Lompat ke isi

Noumena: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sarungtenun (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Sarungtenun (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Ansichtslosigkeit''':(point-of-viewness): Objectivity, pendekatan yang dilakukan Martin Heidegger untuk menggali kebenaran murni. Sebuah pendekatan tanpa adanya perantara kepada fakta sebenarnya.
'''Ansichtslosigkeit''':(point-of-viewness): Objectivity, pendekatan yang dilakukan [[Martin Heidegger]] untuk menggali kebenaran murni. Sebuah pendekatan tanpa adanya perantara kepada fakta sebenarnya.


Tidak adanya perantara tidak hanya dalam pengertian fisik, tapi bagaimana kebenaran itu didekati dengan membiarkan 'ada' hadir dengan sendirinya sampai kepada si pengamat. Tanpa sempat dibentuk oleh satupun bentuk pemahaman dari luar, baik yang hadir mengiringi obyek tersebut maupun kesadaran yang ada dalam si pengamat. Maka si pengamat pun harus hadir dengan tanpa asumsi, an sich. Hingga kebenaran dapat hadir secara utuh, tanpa fragmen-fragmen yang perlu disatukan lagi.
Tidak adanya perantara tidak hanya dalam pengertian fisik, tapi bagaimana kebenaran itu didekati dengan membiarkan 'ada' hadir dengan sendirinya sampai kepada si pengamat. Tanpa sempat dibentuk oleh satupun bentuk pemahaman dari luar, baik yang hadir mengiringi obyek tersebut maupun kesadaran yang ada dalam si pengamat. Maka si pengamat pun harus hadir dengan tanpa asumsi, [[an sich]]. Hingga kebenaran dapat hadir secara utuh, tanpa fragmen-fragmen yang perlu disatukan lagi.
{{filsafat-stub}}
{{filsafat-stub}}



Revisi per 5 Februari 2008 05.55

Ansichtslosigkeit:(point-of-viewness): Objectivity, pendekatan yang dilakukan Martin Heidegger untuk menggali kebenaran murni. Sebuah pendekatan tanpa adanya perantara kepada fakta sebenarnya.

Tidak adanya perantara tidak hanya dalam pengertian fisik, tapi bagaimana kebenaran itu didekati dengan membiarkan 'ada' hadir dengan sendirinya sampai kepada si pengamat. Tanpa sempat dibentuk oleh satupun bentuk pemahaman dari luar, baik yang hadir mengiringi obyek tersebut maupun kesadaran yang ada dalam si pengamat. Maka si pengamat pun harus hadir dengan tanpa asumsi, an sich. Hingga kebenaran dapat hadir secara utuh, tanpa fragmen-fragmen yang perlu disatukan lagi.