiranya perlu juga dipertimbangkan kemampuan dalam menanganinya baik personil maupaun infrastruktur yang saat ini tersedia.
3. Dalam pertimbangannya, kiranya MK berkenan memberikan rekomendasi agar UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diamandemen atau diganti dengan UU Penyiaran yang baru.

Demikian tanggapan yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat bagi Bapak Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jakarta, 22 Maret 2007
KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA
Gilang Iskandar
Ketua


'''2. Kepada Direksi Stasiun Televisi & Menteri Kehakiman RI tanggal 2 Mei 2001'''
Dengan hormat,
Melalui surat ini, perkenankan kami menyampaikan beberapa informasi penting menyangkut proses pembahasan RUU Penyiaran :

1. Beberapa waktu yang lalu Komunitas Penyiaran Indonesia yang dimotori oleh Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menggagas suatu kegiatan yang diberi judul FORUM KAJIAN PENYIARAN RADIO DAN TELEVISI (FKRTV). Kegiatan ini telah berlangsung sebanyak 4 putaran dan telah menggelar 13 sessi dengan menampilkan 13 orang nara sumber, yaitu ;

a. Prof. Dr. Astrid Susanto, SH untuk aspek ilmu komunikasi
b. Prof.Dr. Jimly Assidhiqi, SH untuk aspek kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam hal penyiaran
c. Dr, Satya Arinanto untuk aspek hukum tata negara pertanggungjawaban badan negara
d. Ade Armando untuk aspek kepentingan publik dalam penyiaran
e. Drs. Ishadi Sk,Msc untuk aspek kontribusi televisi bagi peradaban manusia
f. Dr. Hermawan Sulistyo untuk aspek sosial politik dalam penyiaran
g. Brigadir Jenderal TNI Tono Suratman untuk aspek penyiaran dalam kepentingan pertahanan dan keamanan negara
h. Atif Latiful Hayat, SH,MH untuk aspek regulasi International Telecomunication Union (ITU)
i. Drs. Deddy Jamaludin Malik, Msc untuk aspek independence regulatory body ; tinjauan di wilayah Afrika, Eropa, Amerika dan Asia
j. Drs. Kabul Budiono untuk aspek radio publik
k. Dra. Erina Tobing untuk aspek televisi publik
l. Nenny Soemawinata untuk aspek globalisasi bisinis radio dan televisi
m. RTS. Masli untuk aspek kontribusi industri periklanan terhadap industri penyiaran radio dan televisi

2. Forum ini melakukan kajian terhadap pasal-pasal terkait RUU Penyiaran dari berbagai perspektif dengan nara sumber yang berkompeten di bidang masing-masing. Hasil dari FKRTV ini dalam jangka pendek diarahkan untuk segera memberi masukan kepada Pemerintah (c.q Menteri Perhubungan RI dan Menteri Kehakiman HAM) dan DPR RI dalam rangka pembahasan Tingkat II dan III RUU Penyiaran.

3. Jangka menengah dan panjang, hasil FKRTV ini diarahkan untuk merespons kecenderungan hasil pembahasan dan pengesahan RUU Penyiaran, dalam arti bila memang nantinya RUU Penyiaran disahkan dalam keadaaan isi seperti sekarang, maka hasil FKRTV kami jadikan bahan untuk memberi masukan ke pemerintah dalam menyusun Peraturan Pemerintah (PP) UU Penyiaran. Sedangkan jangka panjang, hasil FKRTV kami arahkan untuk membantu industri televisi dan atau KPI menyusun Pedoman Perilaku (Code Of Conduct) televisi sesuai amanat RUU Penyiaran pasal 34.

4. Dengan adanya sasaran jangka menengah dan panjang tersebut, FKRTV akan terus kami gulirkan, dan dalam waktu dekat akan dilanjutkan dengan kajian Pasal 26 mengenai bahasa siaran dan sulih suara. Dan dari putaran terdahulu, muncul usulan agar FKRTV tidak berhenti hanya sebatas kepentingan RUU Penyiaran, PP dan Pedoman Perilaku, tapi juga dapat berlanjut dengan mengkaji secara rutin berbagai persoalan lainnya dari penyiaran radio dan televisi.

5. Kami juga atasnama KOMTEVE dan PP PRSSNI khususnya dan atasnama seluruh komponen Komunitas Penyiaran Indonesia pada umumnya, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Direksi RCTI dan TPI, PD PRSSNI DKI Jaya beserta seluruh jajarannya yang telah membantu dengan memfasilitasi FKRTV.

6. Demi kepentingan semua pihak baik industri, pemerintah maupun publik, kami berharapkan agar semua kegiatan dan upaya yang mengarah pada penumbuhkembangan industri penyiaran Indonesia yang sehat dan kompetitif ditingkat lokal dan global, terus diberikan dukungan. Kamipun terbuka bagi siapa saja yang ingin memfasilitasi kegiatan FKRTV. Tidak ada pihak lain yang akan mendapatkan keuntungan dari upaya seperti ini kecuali industri penyiaran sendiri.

7. Satu hal yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian kita bersama adalah perlunya kekompakan antar komponen dan organisasi penyiaran dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti RUU Penyiaran ini. Kekompakan tidak lantas berarti semua gagasan dan pemikiran menjadi sama, namun paling tidak ada upaya eksplorasi suatu persoalan secara bersama. Jika nanti hasil ekplorasi itu menghasilkan gagasan dan pemikiran yang sama maka itu menjadi sangat baik. Namun bila belum, marilah kita munculkan kesamaan-kesamaan lebih dahulu, barulah kita eksplorasi lagi perbedaannya.

Terlampir kami sampaikan hasil dari Forum Kajian Penyiaran Radio dan Televisi putaranI-IV. Hasil ini juga kami sampaikan kepada Pemerintah dan DPR RI sebagai masukan penyempurnaan RUU Penyiaran.

Demikianlah hal ini kami sampaikan dan semoga bermanfaat. Terima kasih.

Hormat kami,
KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA

Gilang Iskandar / Sandi Juhanda
Ketua/Sekretaris


'''3. Masukan kepada DPR RI'''

BEBERAPA HAL YANG SECARA DETIL HARUS DIRUMUSKAN ATAU DICANTUMKAN DALAM PENYEMPURNAAN RUU PENYIARAN :

1. Solusi untuk stasiun TV yang saat ini sudah ada dan sudah siaran sehubungan dengan :

• Pasal 60 ayat 2 dikaitkan dengan Pasal 5, Pasal 8 ayat 3 a, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 ayat 5 (karena menyangkut stok program yang sudah ada di Library dan sudah dilakukan kontrak pembelian dari dalam dan luar negeri).

• Pasal 60 ayat 2 dikaitkan dengan Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat 4 (karena menyangkut jaringan siaran nasional tersentralisasi, kepemilikan silang, kepemilikan stasiun relai didaerah yang terpusat pada 1 perusahaan (PT), set up teknologi peralatan di masing-masing stasiun relai/daerah dan pusat seperti Pemancar, Antena dll, dan tidak diperpanjangnya izin karena habis masa berlaku).

• Pasal 60 ayat 2 berkaitan dengan Pasal 33 ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 8, ayat 9, ayat 10 (karena tidak semuanya dalam kontrol stasiun TV tapi terkait dengan industri lain seperti industri rokok, rumah produksi, biro iklan serta ketentuan lain diluar UU Penyiaran, seperti UU Periklanan, Kode Etik Periklanan, ketentuan bisnis siaran/program olahraga dan atau hiburan dari luar negeri seperti sepakbola/tinju dll).

• Pasal 60 ayat 2 berkaitan dengan Pasal 34, Pasal 36 ayat 2 (karena bila KPI baru berhasil menyelesaikan pedoman perilaku pada akhir tenggat waktu adaptasi UUP, maka bisa dipastikan semua stasiun TV akan melanggar ketentuan UU Penyiaran. Dan itu ada resiko saksi administratif dan pidana).

• Pasal 40 s/d Pasal 59 berkaitan dengan Pasal 36 ayat 2, Pasal 33 ayat 3,4,5,6,8,9,10, Pasal 32, Pasal 31, Pasal 30 ayat 2,3, Pasal 26 ayat 1,4,5, Pasal 25, Pasal 24, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 16, Pasal 15 ayat 2,4, Pasal 14 ayat 2, Pasal 8 ayat 2 a,b,d, Pasal 7 ayat 2, Pasal 6 ayat 3, Pasal 5, Pasal 14 ayat 1, Pasal 3, Pasal 2. (Karena pendeknya masa transisi dan tidak ada time table yang jelas kapan KPI menyelesaikan aturan, kebijakan, ketentuan penyiaran sesuai pasal2 tsb.


2. Perlu dicantumkan klausul dimana Lembaga Penyiaran dapat melakukan tindakan pembelaan secara hukum bilamana keputusan KPI merugikan Lembaga Penyiaran.

3. Perlu dikurangi jumlah ketentuan pasal pidana dan bobot sanksi agar dibuat lebih realistis dan proporsional untuk radio dan televisi.

4. Untuk hal-hal yang sudah diatur ( ketentuan kebijakan maupun sanksi ) pada UU atau peraturan perundangan lain, tidak usah lagi diatur dalam UU Penyiaran dan lebih baik mengacu kepada masing-masing UU atau peraturan perundangan tersebut.

5. Rumusan mekanisme atau prosedur pemberian sanksi atas pelanggaran UU Penyiaran dan aturan perundangan turunannya.

6. Tentukan dari kelompok / golongan mana ke 9 anggota KPI berasal dan perlu dicantumkan konfigurasi pencerminan unsur dari 9 orang tersebut.

Gilang Iskandar
Ketua

'''4. Masukan kepada Menteri Kominfo'''

MASUKAN PENYEMPURNAAN RUU PENYIARAN
UNTUK DAN PEMERINTAH DAN DPR RI

Disampaikan kepada Pemerintah c.q Menteri Negara Komunikasi & Informasi dan DPR RI melalui
Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI Tanggal 19 September 2002


Menyusul pernyataan KOMTEVE tanggal 16 September 2002 tentang RUU Penyiaran, maka dengan ini disampaikan masukan penyempurnaan sebagai berikut :

I. BATANG TUBUH RUU PENYIARAN ;

1. KOMISI PENYIARAN INDONESIA

A. Kerangka tugas/wewenang :
a. Sebagai pemberi izin berdasarkan peta frekuensi yang diberikan oleh pemerintah (Dephub)
b. Sebagai lembaga yang menetapkan “Broadcasting Standard” seperti Standar Program, Standar Teknologi, Standar SDM yang disusun dengan melibatkan kalangan industri televisi dan radio. Standar tersebut hanya merupakan pedoman yang berisikan DO dan DON’T bagi lembaga penyiaran. Dan KPI juga yang mengawasi pelaksanaannya. Bila ada pelanggaran maka KPI meberikan sanksi sesuai mekanisme dan kriteria pelanggaran temporary judgement seperti teguran tertulis.
c. Sebagai lembaga yang menangani “public complain” di bidang penyiaran yang memproses keluhan pemirsa/pendengar sedemikian rupa sampai pada pengajuan masalah ke pengadilan.

B. Mekanisme kontrol kerja KPI :
a. Menerapkan prinsip “rule making process” di mana ditentukan bahwa dalam membuat standar, maupun keputusan KPI harus melakukan tahap uji publik yang memungkinkan masyarakat memberi penilaian, masukan, kritik, tanggapan dll.
b. Dimungkinkan mekanisme banding oleh lembaga penyiaran terhadap keputusan yang dikeluarkan KPI melalui pengadilan. Dalam hal ini banding diluar sanksi.

C. Kerangka tugas dan wewenang KPI Daerah (jika tetap ada) :
a. Sebagai lembaga operasional penerapan standar program, teknologi, SDM yang ditetapkan oleh KPI Pusat.
b. Berdasarkan peta frekuensi yang diberikan oleh KPI Pusat, memberikan izin frekuensi.




D. Komposisi keanggotaan KPI :
a. Untuk pertama kali pada periode transisi sampai selesai masa kerja pertama, terdiri dari 3 unsur, yaitu Publik, Pemerintah dan Industri. Publik sebagai penikmat siaran, Pemerintah sebagai penyelengara pemerintahan dan industri sebagai pemilik sarana/prasarana/teknologi siaran. Hal ini merupakan kombinasi yang baik dari para stakeholder penyiaran tsb terutama dari sisi spesifikasi kapasitas, kapabilitas, keahlian SDM. Sangat riskan menyerahkan sesuatu urusan yang baru kepada yang bukan ahlinya.
b. Komposisi KPI Pusat (9 orang) terdiri dari 5 Publik, 2 industri, 2 pemerintah.
c. Komposisi KPI Daerah (7 orang) terdiri dari 3 publik, 2 industri, 2 pemerintah.


2. TELEVISI JARINGAN

A. Tinjauan Konseptual :

a. Televisi jaringan berasal dari Amerika Serikat pada awal tahun 50-an. Perusahaan telekomunikasi AT&T pada tahun 1951 berhasil menghubungkan Pantai Timur dan Pantai Barat Amerika Serikat dengan jaringan co-axial. Setahun kemudian FCC mengeluarkan ijin alokasi frekuensi bagi sekitar 1300 “communities” sebanyak 2000 channel dengan memanfaatkan 70 frekuensi UHF dan 12 VHF.
b. Definisi siaran “TV Network” : Program are transmitted from central television network, over the air, to affiliated local television stations, who broadcast over the air to local household at the same time
c. Mengacu dari definisi diatas maka ada tiga kata kunci yaitu : program, central television network dan affiliated local television stations.
d. TV jaringan di AS (NBC, ABC dan CBS) praktis menjangkau seluruh market (sekitar 200-an lebih) dan bersaing dengan jaringan TV baru (Fox, WB dan UPN) yang tengah memperluas jaringannya serta TV Publik PBS serta televisi lokal independen (tidak menjadi afiliasi dari TV Jaringan “Nasional”).
e. Sistem TV Jaringan di Inggris agak berbeda. Inggris memiliki lima channel nasional yang terdiri dari BBC1, BBC2, BBC3 (ITV), Channel 4 dan Channel 5. Sistem jaringan hanya untuk 3 channel.
f. Channel 3 secara garis besar terdiri dari stasiun lokal (yang berbeda di masing-masing kota), stasiun yang hanya siaran pagi (GMTV) dan khusus untuk London memiliki dua stasiun yang terdiri dari siaran pada hari kerja dan stasiun yang siaran hanya pada akhir pekan (London Week end Television). Kecuali GMTV (siaran dari pukul 6.00 sampai 9.30) kelima belas stasiun lokal tunduk pada penjadwalan yang dikelola oleh ITV Network Schedulling Center. Masing-masing stasiun lokal mendapat jatah untuk siaran berita lokal yang seragam waktunya dan beberapa jam di luar jam tayang utama untuk menyiarkan program lokal.

B. Realitas Saat Ini :

a. Di Indonesia belum ada tradisi TV Jaringan di kalangan TV Swasta jika mengacu kepada praktek di Amerika Serikat maupun di Inggris. Yang selama ini berlangsung adalah stasiun pusat menayangkan programnya melalui satelit kemudian dipancarluaskan oleh stasiun relay di daerah. Pada program-program tertentu dimungkinkan adanya iklan lokal dengan cara menyediakan satu jedah iklan khusus yang akan diisi oleh stasiun relay (local insertion).
Jadi saat sekarang ini secara teknologi sudah dimungkinkan untuk melakukan “siaran lokal”.
b. Pertanyaan yang lebih filosofis adalah gagasan apa yang melatarbelakangi pasal-pasal TV Jaringan ? Jika pertimbangannya adalah untuk mengurangi hal-hal yang dianggap “Jakarta Sentris”, hal ini dengan mudah bisa dihilangkan dengan membuat aturan, misalnya aturan untuk membuat program berita lokal (seperti yang sekarang dilakukan SCTV). Jika disepakati maka selanjutnya beri waktu bagi yang logis bagi lembaga penyiaran untuk menyiapkan infrastrukturnya.
c. TV swasta nasional yang sudah ada tidak usah lagi diharuskan jadi TV lokal dan membentuk jaringan. Konsekuensi bila TV Nasional dipaksa jadi lokal dan membentuk jaringan antara lain resiko bangkrutnya TV Nasional yang sudah ada karena biaya tinggi seperti dalam hal pajak (pajak berganda), biaya operasi, investasi dan resiko lahirnya pengangguran karena pengurangan SDM. Di lain pihak industri periklanan juga akan mengalami biaya tinggi karena penanganan promosi yang berbeda tiap stasiun dan tiap Semuanya akan menimbulkan kontraksi ekonomi dan sosial yang serius.
d. Stasiun baru yang nantinya muncul harus mengikuti standar baru yang berlaku.

3. PEMBATASAN RELAI SIARAN ASING

Sebaiknya diatur, bukan dibatasi sebab kata dibatasi menimbulkan konotasi ada pembatasan penyampaian konten. Pengaturan yang dimaksud misalnya tentang berapa banyak jumlah frekuensi penayangan perhari, slot waktu mana saja yang diperkenankan. Selama ini pendengar/pemirsa menikmati siaran asing misalnya berita karena memenuhi standar jurnalisme yang baik seperti cepat dan tepat (akurat itu soal lain)
Di lain pihak pembatasan potensial menimbulkan boikot dari lembaga penyiaran ybs yang merugikan pengembangan SDM lokal. Contoh untuk radio. Sejak tahun 70-an sudah besar biaya sosial yang dikorbankan lembaga penyiaran asing untuk pengembangan SDM lokal melalui pelatihan gratis seperti yang telah dilakukan oleh BBC, VOA dan Deutchwelle.

4. SANKSI

a. Jangan ada sanksi pencabutan/penghentian siaran.
b. Bila ada program acara bermasalah maka bukan acaranya yang dihentikan tapi dirubah saja jam tayang, konten, style, atau didenda
c. Ada perbedaan mekanisme yang tegas antara pemberian sanksi yang bersifat “Temporary Judgement” dan “ Final Judgement”. Yang temporary seperti teguran tertulis bisa langsung diberikan oleh KPI namun yang final seperti penghentian siaran harus melalui pengadilan.

5. PEMBEDAAN KETENTUAN UNTUK RADIO DAN TELEVISI

Dimulai dengan identifikasi karakteristik radio dan televisi sehingga bisa dibuat ketentuan yang berbeda menurut karakteristik masing masing. Sebagai contoh ; di radio masalah Hak Cipta tidak merupakan keharusan seperti di televisi. Juga soal sulih suara, pemberitahuan klasifikasi pemirsa/pendengar, kewajiban teks untuk acara yang hanya berlaku untuk televisi tapi tidak untuk radio.

II. ANALISIS PETA FREKUENSI DAN KEWENANGAN DAERAH ;

Diluar masukan diatas kami juga menyampaikan analisis tentang PETA FREKUENSI DAN KEWENANGAN DAERAH.

Menurut Komteve, terjadi kesalahan pendekatan konsep “otonomi daerah” yang dicangkokkan kedalam UU Penyiaran. Kesalahan pendekatan ini melahirkan kesalahpahaman pengaturan tatanan penyiaran, terutama berkaitan dengan pengertian “pasar” dan “kewenangan daerah” sebagai berikut :

a. Bahwa pemetaan frekuensi yang disusun berdasarkan wilayah administrasi kepemerintahan bertentangan dengan “pasar konsumen” yang besarannya tumbuh melintasi garis batas administrasi pemerintahan.
Pemetaan frekuensi berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan ini telah memotong-motong pasar menjadi satuan-satuan yang banyak namun kecil-kecil yang pada gilirannya tidak mampu mendukung besarnya nilai investasi penyiaran yang ditanam di dalam wilayah tersebut
b. Ketidakmampuan besaran pasar yang banyak namun kecil-kecil tersebut untuk mendukung investasi di bidang penyiaran akan menghasilkan efek negatif dalam hal :
1. Pemakaian teknologi penyiaran yang tidak memenuhi standar mutu teknis yang ditetapkan
2. Penurunan kualitas isi siaran
3. Ketidakmampuan untuk memenuhi durasi siaran yang telah ditentukan
c. Bahwa konsep “otonomi daerah” yang diterjemahkan secara salah lewat pendirian KPI Daerah telah melahirkan sistim kewenangan dan pengaturan yang terkotak-kotak dibidang penyiaran yang menimbulkan ekses sebagai berikut :
1. Kebijakan penyiaran yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain berkaitan dengan : standar mutu teknis, sensorship, perijinan, klasifikasi siaran dll.
2. Melahirkan birokrasi yang kompleks dan tidak efisien.
3. Memberi peluang biaya tinggi melalui sistim perpajakan yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain.

Jakarta 16 September 2002
Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar/Sandi Juhanda
Ketua/Sekretaris

'''5. MASUKAN KEPADA MENTERI PERHUBUNGAN'''
Jakarta, 4 April 2001

Kepada Yth.
Bapak Agum Gumelar, Menteri Perhubungan Republik Indonesia
di-JAKARTA

Dengan hormat,
Menyambung hasil pertemuan kami dengan Bapak hari Senin 2 April 2001 di ruang kerja Bapak bersama dengan rekan-rekan dari Pengurus Pusat PRSSNI, maka kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kami menyambut baik kesediaan Bapak untuk melibatkan kami dari Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) dan PRSSNI sebagai Counterpart Team dari pihak pemerintah dalam hal RUU Penyiaran. Kami anggap ini adalah sebagai tindak lanjut dari pertemuan kami dengan Bapak Menteri Perhubungan dan Bapak Presiden KH Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka tanggal 18 Januari 2001. Untuk keperluan itu maka KOMTEVE menyampaikan nama-nama sebagai berikut :
• Gilang Iskandar
• Patrick Kwatno
• Sandi Juhanda

2. Kami melihat adanya kontroversi RUU Penyiaran versi Inisiatif DPR RI antara lain karena tidak jelasnya KERANGKA DASAR RUU PENYIARAN yang dibuat. Sehingga tidak heran bila terkesan tambal sulam, dan apa yang disebut dengan Sistem Nasional Penyiaran sama sekali tidak tergambarkan. Untuk itulah kami menyampaikan masukan mengenai hal itu, dan mudah-mudahan dapat dijadikan salah satu acuan dari perumusan tanggapan pemerintah terhadap RUU Penyiaran produk DPR RI. Dilain pihak untuk membantu memetakan persoalan RUU Penyiaranproduk DPR RI, kamipun menyampaikan CONFLICT AREA dari materi RUU Penyiaran sebagaimana terlampir.

Demikianlah daftar nama dan masukan ini kami sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Hormat kami,

Gilang Iskandar
Ketua

6. '''MASUKAN KEPADA PEMERINTAH DAN DPR RI'''
Jakarta, 1 April 2002

No : 012/K/KOMTEVE/IV.02
Lampiran : Ada
Perihal : Masukan Ulang untuk RUU Penyiaran

Kepada Yth.,
1. Bapak Syamsul Muarif, Menteri Informasi & Komunikasi RI
2. Bapak Agum Gumelar, Menteri Perhubungan RI
3. Bapak Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman RI
4. Bapak Paulus Widiyanto, Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI
5. Bapak/Ibu Anggota Pansus Penyiaran DPR RI


Dengan hormat,
Menjelang dimulainya kembali pembahasan RUU Penyiaran di DPR RI dalam masa sidang di bulan Mei 2002 mendatang, terlampir kami sampaikan ulang sebagian dari masukan yang pernah kami sampaikan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan organisasi lain. Pada intinya kami tetap mengharapkan agar pemerintah dan DPR RI mampu melahirkan RUU Penyiaran yang aplikatif dalam arti isinya benar-benar realistis dan dapat diterapkan. Janganlah kiranya lahir UU Penyiaran yang nantinya hanya berperan sebagai landasan “bargaining” bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan kolusi dan korupsi. Karenanya sangat relevan agar dalam sistem penyiaran mendatang tidak ada lagi otoritas tunggal yang mengendalikan penyiaran. Seyogyanya peran publik, pemerintah dan industri penyiaran diatur dan diakomodir sedemikian rupa sehingga menjadi sinergis demi kebaikan bangsa Indonesia yang kita cintai ini.

Dalam memberi masukan RUU Penyiaran kepada Pemerintah dan DPR RI, Komteve dan PRSSNI telah melakukan kajian sungguh-sungguh antara lain dengan melakukan rangkaian Forum Kajian Radio dan Televisi (FKRT). Forum ini telah mengundang berbagai narasumber yang kompeten dalam perspektif sosial, politik, ekonomi, dan hankam. Dengan cara ini diharapkan masukan menjadi lebih objektif.

Kembali kepada cita-cita demi kebaikan bangsa Indonesia tadi, sudah selayaknya kita tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat teknis. Lebih baik kita dekatkan dulu cita-cita kita akan sistem penyiaran Indonesia yang kita inginkan & terumus dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas. Berdasarkan kesamaan cita-cita itulah, kita cari rumusan teknis/detilnya.

Mudah-mudahan dengan cara itu akan lahir UU Penyiaran yang aplikatif dan menjadi panduan yang dipatuhi dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak terkait.
Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Hormat kami,

Gilang Iskandar
Ketua


'''PERNYATAAN KOMTEVE'''

PERNYATAAN KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE)
TERHADAP PERKEMBANGAN TERAKHIR
RUU PENYIARAN DPR-RI

Sehubungan dengan perkembangan terakhir RUU Penyiaran maka Komunitas Televisi Indonesia menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengenai Komisi Penyiaran Indonesia ;
1. Menolak kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai badan yang membuat ketentuan siaran, mengawasi pelaksanaannya dan memberikan sanksi atas pelanggaran. Kewenangan seperti ini potensial menjadikan KPI bertindak represif terhadap lembaga penyiaran. (Pasal 8 ayat 2 )
2. Menolak adanya KPI Daerah karena potensial menimbulkan tumpang tindih kebijakan dengan KPI Pusat., terutama dalam pengaturan frekuensi. Hal ini karena kewenangannya tidak berbeda. Lebih parah lagi tidak ada hubungan fungsional maupun organisatoris antara KPI Daerah dan KPI Pusat. (Pasal 7 ayat 3 dan 4)
3. Menolak komposisi keanggotaan KPI karena sama sekali tidak mengikutsertakan prkatisi maupun industri penyiaran. (Pasal 10 ayat 1)
4. Menolak pasal 10 ayat 2 yang memberi peluang kepada pemerintah melakukan intervensi (baik Presiden maupun Gubernur) terhadap KPI.

2. Mengenai Televisi Jaringan (Pasal 20) ;
Meminta DPR RI maupun Pemerintah agar konsep TV Jaringan diperjelas sejelas jelasnya agar tidak menimbulkan multi interpretasi. (Pasal 20)

3. Mengenai Pembatasan Relai Pemberitaan dan Hiburan Asing (Pasal 27 ayat 2 dan 3) ;
Meminta DPR RI dan Pemerintah mencabut / membatalkan ayat tersebut karena bertentangan dengan prinsip kebebasan masyarakat untuk mendapatkan dan memperoleh informasi seperti yang dijamin oleh UUD 45 Amandemen ke 2 ayat 28 F.

4. Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 53) ;
Ayat ini membuka peluang kolusi dan korupsi dari pelaksana dilapangan karena memiliki kewenangan pemeriksaan orang, dan alat/perangkat siaran bahkan sampai pada tingkat menghentikan penggunaan alat/perangkat siaran.

5. Mengenai Sanksi (Pasal 52) ;
Meminta DPR RI dan Pemerintah mencabut/membatalkan pasal ini karena masih membuka peluang mencabut izin tanpa melalui mekanisme pengadilan dan tidak memberikan mekanisme bagi lembaga penyiaran untuk membela diri atas sanksi yang diberikan/dijatuhkan.

6. Mengenai ketidakjelasan perbedaan ketentuan untuk radio & televisi (Pasal 24 ayat 3, Pasal 26, Pasal 28 ayat 1) ;
Meminta DPR dan Pemerintah membedakan dengan tegas mana yang menjadi ketentuan untuk radio dan mana yang menjadi ketentuan untuk televisi karena medium radio hanya audio sedangkan televisi gabungan antara audio dan video.

Jakarta 16 September 2002
Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar/Sandi Juhanda
Ketua/Sekretaris



PERNYATAAN KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE)
TENTANG RUU PENYIARAN

Menjelang pengesahan RUU Penyiaran menjadi UU Penyiaran oleh DPR RI pada tanggal 25 November 2002, Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Menolak pengesahan RUU Penyiaran menjadi UU Penyiaran karena masih adanya pasal pasal dalam RUU Penyiaran yang bersifat represif dan mengancam kekebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berusaha dan kepentingan publik untuk mendapatkan aliran hiburan dan informasi yang seluas luasnya,.

Pasal pasal yang dimaksud adalah :
a. Pasal 8 ayat 2 (huruf b,c,d) tentang wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
b. Pasal 8 ayat 3 (huruf b,c) tentang tugas dan kewajiban KPI
c. Pasal 36 ayat 3 tentang larangan isi siaran iklan dikaitkan dengan sanksi pidana pada pasal 58 huruf d
d. Pasal 36 ayat 5 dan 6 tentang larangan isi siaran dikaitkan dengan sanksi pidana pada pasal 57 huruf d dan e
e. Pasal 46 ayat 4 tentang persyaratan siaran iklan oleh KPI
f. Pasal 47 tentang wajib sensor materi siaran oleh lembaga yang berwenang
g. Pasal 55 ayat 2 huruf c, e, f, g tentang sanksi administratif

2. Mendesak DPR RI untuk membatalkan pengesahan RUU Penyiaran tersebut menjadi UU Penyiaran pada sidang paripurna DPR RI.

3. Mendesak DPR RI segera merumuskan ulang RUU Penyiaran dan menghilangkan pasal pasal yang bersifat represif, mengancam, merugikan publik dan industri penyiaran televisi, sehingga nantinya DPR RI melahirkan UU Penyiaran yang bersifat mendorong tumbuh kembangnya industri televisi dan bukan sebaliknya.

Jakarta 24 November 2002

Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar
Ketua

'''RUU KMI'''
BEBERAPA CATATAN KOMTEVE TERHADAP RUU KEBEBASAN MENDAPATKAN INFORMASI
VERSI DPR VERSI PEMERINTAH CATATAN KOMTEVE
Hak & Kewajiban Pengguna Informasi
Ps. 4 ayat 3
Setiap orang di dalam mengajukan permintaan informasi publik tidak diwajibkan menyertakan alasan dari permintaan ini. Ps. 5
Dalam mengajukan permintaan atas informasi publik, pengguna informasi tidak diwajibkan menyertakan alasan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sebaiknya rumusan DPR yang digunakan, karena lebih tegas. Sedangkan rumusan pemerintah terkesan tidak tegas dan ragu-ragu, padahal UU harus memberi kepastian hukum.
Ps. 5
Pengguna informasi publik memiliki kewajiban untuk menjaga dan tidak melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ps. 7
Pemanfaatan informasi publik oleh pengguna informasi tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan. Kedua rumusan tersebut pada dasarnya bertentangan dengan kebebasan informasi itu sendiri. Karena itu pembatasan penggunaan/pemanfaatan informasi publik tidak perlu dicantumkan. Bila dianggap fitnah, biarkan proses hokum yang menangani dengan dasar a.l KUHP.
Hak & Kewajiban Badan Publik
Ps. 6 ayat 1
Badan publik berhak menolak informasi apabila informasi tersebut termasuk yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Ps. 11
Badan publik memiliki hak untuk menolak suatu permintaan informasi publik dalam hal:
a. informasi publik yang diminta belum dikuasai atau terdokumentasi oleh badan publik. Ketentuan menolak permintaan informasi seharusnya diatur dalam UU KMI dan tidak lagi mengacu kepada peraturan per-UUan lain. Dengan kata lain pasal “pengecualian” harus dibuat/dicantumkan secara jelas, dan tidak boleh multi interprestasi.
Ps. 15
Kewajiban badan publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya tiap-tiap badan publik. Seharusnya pernyataan keharusan menyediakan informasi publik harus secara jelas dinyatakan tanpa pengecualian-pengecualian. Dengan demikian jelas UU KMI mewajibkan badan publik untuk mengelola (termasuk mendokumentasikan) informasi publik yang dalam penguasaan/kewenangan.
Rincian lebih lanjut dari informasi publik yang termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut oleh pimpinan tiap-tiap badan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seharunsya UU KMI yang mengotorisasi bukan oleh pimpinan lembaga-lembaga publik. Karenanya ketentuan tentang hal ini harus diatur secara rinci.

'''RUU PENYIARAN MASUKAN DARI KOMTEVE'''
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN 2000
TENTANG
PENYIARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. Bahwa pada hakekatnya manusia harus dijamin kebebasannya untuk berekspresi dan kebebasannya untuk mengetahui.
b. Bahwa penyiaran mempunyai kemampuan dan p;engaruh dalam membentuk pendapat umum, sikap, perilaku manusia.
c. Bahwa penyiaran juga memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
d. Bahwa perkembangan yang ada menghendaki pengelolaan informasi melalui penyiaran dilaksanakan dan diawasi sendiri oleh masyarakat.
e. Bahwa Undang Undang No 24 tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat sehingga perlu diganti.
f. Bahwa untuk itu diperlukan Undang Undang Penyaiaran yang baru yang menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan untuk mengetahui, keragaman kepemilikan, keragaman isi siaran dan menjamin terselenggaranya dengan baik peran para pihak utama dalam penyiaran yaitu Pemerintah, Penyelenggara Penyiaran dan Publik.

Mengingat :

1. Pasal 21 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 (f), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 Undang Undang Dasar 1945 berikut amandemen pasal-pasal tersebut.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak-Hak Asasi Manusia.
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 1998 tentang Kepailitan.
5. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat.
6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
9. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
11. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman
12. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta jis Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Penyiaran adalah suatu kegiatan pemancaran melalui sarana gelombang frekuensi radio dengan menggunakan sarana pemancaran dan atau sarana transmisi terestrial di darat yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan pesawat penerima radio dan atau televisi.
2. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar yang berbentuk grafis, dan karakter-karakter yang dipancarkan melalui Gelombang Radio dengan atau tanpa alat bantu.
3. Sistem Penyiaran Nasional adalah tatanan penyiaran nasional berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.
4. Siaran Iklan adalah siaran informasi yang memperkenalkan, memasyarakatkan dan atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran dengan tujuan mempengaruhi konsumen atau khalayak sasaran agar menggunakan produk yang ditawarkan, yang disiarkan melalui Penyelenggaraan Penyiaran dengan imbalan.
5. Gelombang Radio adalah alur pita frekuensi yang bisa dilalui oleh getaran perubahan energi listrik ke energi magnetik melalui udara dari suatu alat tertentu, merupakan ranah publik dan sumber daya langka.
6. Siaran Terestrial, adalah sistem pemancaran melalui Gelombang Radio dengan menggunakan sarana transmisi di darat.
7. Lembaga penyiaran, adalah organisasi penyelenggara siaran, baik yang berbentuk Lembaga Penyiaran Publik maupun Lembaga Penyiaran Swasta, yang melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8. Komisi Nasional Penyiaran adalah Lembaga regulasi independen yang mengatur dan mengelola seluruh kegiatan penyelenggaraan penyiaran nasional.
9. Siaran Bersama adalah siaran langsung atau siaran tunda, yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh lembaga penyiaran negara dan lembaga penyiaran swasta atau oleh lembaga penyiaran swasta, yang dipancarkan dengan cara relay maupun pool melalui jaringan penyiaran masing-masing baik secara lokal, nasional maupun internasional.
10. Program adalah bagian dari siaran yang mencakup pesan yang ditata dalam suatu kesatuan dan ditujukan kepada pemirsa.
11. Siaran Iklan adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang, jasa gagasan atau cita-cita dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.
12. Siaran Iklan Niaga adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran atau calon konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan, yang disiarkan melalui lembaga penyiaran dengan imbalan.
13. Siaran Iklan Layanan Masyarakat adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan pemikiran, gagasan, harapan atau cita-cita, anjuran dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi pikiran maupun perilaku dari pemirsa yang dituju, yang disiarkan melalui lembaga penyiaran dengan atau tanpa imbalan, dan yang dirancang untuk tujuan sosial atau kepentingan umum.
14. Akuntabilitas adalah suatu kondisi dimana pertanggungjawaban harus diberikan.
15. Hak siar adalah hak untuk menyiarkan hasil dari suatu karya.


BAB II

DASAR, KEDUDUKAN, FUNGSI, TUJUAN DAN ARAH


Pasal 2

Penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi berdasarkan pada penciptaan dan pemeliharaan iklim kebebasan dan kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai cerminan dari kedaulatan rakyat, demokrasi, hak asasi manusia serta kesejahteraan rakyat, keadilan dan supremasi hukum.

Pasal 3

Kedudukan Penyiaran adalah strategis dalam arti memiliki potensi dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku manusia atau bangsa.

Pasal 4

Penyelenggaraan penyiaran berfungsi sebagai alat informasi, pendidikan, hiburan, dalam kerangka pengembangan kebudayaan, sosial, ekonomi nasional.
Pasal 5

Penyelenggaraan penyiaran bertujuan menyalurkan kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi, kepastian hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, keadilan sosial, perlindungan terhadap kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan masyarakat akan penyiaran, melalui ketertiban dan optimalisasi pemanfaatan penggunaan gelombang radio.

Pasal 6

Penyiaran diselenggarakan dengan arah untuk :
a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, supremasi hukum, hak asasi manusia, demokrasi dan ajaran agama.
b. mengembangkan dan membangun budaya nasional dan daerah serta identitas bangsa.
c. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah atas dasar keanekaragaman budaya.
d. meningkatkan ketahanan budaya dan moral bangsa.
e. melindungi kemerdekaan menyatakan pendapat.
f. meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong meningkatkan daya kritis dan kreatifitas masyarakat.
g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat dalam sektor penyiaran.
h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat.
i. mengembangkan penggunanaan teknologi penyiaran yang tepat guna.
j. Mengembangkan pembuatan program siaran yang mendidik, informatif, berkualitas dan bermanfaat bagi peningkatan daya cipta, rasa dan karsa masyarakat.
k. meningkatkan kemampuan finansial dan kemampuan bersaing industri penyiaran di Indonesia.


BAB III
KOMISI NASIONAL PENYIARAN

Bagian Pertama
Identitas

Pasal 7

1. Komisi Nasional Penyiaran (KNP) adalah badan regulasi penyiaran independen yang mengatur kepentingan publik, penyelenggara penyiaran dan pemerintah dalam hal penyiaran.
2. Komisi Nasional Penyiaran adalah Lembaga Negara.






Bagian Kedua
Sifat

Pasal 8

1. KNP adalah organisasi yang berskala nasional yang melingkupi seluruh industri penyiaran televisi dan radio.
2. KNP adalah organisasi yang mandiri dalam merencanakan, membuat, melaksanakan dan mengawasi kebijakan serta peraturan penyiaran.


Bagian Ketiga
Tujuan

Pasal 9
Menjamin penyiaran nasional dapat terselenggara dengan baik dimana kepentingan publik, penyelenggara penyiaran dan pemerintah dibidang penyiaran terlindungi.


Bagian Keempat
Fungsi

Pasal 10
KNP memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi integratif, yaitu : berperan sebagai wadah pemersatu aspirasi bagi para penyelenggara siaran, publik dan pemerintah.
2. Fungsi edukasi, yaitu berperan dalam membina etika dan profesionalisme penyelenggara penyiaran.
3. Fungsi mediasi, yaitu berperan sebagai penghubung antar berbagai kepentingan dari publik, industri penyiaran dan pemerintah.
4. Fungsi regulasi, yaitu berperan dalam penyusunan, penetapan, penerapan dan pengawasan kebijakan dan peraturan penyiaran.
5. Fungsi artikulasi, yaitu merekam persoalan-persoalan dan isu-isu penyiaran yang ada dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai agenda organisasi yang harus diselesaikan.


Bagian Kelima
Tugas

Pasal 11
1. Menjamin keanekaragaman mutu dan siaran.
2. Melakukan optimalisasi, distribusi, dan pengaturan penggunaan gelombang radio untuk penyiaran yang mampu mengantisipatif terhadap perkembangan konvergensi media penyiaran.
3. Melindungi hak publik untuk mengetahui.


4. Melindungi hak penyelenggara penyiaran untuk mengelola kegiatan penyiaran.
5. Melindungi hak pemerintah dibidang penyiaran.
6. Mengatur infra struktur bidang penyiaran dengan menyusun standar kinerja lembaga penyiaran dan produksi siaran.
7. Mengatur dan menciptakan iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran.
8. Menangani keberatan dan keluhan publik terhadap penyiaran.
9. Mendorong kesempatan usaha yang sehat, kompetitif, kreatif dan dinamis dalam rangka aktualisasi keahlian dan profesionalisme para insan penyiaran.
10. Melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi penyiaran atau terkait lainnya didalam maupun di luar negeri untuk melaksanakan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan aturan organisasi dan kebijakan umum organisasi.
11. Melakukan usaha-usaha lain yang sesuai dengan identitas dan sifat organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan.


Bagian Keenam
Wewenang

Pasal 12
KNP memiliki wewenang untuk memberikan tindakan administratif berupa teguran, peringatan tertulis, denda dan pencabutan izin setelah diputuskan oleh pengadilan, kepada lembaga penyiaran yang melanggar peraturan, ketentuan dan atau kebijkan penyiaran yang telah ditetapkan oleh KNP, serta peraturan perundangan terkait yang berlaku.


Bagian Ketujuh
Tanggungjawab
Pasal 13

KNP bertanggungjawab atas :
1. Terselenggaranya penyiaran yang baik, berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.
2. Dipatuhinya aturan, ketentuan, kebijakan dan peraturan perundang penyiaran.
3. Tumbuh dan berkembangnya industri penyiaran yang sehat, kompetitif, kreatif dan dinamis sekaligus melindungi kepentingan masyarakat luas.







Bagian Kedelapan
Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 14

1. KNP terdiri dari :
a. Dewan Komisi
b. Pengurus Harian
2. Dewan Komisi terdiri atas :
a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota
b. 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota.
c. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota
d. Sisanya sebagai anggota yang penugasannya disesuaikan dengan pembidangan kerja yang ditetapkan oleh Rapat Dewan Komisi
3. Anggota Dewan Komisi KNP adalah pribadi-pribadi yang memiliki keahlian – baik karena pendidikan atau karena pengalamannya – dalam bidang penyiaran, bidang penyusunan kebijakan, hukum, teknologi, jurnalisme dan bisnis, bisa dianggap layak untuk menduduki jabatan dan secara keseluruhan diharapkan dapat mewakili masyarakat Indonesia pada umumnya.
4. Anggota Dewan Komisi KNP bertugas selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali dengan ketentuan maksimal 2 kali masa jabatan.
5. Dalam pelaksanaan tugasnya Dewan Komisi dibantu oleh Pengurus Harian yang profesional.
6. Anggota Pengurus Harian adalah pegawai KNP yang terdiri dari orang-orang profesional di bidangnya yang direkrut dan digaji sesuai dengan ketentuan kepegawaian KNP.
7. Dewan Komisi KNP dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih dari anggotanya sendiri.
8. Pengurus Harian KNP dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif yang dipilih dari dan merangkap sebagai anggota Dewan Komisi
9. Pengurus Harian KNP dilengkapi badan-badan di bidang ; hukum, rekayasa teknologi, perencanaan kebijakan, perizinan, standar penyiaran, Penelitian dan pengembengan, kerjasama internasional, kehumasan, hubungan antar lembaga, penanganan keluhan.


Bagian Kesembilan
Keuangan Organisasi

Pasal 15

1. Biaya untuk pelaksanaan tugas KNP dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Setiap tahun KNP menyusun rancangan anggaran belanja tahun takwim berikutnya yang harus disampaikan kepada DPR dan Pemerintah bersamaan dengan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan.


3. Setelah berakhirnya tahun anggaran, KNP wajib menyusun laporan keuangan tahunan KNP dan menyampaikan laporan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dimulai pemeriksaan.
4. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut wajib disampaikan kepada DPR.
5. Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan khusus terhadap KNP atas permintaan DPR apabila diperlukan.


Bagian Kesepuluh
Akuntabilitas
Pasal 16

1. KNP wajib mempublikasikan secara transparan dan berkala seluruh pelaksanaan kegiatan dan laporan keuangan KNP kepada masyarakat.
2. KNP wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa pada setiap awal tahun anggaran yang memuat:
a. evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan penyiaran pada tahun sebelumnya
b. rencana kebijakan penyiaran untuk tahun yang akan datang.
3. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan juga secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
4. KNP wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR setiap 3 (tiga) bulan.
5. Dengan tidak mengurangi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KNP wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh DPR.
6. Jika diminta, sejauh berkaitan dengan tugas dan wewenang KNP, KNP dapat memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi nasional.


Bagian Kesebelas
Forum Pengambilan Keputusan

Pasal 17
Bentuk-bentuk forum pengambilan keputusan, adalah :
1. Rapat Pleno Dewan Komisi.
2. Rapat Luar Biasa Dewan Komisi
3. Rapat Kerja Dewan Komisi
4. Rapat Pimpinan Pengurus Harian
5. Rapat Pengurus Harian.




BAB IV
PENGATURAN FREKUENSI

Pasal 18

1. Departemen Teknis atau lembaga/ instansi pemerintah yang ditunjuk, wajib memberikan informasi kepada KNP mengenai pemetaan frekuensi radio atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keseluruhan perkara frekuensi untuk tujuan penyiaran.
2. KNP harus diberitahu terlebih dahulu mengenai usulan perubahan yang dilakukan terhadap rancangan pemetaan spektrum penyiaran, baik yang dilakukan oleh International Telecommunication Union (ITU) atau badan internasional lainnya, maupun yang dilakukan oleh penentu kebijakan mengenai hal itu di Indonesia.
3. KNP wajib dimintai pendapatnya serta berhak mengajukan rekomendasi berkaitan dengan perubahan rancangan pemetaan spektrum penyiaran.
4. KNP mengelola dan mengembangkan rancangan pendayagunaan frekuensi penyiaran untuk tujuan optimalisasi kemanfaatannya bagi masyarakat.
5. Dalam menyusun rancangan pendayagunaan frekuensi KNP harus memperhitungkan frekuensi yang telah dan akan digunakan oleh lembaga penyiaran dalam suatu peta lokasi frekuensi yang mampu memenuhi kebutuhan sistem penyiaran secara optimal.
6. Secara berkala KNP berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait untuk memperbaiki rancangan frekuensi penyiaran atas pertimbangan perkembangan teknologi serta perubahan yang berkembang didalam masyarakat.
7. KNP wajib memberitahukan kepada masyarakat secara terbuka rancangan pendayagunaan frekuensi penyiaran dan setiap perubahan yang dilakukan atasnya.
8. KNP harus mempertimbangkan peruntukan frekuensi lembaga penyiaran yang telah ada termasuk bagi TVRI dan RRI serta berhak mengajukan rekomendasi perubahan atas frekuensi tersebut sejauh ditujukan untuk kepentingan optimalisasi sistem penyiaran secara keseluruhan.


BAB V
PERIZINAN

Pasal 19

1. KNP bertanggungjawab atas pemberian izin dan pembaharuan izin serta menjamin agar pemegang izin tunduk kepada persyaratan perizinan yang berlaku.
2. KNP berwenang mencabut izin penyiaran melalui proses peradilan.
3. Lembaga Penyiaran harus memperoleh izin penyelenggaran penyiaran dari Komisi Nasional Penyiaran sebelum menyelenggarakan kegiatannya.


4. Izin penyelenggaraan penyiaran bagi radio dan televisi berlaku untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang.
5. Lembaga Penyiaran wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi radio.
6. Secara berkala KNP menentukan kompetisi untuk menerbitkan izin penyiaran swasta tambahan berdasarkan kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik serta rancangan frekuensi penyiaran, maupun berdasarkan kepentingan lembaga penyiaran yang potensial dengan memperhatikan iklim pertumbuhan industri yang sehat.
7. Bila dikeluarkan kebijakan adanya izin tambahan, maka KNP harus menerbitkan pengumuman mengenai hal tersebut. Pengumuman ini harus mencakup semua informasi yang terkait dengan perizinan yang akan diterbitkan, termasuk di dalamnya:
a. jumlah izin yang akan diterbitkan;
b. kategori penyiaran;
c. lokasi dan cakupan wilayah;
d. kekuatan pemancar dan persyaratan teknis lainnya;
e. band frekuensi yang diberikan untuk setiap izin yang akan diterbitkan; dan
f. proses penyerahan permohonan, termasuk biaya permohonan.
8. Apabila terdapat lebih dari satu permohonan atas sebuah izin, maka KNP harus memutuskan pemberian izin atas dasar persaingan yang sehat dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut:
a. Permintaan atas layanan yang diusulkan dan kebutuhan akan layanan tersebut, dan dengan memperhitungkan layanan penyiaran yang sudah ada dalam geografi terkait.
b. Kualitas tehnis dari layanan yang diusulkan dan kapasitas pemohon untuk memberikan layanan yang berkualitas.
c. Dampak pemberian izin atas layanan yang diusulkan terhadap monopoli dan kepemilikan silang.
d. Kemampuan profesional, finansial dan catatan prestasi bisnis dari pemohon.
9. KNP harus mendasarkan penilaian permohonan izin atas kebijakan penyiaran seperti yang telah diatur dalam pasal 2, 3, 4, 5, dan 6 dari Undang Undang ini.
10. Proses penilaian permohonan izin haruslah adil dan transparan.
11. Bila layak, KNP harus memperbolehkan pihak-pihak yang berkepentingan, di luar para pemohon, untuk mengajukan pendapat mereka dalam hal permohonan izin.
12. Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan.
13. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh perizinan diatur oleh Komisi Nasional Penyiaran.






BAB VI
LEMBAGA PENYIARAN

Bagian Pertama
Jasa Penyiaran

Pasal 20

1. Jasa Penyiaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat terdiri dari :
a. Jasa penyiaran radio ;
b. Jasa penyiaran televisi ;
c. Jasa penyiaran radio dan atau televisi berlangganan dan;
d. Jasa penyiaran lainnya
2. Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran.


Bagian Kedua
Lembaga Penyiaran

Pasal 21

Lembaga Penyiaran terdiri atas :
a. Lembaga Penyiaran Komersial
b. Lembaga Penyiaran Non Komersial.


Bagian Ketiga
Lembaga Penyiaran Komersial

Pasal 22

1. Lembaga Penyiaran Komersial, adalah lembaga penyiaran swasta baik berlangganan maupun tidak yang dipancarkan melalui pancaran terestrial maupun satelit.
2. Lembaga Penyiaran Swasta didirikan oleh warga negara atau badan hukum Indonesia.
3. Lembaga Penyiaran Swasta adalah Lembaga Penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya dapat menyelenggarakan penyiaran seperti yang dimaksud dalam pasal 19 ayat (1).

4. Warga Negara Asing dilarang menjadi pengurus lembaga penyiaran.
5. Lembaga Penyiaran Swasta didirikan dengan modal awal yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia
6. Struktur modal Lembaga Penyiaran Swasta memperhatikan dasar dan tujuan penyiaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

7. Penambahan dan pengembangan pemenuhan modal yang berasal dari modal asing dapat dilakukan sejauh tidak menjadi saham mayoritas dan/atau pemegang saham terbesar.
8. Penambahan dan pengembangan pemenuhan modal asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) di atas untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Pemilikan dan penguasaan Lembaga-lembaga Penyiaran Swasta yang mengarah pada pemusatan di satu orang atau di satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun antar wilayah siaran, dibatasi.
10. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi dengan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Perusahaan Media Cetak, dan antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi.
11. Kepemilikan silang usaha di bidang penyiaran baik langsung maupun tidak langsung, hanya boleh antara :
a. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio dengan 1 (satu) Perusahaan Pers; atau
b. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Perusahaan Pers; atau
c. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio dengan 1 (satu) Lembaga Penyelenggaran penyiaran Khusus; atau
d. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus; atau
e. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio; atau
f. 1 (satu) Lembaga Penyelenggara Siaran Berlangganan dengan 1 (satu) Perusahaan Pers.
12. Jumlah kepemilikan yang diperbolehkan terhadap bidang penyiaran yang sama dibatasi dengan mempertimbangkan:
a. Jangkauan Siaran
b. Wilayah Geografis
c. Jenis Mediumnya
13. Pengaturan lebih lanjut sebagaimana disebutkan pada ayat (8) diatas dilakukan oleh KNP
14. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta untuk jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi diperoleh dari siaran iklan dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
15. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta untuk jasa penyiaran radio dan atau jasa penyiaran televisi berlangganan diperoleh dari iuran pelanggan, dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran.
16. Lembaga Penyiaran wajib memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk memiliki saham atau bentuk kepemilikan lainnya dari modal perusahaan.




Bagian Keempat
Jenis-jenis Lembaga Penyiaran

Paragrap Pertama
Lembaga Penyiaran Non Komersial

Pasal 23

Lembaga Penyiaran Non Komersial terdiri atas :
1. Lembaga Penyiaran Publik
2. Lembaga Penyiaran Kependidikan.

Paragrap Kedua
Lembaga Penyiaran Publik

Pasal 24

1. Lembaga Penyiaran Publik adalah organisasi penyelenggara penyiaran yang dibentuk negara, bersifat nirlaba dan berfungsi sebagai pelayanan informasi bagi kepentingan publik.
2. Termasuk dalam pengertian pasal 23 ayat (1) tersebut diatas adalah Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Paragrap Ketiga
Lembaga Penyiaran Kependidikan

Pasal 25

Lembaga Penyiaran Kependidikan adalah organisasi penyelenggara penyiaran yang dibentuk oleh lembaga pendidikan yang bersifat nirlaba dan berfungsi sebagai informasi pendidikan bagi khalayak di wilayah lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Bagian Kelima
Lembaga Penyiaran Asing

Pasal 26

1. Lembaga Penyiaran Asing dilarang didirikan di Indonesia.
2. Lembaga Penyiaran Asing hanya boleh melakukan kegiatan siaran tidak tetap dan atau kegiatan jurnalistik di Indonesia dengan izin Komisi Nasional Penyiaran.
3. Lembaga Penyiaran Asing dan Kantor Berita Asing yang melakukan kegiatan jurnalistik baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam bentuk rekaman harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Lembaga Penyiaran Asing yang menggunakan fasilitas pemancaran dalam wilayah Republik Indonesia, harus melakukan koordinasi dengan KNP.




Bagian Keenam
Hubungan Antar Lembaga Penyiaran

Pasal 27

1. Lembaga penyiaran negara dan lembaga penyiaran swasta memiliki kedudukan yang setara dalam berhubungan dengan lembaga atau badan-badan baik didalam maupun diluar negeri.
2. Lembaga-lembaga penyiaran perlu menumbuhkan dan mengembangkan kerjasama serta iklim usaha yang sehat untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya persaingan yang dapat merugikan kepentingan pelayanan bagi masyarakat umum dan masyarakat industri penyiaran.
3. Dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), lembaga-lembaga penyiaran dan para praktisi penyiaran dapat membentuk wadah kerjasama lembaga dan wadah kerjasama profesi
4. Lembaga penyiaran melalui wadah kerjasama antar lembaganya wajib mengembangkan dan menetapkan standar klasifikasi kompetensi karyawan guna menentukan tingkat kompensasi minimum di dalam industri penyiaran.
5. Lembaga penyiaran perlu memperhatikan masukan dari kelompok kerjasama profesi dalam hal menyusun klasifikasi kompetensi.

Bagian Ketujuh
Wilayah Jangkauan Siaran

Pasal 28

1. Wilayah jangkauan siaran meliputi :
a. Stasiun penyiaran radio wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran nasional dan wilayah siaran lokal.
b. Stasiun penyiaran televisi wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran lokal, nasional, regional dan internasional.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jangkauan siaran ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran


Bagian Kedelapan
Modal, Pembiayaan Siaran, Monopoli, dan Kepailitan


Paragrap Pertama
Modal
Pasal 29

1. Lembaga Penyiaran Komersial didirikan dengan modal yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang seluruh modal sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.


2. Modal dasar Lembaga Penyiaran Komersial besarnya ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran
3. Pengalihan sebagian atau seluruh saham lembaga penyiaran harus diberitahukan kepada Komisi Nasional Penyiaran
4. Penambahan atau pemenuhan kebutuhan modal melalui pasar modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


Paragrap Kedua
Pembiayaan
Pasal 30

1. Pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Iuran penyiaran dan sumbangan masyarakat yang diatur Komisi Nasional Penyiaran.
2. Pembiayaan Lembaga Kependidikan bersumber dari lembaga pendidikan yang bersangkutan
3. Pembiayaan Lembaga Penyiaran Komersial bersumber dari siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan lpenyelenggaraan penyiaran sesuai ketentuan yang ditetapkan Komisi Nasional Penyiaran.
4. Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Kependidikan dilarang menyiarkan iklan.


Monopoli
Pasal 31

1. Kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran komersial yang terpusat di satu orang atau di satu badan hukum, baik antar wilayah penyiaran maupun di satu wilayah penyiaran tertentu dibatasi
2. Kepemilikan dan penguasaan silang antara lembaga penyiaran komersial televisi dengan lembaga penyiaran komersial radio, dan antara lembaga penyiaran komersial dengan perusahan media cetak baik langsung maupun tidak langsung dibatasi
3. Pembatasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran.


Kepailitan
Pasal 32

Ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) dikecualikan terhadap Undang-undang ini.



BAB VII
PELAKSANAAN SIARAN
Bagian Pertama
Sumber dan Isi Siaran
Pasal 33

1. Lembaga penyiaran wajib menyiarkan mata acara dalam negeri dengan porsi lebih besar dibanding mata acara dari luar negeri.
2. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan pada khalayak dengan menyiarkan acara pada waktu yang tepat.
3. Lembaga Penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi penonton sesuai dengan isi siaran.
4. Lembaga penyiaran wajib menjaga netralitas isi siaran dengan tidak mengutamakan kepentingan golongan tertentu saja.
5. Isi siaran yang bersifat fitnah atau bohong atau yang mengandung unsur sadisme, pornografi, perjudian dan yang mempertentangkan suku, agama , ras dan antar golongan (SARA), pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis, feodalistis, merendahkan martabat manusia, nilai keluarga, nilai pribadi, diskriminasi gender, dilarang.
6. Lembaga penyiaran berlangganan wajib memperhatikan perimbangan siaran asing dan siaran dalam negeri sebagai bagian dari siarannya dan menyediakan sekurang-kurangnya satu saluran untuk kepentingan masyarakat di wilayah operasinya.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan isi siaran diatur oleh KNP.


Bagian Kedua
Bahasa Siaran
Pasal 34

1. Lembaga Penyiaran mengutamakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar siaran.
2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara.
3. Mata acara berbahasa asing dapat disiarkan dengan bahasa aslinya dan diberi teks bahasa Indonesia atau disulih suarakan kedalam bahasa Indonesia.


Bagian Ketiga
Siaran Bersama
Pasal 35

1. Lembaga penyiaran dapat melakukan siaran bersama berdasarkan kesepakatan.
2. Siaran bersama dapat dilakukan dalam bentuk relay maupun pool yang dikoordinasikan oleh salah satu lembaga penyiaran.


Bagian Keempat
Kegiatan Jurnalistik
Pasal 36

1. Lembaga penyiaran mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, mengolah dan menyebarluaskan berita serta berhak melakukan kontrol sosial, kritik dan koreksi.
2. Dalam melaksanakan tugas kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran tunduk kepada Undang-undang Penyiaran.


Bagian Kelima
Hak Siar
Pasal 37

1. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar.
2. Kepemilikan hak siar seperti tercantum dalam ayat (1) harus dicantumkan secara jelas dalam mata acara.
3. Setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan undang-undang tentang hak cipta.

Bagian Keenam
R a l a t
Pasal 38

1. Lembaga Penyiaran harus melakukan ralat bila siarannya mengandung materi siaran yang tidak benar.
2. Ralat harus dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam, dan bila ini tidak memungkinkan untuk dilakukan, dalam kesempatan yang pertama serta mendapat perlakuan utama.
3. Ralat tidak menghapuskan tanggungjawab hukum lembaga penyiaran.


Bagian Ketujuh
Arsip
Pasal 39

1. Lembaga penyiaran diharuskan untuk menyimpan bahan siaran, termasuk di dalamnya adalah rekaman audio, rekaman video, foto dan dokumen, setidaknya 1 (satu) tahun setelah disiarkan.
2. Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah nasional atau internasional, atau nilai penyiaran yang tinggi harus diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya, sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.


Bagian Kedelapan
Sarana Teknik Siaran dan Jasa Tambahan
Pasal 40

1. Setiap lembaga penyiaran berhak menggunakan teknik penyiaran yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri.
2. Lembaga penyiaran dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dalam lingkup teknologi penyiaran.

Bagian Kesembilan
Sensor
Pasal 41

Terhadap[ materi yang akan disiarkan dilakukan sensor oleh lembaga penyiaran masing-masing dengan mengacu kepada pedoman perilaku ( code of conduct ) radio dan atau televisi yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran.

BAB VIII
SIARAN IKLAN

Pasal 42

1. Siaran Iklan terdiri dari siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat.
2. Materi iklan yang disiarkan menjadi tanggungjawab lembaga penyiaran bersangkutan.
3. Siaran iklan niaga dilarang melebihi 20% dari keseluruhan waktu siaran.
4. Siaran iklan layanan masyarakat wajib diberi porsi sekurang-kurangnya 10% dari waktu siaran iklan niaga.
5. Materi iklan niaga harus tunduk pada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.


BAB IX
PEDOMAN PERILAKU BAGI LEMBAGA PENYIARAN

Pasal 43

1. KNP menyusun pedoman perilaku bagi lembaga penyiaran yang bersumber kepada:
a. Nilai dan moral masyarakat.
b. Aturan main bersama yang berlaku dan disepakati antara lembaga penyiaran dan pihak-pihak lain yang berkepentingan
2. KNP wajib menerbitkan dan mensosialisasikan Pedoman Perilaku ini kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum.


3. Pedoman ini menentukan standard yang berkaitan dengan:
a. Penggolongan program dilakukan menurut usia pemirsa dan pendengar;
b. Penyiaran program dalam bahasa asing dan daerah;
c. Ketepatan dan kenetralan program berita;
d. Siaran langsung;
e. Siaran Iklan;
f. Penggambaran perilaku seks dan kekerasan;
g. Kesopanan;
h. Rasa hormat terhadap keluarga dan hal pribadi;
i. Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan dan;
j. Perlindungan anak-anak.
4. KNP secara berkala menilai ulang pedoman perilaku tersebut sesuai dengan perubahan perundang-undangan dan perkembangan masyarakat.


Pasal 44

1. KNP wajib memastikan pedoman perilaku ini dilaksanakan dengan baik oleh lembaga penyiaran.
2. Setiap orang yang mendapati lembaga penyiaran telah melanggar pedoman ini dapat mengajukan keluhan secara tertulis kepada KNP
3. Bila KNP menganggap bahwa suatu keluhan resmi menyangkut hal yang serius, maka KNP perlu menyelidiki hal ini lebih jauh lagi.
4. Sebagai bagian dari ayat (3) KNP memberikan salinan keluhan terhadap lembaga penyiaran termaksud dan memberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat bagi perseorangan yang mengajukan keluhan maupun lembaga penyiaran terkait.
5. Sesudah menyimpulkan suatu penyelidikan KNP memberitahukan keputusannya kepada perseorangan yang mengajukan keluhan maupun kepada lembaga penyiaran itu sendiri.
.

Pasal 45

1. Bila KNP membenarkan keluhan tersebut, maka KNP bisa memerintahkan lembaga penyiaran untuk membuat siaran atau menerbitkan pernyataan KNP yang berkaitan dengan keluhan itu.
2. Tunduknya lembaga penyiaran kepada pedoman perilaku adalah suatu keharusan bagi semua pemegang izin penyiaran.








BAB X
Perlindungan

Pasal 46

Lembaga penyiaran dapat mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan terhadap keputusan KNP yang secara langsung berdampak terhadap kepentingannya.


BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 47

1. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk ikut serta dalam memperbaiki, mengembangkan penyiaran nasional, memantau kebijakan penyiaran dan pelaksanaannya.
2. Keikutsertaan seperti yang dinyatakan ayat (1) ini dapat dilakukan melalui :
a. Kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga penyiaran dan pemirsa.
b. Usulan dan konsep yang berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan kualitas penyiaran.
c. Lembaga swadaya masyarakat untuk memantau dan berkampanye dalam kaitannya dengan penyiaran, dan atau melakukan kegiatan lainnya.
3. Usulan-usulan kepada KNP yang merujuk kepada ayat (1) tersebut diatas.


BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA

Bagian Pertama
Sanksi Administratif

Pasal 48

(1) KNP mengenakan sanksi administratif kepada publik atau pemerintah atau penyelenggara penyiaran atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU ini: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 22 ayat (2), (3), (4), (5), (7), (9), (10), (11), (14), (15), (16); Pasal 26 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 27 ayat (4), (5); Pasal 29 ayat (1), (3), (4); Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 31 ayat (1), (2); Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6); Pasal 34 ayat (1), (2), (3); Pasal 37 ayat (1), (2); Pasal 38 ayat (1), (2); Pasal 39 ayat (1), (2); Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) dapat berupa:
a. Peringatan tertulis.
b. Denda


c. Pencabutan / pembatalan materi program bermasalah.
d. Pencabutan izin penyelenggaran siaran berdasarkan keputusan pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh KNP.


Bagian Kedua
Ketentuan Pidana

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) tahun dan atau sekurang-kurangnya Rp 700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah):
1. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan melalui radio dan televisi, hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan atau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (4), (5) atau
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan melalui radio dan televisi, hal-hal yang mengungkapkan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (5).

Pasal 50

Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 51

Barangsiapa dengan sengaja memindahtangankan izin penyelenggaraan siaran, sebagaimana dimaksud dalam pasal: 19 ayat (12) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).


Pasal 52

Barangsiapa dengan sengaja mendirikan lembaga penyiaran asing sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).




Pasal 53

Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum, melakukan tindkan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 54

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar hak cipta penyiaran, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 37 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja memperluas wilayah jangkauan siarannya melebihi ketentuan yang tercantum dalam izin yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55

Atas perintah pengadilan, maka setiap rekaman audio atau audio visual dan setiap peralatan yang digunakan untuk melanggar pasal 3 ayat (4) dan (5) dapat disita atau dimusnahkan.


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 56

Ketentuan pasal 117 ayat 1 huruf a undang-undang nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas (lembaran negara Republik Indonesia tahun 1995, nomor 13 dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 3587) dikecualikan terhadap undang-undang ini.

Pasal 57

1. Dengan berlakunya undang-undang ini, segala peraturan dibidang penyiaran yang berlaku serta badan atau lembaga yang telah ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
3. Lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah undang undang ini diberlakukan.


3. KNP selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah diundangkannya undang-undang ini harus sudah dibentuk.
4. Pemerintah wajib membuat penyesuaian terhadap lembaga atau departemen yang berkaitan dengan kegiatan penyiaran dalam waktu 1 (satu) tahun sesudah diberlakukannya undang-undang ini.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Dengan berlakunya undang-undang ini, undang-undang nomor 24 tahun 1997 tentang penyiaran (lembaran negara Republik Indonesia tahun 1997, nomor 72 dan tambahan lembaran negara nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 59

Undang-undang mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Diundangkan Disahkan
Pada tanggal ....... 2000 Pada tanggal .… 2000
SEKRETARIS NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA




Djohan Effendi KH Abdurrahman Wahid



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR ……





]


PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR …… TAHUN 2000
TENTANG
PENYIARAN


I. Umum
Pada hakekatnya manusia adalah makhluk monodualis (makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial) yang konsekuensinya setiap manusia membutuhkan bersentuhan, berinteraksi dengan manusia lainnya untuk memanusiakan dirinya artinya membentuk dan meningkatkan harkat dan martabatnya.

Bertolak dari hakekat manusia itu yang sekaligus cita hukum yang sarat dengan nilai-nilai dan berfungsi konstitutif (membentuk keabsahan substansi sebagai hukum) dan fungsi regulatif (menentukan nilai keadilan) Undang-Undang Dasar 1945 berikut perubahannya telah menjabarkannya ke dalam Pasal 28 f yang berbunyi: “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Selain itu kecenderungan domestik atau nasional dan internasional menunjukkan arah ditegakkannya asas demokrasi/kedaulatan rakyat, asas penegakan hak dan kewajiban asasi manusia dan asas supremasi hukum yang harus ditampung dalam pengaturan mengenai penyiaran yang baru, guna menggantikan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran yang dirasa sudah usang atau tidak memadai.

Pengaturan penyiaran diperlukan karena strategis, kedudukannya dalam hidup dan kehidupan manusia sebagai pribadi atau perorangan maupun sebagai bangsa, ditunjang fungsi dan tujuan serta arahnya. Karenanya pula pengaturan itu harus memberikan perlindungan kepada penyelenggara penyiaran dan publik atau masyarakat disamping memungkinkan pengembangan diri penyelenggara penyiaran.

Pengaturan penyiaran pada akhirnya juga diharapkan memberikan kontribusi kepada bangsa untuk menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga integritas teritorial, menjaga kepribadian bangsa dan menjaga kehormatan bangsa, yang bermuara kepada ketahanan nasional yaitu kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan untuk meningkatkan kekuatan sosial menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri yang mengganggu tercapainya tujuan nasional, mengisi kemerdekaan yang pandu cita-cita nasional.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Penyiaran yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, hanya yang pemancarannya melalui gelombang radio sebagai ranah publik, tidak dimasukkan siaran yang disalurkan melalui kabel, dan serat optik. Kabel dan serat optik merupakan media yang bukan ranah publik, karena pemiliknya bisa terdiri atas beberapa instansi atau perorangan.
Penyiaran juga mencakup kegiatan penyelenggaraan penyiaran dan publiknya sebagai satu proses yang terjadi di masyarakat.

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Gelombang radio yang tersedia secara terbatas, penggunaan dan manfaatnya harus dikuasai oleh negara dan bukan dimiliki oleh negara

Pasal 8
Komisi Penyiaran yang independen dan bersifat nasional itu ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Pasal 9
Cukup jelas

Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Untuk penyelenggaraan organisasi Dewan Komisi Penyiaran hanya dibatasi maksimum dua kali masa jabatan dengan masing-masing selama tiga tahun.

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Penggantian antar waktu Dewan Komisi Penyiaran atas usul DPR-RI kepada Presiden, setelah memperoleh masukan dari kelompok kepentingan di dalam masyarakat yang berkaitan dengan penyiaran dan lembaga penyiaran. Hal ini guna menghindari diperpolitisirnya Komisi Penyiaran.

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Tingkat-tingkat pemindahan ini dimaksudkan untuk pengembangan dan perlindungan bagi lembaga penyiaran masyarakat/publik.

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Penyiaran adalah pemancaran siaran yang menggunakan gelombang radio ke udara melalui transmisi teresterial.

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Yang dimaksud berbentuk badan hukum Indonesia adalah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.

Pasal 26
Mengingat penyelenggaraan penyiaran berkedudukan strategis, yang mempengaruhi ketahanan nasional dalam pencapaian tujuan nasional maka penyertaan modal dan tenaga asing perlu pengaturan khusus.

Pasal 27
Perlu dicegah monopoli baik dalam hal pemilikan maupun dalam hal pemirsa / pendengar (audience).

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Baik instansi maupun perorangan dalam penyelenggaraan penyiaran memiliki tanggung jawab baik secara organisatoris maupun secara hukum.

Pasal 32
Perlu ditentukan antisipasi frekuensi kegiatan siaran tidak hanya untuk setiap minggu/ bulan/tahun dalam komisi penyiaran.

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Disini dibedakan antara tata krama penyiaran bagi lembaga penyiaran dan kode etik siaran penyiaran bagi insan / perorangan yang melakukan penyiaran.

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas


Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR ……

Revisi per 14 November 2007 12.28

KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE) oleh : Gilang Iskandar/Ketua Komteve

PROFIL SINGKAT Komunitas Televisi Indonesia disingkat KOMTEVE adalah organisasi yang memberikan gagasan, advokasi, dan pemecahan bagi masalah-masalah penyiaran televisi. Bersifat terbuka, independen dalam merencanakan, membuat, dan melaksanakan program kerjanya. Didirikan di Jakarta, 14 Februari 2000. Pendirian Komteve dilatar-belakangi adanya semangat kebebasan berserikat dan berpendapat serta penting dan strategisnya fungsi dan kedudukan media televise.

Maksud dan tujuan didirikannya komteve adalah sebagai wadah insan praktisi & profesional industri penyiaran televisi, insan praktisi & profesional industri terkait dengan industri televisi dan atau anggota masyarakat yang peduli kepada industri penyiaran televisi baik yang menyangkut aspek legal, isi, etis/etika, teknologi maupun kepentingan sumber daya manusia penyiaran televisi dan kepentingan masyarakat dalam hal industri penyiaran televise.

KOMTEVE juga memiliki fungsi sebagai mitra bagi industri televisi dan masyarakat dalam melahirkan dan memelihara penyiaran televisi yang profesional, sehat dan kompetitif. Hal ini diwujudkan dalam aktifitas berupa :

1. Melakukan pengkajian dan memberikan rekomendasi kepada para pihak terkait, tentang : a. Kebijakan dan regulasi penyiaran televisi b. Program dan atau komersial penyiaran televisi c. Teknologi penyiaran televisi d. Sumberdaya manusia industri penyiaran televisi 2. Melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan organisasi

Diharapkan kehadiran Komteve memberi sumbangsih yang bernilai tinggi bagi perkembangan industri penyiaran Indonesia yang saat ini sedang berkembang dengan pesat.


SEJARAH KELAHIRAN Proses kelahiran UU nomor 32/2002 tentang Penyiaran memakan banyak sumberdaya baik waktu, tenaga dan biaya. Semua pihak baik DPR, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Profesi dan Individu yang punya perhatian kepada penyiaran, mencurahkan segenap sumberdaya yang dimiliki untuk Rancangan Undang Undang Penyiaran (RUUP). Satu hal yang sangat menonjol dalam proses pembahasan RUU tersebut adalah kentalnya nuansa politik. Sementara hal hal yang berkait dengan teknis penyiaran nyaris tidak pernah diperdebatkan. Nuansa politik tersebut berawal dari niat untuk melakukan “diversity of content (DOC)” dan “diversity of ownership (DOO)”. DOC dan DOO ini dilakukan sebagai koreksi atas apa yang di persepsikan sebagai monopoli informasi/acara dan monopoli kepemilikan stasiun terutama televise oleh sekelompok orang. DOC dan DOO ini di kaitkan dengan semangat otonomi daerah atau desentraliasi yang menjadi antitesa dari sentralisasi siaran dari Jakarta.

Sebagai sebuah semangat DOC dan DOO adalah sesuatu yang baik, namun ketika diterjemahkan kedalam pasal pasal RUUP maka terjadi kontroversi yang luar biasa hebat. Misalnya dalam hal DOC dan DOO ; para inisiator RUUP menterjemahkankannya dengan menghapuskan televise dan radio yang bersiaran nasional diluar TVRI. Hal ini mengundang resistensi dari praktisi industri televise dan radio. Ditengah suasana kontroversi tersebut Forum Televisi Swasta (yang kemudian menjadi Asosiasi Televisi Siaran Indonesia dan kini menjadi Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) membentuk Tim Penanganan RUU Penyiaran TV Swasta. Tim ini kemudian dikenal dengan sebutan Tim 13 karena terdiri dari 13 orang yaitu : Asaf Antariksa dan Indria Purnama dari Indosiar, Gilang Iskandar dan Moko Pamungkas dari Anteve, Helmi Johanes, Murdjadi Ichsan dan Sandi Juhanda dari RCTI, Riza Primadi, Harianto dan Edward Koemoro dari SCTV, Haris Jauhari, Dwi Roosdiyanto dan Erlan Hidayat dari TPI. Tim 13 ini bekerja sampai lahirnya RUUP versi televisi swasta.

Dalam perjalanan selanjutnya, ke 13 orang ini melihat bahwa pembahasan RUUP kurang diwarnai oleh masukan dari industri penyiaran televisi. Karena tim 13 sudah tidak ada lagi, maka pada tanggal 14 Februari 2000 di deklarasikanlah Komunitas Televisi Indonesia atau disingkat KOMTEVE oleh 13 orang mantan tim 13 untuk melanjutkan upaya “mewarnai” pembahasan RUUP oleh praktisi penyiaran televisi.

ORGANISASI DAN STRUKTUR KEPENGURUSAN a. Organisasi terdiri dari : - Dewan Pendiri - Pengurus Harian b. Struktur : - Ketua - Sekretaris - Bendahara - Analis Bidang Kebijakan & Regulasi Penyiaran - Analis Bidang Program, Iklan, Teknologi dan Sumberdaya Manusia - Dewan Pendiri

LOGO DAN MAKNA Logo KOMTEVE adalah : 1. Penggambaran (visualisasi) nya adalah sebagai berikut :


2. Makna dari logo tersebut adalah sebagai berikut : a. Stilasi tulisan KOMTEVE berwarna putih diatas dasar warna biru menggambarkan jati diri KOMTEVE yang bersifat terbuka, jujur, dan selalu berada diatas kebenaran. b. Dibawahnya ditulis kalimat Komunitas Televisi dalam bahasa Indonesia dan Indonesian Television Community dalam bahasa Inggris dengan warna hitam diatas dasar putih adalah penegasan jati diri dan identitas KOMTEVE sebagai organisasi dari insan komunitas televisi Indonesia yaitu praktisi/profesional televisi, insan industri terkait, maupun pemerhati televisi.

MASUKAN KOMTEVE TERKAIT REGULASI PENYIARAN

1. Kepada Mahkamah Konstitusi MASUKAN KOMUNITAS PENYIARAN INDONESIA (KOMTEVE) KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ATAS GUGATAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA TERHADAP UU NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN DAN SENGKETA LEMBAGA NEGARA

Terhadap pengajuan uji materiil UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan uji sengketa antar lembaga negara oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada Mahkamah Konstitusi, Komteve memberikan tanggapan sebagai berikut :

1. TENTANG KEWENANGAN MEMBERIKAN IZIN PENYELENGGARAAN PENYIARAN :

Inti dari konflik itu adalah soal siapa yang berhak memberikan izin penyiaran termasuk di dalamnya izin frekuensi. KPI bersikukuh bahwa berdasarkan UU nomor 32 Tahun 2002 hal itu adalah kewenangannya. Sebaliknya Depkominfo merasa hal itu adalah kewenangannya. Jika betul betul dicermati UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, konflik kewenangan itu sebenarnya tidak perlu terjadi.

Berikut analisis pasal pasal terkait dari UU nomor 32 Tahun 2002 : Pasal 7 ayat (2) : KPI sebagai lembaga Negara yang bersifat independen mengatur hal hal mengenai penyiaran. Dari bunyi pasal ini terlihat kekuasaan dan kewenangan KPI begitu besar, karena apapun yang menyangkut penyiaran pengaturannya menjadi urusan KPI. Namun pasal ini sebenarnya diperjelas dan dilimitasi oleh pasal 8 ayat (1),(2) dan (3). Dalam pasal dan ayat tersebut jelas sekali apa fungsi, wewenang , tugas dan kewajiban KPI. Intisari isi pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) tersebut adalah :

1. Fungsi KPI adalah mewadahi dan mewakili masyarakat melalui kewenangan, tugas dan kewajiban KPI. 2. Kewenangan KPI adalah : - mengatur, mengawasi isi siaran - koordinasi/kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat 3. Tugas dan kewajiban KPI adalah : - menjamin public right to know - ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran - ikut membangun kompetisi yang sehat - memelihara tatanan infromasi - public complain handling - menyusun perencanaan SDM Penyiaran

Dari isi pasal ini jelas sekali terlihat titik berat kewenangan KPI adalah tunggal yaitu menyangkut isi siaran. Itupun dalam konteks bekerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat.

Lalu dimana konteksnya pasal 33 ayat (5) yang menyebutkan secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI terkait dengan pasal 8 ayat (1),(2) dan (3) tersebut diatas ?

Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) yang didalamnya termasuk izin frekuensi, merupakan salah satu infrastruktur penyiaran. Dan yang menyangkut infrastruktur penyiaran ini tercantum dalam tugas dan kewajiban KPI yaitu ikut membantu pengaturan infrastruktur penyiaran. Seperti apa peran “ikut membantu” ini sebenarnya sudah di perjelas dalam pasal 33 ayat (4) yaitu : - melakukan Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) dengan pemohon izin - memberikan rekomendasi kelayakan kepada pemohon - mengusulkan izin alokasi dan penggunaan spectrum frekuensi radio (frekuensi) untuk pemohon kepada pemerintah - mengikuti forum rapat bersama perizinan dengan pemerintah

Dari uraian tersebut diatas, sebenarnya tidak ada alasan bagi KPI dan Pemerintah/Depkominfo untuk berkonflik menyangkut kewenangan menerbitkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran. Dipisahkannya kata “Negara” dan KPI menegaskan tugas dan kewajiban KPI dalam “ikut membantu” pengaturan infrastruktur penyiaran. Dengan kata lain memang KPI bukan yang menerbitkan izin karena KPI hanya berperan sebagai “ikut membantu”. Mengingat dalam UU 32 Tahun 2002 hanya ada kata Negara dan KPI maka konkritisasi “negara” sebagai eksekutor adalah pemerintah.

2. TENTANG KEWENANGAN MEMBUAT PERATURAN PEMERINTAH :

Terhadap uji materil tentang kewenangan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) yang juga diajukan oleh KPI, Komteve berpendapat sebaiknya kembali saja ke putusan Mahkamah Konstitusi Perkara. Sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 005/PUU-I/2003 atas uji materiil yang disampaikan oleh Komteve dan beberapa organisasi penyiaran lainnya, maka kewenangan membuat PP ada pada pemerintah. Dan untuk siapapun boleh memberikan masukan sepanjang pemerintah memerlukannya. Jadi sangat tidak logis kemudian ada pihak yang menolak dengan alasan tidak diajak bicara atau dimintai pendapat, dan bahkan mempersoalkan isinya di berbagai forum termasuk media massa. Seharusnya keberatan itu dari awal melalui mekanisme hukum yaitu uji materil ke Mahkamah Agung. Sayangnya hal itu dilakukan sangat terlambat setelah waktu dan energi dihabiskan untuk berpolemik diluar jalur hukum.

3. KERUGIAN INDUSTRI PENYIARAN ATAS KONFLIK BERKEPANJANGAN ANTARA KPI DAN PEMERINTAH :

Konflik berkepanjangan antara KPI dan Depkominfo lebih banyak membawa mudarat daripada manfaat bagi industri penyiaran di tanah air. Apalagi konflik tersebut berada berputar pada masalah masalah yang tidak prinsipil sehingga terkesan lebih banyak berebut kekuasan dan kewenangan daripada menyangkut substansi pengaturan penyiaran.

Sebenarnya jika saja hukum dijadikan pijakan, maka tidak perlu terjadi konflik yang berkepanjangan. Berlarut larutnya persoalan kekuasan dan kewenangan ini karena UU nomor 32 Tahun 2002 dan aturan pelaksanaannya, dibawa ke tataran politis sehingga tidak ada acuan dalam adu pendapat dan argumentasi. Yang menjadi acuan hanyalah faktor kepentingan masing masing pihak yang berkonflik. Karena itu berbagai organisasi penyiaran termasuk Komteve yang bergabung dalam Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI) memberikan reaksi keras ketika KPI dan DPR menolak PP Penyiaran yang diterbitkan pemerintah sesuai kewenang konstitusionalnya.

Reaksi keras ini selain didasari sikap prihatin terhadap penyelenggaraan kehidupan ketatanegaraan juga karena kejengkelan kalangan industri penyiaran atas ketidakpedulian para pihak yang berkonflik akan akibat yang ditanggung industri penyiaran akibat konflik tersebut.

Beberapa kerugian tersebut antara lain :

1. ASPEK LEGALITAS DAN KEPASTIAN HUKUM

a. Izin Penyesuaian :


Konteks : Penyesuaian izin penyiaran kepada televisi dan radio yang dilakukan Menteri Kominfo, tidak diakui oleh KPI. Padahal penyesuaian itu diperlukan untuk menyesuaikan dengan UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Khususnya bagi 10 stasiun televisi swasta nasional, penyesuaian itu diperlukan dalam rangka beralih ke Sistem Stasiun Berjaringan (SSB).

Akibat : Karena KPI menolak PP Penyiaran maka tidak ada kepastian sistem penyiaran seperti apa yang menjadi acuan termasuk konsep stasiun jaringan (SSB). Pemerintah mengakui eksistensi televisi nasional ketika berubah menjadi SSB. Dilain pihak KPI menganggap bahwa segalanya harus dimulai dari nol termasuk saat televisi nasional berubah menjadi jaringan. Dengan demikian bagi televisi nasional tidak ada kepastian bahwa kanal frekuensi yang sudah dialokasikan sebelumnya untuk siaran, akan tetap teralokasi oleh KPI/KPID ketika beralih ke sistem stasiun jaringan. Padahal kepastian tetap teralokasi ini merupakan jaminan eksistensi masing masing stasiun televisi nasional yang jauh sebelum UU nomor 32 Tahun 2002 telah lahir. Dengan kata lain beralihnya televisi nasional ke sistem stasiun berjaringan bisa berakibat matinya bisnis penyiaran 10 stasiun televisi nasional.

b. Perpanjangan Izin

Konteks : Sepanjang periode 1998 sampai dengan 2005 saat PP Penyiaran lahir, banyak sekali izin penyiaran terutama radio yang habis masa berlakunya. Mestinya sebelum habis masa berlaku, pemegang izin sudah mengajukan perpanjangan melalui mekanisme peraturan perundang undangan yang berlaku. Namun karena PP Penyiaran ditolak oleh KPI/KPID maka mekanisme perpanjangan izin penyiaran tidak dapat diimplementasikan.

Akibat : Perpanjangan izin penyiaran tidak dapat dilakukan karena harus melalui KPI/KPID yang menolak PP Penyiaran. Akibatnya stasiun penyiaran yang izinnya habis tetap melaksanakan siaran dalam kondisi izin siaran yang telah habis masa berlakunya alias siaran tanpa izin. Secara hokum stasiun penyiaran sangat dirugikan dengan kondisi seperti ini karena salah satunya setiap saat bisa di sweeping oleh Balai Monitoring Frekuensi ataupun oleh aparat penegak hukum.

c. Pengajuan Izin Baru

Konteks : Seperti halnya perpanjangan izin, pengajuan izin baru juga harus mengikuti UU nomor 32 Tahun 2002. Namun karena aturan pelaksanaannya (PP) di tolak oleh KPI/KPID maka pengajuan izin baru tidak dapat diproses.

Akibat : Para pemohon yang telah mengikuti proses Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) oleh KPI/KPID tidak bisa berlanjut prosesnya ke pemerintah karena EDP tsb dianggap oleh pemerintah tidak diselenggarakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sebaliknya KPI/KPID menganggap sah aturan KPI dan tetap menolak PP Penyiaran. Akibatnya tidak satupun izin baru yang berhasil di terbitkan sampai saat masukan ini dibuat.

2. ASPEK WAKTU PENYESUAIAN KE UU NOMOR 32 TAHUN 2002

Konteks : PP nomor 50 Tahun 2005 sebagai aturan pelaksanaan dari UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, memberikan batas waktu stasiun televisi nasional beralih menjadi Sistem Stasiun Berjaringan (SSB) paling lambat 28 Desember 2007. Namun akibat penolakan oleh KPI/KPID maka PP tersebut tidak bisa dijalankan karena proses beralih dari televisi nasional menjadi jaringan harus melalui dan atau melibatkan KPI/KPID.

Akibat : Stasiun televisi nasional jelas akan kekurangan waktu karena tinggal tersisa sekitar 9 (sembilan) bulan saja. Waktu yang tersisa tersebut tidak cukup untuk membuat dan mengesahkan badan hukum Perseroan Terbatas (PT) sejumlah separuh dari jumlah propinsi jangkauan siarannya. Misalnya RCTI yang harus membuat dan mengesahkan kurang lebih 16 PT. Itu belum terhitung waktu untuk mencari mitra lokal dan membangun fasilitas studio, rekaman dan kantor di daerah.

3. ASPEK PERKEMBANGAN USAHA DAN PERTUMBUHAN INDUSTRI

Konteks : Pengembangan usaha televisi memerlukan mitra dalam hal pendanaan misalnya. Namun setiap kali akan ada kerjasama atau transaksi maka selalu saja calon mitra mempertanyakan tentang konflik KPI dan Pemerintah serta akibat akibat yang akan timbul terhadap kerjasama yang direncanakan.

Akibat : Calon mitra bisnis kebanyakan merasa tidak aman dengan situasi konflik KPI dan Pemerintah. Dan akibatnya banyak calon mitra yang mundur atau ragu ragu dalam bekerjasama.

4. ASPEK FOKUS BISNIS

Konteks : Sebagai objek dari regulasi ataupun kewenangan yang diperebutkan antara KPI dan Pemerintah, mau tidak mau akhirnya industri penyiaran termasuk televisi masuk ke pusaran konflik.

Akibat : Masuknya industri penyiaran kedalam konflik tersebut mengakibatkan terganggunya konsentrasi dalam menjalankan bisnis. Berkali kali diundang oleh DPR, Pemerintah maupun oleh KPI, sangat menyita nergi yang seharusnya didedikasikan untuk menjalankan bisnis penyiaran.

5. ASPEK PENCITRAAN

Konteks : Pada dasarnya industri penyiaran akan patuh kepada peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini karena investasi sangat besar yang sudah dilakukan mengharuskan pebisnisnya untuk tidak berspekulasi dengan menabrak atau melanggarnya.

Akibat : Namun justru kepatuhan ini secara politis dicitrakan kepada publik bahwa industri penyiaran itu pro kepada pemerintah, anti demokratisasi penyiaran, anti otonomi daerah, anti diversity of content, anti diversity of ownership dan lain lain yang negatif sehingga terkesan industri penyiaran adalah public enemy yang harus dimusnahkan.

6. ASPEK KONTEN/ISI SIARAN

Konteks : Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan KPI, menurut keputusan MK seharusnya berada dalam kerangka PP yang diterbitkan pemerintah. Namun kenyataannya P3SPS tersebut diterbitkan lebih dahulu dan diluar kerangka PP.

Akibat : Dari sisi prosedur hukum, bila industri penyiaran mengabaikan P3SPS sebenarnya tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran karena status hukum P3SPS memang cacat hukum. Namun industri penyiaran selkalu mendapakan teguran pelanggaran isi siaran dari KPI yang menggunakan P3SPS sebagai acuan.

4. HARAPAN KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI : Sehubungan akan diputusnya 2 gugatan KPI oleh Mahkamah Konstitusi (MK), perkenankan Komteve menyampaikan harapan sebagai berikut : 1. Kiranya MK dapat memberikan keputusan yang akan memberi kepastian hukum dan kepastian usaha bagi industri penyiaran nasional. 2. Dalam memutuskan siapa yang memberikan izin penyiaran (termasuk frekuensi) , selain mempertimbangkan kejelasan ketentuan UU 32 tahun 2002 seperti yang kami sampaikan, kiranya perlu juga dipertimbangkan kemampuan dalam menanganinya baik personil maupaun infrastruktur yang saat ini tersedia. 3. Dalam pertimbangannya, kiranya MK berkenan memberikan rekomendasi agar UU nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diamandemen atau diganti dengan UU Penyiaran yang baru.

Demikian tanggapan yang dapat disampaikan, semoga bermanfaat bagi Bapak Bapak Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Jakarta, 22 Maret 2007 KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA Gilang Iskandar Ketua


2. Kepada Direksi Stasiun Televisi & Menteri Kehakiman RI tanggal 2 Mei 2001 Dengan hormat, Melalui surat ini, perkenankan kami menyampaikan beberapa informasi penting menyangkut proses pembahasan RUU Penyiaran :

1. Beberapa waktu yang lalu Komunitas Penyiaran Indonesia yang dimotori oleh Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) menggagas suatu kegiatan yang diberi judul FORUM KAJIAN PENYIARAN RADIO DAN TELEVISI (FKRTV). Kegiatan ini telah berlangsung sebanyak 4 putaran dan telah menggelar 13 sessi dengan menampilkan 13 orang nara sumber, yaitu ;

a. Prof. Dr. Astrid Susanto, SH untuk aspek ilmu komunikasi b. Prof.Dr. Jimly Assidhiqi, SH untuk aspek kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam hal penyiaran c. Dr, Satya Arinanto untuk aspek hukum tata negara pertanggungjawaban badan negara d. Ade Armando untuk aspek kepentingan publik dalam penyiaran e. Drs. Ishadi Sk,Msc untuk aspek kontribusi televisi bagi peradaban manusia f. Dr. Hermawan Sulistyo untuk aspek sosial politik dalam penyiaran g. Brigadir Jenderal TNI Tono Suratman untuk aspek penyiaran dalam kepentingan pertahanan dan keamanan negara h. Atif Latiful Hayat, SH,MH untuk aspek regulasi International Telecomunication Union (ITU) i. Drs. Deddy Jamaludin Malik, Msc untuk aspek independence regulatory body ; tinjauan di wilayah Afrika, Eropa, Amerika dan Asia j. Drs. Kabul Budiono untuk aspek radio publik k. Dra. Erina Tobing untuk aspek televisi publik l. Nenny Soemawinata untuk aspek globalisasi bisinis radio dan televisi m. RTS. Masli untuk aspek kontribusi industri periklanan terhadap industri penyiaran radio dan televisi

2. Forum ini melakukan kajian terhadap pasal-pasal terkait RUU Penyiaran dari berbagai perspektif dengan nara sumber yang berkompeten di bidang masing-masing. Hasil dari FKRTV ini dalam jangka pendek diarahkan untuk segera memberi masukan kepada Pemerintah (c.q Menteri Perhubungan RI dan Menteri Kehakiman HAM) dan DPR RI dalam rangka pembahasan Tingkat II dan III RUU Penyiaran.

3. Jangka menengah dan panjang, hasil FKRTV ini diarahkan untuk merespons kecenderungan hasil pembahasan dan pengesahan RUU Penyiaran, dalam arti bila memang nantinya RUU Penyiaran disahkan dalam keadaaan isi seperti sekarang, maka hasil FKRTV kami jadikan bahan untuk memberi masukan ke pemerintah dalam menyusun Peraturan Pemerintah (PP) UU Penyiaran. Sedangkan jangka panjang, hasil FKRTV kami arahkan untuk membantu industri televisi dan atau KPI menyusun Pedoman Perilaku (Code Of Conduct) televisi sesuai amanat RUU Penyiaran pasal 34.

4. Dengan adanya sasaran jangka menengah dan panjang tersebut, FKRTV akan terus kami gulirkan, dan dalam waktu dekat akan dilanjutkan dengan kajian Pasal 26 mengenai bahasa siaran dan sulih suara. Dan dari putaran terdahulu, muncul usulan agar FKRTV tidak berhenti hanya sebatas kepentingan RUU Penyiaran, PP dan Pedoman Perilaku, tapi juga dapat berlanjut dengan mengkaji secara rutin berbagai persoalan lainnya dari penyiaran radio dan televisi.

5. Kami juga atasnama KOMTEVE dan PP PRSSNI khususnya dan atasnama seluruh komponen Komunitas Penyiaran Indonesia pada umumnya, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Direksi RCTI dan TPI, PD PRSSNI DKI Jaya beserta seluruh jajarannya yang telah membantu dengan memfasilitasi FKRTV.

6. Demi kepentingan semua pihak baik industri, pemerintah maupun publik, kami berharapkan agar semua kegiatan dan upaya yang mengarah pada penumbuhkembangan industri penyiaran Indonesia yang sehat dan kompetitif ditingkat lokal dan global, terus diberikan dukungan. Kamipun terbuka bagi siapa saja yang ingin memfasilitasi kegiatan FKRTV. Tidak ada pihak lain yang akan mendapatkan keuntungan dari upaya seperti ini kecuali industri penyiaran sendiri.

7. Satu hal yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian kita bersama adalah perlunya kekompakan antar komponen dan organisasi penyiaran dalam menghadapi persoalan-persoalan seperti RUU Penyiaran ini. Kekompakan tidak lantas berarti semua gagasan dan pemikiran menjadi sama, namun paling tidak ada upaya eksplorasi suatu persoalan secara bersama. Jika nanti hasil ekplorasi itu menghasilkan gagasan dan pemikiran yang sama maka itu menjadi sangat baik. Namun bila belum, marilah kita munculkan kesamaan-kesamaan lebih dahulu, barulah kita eksplorasi lagi perbedaannya.

Terlampir kami sampaikan hasil dari Forum Kajian Penyiaran Radio dan Televisi putaranI-IV. Hasil ini juga kami sampaikan kepada Pemerintah dan DPR RI sebagai masukan penyempurnaan RUU Penyiaran.

Demikianlah hal ini kami sampaikan dan semoga bermanfaat. Terima kasih.

Hormat kami, KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA

Gilang Iskandar / Sandi Juhanda Ketua/Sekretaris


3. Masukan kepada DPR RI

BEBERAPA HAL YANG SECARA DETIL HARUS DIRUMUSKAN ATAU DICANTUMKAN DALAM PENYEMPURNAAN RUU PENYIARAN :

1. Solusi untuk stasiun TV yang saat ini sudah ada dan sudah siaran sehubungan dengan :

• Pasal 60 ayat 2 dikaitkan dengan Pasal 5, Pasal 8 ayat 3 a, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26 ayat 5 (karena menyangkut stok program yang sudah ada di Library dan sudah dilakukan kontrak pembelian dari dalam dan luar negeri).

• Pasal 60 ayat 2 dikaitkan dengan Pasal 16, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat 4 (karena menyangkut jaringan siaran nasional tersentralisasi, kepemilikan silang, kepemilikan stasiun relai didaerah yang terpusat pada 1 perusahaan (PT), set up teknologi peralatan di masing-masing stasiun relai/daerah dan pusat seperti Pemancar, Antena dll, dan tidak diperpanjangnya izin karena habis masa berlaku).

• Pasal 60 ayat 2 berkaitan dengan Pasal 33 ayat 3, ayat 4, ayat 5, ayat 8, ayat 9, ayat 10 (karena tidak semuanya dalam kontrol stasiun TV tapi terkait dengan industri lain seperti industri rokok, rumah produksi, biro iklan serta ketentuan lain diluar UU Penyiaran, seperti UU Periklanan, Kode Etik Periklanan, ketentuan bisnis siaran/program olahraga dan atau hiburan dari luar negeri seperti sepakbola/tinju dll).

• Pasal 60 ayat 2 berkaitan dengan Pasal 34, Pasal 36 ayat 2 (karena bila KPI baru berhasil menyelesaikan pedoman perilaku pada akhir tenggat waktu adaptasi UUP, maka bisa dipastikan semua stasiun TV akan melanggar ketentuan UU Penyiaran. Dan itu ada resiko saksi administratif dan pidana).

• Pasal 40 s/d Pasal 59 berkaitan dengan Pasal 36 ayat 2, Pasal 33 ayat 3,4,5,6,8,9,10, Pasal 32, Pasal 31, Pasal 30 ayat 2,3, Pasal 26 ayat 1,4,5, Pasal 25, Pasal 24, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 16, Pasal 15 ayat 2,4, Pasal 14 ayat 2, Pasal 8 ayat 2 a,b,d, Pasal 7 ayat 2, Pasal 6 ayat 3, Pasal 5, Pasal 14 ayat 1, Pasal 3, Pasal 2. (Karena pendeknya masa transisi dan tidak ada time table yang jelas kapan KPI menyelesaikan aturan, kebijakan, ketentuan penyiaran sesuai pasal2 tsb.


2. Perlu dicantumkan klausul dimana Lembaga Penyiaran dapat melakukan tindakan pembelaan secara hukum bilamana keputusan KPI merugikan Lembaga Penyiaran.

3. Perlu dikurangi jumlah ketentuan pasal pidana dan bobot sanksi agar dibuat lebih realistis dan proporsional untuk radio dan televisi.

4. Untuk hal-hal yang sudah diatur ( ketentuan kebijakan maupun sanksi ) pada UU atau peraturan perundangan lain, tidak usah lagi diatur dalam UU Penyiaran dan lebih baik mengacu kepada masing-masing UU atau peraturan perundangan tersebut.

5. Rumusan mekanisme atau prosedur pemberian sanksi atas pelanggaran UU Penyiaran dan aturan perundangan turunannya.

6. Tentukan dari kelompok / golongan mana ke 9 anggota KPI berasal dan perlu dicantumkan konfigurasi pencerminan unsur dari 9 orang tersebut.

Gilang Iskandar Ketua

4. Masukan kepada Menteri Kominfo

MASUKAN PENYEMPURNAAN RUU PENYIARAN UNTUK DAN PEMERINTAH DAN DPR RI

Disampaikan kepada Pemerintah c.q Menteri Negara Komunikasi & Informasi dan DPR RI melalui Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI Tanggal 19 September 2002


Menyusul pernyataan KOMTEVE tanggal 16 September 2002 tentang RUU Penyiaran, maka dengan ini disampaikan masukan penyempurnaan sebagai berikut :

I. BATANG TUBUH RUU PENYIARAN ;

1. KOMISI PENYIARAN INDONESIA

A. Kerangka tugas/wewenang : a. Sebagai pemberi izin berdasarkan peta frekuensi yang diberikan oleh pemerintah (Dephub) b. Sebagai lembaga yang menetapkan “Broadcasting Standard” seperti Standar Program, Standar Teknologi, Standar SDM yang disusun dengan melibatkan kalangan industri televisi dan radio. Standar tersebut hanya merupakan pedoman yang berisikan DO dan DON’T bagi lembaga penyiaran. Dan KPI juga yang mengawasi pelaksanaannya. Bila ada pelanggaran maka KPI meberikan sanksi sesuai mekanisme dan kriteria pelanggaran temporary judgement seperti teguran tertulis. c. Sebagai lembaga yang menangani “public complain” di bidang penyiaran yang memproses keluhan pemirsa/pendengar sedemikian rupa sampai pada pengajuan masalah ke pengadilan.

B. Mekanisme kontrol kerja KPI : a. Menerapkan prinsip “rule making process” di mana ditentukan bahwa dalam membuat standar, maupun keputusan KPI harus melakukan tahap uji publik yang memungkinkan masyarakat memberi penilaian, masukan, kritik, tanggapan dll. b. Dimungkinkan mekanisme banding oleh lembaga penyiaran terhadap keputusan yang dikeluarkan KPI melalui pengadilan. Dalam hal ini banding diluar sanksi.

C. Kerangka tugas dan wewenang KPI Daerah (jika tetap ada) : a. Sebagai lembaga operasional penerapan standar program, teknologi, SDM yang ditetapkan oleh KPI Pusat. b. Berdasarkan peta frekuensi yang diberikan oleh KPI Pusat, memberikan izin frekuensi.



D. Komposisi keanggotaan KPI : a. Untuk pertama kali pada periode transisi sampai selesai masa kerja pertama, terdiri dari 3 unsur, yaitu Publik, Pemerintah dan Industri. Publik sebagai penikmat siaran, Pemerintah sebagai penyelengara pemerintahan dan industri sebagai pemilik sarana/prasarana/teknologi siaran. Hal ini merupakan kombinasi yang baik dari para stakeholder penyiaran tsb terutama dari sisi spesifikasi kapasitas, kapabilitas, keahlian SDM. Sangat riskan menyerahkan sesuatu urusan yang baru kepada yang bukan ahlinya. b. Komposisi KPI Pusat (9 orang) terdiri dari 5 Publik, 2 industri, 2 pemerintah. c. Komposisi KPI Daerah (7 orang) terdiri dari 3 publik, 2 industri, 2 pemerintah.


2. TELEVISI JARINGAN

A. Tinjauan Konseptual :

a. Televisi jaringan berasal dari Amerika Serikat pada awal tahun 50-an. Perusahaan telekomunikasi AT&T pada tahun 1951 berhasil menghubungkan Pantai Timur dan Pantai Barat Amerika Serikat dengan jaringan co-axial. Setahun kemudian FCC mengeluarkan ijin alokasi frekuensi bagi sekitar 1300 “communities” sebanyak 2000 channel dengan memanfaatkan 70 frekuensi UHF dan 12 VHF. b. Definisi siaran “TV Network” : Program are transmitted from central television network, over the air, to affiliated local television stations, who broadcast over the air to local household at the same time c. Mengacu dari definisi diatas maka ada tiga kata kunci yaitu : program, central television network dan affiliated local television stations. d. TV jaringan di AS (NBC, ABC dan CBS) praktis menjangkau seluruh market (sekitar 200-an lebih) dan bersaing dengan jaringan TV baru (Fox, WB dan UPN) yang tengah memperluas jaringannya serta TV Publik PBS serta televisi lokal independen (tidak menjadi afiliasi dari TV Jaringan “Nasional”). e. Sistem TV Jaringan di Inggris agak berbeda. Inggris memiliki lima channel nasional yang terdiri dari BBC1, BBC2, BBC3 (ITV), Channel 4 dan Channel 5. Sistem jaringan hanya untuk 3 channel. f. Channel 3 secara garis besar terdiri dari stasiun lokal (yang berbeda di masing-masing kota), stasiun yang hanya siaran pagi (GMTV) dan khusus untuk London memiliki dua stasiun yang terdiri dari siaran pada hari kerja dan stasiun yang siaran hanya pada akhir pekan (London Week end Television). Kecuali GMTV (siaran dari pukul 6.00 sampai 9.30) kelima belas stasiun lokal tunduk pada penjadwalan yang dikelola oleh ITV Network Schedulling Center. Masing-masing stasiun lokal mendapat jatah untuk siaran berita lokal yang seragam waktunya dan beberapa jam di luar jam tayang utama untuk menyiarkan program lokal.

B. Realitas Saat Ini :

a. Di Indonesia belum ada tradisi TV Jaringan di kalangan TV Swasta jika mengacu kepada praktek di Amerika Serikat maupun di Inggris. Yang selama ini berlangsung adalah stasiun pusat menayangkan programnya melalui satelit kemudian dipancarluaskan oleh stasiun relay di daerah. Pada program-program tertentu dimungkinkan adanya iklan lokal dengan cara menyediakan satu jedah iklan khusus yang akan diisi oleh stasiun relay (local insertion). Jadi saat sekarang ini secara teknologi sudah dimungkinkan untuk melakukan “siaran lokal”. b. Pertanyaan yang lebih filosofis adalah gagasan apa yang melatarbelakangi pasal-pasal TV Jaringan ? Jika pertimbangannya adalah untuk mengurangi hal-hal yang dianggap “Jakarta Sentris”, hal ini dengan mudah bisa dihilangkan dengan membuat aturan, misalnya aturan untuk membuat program berita lokal (seperti yang sekarang dilakukan SCTV). Jika disepakati maka selanjutnya beri waktu bagi yang logis bagi lembaga penyiaran untuk menyiapkan infrastrukturnya. c. TV swasta nasional yang sudah ada tidak usah lagi diharuskan jadi TV lokal dan membentuk jaringan. Konsekuensi bila TV Nasional dipaksa jadi lokal dan membentuk jaringan antara lain resiko bangkrutnya TV Nasional yang sudah ada karena biaya tinggi seperti dalam hal pajak (pajak berganda), biaya operasi, investasi dan resiko lahirnya pengangguran karena pengurangan SDM. Di lain pihak industri periklanan juga akan mengalami biaya tinggi karena penanganan promosi yang berbeda tiap stasiun dan tiap Semuanya akan menimbulkan kontraksi ekonomi dan sosial yang serius. d. Stasiun baru yang nantinya muncul harus mengikuti standar baru yang berlaku.

3. PEMBATASAN RELAI SIARAN ASING

Sebaiknya diatur, bukan dibatasi sebab kata dibatasi menimbulkan konotasi ada pembatasan penyampaian konten. Pengaturan yang dimaksud misalnya tentang berapa banyak jumlah frekuensi penayangan perhari, slot waktu mana saja yang diperkenankan. Selama ini pendengar/pemirsa menikmati siaran asing misalnya berita karena memenuhi standar jurnalisme yang baik seperti cepat dan tepat (akurat itu soal lain) Di lain pihak pembatasan potensial menimbulkan boikot dari lembaga penyiaran ybs yang merugikan pengembangan SDM lokal. Contoh untuk radio. Sejak tahun 70-an sudah besar biaya sosial yang dikorbankan lembaga penyiaran asing untuk pengembangan SDM lokal melalui pelatihan gratis seperti yang telah dilakukan oleh BBC, VOA dan Deutchwelle.

4. SANKSI

a. Jangan ada sanksi pencabutan/penghentian siaran. b. Bila ada program acara bermasalah maka bukan acaranya yang dihentikan tapi dirubah saja jam tayang, konten, style, atau didenda c. Ada perbedaan mekanisme yang tegas antara pemberian sanksi yang bersifat “Temporary Judgement” dan “ Final Judgement”. Yang temporary seperti teguran tertulis bisa langsung diberikan oleh KPI namun yang final seperti penghentian siaran harus melalui pengadilan.

5. PEMBEDAAN KETENTUAN UNTUK RADIO DAN TELEVISI

Dimulai dengan identifikasi karakteristik radio dan televisi sehingga bisa dibuat ketentuan yang berbeda menurut karakteristik masing masing. Sebagai contoh ; di radio masalah Hak Cipta tidak merupakan keharusan seperti di televisi. Juga soal sulih suara, pemberitahuan klasifikasi pemirsa/pendengar, kewajiban teks untuk acara yang hanya berlaku untuk televisi tapi tidak untuk radio.

II. ANALISIS PETA FREKUENSI DAN KEWENANGAN DAERAH ;

Diluar masukan diatas kami juga menyampaikan analisis tentang PETA FREKUENSI DAN KEWENANGAN DAERAH.

Menurut Komteve, terjadi kesalahan pendekatan konsep “otonomi daerah” yang dicangkokkan kedalam UU Penyiaran. Kesalahan pendekatan ini melahirkan kesalahpahaman pengaturan tatanan penyiaran, terutama berkaitan dengan pengertian “pasar” dan “kewenangan daerah” sebagai berikut :

a. Bahwa pemetaan frekuensi yang disusun berdasarkan wilayah administrasi kepemerintahan bertentangan dengan “pasar konsumen” yang besarannya tumbuh melintasi garis batas administrasi pemerintahan. Pemetaan frekuensi berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan ini telah memotong-motong pasar menjadi satuan-satuan yang banyak namun kecil-kecil yang pada gilirannya tidak mampu mendukung besarnya nilai investasi penyiaran yang ditanam di dalam wilayah tersebut b. Ketidakmampuan besaran pasar yang banyak namun kecil-kecil tersebut untuk mendukung investasi di bidang penyiaran akan menghasilkan efek negatif dalam hal : 1. Pemakaian teknologi penyiaran yang tidak memenuhi standar mutu teknis yang ditetapkan 2. Penurunan kualitas isi siaran 3. Ketidakmampuan untuk memenuhi durasi siaran yang telah ditentukan c. Bahwa konsep “otonomi daerah” yang diterjemahkan secara salah lewat pendirian KPI Daerah telah melahirkan sistim kewenangan dan pengaturan yang terkotak-kotak dibidang penyiaran yang menimbulkan ekses sebagai berikut : 1. Kebijakan penyiaran yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain berkaitan dengan : standar mutu teknis, sensorship, perijinan, klasifikasi siaran dll. 2. Melahirkan birokrasi yang kompleks dan tidak efisien. 3. Memberi peluang biaya tinggi melalui sistim perpajakan yang berbeda-beda dari satu daerah dengan daerah lain.

Jakarta 16 September 2002 Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar/Sandi Juhanda Ketua/Sekretaris

5. MASUKAN KEPADA MENTERI PERHUBUNGAN Jakarta, 4 April 2001

Kepada Yth. Bapak Agum Gumelar, Menteri Perhubungan Republik Indonesia di-JAKARTA

Dengan hormat, Menyambung hasil pertemuan kami dengan Bapak hari Senin 2 April 2001 di ruang kerja Bapak bersama dengan rekan-rekan dari Pengurus Pusat PRSSNI, maka kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kami menyambut baik kesediaan Bapak untuk melibatkan kami dari Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) dan PRSSNI sebagai Counterpart Team dari pihak pemerintah dalam hal RUU Penyiaran. Kami anggap ini adalah sebagai tindak lanjut dari pertemuan kami dengan Bapak Menteri Perhubungan dan Bapak Presiden KH Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka tanggal 18 Januari 2001. Untuk keperluan itu maka KOMTEVE menyampaikan nama-nama sebagai berikut : • Gilang Iskandar • Patrick Kwatno • Sandi Juhanda

2. Kami melihat adanya kontroversi RUU Penyiaran versi Inisiatif DPR RI antara lain karena tidak jelasnya KERANGKA DASAR RUU PENYIARAN yang dibuat. Sehingga tidak heran bila terkesan tambal sulam, dan apa yang disebut dengan Sistem Nasional Penyiaran sama sekali tidak tergambarkan. Untuk itulah kami menyampaikan masukan mengenai hal itu, dan mudah-mudahan dapat dijadikan salah satu acuan dari perumusan tanggapan pemerintah terhadap RUU Penyiaran produk DPR RI. Dilain pihak untuk membantu memetakan persoalan RUU Penyiaranproduk DPR RI, kamipun menyampaikan CONFLICT AREA dari materi RUU Penyiaran sebagaimana terlampir.

Demikianlah daftar nama dan masukan ini kami sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Hormat kami,

Gilang Iskandar Ketua

6. MASUKAN KEPADA PEMERINTAH DAN DPR RI Jakarta, 1 April 2002

No : 012/K/KOMTEVE/IV.02 Lampiran : Ada Perihal : Masukan Ulang untuk RUU Penyiaran

Kepada Yth., 1. Bapak Syamsul Muarif, Menteri Informasi & Komunikasi RI 2. Bapak Agum Gumelar, Menteri Perhubungan RI 3. Bapak Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman RI 4. Bapak Paulus Widiyanto, Ketua Pansus RUU Penyiaran DPR RI 5. Bapak/Ibu Anggota Pansus Penyiaran DPR RI


Dengan hormat, Menjelang dimulainya kembali pembahasan RUU Penyiaran di DPR RI dalam masa sidang di bulan Mei 2002 mendatang, terlampir kami sampaikan ulang sebagian dari masukan yang pernah kami sampaikan baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan organisasi lain. Pada intinya kami tetap mengharapkan agar pemerintah dan DPR RI mampu melahirkan RUU Penyiaran yang aplikatif dalam arti isinya benar-benar realistis dan dapat diterapkan. Janganlah kiranya lahir UU Penyiaran yang nantinya hanya berperan sebagai landasan “bargaining” bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan kolusi dan korupsi. Karenanya sangat relevan agar dalam sistem penyiaran mendatang tidak ada lagi otoritas tunggal yang mengendalikan penyiaran. Seyogyanya peran publik, pemerintah dan industri penyiaran diatur dan diakomodir sedemikian rupa sehingga menjadi sinergis demi kebaikan bangsa Indonesia yang kita cintai ini.

Dalam memberi masukan RUU Penyiaran kepada Pemerintah dan DPR RI, Komteve dan PRSSNI telah melakukan kajian sungguh-sungguh antara lain dengan melakukan rangkaian Forum Kajian Radio dan Televisi (FKRT). Forum ini telah mengundang berbagai narasumber yang kompeten dalam perspektif sosial, politik, ekonomi, dan hankam. Dengan cara ini diharapkan masukan menjadi lebih objektif.

Kembali kepada cita-cita demi kebaikan bangsa Indonesia tadi, sudah selayaknya kita tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat teknis. Lebih baik kita dekatkan dulu cita-cita kita akan sistem penyiaran Indonesia yang kita inginkan & terumus dalam RUU Penyiaran yang sedang dibahas. Berdasarkan kesamaan cita-cita itulah, kita cari rumusan teknis/detilnya.

Mudah-mudahan dengan cara itu akan lahir UU Penyiaran yang aplikatif dan menjadi panduan yang dipatuhi dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak terkait. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.

Hormat kami,

Gilang Iskandar Ketua


PERNYATAAN KOMTEVE

PERNYATAAN KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE) TERHADAP PERKEMBANGAN TERAKHIR RUU PENYIARAN DPR-RI

Sehubungan dengan perkembangan terakhir RUU Penyiaran maka Komunitas Televisi Indonesia menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengenai Komisi Penyiaran Indonesia ; 1. Menolak kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai badan yang membuat ketentuan siaran, mengawasi pelaksanaannya dan memberikan sanksi atas pelanggaran. Kewenangan seperti ini potensial menjadikan KPI bertindak represif terhadap lembaga penyiaran. (Pasal 8 ayat 2 ) 2. Menolak adanya KPI Daerah karena potensial menimbulkan tumpang tindih kebijakan dengan KPI Pusat., terutama dalam pengaturan frekuensi. Hal ini karena kewenangannya tidak berbeda. Lebih parah lagi tidak ada hubungan fungsional maupun organisatoris antara KPI Daerah dan KPI Pusat. (Pasal 7 ayat 3 dan 4) 3. Menolak komposisi keanggotaan KPI karena sama sekali tidak mengikutsertakan prkatisi maupun industri penyiaran. (Pasal 10 ayat 1) 4. Menolak pasal 10 ayat 2 yang memberi peluang kepada pemerintah melakukan intervensi (baik Presiden maupun Gubernur) terhadap KPI.

2. Mengenai Televisi Jaringan (Pasal 20) ; Meminta DPR RI maupun Pemerintah agar konsep TV Jaringan diperjelas sejelas jelasnya agar tidak menimbulkan multi interpretasi. (Pasal 20)

3. Mengenai Pembatasan Relai Pemberitaan dan Hiburan Asing (Pasal 27 ayat 2 dan 3) ; Meminta DPR RI dan Pemerintah mencabut / membatalkan ayat tersebut karena bertentangan dengan prinsip kebebasan masyarakat untuk mendapatkan dan memperoleh informasi seperti yang dijamin oleh UUD 45 Amandemen ke 2 ayat 28 F.

4. Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Pasal 53) ; Ayat ini membuka peluang kolusi dan korupsi dari pelaksana dilapangan karena memiliki kewenangan pemeriksaan orang, dan alat/perangkat siaran bahkan sampai pada tingkat menghentikan penggunaan alat/perangkat siaran.

5. Mengenai Sanksi (Pasal 52) ; Meminta DPR RI dan Pemerintah mencabut/membatalkan pasal ini karena masih membuka peluang mencabut izin tanpa melalui mekanisme pengadilan dan tidak memberikan mekanisme bagi lembaga penyiaran untuk membela diri atas sanksi yang diberikan/dijatuhkan.

6. Mengenai ketidakjelasan perbedaan ketentuan untuk radio & televisi (Pasal 24 ayat 3, Pasal 26, Pasal 28 ayat 1) ; Meminta DPR dan Pemerintah membedakan dengan tegas mana yang menjadi ketentuan untuk radio dan mana yang menjadi ketentuan untuk televisi karena medium radio hanya audio sedangkan televisi gabungan antara audio dan video.

Jakarta 16 September 2002 Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar/Sandi Juhanda Ketua/Sekretaris


PERNYATAAN KOMUNITAS TELEVISI INDONESIA (KOMTEVE) TENTANG RUU PENYIARAN

Menjelang pengesahan RUU Penyiaran menjadi UU Penyiaran oleh DPR RI pada tanggal 25 November 2002, Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE) menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Menolak pengesahan RUU Penyiaran menjadi UU Penyiaran karena masih adanya pasal pasal dalam RUU Penyiaran yang bersifat represif dan mengancam kekebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan berusaha dan kepentingan publik untuk mendapatkan aliran hiburan dan informasi yang seluas luasnya,.

Pasal pasal yang dimaksud adalah : a. Pasal 8 ayat 2 (huruf b,c,d) tentang wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) b. Pasal 8 ayat 3 (huruf b,c) tentang tugas dan kewajiban KPI c. Pasal 36 ayat 3 tentang larangan isi siaran iklan dikaitkan dengan sanksi pidana pada pasal 58 huruf d d. Pasal 36 ayat 5 dan 6 tentang larangan isi siaran dikaitkan dengan sanksi pidana pada pasal 57 huruf d dan e e. Pasal 46 ayat 4 tentang persyaratan siaran iklan oleh KPI f. Pasal 47 tentang wajib sensor materi siaran oleh lembaga yang berwenang g. Pasal 55 ayat 2 huruf c, e, f, g tentang sanksi administratif

2. Mendesak DPR RI untuk membatalkan pengesahan RUU Penyiaran tersebut menjadi UU Penyiaran pada sidang paripurna DPR RI.

3. Mendesak DPR RI segera merumuskan ulang RUU Penyiaran dan menghilangkan pasal pasal yang bersifat represif, mengancam, merugikan publik dan industri penyiaran televisi, sehingga nantinya DPR RI melahirkan UU Penyiaran yang bersifat mendorong tumbuh kembangnya industri televisi dan bukan sebaliknya.

Jakarta 24 November 2002

Komunitas Televisi Indonesia (KOMTEVE)

Gilang Iskandar Ketua

RUU KMI BEBERAPA CATATAN KOMTEVE TERHADAP RUU KEBEBASAN MENDAPATKAN INFORMASI VERSI DPR VERSI PEMERINTAH CATATAN KOMTEVE Hak & Kewajiban Pengguna Informasi Ps. 4 ayat 3 Setiap orang di dalam mengajukan permintaan informasi publik tidak diwajibkan menyertakan alasan dari permintaan ini. Ps. 5 Dalam mengajukan permintaan atas informasi publik, pengguna informasi tidak diwajibkan menyertakan alasan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sebaiknya rumusan DPR yang digunakan, karena lebih tegas. Sedangkan rumusan pemerintah terkesan tidak tegas dan ragu-ragu, padahal UU harus memberi kepastian hukum. Ps. 5 Pengguna informasi publik memiliki kewajiban untuk menjaga dan tidak melakukan penyimpangan pemanfaatan informasi sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya. Ps. 7 Pemanfaatan informasi publik oleh pengguna informasi tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan peraturan perundang-undangan. Kedua rumusan tersebut pada dasarnya bertentangan dengan kebebasan informasi itu sendiri. Karena itu pembatasan penggunaan/pemanfaatan informasi publik tidak perlu dicantumkan. Bila dianggap fitnah, biarkan proses hokum yang menangani dengan dasar a.l KUHP. Hak & Kewajiban Badan Publik Ps. 6 ayat 1 Badan publik berhak menolak informasi apabila informasi tersebut termasuk yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Ps. 11 Badan publik memiliki hak untuk menolak suatu permintaan informasi publik dalam hal: a. informasi publik yang diminta belum dikuasai atau terdokumentasi oleh badan publik. Ketentuan menolak permintaan informasi seharusnya diatur dalam UU KMI dan tidak lagi mengacu kepada peraturan per-UUan lain. Dengan kata lain pasal “pengecualian” harus dibuat/dicantumkan secara jelas, dan tidak boleh multi interprestasi. Ps. 15 Kewajiban badan publik sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya tiap-tiap badan publik. Seharusnya pernyataan keharusan menyediakan informasi publik harus secara jelas dinyatakan tanpa pengecualian-pengecualian. Dengan demikian jelas UU KMI mewajibkan badan publik untuk mengelola (termasuk mendokumentasikan) informasi publik yang dalam penguasaan/kewenangan. Rincian lebih lanjut dari informasi publik yang termasuk dalam kategori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini akan diatur lebih lanjut oleh pimpinan tiap-tiap badan publik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seharunsya UU KMI yang mengotorisasi bukan oleh pimpinan lembaga-lembaga publik. Karenanya ketentuan tentang hal ini harus diatur secara rinci.

RUU PENYIARAN MASUKAN DARI KOMTEVE RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2000 TENTANG PENYIARAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. Bahwa pada hakekatnya manusia harus dijamin kebebasannya untuk berekspresi dan kebebasannya untuk mengetahui. b. Bahwa penyiaran mempunyai kemampuan dan p;engaruh dalam membentuk pendapat umum, sikap, perilaku manusia. c. Bahwa penyiaran juga memiliki peran penting dalam pembangunan nasional, terutama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. d. Bahwa perkembangan yang ada menghendaki pengelolaan informasi melalui penyiaran dilaksanakan dan diawasi sendiri oleh masyarakat. e. Bahwa Undang Undang No 24 tahun 1997 sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat sehingga perlu diganti. f. Bahwa untuk itu diperlukan Undang Undang Penyaiaran yang baru yang menjamin kebebasan berekspresi, kebebasan untuk mengetahui, keragaman kepemilikan, keragaman isi siaran dan menjamin terselenggaranya dengan baik peran para pihak utama dalam penyiaran yaitu Pemerintah, Penyelenggara Penyiaran dan Publik.

Mengingat :

1. Pasal 21 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 (f), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32, Pasal 33, dan Pasal 36 Undang Undang Dasar 1945 berikut amandemen pasal-pasal tersebut. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVII/MPR/ 1998 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. 3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas 4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah nomor 1 tahun 1998 tentang Kepailitan. 5. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli & Persaingan Usaha Tidak Sehat. 6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 9. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers 11. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1992 tentang Perfilman 12. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta jis Undang-Undang Nomor 7 tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Penyiaran adalah suatu kegiatan pemancaran melalui sarana gelombang frekuensi radio dengan menggunakan sarana pemancaran dan atau sarana transmisi terestrial di darat yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan pesawat penerima radio dan atau televisi. 2. Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar yang berbentuk grafis, dan karakter-karakter yang dipancarkan melalui Gelombang Radio dengan atau tanpa alat bantu. 3. Sistem Penyiaran Nasional adalah tatanan penyiaran nasional berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 4. Siaran Iklan adalah siaran informasi yang memperkenalkan, memasyarakatkan dan atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran dengan tujuan mempengaruhi konsumen atau khalayak sasaran agar menggunakan produk yang ditawarkan, yang disiarkan melalui Penyelenggaraan Penyiaran dengan imbalan. 5. Gelombang Radio adalah alur pita frekuensi yang bisa dilalui oleh getaran perubahan energi listrik ke energi magnetik melalui udara dari suatu alat tertentu, merupakan ranah publik dan sumber daya langka. 6. Siaran Terestrial, adalah sistem pemancaran melalui Gelombang Radio dengan menggunakan sarana transmisi di darat. 7. Lembaga penyiaran, adalah organisasi penyelenggara siaran, baik yang berbentuk Lembaga Penyiaran Publik maupun Lembaga Penyiaran Swasta, yang melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Komisi Nasional Penyiaran adalah Lembaga regulasi independen yang mengatur dan mengelola seluruh kegiatan penyelenggaraan penyiaran nasional. 9. Siaran Bersama adalah siaran langsung atau siaran tunda, yang diselenggarakan secara bersama-sama oleh lembaga penyiaran negara dan lembaga penyiaran swasta atau oleh lembaga penyiaran swasta, yang dipancarkan dengan cara relay maupun pool melalui jaringan penyiaran masing-masing baik secara lokal, nasional maupun internasional. 10. Program adalah bagian dari siaran yang mencakup pesan yang ditata dalam suatu kesatuan dan ditujukan kepada pemirsa. 11. Siaran Iklan adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang, jasa gagasan atau cita-cita dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. 12. Siaran Iklan Niaga adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada khalayak sasaran dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran atau calon konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan, yang disiarkan melalui lembaga penyiaran dengan imbalan. 13. Siaran Iklan Layanan Masyarakat adalah program atau bagian dari program yang memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan pemikiran, gagasan, harapan atau cita-cita, anjuran dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi pikiran maupun perilaku dari pemirsa yang dituju, yang disiarkan melalui lembaga penyiaran dengan atau tanpa imbalan, dan yang dirancang untuk tujuan sosial atau kepentingan umum. 14. Akuntabilitas adalah suatu kondisi dimana pertanggungjawaban harus diberikan. 15. Hak siar adalah hak untuk menyiarkan hasil dari suatu karya.


BAB II

DASAR, KEDUDUKAN, FUNGSI, TUJUAN DAN ARAH


Pasal 2

Penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi berdasarkan pada penciptaan dan pemeliharaan iklim kebebasan dan kemerdekaan menyatakan pendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai cerminan dari kedaulatan rakyat, demokrasi, hak asasi manusia serta kesejahteraan rakyat, keadilan dan supremasi hukum.

Pasal 3

Kedudukan Penyiaran adalah strategis dalam arti memiliki potensi dalam pembentukan pendapat, sikap dan perilaku manusia atau bangsa.

Pasal 4

Penyelenggaraan penyiaran berfungsi sebagai alat informasi, pendidikan, hiburan, dalam kerangka pengembangan kebudayaan, sosial, ekonomi nasional. Pasal 5

Penyelenggaraan penyiaran bertujuan menyalurkan kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi, kepastian hukum, ilmu pengetahuan dan teknologi, keadilan sosial, perlindungan terhadap kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan masyarakat akan penyiaran, melalui ketertiban dan optimalisasi pemanfaatan penggunaan gelombang radio.

Pasal 6

Penyiaran diselenggarakan dengan arah untuk : a. menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, supremasi hukum, hak asasi manusia, demokrasi dan ajaran agama. b. mengembangkan dan membangun budaya nasional dan daerah serta identitas bangsa. c. menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah atas dasar keanekaragaman budaya. d. meningkatkan ketahanan budaya dan moral bangsa. e. melindungi kemerdekaan menyatakan pendapat. f. meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong meningkatkan daya kritis dan kreatifitas masyarakat. g. mencegah monopoli kepemilikan dan mendukung persaingan yang sehat dalam sektor penyiaran. h. mendorong peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat. i. mengembangkan penggunanaan teknologi penyiaran yang tepat guna. j. Mengembangkan pembuatan program siaran yang mendidik, informatif, berkualitas dan bermanfaat bagi peningkatan daya cipta, rasa dan karsa masyarakat. k. meningkatkan kemampuan finansial dan kemampuan bersaing industri penyiaran di Indonesia.


BAB III KOMISI NASIONAL PENYIARAN

Bagian Pertama Identitas

Pasal 7

1. Komisi Nasional Penyiaran (KNP) adalah badan regulasi penyiaran independen yang mengatur kepentingan publik, penyelenggara penyiaran dan pemerintah dalam hal penyiaran. 2. Komisi Nasional Penyiaran adalah Lembaga Negara.




Bagian Kedua Sifat

Pasal 8

1. KNP adalah organisasi yang berskala nasional yang melingkupi seluruh industri penyiaran televisi dan radio. 2. KNP adalah organisasi yang mandiri dalam merencanakan, membuat, melaksanakan dan mengawasi kebijakan serta peraturan penyiaran.


Bagian Ketiga Tujuan

Pasal 9 Menjamin penyiaran nasional dapat terselenggara dengan baik dimana kepentingan publik, penyelenggara penyiaran dan pemerintah dibidang penyiaran terlindungi.


Bagian Keempat Fungsi

Pasal 10 KNP memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Fungsi integratif, yaitu : berperan sebagai wadah pemersatu aspirasi bagi para penyelenggara siaran, publik dan pemerintah. 2. Fungsi edukasi, yaitu berperan dalam membina etika dan profesionalisme penyelenggara penyiaran. 3. Fungsi mediasi, yaitu berperan sebagai penghubung antar berbagai kepentingan dari publik, industri penyiaran dan pemerintah. 4. Fungsi regulasi, yaitu berperan dalam penyusunan, penetapan, penerapan dan pengawasan kebijakan dan peraturan penyiaran. 5. Fungsi artikulasi, yaitu merekam persoalan-persoalan dan isu-isu penyiaran yang ada dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai agenda organisasi yang harus diselesaikan.


Bagian Kelima Tugas

Pasal 11 1. Menjamin keanekaragaman mutu dan siaran. 2. Melakukan optimalisasi, distribusi, dan pengaturan penggunaan gelombang radio untuk penyiaran yang mampu mengantisipatif terhadap perkembangan konvergensi media penyiaran. 3. Melindungi hak publik untuk mengetahui.


4. Melindungi hak penyelenggara penyiaran untuk mengelola kegiatan penyiaran. 5. Melindungi hak pemerintah dibidang penyiaran. 6. Mengatur infra struktur bidang penyiaran dengan menyusun standar kinerja lembaga penyiaran dan produksi siaran. 7. Mengatur dan menciptakan iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran. 8. Menangani keberatan dan keluhan publik terhadap penyiaran. 9. Mendorong kesempatan usaha yang sehat, kompetitif, kreatif dan dinamis dalam rangka aktualisasi keahlian dan profesionalisme para insan penyiaran. 10. Melakukan kerjasama dengan organisasi-organisasi penyiaran atau terkait lainnya didalam maupun di luar negeri untuk melaksanakan usaha-usaha yang tidak bertentangan dengan aturan organisasi dan kebijakan umum organisasi. 11. Melakukan usaha-usaha lain yang sesuai dengan identitas dan sifat organisasi serta berguna untuk mencapai tujuan.


Bagian Keenam Wewenang

Pasal 12 KNP memiliki wewenang untuk memberikan tindakan administratif berupa teguran, peringatan tertulis, denda dan pencabutan izin setelah diputuskan oleh pengadilan, kepada lembaga penyiaran yang melanggar peraturan, ketentuan dan atau kebijkan penyiaran yang telah ditetapkan oleh KNP, serta peraturan perundangan terkait yang berlaku.


Bagian Ketujuh Tanggungjawab Pasal 13

KNP bertanggungjawab atas : 1. Terselenggaranya penyiaran yang baik, berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. 2. Dipatuhinya aturan, ketentuan, kebijakan dan peraturan perundang penyiaran. 3. Tumbuh dan berkembangnya industri penyiaran yang sehat, kompetitif, kreatif dan dinamis sekaligus melindungi kepentingan masyarakat luas.




Bagian Kedelapan Organisasi dan Keanggotaan Pasal 14

1. KNP terdiri dari : a. Dewan Komisi b. Pengurus Harian 2. Dewan Komisi terdiri atas : a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota b. 1 (satu) orang Wakil Ketua merangkap anggota. c. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota d. Sisanya sebagai anggota yang penugasannya disesuaikan dengan pembidangan kerja yang ditetapkan oleh Rapat Dewan Komisi 3. Anggota Dewan Komisi KNP adalah pribadi-pribadi yang memiliki keahlian – baik karena pendidikan atau karena pengalamannya – dalam bidang penyiaran, bidang penyusunan kebijakan, hukum, teknologi, jurnalisme dan bisnis, bisa dianggap layak untuk menduduki jabatan dan secara keseluruhan diharapkan dapat mewakili masyarakat Indonesia pada umumnya. 4. Anggota Dewan Komisi KNP bertugas selama 3 tahun dan dapat dipilih kembali dengan ketentuan maksimal 2 kali masa jabatan. 5. Dalam pelaksanaan tugasnya Dewan Komisi dibantu oleh Pengurus Harian yang profesional. 6. Anggota Pengurus Harian adalah pegawai KNP yang terdiri dari orang-orang profesional di bidangnya yang direkrut dan digaji sesuai dengan ketentuan kepegawaian KNP. 7. Dewan Komisi KNP dipimpin oleh seorang Ketua yang dipilih dari anggotanya sendiri. 8. Pengurus Harian KNP dikepalai oleh seorang Direktur Eksekutif yang dipilih dari dan merangkap sebagai anggota Dewan Komisi 9. Pengurus Harian KNP dilengkapi badan-badan di bidang ; hukum, rekayasa teknologi, perencanaan kebijakan, perizinan, standar penyiaran, Penelitian dan pengembengan, kerjasama internasional, kehumasan, hubungan antar lembaga, penanganan keluhan.


Bagian Kesembilan Keuangan Organisasi

Pasal 15

1. Biaya untuk pelaksanaan tugas KNP dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Setiap tahun KNP menyusun rancangan anggaran belanja tahun takwim berikutnya yang harus disampaikan kepada DPR dan Pemerintah bersamaan dengan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan.


3. Setelah berakhirnya tahun anggaran, KNP wajib menyusun laporan keuangan tahunan KNP dan menyampaikan laporan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dimulai pemeriksaan. 4. Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan tersebut wajib disampaikan kepada DPR. 5. Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan khusus terhadap KNP atas permintaan DPR apabila diperlukan.


Bagian Kesepuluh Akuntabilitas Pasal 16

1. KNP wajib mempublikasikan secara transparan dan berkala seluruh pelaksanaan kegiatan dan laporan keuangan KNP kepada masyarakat. 2. KNP wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa pada setiap awal tahun anggaran yang memuat: a. evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan penyiaran pada tahun sebelumnya b. rencana kebijakan penyiaran untuk tahun yang akan datang. 3. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan juga secara tertulis kepada Presiden dan DPR. 4. KNP wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR setiap 3 (tiga) bulan. 5. Dengan tidak mengurangi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KNP wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh DPR. 6. Jika diminta, sejauh berkaitan dengan tugas dan wewenang KNP, KNP dapat memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan yang berkaitan dengan informasi dan komunikasi nasional.


Bagian Kesebelas Forum Pengambilan Keputusan

Pasal 17 Bentuk-bentuk forum pengambilan keputusan, adalah : 1. Rapat Pleno Dewan Komisi. 2. Rapat Luar Biasa Dewan Komisi 3. Rapat Kerja Dewan Komisi 4. Rapat Pimpinan Pengurus Harian 5. Rapat Pengurus Harian.



BAB IV PENGATURAN FREKUENSI

Pasal 18

1. Departemen Teknis atau lembaga/ instansi pemerintah yang ditunjuk, wajib memberikan informasi kepada KNP mengenai pemetaan frekuensi radio atau hal-hal lain yang berkaitan dengan keseluruhan perkara frekuensi untuk tujuan penyiaran. 2. KNP harus diberitahu terlebih dahulu mengenai usulan perubahan yang dilakukan terhadap rancangan pemetaan spektrum penyiaran, baik yang dilakukan oleh International Telecommunication Union (ITU) atau badan internasional lainnya, maupun yang dilakukan oleh penentu kebijakan mengenai hal itu di Indonesia. 3. KNP wajib dimintai pendapatnya serta berhak mengajukan rekomendasi berkaitan dengan perubahan rancangan pemetaan spektrum penyiaran. 4. KNP mengelola dan mengembangkan rancangan pendayagunaan frekuensi penyiaran untuk tujuan optimalisasi kemanfaatannya bagi masyarakat. 5. Dalam menyusun rancangan pendayagunaan frekuensi KNP harus memperhitungkan frekuensi yang telah dan akan digunakan oleh lembaga penyiaran dalam suatu peta lokasi frekuensi yang mampu memenuhi kebutuhan sistem penyiaran secara optimal. 6. Secara berkala KNP berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait untuk memperbaiki rancangan frekuensi penyiaran atas pertimbangan perkembangan teknologi serta perubahan yang berkembang didalam masyarakat. 7. KNP wajib memberitahukan kepada masyarakat secara terbuka rancangan pendayagunaan frekuensi penyiaran dan setiap perubahan yang dilakukan atasnya. 8. KNP harus mempertimbangkan peruntukan frekuensi lembaga penyiaran yang telah ada termasuk bagi TVRI dan RRI serta berhak mengajukan rekomendasi perubahan atas frekuensi tersebut sejauh ditujukan untuk kepentingan optimalisasi sistem penyiaran secara keseluruhan.


BAB V PERIZINAN

Pasal 19

1. KNP bertanggungjawab atas pemberian izin dan pembaharuan izin serta menjamin agar pemegang izin tunduk kepada persyaratan perizinan yang berlaku. 2. KNP berwenang mencabut izin penyiaran melalui proses peradilan. 3. Lembaga Penyiaran harus memperoleh izin penyelenggaran penyiaran dari Komisi Nasional Penyiaran sebelum menyelenggarakan kegiatannya.


4. Izin penyelenggaraan penyiaran bagi radio dan televisi berlaku untuk jangka waktu 10 tahun dan dapat diperpanjang. 5. Lembaga Penyiaran wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi radio. 6. Secara berkala KNP menentukan kompetisi untuk menerbitkan izin penyiaran swasta tambahan berdasarkan kepentingan, kenyamanan dan kebutuhan publik serta rancangan frekuensi penyiaran, maupun berdasarkan kepentingan lembaga penyiaran yang potensial dengan memperhatikan iklim pertumbuhan industri yang sehat. 7. Bila dikeluarkan kebijakan adanya izin tambahan, maka KNP harus menerbitkan pengumuman mengenai hal tersebut. Pengumuman ini harus mencakup semua informasi yang terkait dengan perizinan yang akan diterbitkan, termasuk di dalamnya: a. jumlah izin yang akan diterbitkan; b. kategori penyiaran; c. lokasi dan cakupan wilayah; d. kekuatan pemancar dan persyaratan teknis lainnya; e. band frekuensi yang diberikan untuk setiap izin yang akan diterbitkan; dan f. proses penyerahan permohonan, termasuk biaya permohonan. 8. Apabila terdapat lebih dari satu permohonan atas sebuah izin, maka KNP harus memutuskan pemberian izin atas dasar persaingan yang sehat dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut: a. Permintaan atas layanan yang diusulkan dan kebutuhan akan layanan tersebut, dan dengan memperhitungkan layanan penyiaran yang sudah ada dalam geografi terkait. b. Kualitas tehnis dari layanan yang diusulkan dan kapasitas pemohon untuk memberikan layanan yang berkualitas. c. Dampak pemberian izin atas layanan yang diusulkan terhadap monopoli dan kepemilikan silang. d. Kemampuan profesional, finansial dan catatan prestasi bisnis dari pemohon. 9. KNP harus mendasarkan penilaian permohonan izin atas kebijakan penyiaran seperti yang telah diatur dalam pasal 2, 3, 4, 5, dan 6 dari Undang Undang ini. 10. Proses penilaian permohonan izin haruslah adil dan transparan. 11. Bila layak, KNP harus memperbolehkan pihak-pihak yang berkepentingan, di luar para pemohon, untuk mengajukan pendapat mereka dalam hal permohonan izin. 12. Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan. 13. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh perizinan diatur oleh Komisi Nasional Penyiaran.




BAB VI LEMBAGA PENYIARAN

Bagian Pertama Jasa Penyiaran

Pasal 20

1. Jasa Penyiaran yang diselenggarakan oleh lembaga penyiaran dapat terdiri dari : a. Jasa penyiaran radio ; b. Jasa penyiaran televisi ; c. Jasa penyiaran radio dan atau televisi berlangganan dan; d. Jasa penyiaran lainnya 2. Jasa penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran.


Bagian Kedua Lembaga Penyiaran

Pasal 21

Lembaga Penyiaran terdiri atas : a. Lembaga Penyiaran Komersial b. Lembaga Penyiaran Non Komersial.


Bagian Ketiga Lembaga Penyiaran Komersial

Pasal 22

1. Lembaga Penyiaran Komersial, adalah lembaga penyiaran swasta baik berlangganan maupun tidak yang dipancarkan melalui pancaran terestrial maupun satelit. 2. Lembaga Penyiaran Swasta didirikan oleh warga negara atau badan hukum Indonesia. 3. Lembaga Penyiaran Swasta adalah Lembaga Penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya dapat menyelenggarakan penyiaran seperti yang dimaksud dalam pasal 19 ayat (1).

4. Warga Negara Asing dilarang menjadi pengurus lembaga penyiaran. 5. Lembaga Penyiaran Swasta didirikan dengan modal awal yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia 6. Struktur modal Lembaga Penyiaran Swasta memperhatikan dasar dan tujuan penyiaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

7. Penambahan dan pengembangan pemenuhan modal yang berasal dari modal asing dapat dilakukan sejauh tidak menjadi saham mayoritas dan/atau pemegang saham terbesar. 8. Penambahan dan pengembangan pemenuhan modal asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) di atas untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9. Pemilikan dan penguasaan Lembaga-lembaga Penyiaran Swasta yang mengarah pada pemusatan di satu orang atau di satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun antar wilayah siaran, dibatasi. 10. Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi dengan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio, antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Perusahaan Media Cetak, dan antara Lembaga Penyiaran Swasta dengan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, dibatasi. 11. Kepemilikan silang usaha di bidang penyiaran baik langsung maupun tidak langsung, hanya boleh antara : a. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio dengan 1 (satu) Perusahaan Pers; atau b. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Perusahaan Pers; atau c. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio dengan 1 (satu) Lembaga Penyelenggaran penyiaran Khusus; atau d. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus; atau e. 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta Radio; atau f. 1 (satu) Lembaga Penyelenggara Siaran Berlangganan dengan 1 (satu) Perusahaan Pers. 12. Jumlah kepemilikan yang diperbolehkan terhadap bidang penyiaran yang sama dibatasi dengan mempertimbangkan: a. Jangkauan Siaran b. Wilayah Geografis c. Jenis Mediumnya 13. Pengaturan lebih lanjut sebagaimana disebutkan pada ayat (8) diatas dilakukan oleh KNP 14. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta untuk jasa penyiaran radio atau jasa penyiaran televisi diperoleh dari siaran iklan dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. 15. Sumber pembiayaan Lembaga Penyiaran Swasta untuk jasa penyiaran radio dan atau jasa penyiaran televisi berlangganan diperoleh dari iuran pelanggan, dan usaha-usaha lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. 16. Lembaga Penyiaran wajib memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk memiliki saham atau bentuk kepemilikan lainnya dari modal perusahaan.



Bagian Keempat Jenis-jenis Lembaga Penyiaran

Paragrap Pertama Lembaga Penyiaran Non Komersial

Pasal 23

Lembaga Penyiaran Non Komersial terdiri atas : 1. Lembaga Penyiaran Publik 2. Lembaga Penyiaran Kependidikan.

Paragrap Kedua Lembaga Penyiaran Publik

Pasal 24

1. Lembaga Penyiaran Publik adalah organisasi penyelenggara penyiaran yang dibentuk negara, bersifat nirlaba dan berfungsi sebagai pelayanan informasi bagi kepentingan publik. 2. Termasuk dalam pengertian pasal 23 ayat (1) tersebut diatas adalah Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Paragrap Ketiga Lembaga Penyiaran Kependidikan

Pasal 25

Lembaga Penyiaran Kependidikan adalah organisasi penyelenggara penyiaran yang dibentuk oleh lembaga pendidikan yang bersifat nirlaba dan berfungsi sebagai informasi pendidikan bagi khalayak di wilayah lembaga pendidikan yang bersangkutan.

Bagian Kelima Lembaga Penyiaran Asing

Pasal 26

1. Lembaga Penyiaran Asing dilarang didirikan di Indonesia. 2. Lembaga Penyiaran Asing hanya boleh melakukan kegiatan siaran tidak tetap dan atau kegiatan jurnalistik di Indonesia dengan izin Komisi Nasional Penyiaran. 3. Lembaga Penyiaran Asing dan Kantor Berita Asing yang melakukan kegiatan jurnalistik baik yang disiarkan secara langsung maupun dalam bentuk rekaman harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Lembaga Penyiaran Asing yang menggunakan fasilitas pemancaran dalam wilayah Republik Indonesia, harus melakukan koordinasi dengan KNP.



Bagian Keenam Hubungan Antar Lembaga Penyiaran

Pasal 27

1. Lembaga penyiaran negara dan lembaga penyiaran swasta memiliki kedudukan yang setara dalam berhubungan dengan lembaga atau badan-badan baik didalam maupun diluar negeri. 2. Lembaga-lembaga penyiaran perlu menumbuhkan dan mengembangkan kerjasama serta iklim usaha yang sehat untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya persaingan yang dapat merugikan kepentingan pelayanan bagi masyarakat umum dan masyarakat industri penyiaran. 3. Dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), lembaga-lembaga penyiaran dan para praktisi penyiaran dapat membentuk wadah kerjasama lembaga dan wadah kerjasama profesi 4. Lembaga penyiaran melalui wadah kerjasama antar lembaganya wajib mengembangkan dan menetapkan standar klasifikasi kompetensi karyawan guna menentukan tingkat kompensasi minimum di dalam industri penyiaran. 5. Lembaga penyiaran perlu memperhatikan masukan dari kelompok kerjasama profesi dalam hal menyusun klasifikasi kompetensi.

Bagian Ketujuh Wilayah Jangkauan Siaran

Pasal 28

1. Wilayah jangkauan siaran meliputi : a. Stasiun penyiaran radio wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran nasional dan wilayah siaran lokal. b. Stasiun penyiaran televisi wilayah jangkauan siarannya adalah wilayah siaran lokal, nasional, regional dan internasional. 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah jangkauan siaran ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran


Bagian Kedelapan Modal, Pembiayaan Siaran, Monopoli, dan Kepailitan


Paragrap Pertama Modal Pasal 29

1. Lembaga Penyiaran Komersial didirikan dengan modal yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum yang seluruh modal sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.


2. Modal dasar Lembaga Penyiaran Komersial besarnya ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran 3. Pengalihan sebagian atau seluruh saham lembaga penyiaran harus diberitahukan kepada Komisi Nasional Penyiaran 4. Penambahan atau pemenuhan kebutuhan modal melalui pasar modal dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.


Paragrap Kedua Pembiayaan Pasal 30

1. Pembiayaan Lembaga Penyiaran Publik bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Iuran penyiaran dan sumbangan masyarakat yang diatur Komisi Nasional Penyiaran. 2. Pembiayaan Lembaga Kependidikan bersumber dari lembaga pendidikan yang bersangkutan 3. Pembiayaan Lembaga Penyiaran Komersial bersumber dari siaran iklan dan usaha lain yang sah yang terkait dengan lpenyelenggaraan penyiaran sesuai ketentuan yang ditetapkan Komisi Nasional Penyiaran. 4. Lembaga Penyiaran Publik dan Lembaga Penyiaran Kependidikan dilarang menyiarkan iklan.


Monopoli Pasal 31

1. Kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran komersial yang terpusat di satu orang atau di satu badan hukum, baik antar wilayah penyiaran maupun di satu wilayah penyiaran tertentu dibatasi 2. Kepemilikan dan penguasaan silang antara lembaga penyiaran komersial televisi dengan lembaga penyiaran komersial radio, dan antara lembaga penyiaran komersial dengan perusahan media cetak baik langsung maupun tidak langsung dibatasi 3. Pembatasan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran.


Kepailitan Pasal 32

Ketentuan Pasal 117 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) dikecualikan terhadap Undang-undang ini.


BAB VII PELAKSANAAN SIARAN Bagian Pertama Sumber dan Isi Siaran Pasal 33

1. Lembaga penyiaran wajib menyiarkan mata acara dalam negeri dengan porsi lebih besar dibanding mata acara dari luar negeri. 2. Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan pada khalayak dengan menyiarkan acara pada waktu yang tepat. 3. Lembaga Penyiaran wajib mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi penonton sesuai dengan isi siaran. 4. Lembaga penyiaran wajib menjaga netralitas isi siaran dengan tidak mengutamakan kepentingan golongan tertentu saja. 5. Isi siaran yang bersifat fitnah atau bohong atau yang mengandung unsur sadisme, pornografi, perjudian dan yang mempertentangkan suku, agama , ras dan antar golongan (SARA), pola hidup permisif, konsumtif, hedonistis, feodalistis, merendahkan martabat manusia, nilai keluarga, nilai pribadi, diskriminasi gender, dilarang. 6. Lembaga penyiaran berlangganan wajib memperhatikan perimbangan siaran asing dan siaran dalam negeri sebagai bagian dari siarannya dan menyediakan sekurang-kurangnya satu saluran untuk kepentingan masyarakat di wilayah operasinya. 7. Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber dan isi siaran diatur oleh KNP.


Bagian Kedua Bahasa Siaran Pasal 34

1. Lembaga Penyiaran mengutamakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar siaran. 2. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara. 3. Mata acara berbahasa asing dapat disiarkan dengan bahasa aslinya dan diberi teks bahasa Indonesia atau disulih suarakan kedalam bahasa Indonesia.


Bagian Ketiga Siaran Bersama Pasal 35

1. Lembaga penyiaran dapat melakukan siaran bersama berdasarkan kesepakatan. 2. Siaran bersama dapat dilakukan dalam bentuk relay maupun pool yang dikoordinasikan oleh salah satu lembaga penyiaran.


Bagian Keempat Kegiatan Jurnalistik Pasal 36

1. Lembaga penyiaran mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, mengolah dan menyebarluaskan berita serta berhak melakukan kontrol sosial, kritik dan koreksi. 2. Dalam melaksanakan tugas kegiatan jurnalistik, lembaga penyiaran tunduk kepada Undang-undang Penyiaran.


Bagian Kelima Hak Siar Pasal 37

1. Setiap mata acara yang disiarkan wajib memiliki hak siar. 2. Kepemilikan hak siar seperti tercantum dalam ayat (1) harus dicantumkan secara jelas dalam mata acara. 3. Setiap mata acara siaran dilindungi berdasarkan undang-undang tentang hak cipta.

Bagian Keenam R a l a t Pasal 38

1. Lembaga Penyiaran harus melakukan ralat bila siarannya mengandung materi siaran yang tidak benar. 2. Ralat harus dilakukan dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam, dan bila ini tidak memungkinkan untuk dilakukan, dalam kesempatan yang pertama serta mendapat perlakuan utama. 3. Ralat tidak menghapuskan tanggungjawab hukum lembaga penyiaran.


Bagian Ketujuh Arsip Pasal 39

1. Lembaga penyiaran diharuskan untuk menyimpan bahan siaran, termasuk di dalamnya adalah rekaman audio, rekaman video, foto dan dokumen, setidaknya 1 (satu) tahun setelah disiarkan. 2. Bahan siaran yang memiliki nilai sejarah nasional atau internasional, atau nilai penyiaran yang tinggi harus diserahkan kepada lembaga yang ditunjuk untuk menjaga kelestariannya, sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.


Bagian Kedelapan Sarana Teknik Siaran dan Jasa Tambahan Pasal 40

1. Setiap lembaga penyiaran berhak menggunakan teknik penyiaran yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan industri. 2. Lembaga penyiaran dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dalam lingkup teknologi penyiaran.

Bagian Kesembilan Sensor Pasal 41

Terhadap[ materi yang akan disiarkan dilakukan sensor oleh lembaga penyiaran masing-masing dengan mengacu kepada pedoman perilaku ( code of conduct ) radio dan atau televisi yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Penyiaran.

BAB VIII SIARAN IKLAN

Pasal 42

1. Siaran Iklan terdiri dari siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat. 2. Materi iklan yang disiarkan menjadi tanggungjawab lembaga penyiaran bersangkutan. 3. Siaran iklan niaga dilarang melebihi 20% dari keseluruhan waktu siaran. 4. Siaran iklan layanan masyarakat wajib diberi porsi sekurang-kurangnya 10% dari waktu siaran iklan niaga. 5. Materi iklan niaga harus tunduk pada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku.


BAB IX PEDOMAN PERILAKU BAGI LEMBAGA PENYIARAN

Pasal 43

1. KNP menyusun pedoman perilaku bagi lembaga penyiaran yang bersumber kepada: a. Nilai dan moral masyarakat. b. Aturan main bersama yang berlaku dan disepakati antara lembaga penyiaran dan pihak-pihak lain yang berkepentingan 2. KNP wajib menerbitkan dan mensosialisasikan Pedoman Perilaku ini kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum.


3. Pedoman ini menentukan standard yang berkaitan dengan: a. Penggolongan program dilakukan menurut usia pemirsa dan pendengar; b. Penyiaran program dalam bahasa asing dan daerah; c. Ketepatan dan kenetralan program berita; d. Siaran langsung; e. Siaran Iklan; f. Penggambaran perilaku seks dan kekerasan; g. Kesopanan; h. Rasa hormat terhadap keluarga dan hal pribadi; i. Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan dan; j. Perlindungan anak-anak. 4. KNP secara berkala menilai ulang pedoman perilaku tersebut sesuai dengan perubahan perundang-undangan dan perkembangan masyarakat.


Pasal 44

1. KNP wajib memastikan pedoman perilaku ini dilaksanakan dengan baik oleh lembaga penyiaran. 2. Setiap orang yang mendapati lembaga penyiaran telah melanggar pedoman ini dapat mengajukan keluhan secara tertulis kepada KNP 3. Bila KNP menganggap bahwa suatu keluhan resmi menyangkut hal yang serius, maka KNP perlu menyelidiki hal ini lebih jauh lagi. 4. Sebagai bagian dari ayat (3) KNP memberikan salinan keluhan terhadap lembaga penyiaran termaksud dan memberikan kesempatan untuk mengajukan pendapat bagi perseorangan yang mengajukan keluhan maupun lembaga penyiaran terkait. 5. Sesudah menyimpulkan suatu penyelidikan KNP memberitahukan keputusannya kepada perseorangan yang mengajukan keluhan maupun kepada lembaga penyiaran itu sendiri. .

Pasal 45

1. Bila KNP membenarkan keluhan tersebut, maka KNP bisa memerintahkan lembaga penyiaran untuk membuat siaran atau menerbitkan pernyataan KNP yang berkaitan dengan keluhan itu. 2. Tunduknya lembaga penyiaran kepada pedoman perilaku adalah suatu keharusan bagi semua pemegang izin penyiaran.





BAB X Perlindungan

Pasal 46

Lembaga penyiaran dapat mengajukan tuntutan hukum ke pengadilan terhadap keputusan KNP yang secara langsung berdampak terhadap kepentingannya.


BAB XI PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 47

1. Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk ikut serta dalam memperbaiki, mengembangkan penyiaran nasional, memantau kebijakan penyiaran dan pelaksanaannya. 2. Keikutsertaan seperti yang dinyatakan ayat (1) ini dapat dilakukan melalui : a. Kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga penyiaran dan pemirsa. b. Usulan dan konsep yang berkaitan dengan peningkatan dan pengembangan kualitas penyiaran. c. Lembaga swadaya masyarakat untuk memantau dan berkampanye dalam kaitannya dengan penyiaran, dan atau melakukan kegiatan lainnya. 3. Usulan-usulan kepada KNP yang merujuk kepada ayat (1) tersebut diatas.


BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF DAN KETENTUAN PIDANA

Bagian Pertama Sanksi Administratif

Pasal 48

(1) KNP mengenakan sanksi administratif kepada publik atau pemerintah atau penyelenggara penyiaran atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam UU ini: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 22 ayat (2), (3), (4), (5), (7), (9), (10), (11), (14), (15), (16); Pasal 26 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 27 ayat (4), (5); Pasal 29 ayat (1), (3), (4); Pasal 30 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 31 ayat (1), (2); Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6); Pasal 34 ayat (1), (2), (3); Pasal 37 ayat (1), (2); Pasal 38 ayat (1), (2); Pasal 39 ayat (1), (2); Pasal 40 ayat (1), (2), (3), (4), (5). (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) dapat berupa: a. Peringatan tertulis. b. Denda


c. Pencabutan / pembatalan materi program bermasalah. d. Pencabutan izin penyelenggaran siaran berdasarkan keputusan pengadilan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif ditetapkan oleh KNP.


Bagian Kedua Ketentuan Pidana

Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 tahun dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) tahun dan atau sekurang-kurangnya Rp 700.000.000 (tujuh ratus juta rupiah) dan sebanyak-banyaknya Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah): 1. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan melalui radio dan televisi, hal-hal yang bersifat menghasut, mempertentangkan, dan atau bertentangan dengan ajaran agama, atau merendahkan martabat manusia dan budaya bangsa, sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (4), (5) atau 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan melalui radio dan televisi, hal-hal yang mengungkapkan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (5).

Pasal 50

Barangsiapa dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara 8 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah).

Pasal 51

Barangsiapa dengan sengaja memindahtangankan izin penyelenggaraan siaran, sebagaimana dimaksud dalam pasal: 19 ayat (12) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).


Pasal 52

Barangsiapa dengan sengaja mendirikan lembaga penyiaran asing sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).



Pasal 53

Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum, melakukan tindkan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kegiatan jurnalistik sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Pasal 54

1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar hak cipta penyiaran, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 37 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja memperluas wilayah jangkauan siarannya melebihi ketentuan yang tercantum dalam izin yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Atas perintah pengadilan, maka setiap rekaman audio atau audio visual dan setiap peralatan yang digunakan untuk melanggar pasal 3 ayat (4) dan (5) dapat disita atau dimusnahkan.


BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 56

Ketentuan pasal 117 ayat 1 huruf a undang-undang nomor 1 tahun 1995 tentang perseroan terbatas (lembaran negara Republik Indonesia tahun 1995, nomor 13 dan tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 3587) dikecualikan terhadap undang-undang ini.

Pasal 57

1. Dengan berlakunya undang-undang ini, segala peraturan dibidang penyiaran yang berlaku serta badan atau lembaga yang telah ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini. 3. Lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah undang undang ini diberlakukan.


3. KNP selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah diundangkannya undang-undang ini harus sudah dibentuk. 4. Pemerintah wajib membuat penyesuaian terhadap lembaga atau departemen yang berkaitan dengan kegiatan penyiaran dalam waktu 1 (satu) tahun sesudah diberlakukannya undang-undang ini.


BAB XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Dengan berlakunya undang-undang ini, undang-undang nomor 24 tahun 1997 tentang penyiaran (lembaran negara Republik Indonesia tahun 1997, nomor 72 dan tambahan lembaran negara nomor 3701) dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 59

Undang-undang mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Diundangkan Disahkan Pada tanggal ....... 2000 Pada tanggal .… 2000 SEKRETARIS NEGARA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Djohan Effendi KH Abdurrahman Wahid


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR ……



]


PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …… TAHUN 2000 TENTANG PENYIARAN


I. Umum Pada hakekatnya manusia adalah makhluk monodualis (makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial) yang konsekuensinya setiap manusia membutuhkan bersentuhan, berinteraksi dengan manusia lainnya untuk memanusiakan dirinya artinya membentuk dan meningkatkan harkat dan martabatnya.

Bertolak dari hakekat manusia itu yang sekaligus cita hukum yang sarat dengan nilai-nilai dan berfungsi konstitutif (membentuk keabsahan substansi sebagai hukum) dan fungsi regulatif (menentukan nilai keadilan) Undang-Undang Dasar 1945 berikut perubahannya telah menjabarkannya ke dalam Pasal 28 f yang berbunyi: “ Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu kecenderungan domestik atau nasional dan internasional menunjukkan arah ditegakkannya asas demokrasi/kedaulatan rakyat, asas penegakan hak dan kewajiban asasi manusia dan asas supremasi hukum yang harus ditampung dalam pengaturan mengenai penyiaran yang baru, guna menggantikan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1997 tentang Penyiaran yang dirasa sudah usang atau tidak memadai.

Pengaturan penyiaran diperlukan karena strategis, kedudukannya dalam hidup dan kehidupan manusia sebagai pribadi atau perorangan maupun sebagai bangsa, ditunjang fungsi dan tujuan serta arahnya. Karenanya pula pengaturan itu harus memberikan perlindungan kepada penyelenggara penyiaran dan publik atau masyarakat disamping memungkinkan pengembangan diri penyelenggara penyiaran.

Pengaturan penyiaran pada akhirnya juga diharapkan memberikan kontribusi kepada bangsa untuk menjaga persatuan dan kesatuan, menjaga integritas teritorial, menjaga kepribadian bangsa dan menjaga kehormatan bangsa, yang bermuara kepada ketahanan nasional yaitu kondisi dinamis bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan untuk meningkatkan kekuatan sosial menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri yang mengganggu tercapainya tujuan nasional, mengisi kemerdekaan yang pandu cita-cita nasional.


II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Penyiaran yang dimaksud dalam Undang-Undang ini, hanya yang pemancarannya melalui gelombang radio sebagai ranah publik, tidak dimasukkan siaran yang disalurkan melalui kabel, dan serat optik. Kabel dan serat optik merupakan media yang bukan ranah publik, karena pemiliknya bisa terdiri atas beberapa instansi atau perorangan. Penyiaran juga mencakup kegiatan penyelenggaraan penyiaran dan publiknya sebagai satu proses yang terjadi di masyarakat.

Pasal 2 Cukup jelas

Pasal 3 Cukup jelas

Pasal 4 Cukup jelas

Pasal 5 Cukup jelas

Pasal 6 Cukup jelas

Pasal 7 Gelombang radio yang tersedia secara terbatas, penggunaan dan manfaatnya harus dikuasai oleh negara dan bukan dimiliki oleh negara

Pasal 8 Komisi Penyiaran yang independen dan bersifat nasional itu ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.

Pasal 9 Cukup jelas


Cukup jelas

Pasal 11 Cukup jelas

Pasal 12 Cukup jelas

Pasal 13 Untuk penyelenggaraan organisasi Dewan Komisi Penyiaran hanya dibatasi maksimum dua kali masa jabatan dengan masing-masing selama tiga tahun.

Pasal 14 Cukup jelas

Pasal 15 Penggantian antar waktu Dewan Komisi Penyiaran atas usul DPR-RI kepada Presiden, setelah memperoleh masukan dari kelompok kepentingan di dalam masyarakat yang berkaitan dengan penyiaran dan lembaga penyiaran. Hal ini guna menghindari diperpolitisirnya Komisi Penyiaran.

Pasal 16 Cukup jelas

Pasal 17 Cukup jelas

Pasal 18 Cukup jelas

Pasal 19 Tingkat-tingkat pemindahan ini dimaksudkan untuk pengembangan dan perlindungan bagi lembaga penyiaran masyarakat/publik.

Pasal 20 Cukup jelas

Pasal 21 Penyiaran adalah pemancaran siaran yang menggunakan gelombang radio ke udara melalui transmisi teresterial.

Pasal 22 Cukup jelas

Pasal 23 Cukup jelas

Pasal 24 Cukup jelas

Pasal 25 Yang dimaksud berbentuk badan hukum Indonesia adalah Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.

Pasal 26 Mengingat penyelenggaraan penyiaran berkedudukan strategis, yang mempengaruhi ketahanan nasional dalam pencapaian tujuan nasional maka penyertaan modal dan tenaga asing perlu pengaturan khusus.

Pasal 27 Perlu dicegah monopoli baik dalam hal pemilikan maupun dalam hal pemirsa / pendengar (audience).

Pasal 28 Cukup jelas

Pasal 29 Cukup jelas

Pasal 30 Cukup jelas

Pasal 31 Baik instansi maupun perorangan dalam penyelenggaraan penyiaran memiliki tanggung jawab baik secara organisatoris maupun secara hukum.

Pasal 32 Perlu ditentukan antisipasi frekuensi kegiatan siaran tidak hanya untuk setiap minggu/ bulan/tahun dalam komisi penyiaran.

Pasal 33 Cukup jelas

Pasal 34 Cukup jelas

Pasal 35 Disini dibedakan antara tata krama penyiaran bagi lembaga penyiaran dan kode etik siaran penyiaran bagi insan / perorangan yang melakukan penyiaran.

Pasal 36 Cukup jelas

Pasal 37 Cukup jelas

Pasal 38 Cukup jelas

Pasal 39 Cukup jelas


Pasal 40 Cukup jelas

Pasal 41 Cukup jelas

Pasal 42 Cukup jelas

Pasal 43 Cukup jelas

Pasal 44 Cukup jelas

Pasal 45 Cukup jelas

Pasal 46 Cukup jelas

Pasal 47 Cukup jelas

Pasal 48 Cukup jelas

Pasal 49 Cukup jelas


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR ……