Lompat ke isi

Alergi makanan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Menambah {{Commonscat|Food allergy}}
Baris 33: Baris 33:


{{medis-stub}}
{{medis-stub}}
{{Commonscat|Food allergy}}

[[Kategori:Alergi]]
[[Kategori:Alergi]]

Revisi per 29 April 2018 23.50

Alergi makanan
Urtikaria di punggung adalah gejala yang sering muncul
Informasi umum
SpesialisasiImunologi Sunting ini di Wikidata
PenyebabRespon imun terhadap makanan[1]
Faktor risikoSejarah keluarga, kekurangan vitamin D, obesitas, terlalu bersih[1][2]
Aspek klinis
Gejala dan tandaGatal, mulut membengkak, muntah, diare, urtikaria, susah bernafas, tekanan darah rendah[1]
Awal munculBeberapa menit hingga beberapa jam setelah terpapar[1]
DurasiJangka panjang[2]
DiagnosisBerdasarkan sejarah medis, diet eliminasi, uji alergi kulit[1][2]
Kondisi serupaIntoleransi makanan, penyakit seliak, keracunan makanan[1]
Tata laksana
PencegahanTerpapar dengan alergen sejak dini[2][3]
PerawatanMenghindari makanan yang mengakibatkan alergi, menyiapkan rencana jika terkena alergi[1][2]
PengobatanAdrenalin (epinefrin)[1]
Prevalensi~6% (negara maju)[1][2]

Alergi makanan adalah respon imun terhadap makanan yang tidak normal.[1] Gejala-gejalanya bisa sedang atau parah.[1] Beberapa gejala yang dapat muncul adalah gatal-gatal, mulut membengkak, muntah, diare, urtikaria, susah bernafas, atau tekanan darah rendah.[1] Gejala biasanya muncul dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam setelah mengonsumsi alergen.[1] Jika gejalanya parah, kondisi pasien disebut anafilaksis.[1]

Makanan yang sering menjadi penyebab alergi adalah susu sapi, kacang, telur, kerang, ikan, kacang pohon, kedelai, gandum, nasi, dan buah-buahan.[1][2][4] Alergi yang sering muncul tergantung pada negaranya.[1] Faktor risiko meliputi sejarah keluarga yang memiliki alergi, kekurangan vitamin D, obesitas, dan tingkat kebersihan yang terlalu tinggi.[1][2] Alergi terjadi ketika imunoglobulin E (IgE, bagian dari sistem kekebalan tubuh) terikat pada molekul makanan.[1] Biasanya protein di dalam makanan yang menjadi masalah.[2] Protein ini memicu senyawa-senyawa penyebab radang seperti histamin.[1] Diagnosis biasanya didasarkan pada sejarah medis, diet eliminasi, uji kulit, atau uji darah untuk mencari antibodi IgE.[1][2]

Jika sejak dini seseorang sudah mengonsumsi makanan yang dapat menjadi alergen, kemungkinan terjadinya alergi dapat dikurangi.[2][3] Pengidap alergi sebaiknya menghindari makanan yang menjadi alergen dan memiliki rencana jika alergi muncul.[2] Rencana ini termasuk pemberian adrenalin (epinefrin) jika alergi muncul dan pengidap alergi sebaiknya mengenakan kalung khusus penanda alergi.[1] Manfaat imunoterapi alergen masih belum jelas, sehingga tidak disarankan.[5] Beberapa jenis alergi yang muncul saat masih kecil akan hilang seiring bertambahnya usia (termasuk alergi susu, telur, dan kedelai), tetapi alergi kacang dan kerang biasanya akan terus muncul sampai dewasa.[2]

Di negara maju, paling tidak 4-8% memiliki satu jenis alergi makanan.[1][2] Alergi lebih sering muncul pada anak-anak daripada orang dewasa.[2] Anak laki-laki lebih banyak yang mengidap alergi daripada anak perempuan.[2] Beberapa alergi muncul pada saat masih kecil, sementara yang lain baru muncul saat sudah dewasa.[1] Di negara maju, banyak orang yang mengira bahwa mereka mengidap alergi makanan, padahal sebenarnya tidak.[6][7][8]

Pernyataan mengenai keberadaan alergen dalam makanan tidak diwajibkan di negara manapun kecuali Brasil.[9][10][11]

Catatan kaki

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w National Institute of Allergy and Infectious Diseases (July 2012). "Food Allergy An Overview" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (pdf) tanggal 2016-03-05. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Sicherer, SH.; Sampson, HA. (Feb 2014). "Food allergy: Epidemiology, pathogenesis, diagnosis, and treatment". J Allergy Clin Immunol. 133 (2): 291–307; quiz 308. doi:10.1016/j.jaci.2013.11.020. PMID 24388012. 
  3. ^ a b Ierodiakonou, D; Garcia-Larsen, V; Logan, A; Groome, A; Cunha, S; Chivinge, J; Robinson, Z; Geoghegan, N; Jarrold, K; Reeves, T; Tagiyeva-Milne, N; Nurmatov, U; Trivella, M; Leonardi-Bee, J; Boyle, RJ (20 September 2016). "Timing of Allergenic Food Introduction to the Infant Diet and Risk of Allergic or Autoimmune Disease: A Systematic Review and Meta-analysis". JAMA. 316 (11): 1181–1192. doi:10.1001/jama.2016.12623. PMID 27654604. 
  4. ^ Nowak-Węgrzyn, A; Katz, Y; Mehr, SS; Koletzko, S (May 2015). "Non-IgE-mediated gastrointestinal food allergy". The Journal of Allergy and Clinical Immunology. 135 (5): 1114–24. doi:10.1016/j.jaci.2015.03.025. PMID 25956013. 
  5. ^ "Allergen Immunotherapy". April 22, 2015. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 June 2015. Diakses tanggal 15 June 2015. 
  6. ^ "Making sense of allergies" (PDF). Sense About Science. hlm. 1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 18 June 2015. Diakses tanggal 7 June 2015. 
  7. ^ Coon, ER.; Quinonez, RA.; Moyer, VA.; Schroeder, AR. (Nov 2014). "Overdiagnosis: how our compulsion for diagnosis may be harming children". Pediatrics. 134 (5): 1013–23. doi:10.1542/peds.2014-1778. PMID 25287462. 
  8. ^ Ferreira, CT.; Seidman, E. "Food allergy: a practical update from the gastroenterological viewpoint". J Pediatr (Rio J). 83 (1): 7–20. doi:10.2223/JPED.1587. PMID 17279290. 
  9. ^ Allen KJ, Turner PJ, Pawankar R, Taylor S, Sicherer S, Lack G, Rosario N, Ebisawa M, Wong G, Mills EN, Beyer K, Fiocchi A, Sampson HA (2014). "Precautionary labelling of foods for allergen content: are we ready for a global framework?". World Allergy Organ J. 7 (1): 10. doi:10.1186/1939-4551-7-10. PMC 4005619alt=Dapat diakses gratis. PMID 24791183. 
  10. ^ FDA (18 December 2017). "Food Allergies: What You Need to Know". Diakses tanggal 12 January 2018. 
  11. ^ "Agência Nacional de Vigilância Sanitária Guia sobre Programa de Controle de Alergênicos". Agência Nacional de Vigilância Sanitária (ANVISA). 2016. Diakses tanggal 7 April 2018.