Lompat ke isi

Sakatiga, Indralaya, Ogan Ilir: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k fix edit
Herupkru (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 13: Baris 13:
'''Sakatiga''' adalah [[desa]] yang berada di [[Indralaya, Ogan Ilir|Kecamatan Indralaya]], [[Kabupaten Ogan Ilir]], [[Sumatera Selatan]], [[Indonesia]].
'''Sakatiga''' adalah [[desa]] yang berada di [[Indralaya, Ogan Ilir|Kecamatan Indralaya]], [[Kabupaten Ogan Ilir]], [[Sumatera Selatan]], [[Indonesia]].


SEJARAH DESA SAKATIGA
{{Indralaya, Ogan Ilir}}

Dahulu kala di Palembang terdapat sebuah desa bernama desa Sakatiga, menurut riwayat yang dituturkan Damhuri, seorang tetua adat di Sakatiga kepada Majalah Lentera Pendidikan, nama desa Sakatiga merupakan perpaduan dari asal suku dari tiga orang yang berlainan.

Suku pertama bernama Sebetung dari suku Penesak kecamatan Tanjung Batu, sekarang setelah pemekaran wilayahnya menjadi kecamatan lubuk Keliat dan sampai sekatang masih terdapat desa Betung di kecamatan Lubuk Keliat, suku kedua bernama Sangtiko berasal dari suku Belida (suku yang terdapat di daerah Gelumbang kota Prabumulih) dan suku ketiga berasal dari suku JawaMataram Kuno yang bernama Bakaliantang. Penduduk keturunan suku Belida mendiami sebelah ilir dari sungai Ogan, Ketrunan suku penesak mendiami sebelah Ulu sungai Ogan dan suku  Jawa mendiami bagian tengah.

Dari ketiga orang suku tersebut ditunjuklah orang yang akan menghadap Sunan Palembang dan mereka memilih Bakaliantang, tak lama mka berangkatlah Bakaliantang menghadap sunan di Palembang, yang mengabarkan mereka bertiga telah mendirikan sebah dusun yang diberi nama SUKUTIGA. Mendengar laporan tersebut sunan Palembang mengirim utusan untuk pergi k tempat yang dimaksud dan ternyata memang benar di tempat tersebut telah banyak penduduk yang bermukim. Di era pemerintahan susuhunan.

Abdurrahman Amangkurat VI atau Sido Ing Rejek telah terjadi peperangan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam peperangan ini terjadilah ketegangan antar kedua belah pihak memaksa Susuhunan Abdurahman Sidi Ing Rejek memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang ke Selatan agar lebih aman yaitu desa Sakatiga dan sekitarnya. Selama peperangan berlangsung kegiatan syi’ar agama Islam tetap dilakukan. Pusat daerah pemerintahan darurat Kesultanan Palembang Darussalam bertempat di desa Muara Meranjat, sedangkan para Putri Raja dan dayangnya diungsikan ke empat yang lebih aman yaitu di desa pondok Mandiangin dan Tanjung Dayang yang terletak lebih ke hulu sungai Ogan yang melintasi desa Muara meranjat. Di daerah itu para putri raja dan dayang istana membuat kerajinan tenun songket, perhiasan dan pandai besi, hingga saat ini pun kerajinan itu masih dibuat oleh para penduduk.

Sedangkan para hulubalang dan prajurit istana mendiami desa Sanggombang dan desa Tanjung Pering, dan mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa sedangkan untuk daerah Sakatiga, Indralaya dan Lubuk Sakti adalah keturunan Melayu. Selama peperangan di jaman Susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek dalam kedudukannya peran desa Sakatiga merupakan Ring kubu yakni pertahanan ke tiga yang di[im[in langsung oleh Susuhunan Abdurrahman sendiri, sedangkan ring kubu pertahanan pertama berpusat di Sako kenten, dan ring kubu pertahanan kedua terdapat di Sabu kingking, kedua kubu tersebut dipimpin langsung oleh Abdurrochim yang merupaka saudara kandung dari susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek, seusai melakukan sidang penting para raja dan hulubalang akan beristirahat di desa Sakatiga yang merupakan pusat pertahanan lapis ke tiga ini. Dengan posisi menghadap ke kiblat, makam ketiga yang berada di luar bangunan utama adalah makam seekor kuda yakni kuda tunggangan raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang turut mati bersama sang raja. Dalam perjalanannya itu raja dan hulubalang naik dari sungai ke daratan memakai tangga yang hingga kini masih terdapat sisa bangunan tangga tersebut dan penduduk Sakatiga menamakannya dengan sebutan Tanggo Rajo. Sisa bangunan Tanggo Rajo ini terletak di bawah bangunan jembatan besi yang ada sekarang. Menurut Azwar, juru kunci makam Sido Ing Rejek, pembuatan jembatan besi membuat Tanggo Rajo itu tergeser dan sekarang sudah tidak ada lagi.

Peperangan terus berlangsung dan kubu pertahanan masih tetap bertahan di desa Sakatiga, pada tahun 1691, yang mulia Susuhunan abdurrahman Amangkurat VI sido ing Rejek wafat, tidak ada yang tahu pasti penyebab wafatnya. Menurut dugaan Sunan wafat bersamaan dengan empat orang pengikut setianya serta seekor kuda tunggangan raja susuhunan Abdurrahman Sid Ing Rejek.

Para syuhada yang wafat tersebut dimakamkan di satu areal pemakamam di desa sakatiga yang terletak di kompleks makam rajaSido IngRejek. Di kompleks makam tersebut terdapat lima buah makam, dua buah makam terletak di bangunan utama, menurut keterangan Azwar, satu makam pertama adalah makam Susuhunan Abdurrahman Sido Ing Rejek, sedangkan makam ang ke dua adalah makam imam besar raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang bernama Syekh Syaidina Ali seorang keturunan dari negeri Arab. Letak makam tersebut tidak sejajar, akan tetapi makam ke dua dengan ukuran nisan sedikit lebih turun, bentuk dan motif ukuran yang terdapat dari makam tersebut bercorak tulisan Arab dan Al-Qur’an berbahan kayu.{{Indralaya, Ogan Ilir}}


{{kelurahan-stub}}
{{kelurahan-stub}}

Revisi per 27 Maret 2016 07.00

Sakatiga
Negara Indonesia
ProvinsiSumatera Selatan
KabupatenOgan Ilir
KecamatanIndralaya
Kode pos
30816
Kode Kemendagri16.10.04.2013 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Jumlah penduduk... jiwa
Kepadatan... jiwa/km²

Sakatiga adalah desa yang berada di Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia.

SEJARAH DESA SAKATIGA

Dahulu kala di Palembang terdapat sebuah desa bernama desa Sakatiga, menurut riwayat yang dituturkan Damhuri, seorang tetua adat di Sakatiga kepada Majalah Lentera Pendidikan, nama desa Sakatiga merupakan perpaduan dari asal suku dari tiga orang yang berlainan.

Suku pertama bernama Sebetung dari suku Penesak kecamatan Tanjung Batu, sekarang setelah pemekaran wilayahnya menjadi kecamatan lubuk Keliat dan sampai sekatang masih terdapat desa Betung di kecamatan Lubuk Keliat, suku kedua bernama Sangtiko berasal dari suku Belida (suku yang terdapat di daerah Gelumbang kota Prabumulih) dan suku ketiga berasal dari suku JawaMataram Kuno yang bernama Bakaliantang. Penduduk keturunan suku Belida mendiami sebelah ilir dari sungai Ogan, Ketrunan suku penesak mendiami sebelah Ulu sungai Ogan dan suku  Jawa mendiami bagian tengah.

Dari ketiga orang suku tersebut ditunjuklah orang yang akan menghadap Sunan Palembang dan mereka memilih Bakaliantang, tak lama mka berangkatlah Bakaliantang menghadap sunan di Palembang, yang mengabarkan mereka bertiga telah mendirikan sebah dusun yang diberi nama SUKUTIGA. Mendengar laporan tersebut sunan Palembang mengirim utusan untuk pergi k tempat yang dimaksud dan ternyata memang benar di tempat tersebut telah banyak penduduk yang bermukim. Di era pemerintahan susuhunan.

Abdurrahman Amangkurat VI atau Sido Ing Rejek telah terjadi peperangan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam peperangan ini terjadilah ketegangan antar kedua belah pihak memaksa Susuhunan Abdurahman Sidi Ing Rejek memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang ke Selatan agar lebih aman yaitu desa Sakatiga dan sekitarnya. Selama peperangan berlangsung kegiatan syi’ar agama Islam tetap dilakukan. Pusat daerah pemerintahan darurat Kesultanan Palembang Darussalam bertempat di desa Muara Meranjat, sedangkan para Putri Raja dan dayangnya diungsikan ke empat yang lebih aman yaitu di desa pondok Mandiangin dan Tanjung Dayang yang terletak lebih ke hulu sungai Ogan yang melintasi desa Muara meranjat. Di daerah itu para putri raja dan dayang istana membuat kerajinan tenun songket, perhiasan dan pandai besi, hingga saat ini pun kerajinan itu masih dibuat oleh para penduduk.

Sedangkan para hulubalang dan prajurit istana mendiami desa Sanggombang dan desa Tanjung Pering, dan mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa sedangkan untuk daerah Sakatiga, Indralaya dan Lubuk Sakti adalah keturunan Melayu. Selama peperangan di jaman Susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek dalam kedudukannya peran desa Sakatiga merupakan Ring kubu yakni pertahanan ke tiga yang di[im[in langsung oleh Susuhunan Abdurrahman sendiri, sedangkan ring kubu pertahanan pertama berpusat di Sako kenten, dan ring kubu pertahanan kedua terdapat di Sabu kingking, kedua kubu tersebut dipimpin langsung oleh Abdurrochim yang merupaka saudara kandung dari susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek, seusai melakukan sidang penting para raja dan hulubalang akan beristirahat di desa Sakatiga yang merupakan pusat pertahanan lapis ke tiga ini. Dengan posisi menghadap ke kiblat, makam ketiga yang berada di luar bangunan utama adalah makam seekor kuda yakni kuda tunggangan raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang turut mati bersama sang raja. Dalam perjalanannya itu raja dan hulubalang naik dari sungai ke daratan memakai tangga yang hingga kini masih terdapat sisa bangunan tangga tersebut dan penduduk Sakatiga menamakannya dengan sebutan Tanggo Rajo. Sisa bangunan Tanggo Rajo ini terletak di bawah bangunan jembatan besi yang ada sekarang. Menurut Azwar, juru kunci makam Sido Ing Rejek, pembuatan jembatan besi membuat Tanggo Rajo itu tergeser dan sekarang sudah tidak ada lagi.

Peperangan terus berlangsung dan kubu pertahanan masih tetap bertahan di desa Sakatiga, pada tahun 1691, yang mulia Susuhunan abdurrahman Amangkurat VI sido ing Rejek wafat, tidak ada yang tahu pasti penyebab wafatnya. Menurut dugaan Sunan wafat bersamaan dengan empat orang pengikut setianya serta seekor kuda tunggangan raja susuhunan Abdurrahman Sid Ing Rejek.

Para syuhada yang wafat tersebut dimakamkan di satu areal pemakamam di desa sakatiga yang terletak di kompleks makam rajaSido IngRejek. Di kompleks makam tersebut terdapat lima buah makam, dua buah makam terletak di bangunan utama, menurut keterangan Azwar, satu makam pertama adalah makam Susuhunan Abdurrahman Sido Ing Rejek, sedangkan makam ang ke dua adalah makam imam besar raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang bernama Syekh Syaidina Ali seorang keturunan dari negeri Arab. Letak makam tersebut tidak sejajar, akan tetapi makam ke dua dengan ukuran nisan sedikit lebih turun, bentuk dan motif ukuran yang terdapat dari makam tersebut bercorak tulisan Arab dan Al-Qur’an berbahan kayu.