Lompat ke isi

Semoga Tuhan mengasihani jiwamu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
Baris 1: Baris 1:
[[Berkas:Seddon_being_sentenced_to_death.jpg|ka|jmpl|355x355px|Pada tahun 1912, peracun Frederick Seddon (''kiri'') divonis hukuman mati oleh Mr Keadilan Bucknill mengenakan topi hitam (''kanan'')]]
[[Berkas:Seddon_being_sentenced_to_death.jpg|ka|jmpl|355x355px|Pada tahun 1912, peracun Frederick Seddon (''kiri'') divonis hukuman mati oleh Mr Keadilan Bucknill mengenakan topi hitam (''kanan'')]]
"'''Semoga Tuhan mengasihani jiwamu'''" atau "'''semoga Tuhan mengampuni jiwamu'''" adalah frase yang digunakan dalam [[pengadilan]] di berbagai sistem hukum oleh hakim-hakim yang menjatuhkan [[hukuman mati]] kepada orang yang bersalah atas kejahatan yang dilakukannya. Frase ini berasal dari pengadilan ulama-ulama [[Yahudi]] ([[Beth din|''beth din'']]) di zaman [[Kerajaan Israel (kerajaan bersatu)|kerajaan Israel]], sebagai cara untuk mengatributkan kepada [[Tuhan]], otoritas tertinggi di dalam hukum.<ref name="et">{{Cite book|title=The Ethical Outlook, Volumes 46-47|publisher=American Ethical Union|year=1960|page=56}}</ref> Penggunaan ungkapan ini kemudian menyebar ke dalam sistem hukum [[Inggris dan Wales]], dan dari sana ungkapan tersebut digunakan di seluruh koloni [[Imperium Britania|Kerajaan Inggris]] pada setiap disahkannya hukuman mati.
"'''Semoga Tuhan mengasihani jiwamu'''" atau "'''semoga Tuhan mengampuni jiwamu'''" adalah frase yang digunakan dalam [[pengadilan]] di berbagai sistem hukum oleh hakim-hakim yang menjatuhkan [[hukuman mati]] kepada orang yang bersalah atas kejahatan yang dilakukannya. Frase ini berasal dari pengadilan ulama-ulama [[Yahudi]] (''[[beth din]]'') di zaman [[Kerajaan Israel (kerajaan bersatu)|kerajaan Israel]], sebagai cara untuk mengatributkan kepada [[Tuhan]], otoritas tertinggi di dalam hukum.<ref name="et">{{Cite book|title=The Ethical Outlook, Volumes 46-47|publisher=American Ethical Union|year=1960|page=56}}</ref> Penggunaan ungkapan ini kemudian menyebar ke dalam sistem hukum [[Inggris dan Wales]], dan dari sana ungkapan tersebut digunakan di seluruh koloni [[Imperium Britania|Kerajaan Inggris]] pada setiap disahkannya hukuman mati.


Tergantung dimana ungkapan tersebut digunakan, ungkapan itu memiliki penekanan yang berbeda selama bertahun-tahun. Ungkapan tersebut secara formal dimaksudkan sebagai doa untuk jiwa yang dikutuk. Namun, di kemudian hari, khususnya di [[Amerika Serikat]], ungkapan itu hanya dikatakan sebagai akibat dari tradisi hukum, sebab arti dari segi keagamaan dan asal muasalnya tidak didasarkan pada keyakinan.
Tergantung dimana ungkapan tersebut digunakan, ungkapan itu memiliki penekanan yang berbeda selama bertahun-tahun. Ungkapan tersebut secara formal dimaksudkan sebagai doa untuk jiwa yang dikutuk. Namun, di kemudian hari, khususnya di [[Amerika Serikat]], ungkapan itu hanya dikatakan sebagai akibat dari tradisi hukum, sebab arti dari segi keagamaan dan asal muasalnya tidak didasarkan pada keyakinan.

Revisi per 3 Desember 2017 11.19

Pada tahun 1912, peracun Frederick Seddon (kiri) divonis hukuman mati oleh Mr Keadilan Bucknill mengenakan topi hitam (kanan)

"Semoga Tuhan mengasihani jiwamu" atau "semoga Tuhan mengampuni jiwamu" adalah frase yang digunakan dalam pengadilan di berbagai sistem hukum oleh hakim-hakim yang menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang bersalah atas kejahatan yang dilakukannya. Frase ini berasal dari pengadilan ulama-ulama Yahudi (beth din) di zaman kerajaan Israel, sebagai cara untuk mengatributkan kepada Tuhan, otoritas tertinggi di dalam hukum.[1] Penggunaan ungkapan ini kemudian menyebar ke dalam sistem hukum Inggris dan Wales, dan dari sana ungkapan tersebut digunakan di seluruh koloni Kerajaan Inggris pada setiap disahkannya hukuman mati.

Tergantung dimana ungkapan tersebut digunakan, ungkapan itu memiliki penekanan yang berbeda selama bertahun-tahun. Ungkapan tersebut secara formal dimaksudkan sebagai doa untuk jiwa yang dikutuk. Namun, di kemudian hari, khususnya di Amerika Serikat, ungkapan itu hanya dikatakan sebagai akibat dari tradisi hukum, sebab arti dari segi keagamaan dan asal muasalnya tidak didasarkan pada keyakinan.

Referensi

  1. ^ The Ethical Outlook, Volumes 46-47. American Ethical Union. 1960. hlm. 56.