Lompat ke isi

Pisowanan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-nasehat +nasihat)
Mouche (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3: Baris 3:


Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa [[Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta]] pada tanggal [[28 Oktober]] [[2008]] lalu. Di mana [[Sri Sultan Hamengkubuwono X]] menyatakan dirinya siap maju sebagai calon [[presiden]] di [[pemilihan umum]] mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan [[tradisi]] Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.
Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa [[Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta]] pada tanggal [[28 Oktober]] [[2008]] lalu. Di mana [[Sri Sultan Hamengkubuwono X]] menyatakan dirinya siap maju sebagai calon [[presiden]] di [[pemilihan umum]] mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan [[tradisi]] Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.

==Sowan / silaturahmi==
Silaturahmi (shilah [a]r-rahim) secara bahasa berasal dari kata shilah dan ar-rahim. Secara bahasa, shilah artinya hubungan; dan ar-rahimu, bentuk jamaknya al-arhâm, artinya rahim dan kerabat. Kata arhâm di dalam al-Quran dinyatakan tujuh kali dengan makna rahim dan lima kali dengan makna kerabat. Dengan demikian silaturahmi secara bahasa adalah hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang bertalian melalui rahim.

Kerabat, selain disebut ar-rahim, juga disebut dzawi al-qurbâ. Itu artinya silaturahmi bisa juga disebut shilatu dzawi al-qurbâ (hubungan dengan orang yang memiliki ikatan kekerabatan). Ini diperintahkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 26; QS ar-Rum [30]: 38; QS an-Nisa’ [4]: 36).

Silaturahmi itu berkaitan dengan memberikan hak dan berbuat baik kepada kerabat. Karena itu Ibn al-Atsir di An-Nihayah mengatakan bahwa silaturahmi itu adalah kinayah (ungkapan) tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; berlaku lemah lembut dan berbelas kasih kepada mereka; mengatur dan memelihara kondisi mereka. Semua ini dilakukan meski mereka itu jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi berlawanan dengan semua itu.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyebutkan silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, dengan bantuan, dengan berkunjung, mengucap salam dan sebagainya.

Ibn Abi Jamrah seperti dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan bahwa silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, dengan menolong untuk memenuhi keperluan, dengan menghilangkan dharar, dengan muka berseri-seri (tidak bermuka masam) dan doa. Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.

Jadi silaturahmi itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana. Di antaranya berkunjung dalam berbagai kesempatan, memperhatikan kondisi mereka, membantu mereka, memberi hadiah dalam berbagai kesempatan, membela kerabat dan anak-anak mereka, memaafkan berbagai kesalahan atau kekhilafan meski banyak, memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagainya. Bisa juga silaturahmi itu dijaga dengan memelihara kontak dan komunikasi dengan arham.

Dalam hal silaturahmi ini, ada tiga kategori orang: orang yang menyambung silaturahmi (wâshil ar-rahim); orang yang menjaga silaturahmi; dan orang yang memutus silaturahmi (qâthi’ ar-rahim).

Rasul saw. bersabda: Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubung-kan silaturahmi adalah orang yang jika kekerabatannya diputus, ia menghubungkan-nya (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

Dari hadis ini dapat dipahami, orang yang menyambung silaturahmi adalah yang menyambug hubungan rahim-nya yang diputus oleh pihak lain. Jadi dia mengambil inisiatif untuk menyambungnya. Adapun orang yang saling membalas kebaikan di antara kerabat bukanlah wâshil ar-rahim, tetapi al-mukâfi’, artinya yang memelihara silaturahmi.

Orang yang abai dari perbuatan baik atau menolak dharar dari kerabatnya yang mampu dia lakukan tidak dipandang melakukan silaturahmi meski tidak sampai termasuk qâthi’ ar-rahim. Siapa saja yang tidak bersilaturahmi juga bukan berarti qâthi’ ar-rahim. Jika silaturahmi adalah ihsan (kebaikan) maka qath’urahmi adalah isâ’ah (keburukan/kejahatan). Dengan demikian memutuskan silaturahmi adalah keburukan/kejahatan, baik kecil atau besar kepada rahim (kerabat). Jadi orang yang melakukan keburukan atau kejahatan kepada kerabat, kecil atau besar, ia menjadi qâthi’ ar-rahim.

Silaturahmi itu mengharuskan adanya pertemuan dan interaksi atau ikhtilath di antara kerabat, bahkan ikhtilath dengan kerabatnya kerabat. Ikhtilath atau pertemuan dan interaksi seperti itu adalah boleh.


{{indo-sejarah-stub}}
{{indo-sejarah-stub}}

Revisi per 4 Maret 2016 18.47

Pisowanan adalah sebuah tradisi dalam kerajaan-kerajaan Jawa, di mana bawahan-bawahan raja/sultan datang (sowan) ke istana untuk melaporkan perkembangan daerah yang dipimpinnya. Pisowanan boleh dikatakan merupakan sebuah wujud pertanggungjawaban pemimpin-pemimpin daerah kepada raja. Setelah mendengarkan laporan dari para bawahannya, raja/sultan biasanya akan memberikan nasihat, teguran, ataupun perintah (titah) bagi masing-masing pemimpin daerah.

Pada perkembangannya, istilah pisowanan jadi melebar dan jauh dari konteks aslinya. Hal ini dapat terlihat dari peristiwa Pisowanan Agung Rakyat Yogyakarta pada tanggal 28 Oktober 2008 lalu. Di mana Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan dirinya siap maju sebagai calon presiden di pemilihan umum mendatang. Hal ini membuat pisowanan yang awalnya adalah sebuah warisan tradisi Jawa menjadi sebuah peristiwa politik.

Sowan / silaturahmi

Silaturahmi (shilah [a]r-rahim) secara bahasa berasal dari kata shilah dan ar-rahim. Secara bahasa, shilah artinya hubungan; dan ar-rahimu, bentuk jamaknya al-arhâm, artinya rahim dan kerabat. Kata arhâm di dalam al-Quran dinyatakan tujuh kali dengan makna rahim dan lima kali dengan makna kerabat. Dengan demikian silaturahmi secara bahasa adalah hubungan yang muncul karena rahim atau hubungan kekerabatan yang bertalian melalui rahim.

Kerabat, selain disebut ar-rahim, juga disebut dzawi al-qurbâ. Itu artinya silaturahmi bisa juga disebut shilatu dzawi al-qurbâ (hubungan dengan orang yang memiliki ikatan kekerabatan). Ini diperintahkan oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Isra’ [17]: 26; QS ar-Rum [30]: 38; QS an-Nisa’ [4]: 36).

Silaturahmi itu berkaitan dengan memberikan hak dan berbuat baik kepada kerabat. Karena itu Ibn al-Atsir di An-Nihayah mengatakan bahwa silaturahmi itu adalah kinayah (ungkapan) tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan perkawinan; berlaku lemah lembut dan berbelas kasih kepada mereka; mengatur dan memelihara kondisi mereka. Semua ini dilakukan meski mereka itu jauh atau berbuat buruk. Memutus silaturahmi berlawanan dengan semua itu.

Imam an-Nawawi dalam Syarh Muslim menyebutkan silaturahmi adalah berbuat baik kepada kerabat sesuai kondisi orang yang menyambung dan yang disambung; bisa dengan harta, dengan bantuan, dengan berkunjung, mengucap salam dan sebagainya.

Ibn Abi Jamrah seperti dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, mengatakan bahwa silaturahmi bisa dilakukan dengan harta, dengan menolong untuk memenuhi keperluan, dengan menghilangkan dharar, dengan muka berseri-seri (tidak bermuka masam) dan doa. Pengertian yang bersifat menyeluruh adalah menyampaikan kebaikan yang mungkin disampaikan dan menghilangkan keburukan yang mungkin dihilangkan, sesuai dengan kesanggupan.

Jadi silaturahmi itu bisa dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana. Di antaranya berkunjung dalam berbagai kesempatan, memperhatikan kondisi mereka, membantu mereka, memberi hadiah dalam berbagai kesempatan, membela kerabat dan anak-anak mereka, memaafkan berbagai kesalahan atau kekhilafan meski banyak, memenuhi kebutuhan mereka, dan sebagainya. Bisa juga silaturahmi itu dijaga dengan memelihara kontak dan komunikasi dengan arham.

Dalam hal silaturahmi ini, ada tiga kategori orang: orang yang menyambung silaturahmi (wâshil ar-rahim); orang yang menjaga silaturahmi; dan orang yang memutus silaturahmi (qâthi’ ar-rahim).

Rasul saw. bersabda: Orang yang menghubungkan silaturahmi bukanlah orang yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubung-kan silaturahmi adalah orang yang jika kekerabatannya diputus, ia menghubungkan-nya (HR al-Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad).

Dari hadis ini dapat dipahami, orang yang menyambung silaturahmi adalah yang menyambug hubungan rahim-nya yang diputus oleh pihak lain. Jadi dia mengambil inisiatif untuk menyambungnya. Adapun orang yang saling membalas kebaikan di antara kerabat bukanlah wâshil ar-rahim, tetapi al-mukâfi’, artinya yang memelihara silaturahmi.

Orang yang abai dari perbuatan baik atau menolak dharar dari kerabatnya yang mampu dia lakukan tidak dipandang melakukan silaturahmi meski tidak sampai termasuk qâthi’ ar-rahim. Siapa saja yang tidak bersilaturahmi juga bukan berarti qâthi’ ar-rahim. Jika silaturahmi adalah ihsan (kebaikan) maka qath’urahmi adalah isâ’ah (keburukan/kejahatan). Dengan demikian memutuskan silaturahmi adalah keburukan/kejahatan, baik kecil atau besar kepada rahim (kerabat). Jadi orang yang melakukan keburukan atau kejahatan kepada kerabat, kecil atau besar, ia menjadi qâthi’ ar-rahim.

Silaturahmi itu mengharuskan adanya pertemuan dan interaksi atau ikhtilath di antara kerabat, bahkan ikhtilath dengan kerabatnya kerabat. Ikhtilath atau pertemuan dan interaksi seperti itu adalah boleh.