Lompat ke isi

Kemelayuan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Pierrewee (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'thumb|300px|right|[[Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei pada malam sebelum Ramadhan. Kerajaan makmur...'
 
Pierrewee (bicara | kontrib)
rev
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque 02.jpg|thumb|300px|right|[[Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin]] di [[Brunei]] pada malam sebelum [[Ramadhan]]. Kerajaan makmur ini mengadopsi [[Melayu Islam Beraja]] (''Monarki Islam Melayu'') sebagai filosofi nasional sejak kemerdekaannya pada tahun 1984.]]
[[Berkas:Sultan Omar Ali Saifuddin Mosque 02.jpg|thumb|300px|right|[[Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin]] di [[Brunei]] pada malam sebelum [[Ramadhan]]. Kerajaan makmur ini mengadopsi [[Melayu Islam Beraja]] (''Monarki Islam Melayu'') sebagai filosofi nasional sejak kemerdekaannya pada tahun 1984.]]


'''Kemelayuan''' ({{lang-en|Malayness}} [[Abjad Jawi|Jawi]]: كملايوان) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan menjadi orang Melayu, atau mewujudkan karakteristik orang Melayu, dan digunakan untuk merujuk pada apa yang mengikat dan membedakan orang-orang Melayu dan membentuk dasar persatuan dan identitas mereka. People who call themselves [[Ethnic Malays|Malay]] are found in many countries in [[Southeast Asia]], united by a notional shared identity but divided by political boundaries, divergent histories, variant dialects and peculiarities of local experience. While the term 'Malay' is widely used and readily understood in the region, it remains open to varying interpretations due to its varied and fluid characteristics. 'Malay' as an identity, or nationality, is considered as one of the most challenging and perplexing concepts in the multi-ethnic world of [[Southeast Asia]].<ref>{{harvnb|Barnard|2004|p=320}}</ref>
'''Kemelayuan''' ({{lang-en|Malayness}} [[Abjad Jawi|Jawi]]: كملايوان) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan menjadi Melayu, atau mewujudkan karakteristik Melayu, dan digunakan untuk merujuk pada apa yang mengikat dan membedakan orang-orang Melayu dan membentuk dasar persatuan dan identitas mereka. Orang-orang yang menyebut diri mereka [[Suku Melayu|Melayu]] ditemukan di banyak negara di [[Asia Tenggara]], disatukan oleh identitas bersama yang abstrak namun terbagi oleh batas-batas politik, sejarah yang berbeda, dialek berbeda, dan kekhasan pengalaman lokal. Sementara istilah 'Melayu' banyak digunakan dan mudah dipahami di wilayah ini, namun tetap terbuka terhadap berbagai interpretasi karena karakteristiknya yang bervariasi dan berubah-ubah. "Melayu" sebagai identitas, atau kebangsaan, dianggap sebagai salah satu konsep yang paling menantang dan membingungkan di dunia [[Asia Tenggara]] yang multi-etnis .<ref>{{harvnb|Barnard|2004|p=320}}</ref>


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 24 November 2017 05.31

Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei pada malam sebelum Ramadhan. Kerajaan makmur ini mengadopsi Melayu Islam Beraja (Monarki Islam Melayu) sebagai filosofi nasional sejak kemerdekaannya pada tahun 1984.

Kemelayuan (bahasa Inggris: Malayness Jawi: كملايوان) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan menjadi Melayu, atau mewujudkan karakteristik Melayu, dan digunakan untuk merujuk pada apa yang mengikat dan membedakan orang-orang Melayu dan membentuk dasar persatuan dan identitas mereka. Orang-orang yang menyebut diri mereka Melayu ditemukan di banyak negara di Asia Tenggara, disatukan oleh identitas bersama yang abstrak namun terbagi oleh batas-batas politik, sejarah yang berbeda, dialek berbeda, dan kekhasan pengalaman lokal. Sementara istilah 'Melayu' banyak digunakan dan mudah dipahami di wilayah ini, namun tetap terbuka terhadap berbagai interpretasi karena karakteristiknya yang bervariasi dan berubah-ubah. "Melayu" sebagai identitas, atau kebangsaan, dianggap sebagai salah satu konsep yang paling menantang dan membingungkan di dunia Asia Tenggara yang multi-etnis .[1]

Referensi

  1. ^ Barnard 2004, hlm. 320

Bibliografi

  • Andaya, Leonard Y. (2008), Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, University of Hawaii press, ISBN 978-0-8248-3189-9 
  • Azlan Tajuddin (2012), Malaysia in the World Economy (1824–2011): Capitalism, Ethnic Divisions, and "Managed" Democracy, Lexington Books, ISBN 978-0-7391-7196-7 
  • Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapore: Singapore University press, ISBN 9971-69-279-1 
  • Barrington, Lowell (2006), After Independence: Making and Protecting the Nation in Postcolonial and Postcommunist States, University of Michigan press, ISBN 978-0-472-06898-2 
  • Benjamin, Geoffrey; Chou, Cynthia (2002), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, London: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-166-6 
  • Blackburn, Kevin; Hack, Karl (2012), War, Memory and the Making of Modern Malaysia and Singapore, National University of Singapore, ISBN 978-9971-69-599-6 
  • Chong, Terence (2008), Globalization and Its Counter-forces in Southeast Asia, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-478-0 
  • Hall, Daniel George Edward (1981), History of South East Asia, Macmillan, ISBN 978-0-333-24163-9 
  • Hefner, Robert W. (2001), Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia, University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-2487-7 
  • Hood Salleh (2011), The Encyclopedia of Malaysia, 12 - Peoples and Traditions, Editions Didier Millet, ISBN 978-981-3018-53-2 
  • Hoyt, Sarnia Hayes (1993), Old Malacca, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-588619-1 
  • Khoo, Boo Teik; Loh, Francis (2001), Democracy in Malaysia: Discourses and Practices (Democracy in Asia), Routledge, ISBN 978-0-7007-1161-1 
  • Kipp, Rita Smith (1996), Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an Indonesian Society, University of Michigan Press, ISBN 978-0-472-08402-9 
  • Milner, Anthony (2010), The Malays (The Peoples of South-East Asia and the Pacific), Wiley-Blackwell, ISBN 978-1-4443-3903-1 
  • Zaki Ragman (2003), Gateway to Malay culture, Asiapac Books Pte Ltd, ISBN 981-229-326-4