Lompat ke isi

Pemerintah Kota Padang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 121: Baris 121:
[[Berkas:WilayahPadang.jpg|jmpl|Peta wilayah administratif kota Padang]]
[[Berkas:WilayahPadang.jpg|jmpl|Peta wilayah administratif kota Padang]]
[[Berkas:Logo Padang.svg|jmpl|Lambang daerah kota Padang]]
[[Berkas:Logo Padang.svg|jmpl|Lambang daerah kota Padang]]
{| class="wikitable"
{| class="wikitable sortable"
|-
|-
! No !! Kecamatan !! Kota Kecamatan !! Luas Wilayah
! No !! Kecamatan !! Kota Kecamatan !! Luas Wilayah

Revisi per 15 Agustus 2018 02.53

Pemerintah Provinsi
Sumatera BaratPemerintah Kota
Padang
Lambang Kota Padang
Dasar hukum
UU No. 9 Tahun 1956
Kepala daerah
Wali kotaMahyeldi Ansharullah
Wakil wali kotaEmzalmi
Dewan perwakilan rakyat daerah
KetuaElly Thrisyanti
Wakil ketua
  • Asrizal
  • Muhidi
  • Wahyu Iramana Putra
Perangkat daerah
Sekretariat daerahAsnel
(Sekretaris Daerah)
Sekretariat DPRDAli Basar
(Sekretaris DPRD)
InspektoratAndri Yulika
(Inspektur)
Pembagian administratif
Jumlah kecamatan11
Situs resmi
http://www.padang.go.id/

Pemerintah Kota Padang merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, yang menganut sistem desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan menjalankan otonomi seluas-luasnya serta tugas pembantuan di kota Padang.

Pemerintahan kota Padang dipimpin oleh seorang wali kota, yang dipilih secara demokratis berdasarkan UUD 1945, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan kota Padang terdiri atas pemerintah kota Padang dan DPRD kota Padang.

Setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, secara resmi pusat pemerintahan Kota Padang dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[1] Pada lokasi baru ini termasuk dalam zona yang relatif aman terhadap risiko bencana tsunami dan hal ini juga mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai.

Sejarah

Masa kolonial

Balai Kota Padang tempo dulu

Pertumbuhan beberapa kawasan yang sedemikian pesat telah menimbulkan masalah baru bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meskipun mekanisme dan kegiatan pemerintahan telah bertambah maju, namun pemerintahan Hindia Belanda yang mencakup kepulauan yang terpencar-pencar dan saling berjauhan itu tidak dapat terawasi secara efektif. Keadaan tersebut akhirnya menyebabkan warga kolonial menginginkan pemodelan urusan pemerintahannya sebagaimana model di negeri Belanda sendiri, yaitu sistem kekotaprajaan yang diperintah oleh seorang wali kota dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka pada tanggal 1 Maret 1906, berdasarkan ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditandatangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz sistem pemerintahan desentralisasi mulai diperkenalkan di Hindia Belanda.

Sejak 1 April 1906 termasuk Kota Padang telah berstatus gemeente (kota), yang kemudian diiringi dengan pembentukan Dewan Kotapraja. Tugas utamanya adalah perbaikan tingkat kesehatan masyarakat dan transportasi, termasuk penanganan masalah-masalah bangunan, pemeliharaan jalan dan jembatan serta penerangan jalan-jalan, begitu pula pengontrolan sanitasi, kebersihan selokan dan sampah-sampah, pengelolaan persediaan air, pengelolaan pasar dan rumah potong, perluasan kota dan kawasan permukiman, tanah pekuburan, dan pemadam kebakaran.[2]

Pada tahun 1928 Mr. W.M. Ouwerkerk dipilih sebagai Burgemeester (wali kota) yang memerintah Kota Padang hingga tahun 1940. Ia kemudian digantikan oleh D. Kapteijn sampai masuknya tentara pendudukan Jepang tahun 1942. Dalam meningkatkan layanan pemerintahan pada tahun 1931 dibangunlah gedung Gemeente Huis (Balai Kota) dengan arsitektur gaya balai kota Eropa berciri khas sebuah menara jam yang berlokasi di Jalan Raaffweg (sekarang Jalan Mohammad Yamin, Kecamatan Padang Barat).

Awal kemerdekaan

Wali Kota Padang kedua Bagindo Azizchan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional era kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Mr. Abubakar Jaar diangkat sebagai wali kota pertama Kota Padang dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Mr. Abubakar Jaar merupakan seorang pamong sejak zaman Belanda,[3] yang kemudian menjadi residen di Sumatera Utara.[4] Pada tanggal 15 Agustus 1946 dipilih Bagindo Azizchan sebagai wali kota kedua,[5] atas usulan Residen Mr. St. M. Rasjid,[6][7] seiring dengan keadaan negara dalam situasi darurat perang akibat munculnya agresi Belanda. Kemudian pada tanggal 19 Juli 1947, Belanda melancarkan sebuah serangan militer dalam Kota Padang. Bagindo Azizchan yang waktu itu berada di Lapai ikut tewas terbunuh sewaktu menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan Kota Padang.[8]

Untuk menghindari kekosongan pemerintahan, Said Rasad dipilih sebagai pengganti, dan menjadi Wali kota ketiga. Kemudian ia memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Padangpanjang.[9] Namun, pada bulan September 1947, Belanda menunjuk dr. A. Hakim, untuk menjadi wali kota Padang.[9]

Pada awal tahun 1950-an, sewaktu dr. Rasidin menjadi wali kota Padang, ia mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan becak sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Padang, karena dianggap kurang manusiawi.[9] Kemudian pada tahun 1956 B. Dt. Pado Panghulu, seorang penghulu dari Kota Payakumbuh, terpilih sebagai wali kota Padang berikutnya.[3] Tidak lama kemudian, pecah ketegangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ketegangan memuncak pada tanggal 15 Februari 1958, dan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dideklarasikan. Selanjutnya, PRRI yang dianggap sebagai pemberontak[10] oleh pemerintah pusat dihancurkan dengan pengiriman kekuatan militer terbesar yang tercatat dalam sejarah Indonesia.[11] Akibat peristiwa ini juga, terjadi eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain.[12]

Setelah PRRI pada tanggal 31 Mei 1958, Z. A. St. Pangeran dilantik menjadi wali Kota Padang yang ketujuh, dengan setumpuk beban berat. Selain melanjutkan pembangunan, ia juga harus memulihkan kondisi psikologis masyarakat yang tercabik akibat perang saudara.[12] Namun pada pertengahan tahun 1966, dia dipaksa mundur dari jabatannya oleh para mahasiswa.[13]

Orde Baru dan otonomi daerah

Balai Kota Padang di Jalan Padang By Pass, Air Pacah.

Setelah runtuhnya demokrasi terpimpin pasca Gerakan 30 September, dan kemudian muncul istilah Orde Baru, pada tahun 1966, Drs. Azhari ditunjuk menjadi wali kota oleh pihak militer menggantikan wali kota sebelumnya yang dianggap cendrung berpihak kepada PKI waktu itu.[13][14] Pada tahun 1967, ia digantikan oleh Drs. Akhiroel Yahya sebagai wali kota berikutnya.[15]

Pada tahun 1971, Drs. Hasan Basri Durin ditunjuk menjadi pejabat wali kota mengantikan wali kota sebelumnya. Tahun 1973 dia terpilih menjadi wali kota definitif, memimpin Kota Padang selama dua periode sampai tahun 1983,[16] sebelum digantikan oleh Syahrul Ujud S.H.,[17] yang menjadi wali Kota Padang selama dua periode berikutnya. Selanjutnya, pada tahun 1993, terpilih seorang mantan wartawan Drs. Zuiyen Rais, M.S.,[18] yang juga memimpin Kota Padang selama dua periode sampai pada tahun 2003.

Dalam suasana reformasi pemerintahan dan era otonomi daerah, Drs. Fauzi Bahar, M.Si, terpilih kembali pada tahun 2009 untuk masa jabatan kedua kalinya sebagai wali Kota Padang dalam pemilihan langsung pada kali pertama, sedangkan pada masa jabatan sebelumnya pada tahun 2004 dia masih dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD kota.[19]

Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 pada tanggal 18 April 2011, pusat pemerintahan Kota Padang secara resmi dipindahkan dari Kecamatan Padang Barat ke Kecamatan Kototangah.[20] Di samping untuk mengurangi konsentrasi masyarakat di kawasan pantai dan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di timur dan utara kota, pemindahan ini juga dilakukan mengingat lokasi pusat pemerintahan kota sebelumnya berada pada zona yang dikategorikan bahaya terhadap kemungkinan terjadinya bencana tsunami.[21] Kompleks pusat pemerintahan dibangun di kawasan eks Terminal Regional Bingkuang (TRB) di Air Pacah dan mulai diresmikan penggunaannya pada 30 September 2013.[22]

Perwakilan

DPRD Kota Padang
2014–2019
Partai Kursi
Lambang Partai Gerindra Partai Gerindra 6
Lambang PAN PAN 6
Lambang Partai Golkar Partai Golkar 5
Lambang PKS PKS 5
Lambang Partai Demokrat Partai Demokrat 5
Lambang Partai Hanura Partai Hanura 5
Lambang PPP PPP 4
Lambang Partai NasDem Partai NasDem 4
Lambang PDI-P PDI-Perjuangan 3
Lambang PKB PKB 1
Lambang PBB PBB 1
Total 45
Sumber:[23]

Sesuai dengan konstitusi yang berlaku, DPRD kota merupakan perwakilan rakyat. Untuk Kota Padang, anggota DPRD kota adalah sebanyak 45 orang.[19] Pengaruh reformasi politik dan pemerintahan juga membawa perubahan peta politik di Kota Padang. Walaupun sebelumnya pada pemilu periode 1999-2004, anggota DPRD Kota Padang masih didominasi oleh partai Golkar, selanjutnya pemilu legislatif 2004-2009, seiring dengan perubahan beberapa regulasi penyelenggaraan otonomi daerah, PAN mulai mengerogoti dominasi partai Golkar dan secara bersama menguasai parlemen kota.[24] Kemudian dari hasil pemilu legislatif 2009-2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sembilan partai. Hasil pemilu legislatif 2014, tersusun DPRD Kota Padang dari perwakilan sebelas partai. Hasil pemilu menunjukkan, Partai Gerindra dan PAN menguasai DPRD Kota Padang.[23]

Pemerintah kota

Pemerintah kota Padang terdiri atas kepala daerah (wali kota dan wakilnya) dan perangkat daerah yang terdiri atas sekretariat kota Padang, sekretariat DPRD kota Padang, dinas-dinas dan lembaga teknis kota Padang, serta 11 kecamatan yang terbagi atas 104 kelurahan, dan dengan luas keseluruhan wilayah administratifnya adalah 694,96 km².

Peta wilayah administratif kota Padang
Lambang daerah kota Padang
No Kecamatan Kota Kecamatan Luas Wilayah
1 Bungus Teluk Kabung Teluk Kabung 100,78 km²
2 Koto Tangah Lubuk Buaya 232,25 km²
3 Kuranji Pasar Ambacang 57,41 km²
4 Lubuk Begalung 30,91 km²
5 Lubuk Kilangan 85,99 km²
6 Nanggalo 8,07 km²
7 Padang Barat 7,00 km²
8 Padang Selatan 10,03 km²
9 Padang Timur 8,15 km²
10 Padang Utara 8,08 km²
11 Pauh Pasar Baru 146,29 km²

Arti lambang

Lambang daerah kota Padang terdiri dari empat unsur simbol yaitu:

  1. Motto Padang Kota Tercinta yang berada dalam pita berwarna biru muda dengan huruf kuning.
  2. Bentuk dasar trapesium sama kaki dengan warna dasar merah.
  3. Profil lumbung (rangkiang) yang terpadu dalam bentuk: atap gonjong dua warna hitam, tiang rangkiang dengan penggada dan keris berwarna kuning, dinding rangkiang persegi hitam, kolong rangkiang persegi hitam.
  4. Gunung Padang berwarna biru.

Pengertian dari sudut bentuk

  1. Bentuk dasar trapesium sama kaki bertendens kerbau yang telah distilir (digayakan), melambangkan kewaspadaan atau perisai.
  2. Lumbung (rangkiang) melambangkan gudang segala-galanya, baik secara moril maupun materil, sebagai lambang keutuhan budaya Minang yang terkenal dengan Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah.
  3. Bidang persegi hitam di bawah lima garis gelombang adalah melambangkan landasan kuat tempat berpijak kota Padang secara abadi.
  4. Gunung Padang beserta laut, adalah monumen alam yang abadi, dengan keindahan alam yang dibanggakan masyarakat kota Padang sebagai kota pantai dengan lima deretan ombak samudera sebagai lambang dinamika kehidupan bangsa yang berasaskan Pancasila.
  5. Penggada melambangkan senjata asli masyarakat Minang yang cukup ampuh dalam membela dan mempertahankan tanah air.
  6. Keris, melambangkan kehormatan dalam membela pusaka turun temurun (warih bajawek, pusako batolong, baitu adaik nan bapacik, tak lapuak dek hujan, tak lakang dek paneh).
  7. Pita dengan warna dasar biru muda melambangkan kecintaan, kekerabatan yang unik dan menarik terhadap kota dan masyarakatnya sehingga pantas, dinukilkan dengan warna kuning motto Padang Kota Tercinta.

Pengertian dari sudut warna

  1. Putih melambangkan kesucian, santri keagamaan.
  2. Merah melambangkan semangat yang menyala-nyala didada masyarakat dalam berbenah diri (membangun), sekaligus lambang kota perjuangan.
  3. Hitam melambangkan kearifan dan kebijaksanaan.
  4. Kuning lambang keagungan.
  5. Biru muda diartikan sebagai keharmonisan perpaduan rasa dan pikiran sehingga melambangkan iman yang nyaman (semua terpadu dalam alua jo patuik, raso jo pareso, ukua jo jangko).

Referensi

  1. ^ www.presidenri.go.id Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011
  2. ^ Nas, P.J.M. (2003). The Indonesian Town Revisited. LIT Verlag Münster. ISBN 3-8258-6038-8. 
  3. ^ a b Asnan, Gusti (2007). Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-640-6. 
  4. ^ Husein, Ahmad (1992). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I. di Minangkabau/Riau 1945-1950. 1. Badan Pemurnian Sejarah Indonesia-Minangkabau. ISBN 978-979-405-126-9. 
  5. ^ Sudarmanto, J. B. (2007). Jejak-Jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia. Grasindo. ISBN 978-979-759-716-0. 
  6. ^ Fatimah. Siti, Amri. Emizal, Ayu. Yasrina, Zed. Mestika (2007). Bgd. Azizchan, 1910-1947: Pahlawan Nasional dari Kota Padang. Universitas Negeri Padang. ISBN 978-979-3458-14-4.
  7. ^ Rasyid. Sutan Mohammad (1981). Rasjid-70. Panitia Peringatan Ulang Tahun Mr. Rasjid ke-70.
  8. ^ Tim Penulis. Pahlawan Indonesia. Niaga Swadaya. ISBN 978-979-1481-60-1.
  9. ^ a b c Safwan, Mardanas (1987). Sejarah Kota Padang. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
  10. ^ Poesponegoro. Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho (1992). Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. PT Balai Pustaka. ISBN 978-979-407-412-1.
  11. ^ Ong H.H (1965). Sapta Marga Berkumandang di Sumatera: Operasi-Operasi Menumpas Pemberontakan PRRI. Jakarta: Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.
  12. ^ a b Syamdani (2009). PRRI, Pemberontakan atau Bukan. Media Pressindo. ISBN 978-979-788-032-3. 
  13. ^ a b Kahin, A. (1999). Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998. Amsterdam University Press. ISBN 90-5356-395-4. 
  14. ^ Colombijn, Freek, (1994), Patches of Padang: the history of an indonesian town in the twentieth century and the use of urban space, Research School CNWS, ISBN 978-90-73782-23-5.
  15. ^ Pemda Tingkat II Kotamadya Padang, (1995), 326 tahun Padang kota tercinta, 7 Agustus 1669-7 Agustus 1995: gerbang pariwisata Indonesia kawasan barat, Pemda Tingkat II Kotamadya Padang bekerja sama dengan PT Buana Lestari.
  16. ^ Durin, H.B. (1997). Catatan Seorang Pamong: Hasan Basri Durin Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat 1987-1997. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-285-5. 
  17. ^ Anwar, Rosihan (1986). Perkisahan Nusa, Masa 1973-1986. Grafitipers. 
  18. ^ Dusky Pandoe, Marthias (2001). A Nan Takana (Apa yang Teringat): Memoar Seorang Wartawan. Kompas. ISBN 978-979-709-002-9. 
  19. ^ a b Haris, Syamsuddin (2007). Partai dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia: Studi Kinerja Partai-Partai di DPRD Kabupaten Kota. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 978-979-799-052-7. 
  20. ^ www.presidenri.go.id Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011.
  21. ^ www.minangkabaunews.com Wako Padang: Pemindahan Pusat Pemerintahan Ke Aia Pacah Wujudkan Pemerataan. Diakses pada 14 Januari 2012.
  22. ^ Balaikota di Aie Pacah Diresmikan 30 September. Harian Singgalang. Diakses pada 7 September 2013.
  23. ^ a b www.Tempo.coGerindra dan PAN Kuasai DPRD Kota Padang. Diakses pada 30 Agustus 2014.
  24. ^ Zuhro, R.S. (2009). Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali. Ombak. ISBN 602-8335-09-6. 

Pranala luar