Lompat ke isi

Rasio pajak: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sdavidsubijanto (bicara | kontrib)
Sdavidsubijanto (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3: Baris 3:
Walaupun rasio pajak bukan satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak, namun hingga saat ini rasio pajak menjadi ukuran yang dianggap memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.<ref name=aenyp5>Aeny, paragraf 4.</ref>Di samping itu, rasio pajak dianggap sebagai acuan yang mudah untuk menilai kapasitas sistem perpajakan di suatu negara.<ref name=vissarop3>Vissaro, paragraf 3.</ref>
Walaupun rasio pajak bukan satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak, namun hingga saat ini rasio pajak menjadi ukuran yang dianggap memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.<ref name=aenyp5>Aeny, paragraf 4.</ref>Di samping itu, rasio pajak dianggap sebagai acuan yang mudah untuk menilai kapasitas sistem perpajakan di suatu negara.<ref name=vissarop3>Vissaro, paragraf 3.</ref>


== Definisi Rasio Pajak di Dunia ==
== Definisi Rasio Pajak IMF dan OECD ==


Definisi rasio pajak di suatu negara boleh jadi berbeda dengan di negara lain. Definisi yang digunakan di negara-negara pada umumnya mengikuti definisi yang ditetapkan oleh [[IMF]] atau [[OECD]]. Perbedaan utamanya terletak pada unsur atau komponen apa saja yang dimasukkan sebagai penerimaan pajak.<ref name=vissarop7>Vissaro, paragraf 7.</ref> Suatu negara mungkin saja hanya memasukkan unsur pajak pusat, sedangkan negara lain memasukkan unsur pajak pusat dan daerah. Bahkan ada pula negara yang memasukkan komponen penerimaan pajak pusat, pajak daerah dan penerimaan sumber daya alam sekaligus.<ref name=aenyp10-11>Aeny, paragraf 10-11.</ref>
Definisi rasio pajak di suatu negara boleh jadi berbeda dengan di negara lain. Definisi yang digunakan di negara-negara pada umumnya mengikuti definisi yang ditetapkan oleh [[IMF]] atau [[OECD]]. Perbedaan utamanya terletak pada unsur atau komponen apa saja yang dimasukkan sebagai penerimaan pajak.<ref name=vissarop7>Vissaro, paragraf 7.</ref> Suatu negara mungkin saja hanya memasukkan unsur pajak pusat, sedangkan negara lain memasukkan unsur pajak pusat dan daerah. Bahkan ada pula negara yang memasukkan komponen penerimaan pajak pusat, pajak daerah dan penerimaan sumber daya alam sekaligus.<ref name=aenyp10-11>Aeny, paragraf 10-11.</ref>
Baris 9: Baris 9:
Acuan yang digunakan oleh IMF mengenai penerimaan pajak mencakup seluruh penerimaan pajak, baik dari pusat dan daerah, bea cukai, keuntungan badan usaha yang dikendalikan pemerintah yang ditransfer ke pemerintah (selain dividen), maupun penerimaan negara dari sumber daya alam. Sedangkan definisi OECD terkait cakupan penerimaan pajak lebih luas lagi, yaitu ditambah dengan kontribusi jaminan sosial. <ref name=vissarop11-12>Vissaro, paragraf 11-12.</ref>
Acuan yang digunakan oleh IMF mengenai penerimaan pajak mencakup seluruh penerimaan pajak, baik dari pusat dan daerah, bea cukai, keuntungan badan usaha yang dikendalikan pemerintah yang ditransfer ke pemerintah (selain dividen), maupun penerimaan negara dari sumber daya alam. Sedangkan definisi OECD terkait cakupan penerimaan pajak lebih luas lagi, yaitu ditambah dengan kontribusi jaminan sosial. <ref name=vissarop11-12>Vissaro, paragraf 11-12.</ref>


== Definisi Rasio Pajak di Indonesia ==
== Definisi Rasio Pajak yang Digunakan di Indonesia ==


Di Indonesia sendiri dikenal dua macam definisi perhitungan rasio pajak yang berbeda berdasarkan cakupan penerimaan pajak, yaitu rasio pajak dalam cakupan sempit dan cakupan luas. Rasio pajak dalam cakupan sempit mencakup penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, antara lain [[PPh]], [[PPN]]/[[PPnBM]], [[PBB]], [[Bea dan Cukai]], dan pajak lainnya sebagaimana ditetapkan dalam postur [[APBN]].
Di Indonesia sendiri dikenal dua macam definisi perhitungan rasio pajak yang berbeda berdasarkan cakupan penerimaan pajak, yaitu rasio pajak dengan cakupan sempit dan cakupan luas. Rasio pajak dengan cakupan sempit hanya mencakup penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, antara lain [[PPh]], [[PPN]]/[[PPNBM]], [[PBB]], [[Bea dan Cukai]], dan pajak lainnya sebagaimana ditetapkan dalam postur [[APBN]].<ref name=vissarop14>Vissaro, paragraf 14.</ref> Sedangkan rasio pajak dengan cakupan luas mencakup penerimaan negara bukan pajak ([[PNBP]]), sumber daya alam migas dan pertambangan. Dalam mengukur rasio pajak, selama ini Indonesia menggunakan definisi cakupan sempit<ref name=vissarop15>Vissaro, paragraf 15.</ref>, atau penerimaan pajak pusat, yaitu pajak-pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.<ref name=aenyp12>Aeny, paragraf 12.</ref>


== Catatan ==
== Catatan ==

Revisi per 14 November 2017 07.43

Rasio pajak adalah perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB).[1] Rasio ini menyatakan jumlah pajak yang dikumpulkan pada suatu masa berbanding dengan pendapatan nasional atau PDB di masa yang sama.[2]Rasio pajak merupakan salah satu indikator untuk menilai kinerja penerimaan pajak.

Walaupun rasio pajak bukan satu-satunya indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja pajak, namun hingga saat ini rasio pajak menjadi ukuran yang dianggap memberi gambaran umum atas kondisi perpajakan di suatu negara.[3]Di samping itu, rasio pajak dianggap sebagai acuan yang mudah untuk menilai kapasitas sistem perpajakan di suatu negara.[4]

Definisi Rasio Pajak IMF dan OECD

Definisi rasio pajak di suatu negara boleh jadi berbeda dengan di negara lain. Definisi yang digunakan di negara-negara pada umumnya mengikuti definisi yang ditetapkan oleh IMF atau OECD. Perbedaan utamanya terletak pada unsur atau komponen apa saja yang dimasukkan sebagai penerimaan pajak.[5] Suatu negara mungkin saja hanya memasukkan unsur pajak pusat, sedangkan negara lain memasukkan unsur pajak pusat dan daerah. Bahkan ada pula negara yang memasukkan komponen penerimaan pajak pusat, pajak daerah dan penerimaan sumber daya alam sekaligus.[6]

Acuan yang digunakan oleh IMF mengenai penerimaan pajak mencakup seluruh penerimaan pajak, baik dari pusat dan daerah, bea cukai, keuntungan badan usaha yang dikendalikan pemerintah yang ditransfer ke pemerintah (selain dividen), maupun penerimaan negara dari sumber daya alam. Sedangkan definisi OECD terkait cakupan penerimaan pajak lebih luas lagi, yaitu ditambah dengan kontribusi jaminan sosial. [7]

Definisi Rasio Pajak yang Digunakan di Indonesia

Di Indonesia sendiri dikenal dua macam definisi perhitungan rasio pajak yang berbeda berdasarkan cakupan penerimaan pajak, yaitu rasio pajak dengan cakupan sempit dan cakupan luas. Rasio pajak dengan cakupan sempit hanya mencakup penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat, antara lain PPh, PPN/PPNBM, PBB, Bea dan Cukai, dan pajak lainnya sebagaimana ditetapkan dalam postur APBN.[8] Sedangkan rasio pajak dengan cakupan luas mencakup penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sumber daya alam migas dan pertambangan. Dalam mengukur rasio pajak, selama ini Indonesia menggunakan definisi cakupan sempit[9], atau penerimaan pajak pusat, yaitu pajak-pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.[10]

Catatan

  1. ^ Sakti, p. 138.
  2. ^ Aeny, paragraf 5.
  3. ^ Aeny, paragraf 4.
  4. ^ Vissaro, paragraf 3.
  5. ^ Vissaro, paragraf 7.
  6. ^ Aeny, paragraf 10-11.
  7. ^ Vissaro, paragraf 11-12.
  8. ^ Vissaro, paragraf 14.
  9. ^ Vissaro, paragraf 15.
  10. ^ Aeny, paragraf 12.

Referensi


  • Sakti, Nufransa Wira (2014). Buku Pintar Pajak E-Commerce dari Mendaftar Sampai Membayar. Visimedia. ISBN 979-06522-08. 
  • Aeny, Suci Noor (20 April 2017). "Memahami Arti Tax Ratio". DDTC Trusted Indonesian Tax News Portal. Diakses tanggal 14 November 2017.