Lompat ke isi

Kaliblah: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Alamnirvana (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Kaliblah''' atau '''Kalibelah''' adalah nama sebuah [[tombak]] pusaka [[Kesultanan Banjar]]. Tombak Kaliblah merupakan [[hadiah]] [[Raja Sumbawa]] XIII Sultan [[Muhammad Kaharudddin II]] (m. 1795-1816) kepada Raja Banjar Tahmidillah II / [[Sunan Nata Alam]] / Sulaiman Saidullah I (m. 1801-1825). Keberadaan tombak terakhir berada di tangan [[Demang Lehman]]. Ketika kekalahan Demang Lehman, tombak disita oleh Daeng Manrapie dan kemudian diserahkan kepada Bronbeek.
'''Kaliblah''' atau '''Kalibelah''' adalah nama sebuah [[tombak]] pusaka [[Kesultanan Banjar]]. Tombak Kaliblah merupakan [[hadiah]] [[Raja Sumbawa]] XIII Sultan [[Muhammad Kaharudddin II]] (m. 1795-1816) kepada sepupu sekalinya Raja Banjar Tahmidillah II / [[Sunan Nata Alam]] / Sulaiman Saidullah I (m. 1801-1825). Keberadaan tombak terakhir berada di tangan [[Demang Lehman]]. Ketika kekalahan Demang Lehman, tombak disita oleh Daeng Manrapie dan kemudian diserahkan kepada Bronbeek.





Revisi per 25 Maret 2018 07.18

Kaliblah atau Kalibelah adalah nama sebuah tombak pusaka Kesultanan Banjar. Tombak Kaliblah merupakan hadiah Raja Sumbawa XIII Sultan Muhammad Kaharudddin II (m. 1795-1816) kepada sepupu sekalinya Raja Banjar Tahmidillah II / Sunan Nata Alam / Sulaiman Saidullah I (m. 1801-1825). Keberadaan tombak terakhir berada di tangan Demang Lehman. Ketika kekalahan Demang Lehman, tombak disita oleh Daeng Manrapie dan kemudian diserahkan kepada Bronbeek.


Sejarah Tombak Kaliblah

Berikut ini terkait dengan tombak Kaliblah.

Dia dulu milik senjata nasional Sultan Sumbawa. Salah satu Sultan ini sekarang menikah dengan Ratu Laija, saudara perempuan dari Sultan Banjar ke-8 Tahmid Illah II (alias Sunan Nata Alam/Sulaiman Saidullah 1 memerintah 1785-1808) dari Bandjermasin.

Buah dari pernikahan itu adalah Sulthan Mohamad (Sultan Muhammad Kaharudddin II / Lalu Muhammad Sultan Sumbawa 1795-1816), yang kemudian memerintah atas Sumbawa.

Sesaat sebelum kematiannya pangeran ini harus menyatakan harapannya bahwa tombak Kaliblah harus diberikan kepada Sultan Bandjermasin, Soleman (sepupu sekali Sultan Muhammad Kaharudddin II), dan segera setelah kabar itu datang ke Bandjermasin diutus duta di bawah Kiaij Karta Suta ke Sumbawa untuk menerima tombak yang dimaksud di sana.

Dari Sultan Soleman (Sulaiman Saidullah 2 memerintah 1801-1825), Kaliblah beralih ke Sultan Adam Alwatzikh Billah, yang, bagaimanapun, harus memberikannya kepada Pangeran Hidaijat sekitar 10 tahun yang lalu.

Sesuatu yang lain tidak diketahui tentang tombak ini. Sampai saat pengajuan pertama Hidaijat tampaknya telah ada dalam kepemilikannya, tetapi setelah Martapura-nya yang cepat berada di tangan Demang Lehman, setidaknya dia menjelaskan ini ketika Bupati Martapura (Pangeran Djaija Pamenang) bertanya kepadanya, saat dia akan pergi dari sana ke Bandjermasin dan ke Jawa.

Demang Lehman mendengar tentang ini, mengklaim bahwa dia telah menerima tombak yang dimaksudkan dari Hidaijat sebagai hadiah. Dia mengatakan dia tidak tahu apakah itu telah dihiasi dengan berlian berharga sebelumnya; ketika dia, Demang Lehman, menerima Kalibah Hidaijat, itu diletakkan dengan batu-batu palsu (Yakot). Untuk meminimalkan kemungkinan kehilangan tombak (yang selalu mempertahankan nilai penyerahan diri), ia telah menetapkan puncak baru pada tombak Kaliblah dan selalu membawa puncak Kaliblah sendiri.

Tombak yang diubah ini dengan batu-batu palsu, katanya, disita olehnya dalam pertempuran dengan orang-orang Pegattan dan kemudian harus menjadi tanda yang dibebankan oleh Daeng Manrapie dan kemudian ditakdirkan untuk Bronbeek.

Meskipun Kaliblah dulu dihias dengan berlian dan Hidaijat atau Demang Lehnan telah melucuti senjatanya, begitu banyak yang pasti bahwa itu memiliki nilai yang kecil, bahkan lebih kecil dari keris Singkir, saat penyerahannya (kepada kolonial Belanda).[1][2][3]


Rujukan