Asy'ariyah: Perbedaan antara revisi
Tag: Pembatalan |
Membenarkan fakta yang keliru. Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler menghilangkan referensi [ * ] |
||
Baris 1: | Baris 1: | ||
'''Asy'ariyah''' adalah mazhab |
'''Asy'ariyah''' adalah mazhab kalam Ahlussunnah wal Jama'ah di samping mazhab Maturidiyah. Mazhab ini [[nisbah|disandarkan]] kepada pendirinya, yaitu Imam [[Abul Hasan al-Asy'ari]] (w. 324 H/936 M). Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dalam ilmu-ilmu aqidah berdasarkan [[Kullabiyah]], yaitu pemikiran Abu Muhammad bin Kullab. Kemudian mengedepankan prinsip bahwa aqli dan naqli sama-sama merupakan anugerah dari Allah, sehingga keduanya tidak akan bertentangan.<ref>Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Ghazali. Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”</ref> |
||
== Keyakinan == |
== Keyakinan == |
||
Abul Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap [[sifat Allah]] mengikuti pendapat Ibnu Kullab, seorang |
Abul Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap [[sifat Allah]] mengikuti pendapat Ibnu Kullab, seorang mutakalim dari [[Bashrah]] di masa Salaf, sehingga Imam Asy'ari dan Asy'ariyah adalah pengikut Salaf serta aliran yang menggunakan metode Salaf. Hal ini terjadi saat beliau bertaubat dari paham Mu'tazilah saat ia berumur 40 tahun kemudian mendirikan Aqidah Asy'ariyah seraya kembali kepada manhaj Salaf untuk membantah Khawarij, Murji'ah, Syi'ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, dan Mujassimah. |
||
<ref>[[Ibnu Katsir]] menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman: |
<ref>[[Ibnu Katsir]] menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman: |
||
Pertama ia di atas [[manhaj]] Mu’tazilah. Kemudian fase kedua yaitu menetapkan sifat ''aqliyah'' yang tujuh: ''hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir,'' dan ''kalam'', serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang ''khabariyah''. Pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa [[takyif]] dan tanpa [[tasybih]] sebagaimana disebutkan dalam [[Al-Ibanah]], kitab terakhir yang ditulisnya.” (Muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah).</ref> |
Pertama ia di atas [[manhaj]] Mu’tazilah. Kemudian fase kedua yaitu menetapkan sifat ''aqliyah'' yang tujuh: ''hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir,'' dan ''kalam'', serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang ''khabariyah''. Pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa [[takyif]] dan tanpa [[tasybih]] sebagaimana disebutkan dalam [[Al-Ibanah]], kitab terakhir yang ditulisnya.” (Muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah).</ref> |
||
Ulama Asy'ariyah selanjutnya seperti Imam al-Haramian Al-Juwaini, Imam Ghazali, dan Imam-imam yang lain mengembangkan ajaran Asy'ariyah. Dalam menafsirkan dalil-dalil sifat, Asy'ariyah menggunakan metode ulama Salaf, yaitu Tafwidh (menyerahkan makna ayat kepada Allah dengan tujuan tanzih/menyucikan Allah), dan Takwil (menakwilkan ayat secara majasi manakala makna hakiki mustahil digunakan dengan tujuan tanzih) serta menolak Itsbat (mengatakan bahwa Allah punya mata, wajah, tangan, kaki, betis, duduk, berlari, tertawa, dan lain-lain, namun mata, wajah, tangan, kaki, betis, duduk, berlari, dan tertawanya Allah tidak bisa ditentukan dan berbeda dengan makhluk atau bila kaifa), Tajsim (menjasmanikan Allah dalam bentuk dan rupa), dan Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Namun sayangnya beberapa musuh Ahlussunnah wal Jama'ah dan gembong fitnah aqidah melakukan pemalsuan Kitab al-Ibanah karya Imam Asy'ari, sehingga di dalam kitab tersebut tertulis bahwa Imam Asy'ari menggunakan metode Itsbat dan mengatakan bahwa antropomorfisme adalah layak bagi Allah. Di dalam kitab yang telah dipalsukan tersebut mereka juga mengatakan bahwa Imam Asy'ari mengalami tiga fase pemikiran dan Asy'ariyah bukan Ahlussunnah. Mereka mengatakan bahwa setelah Imam Asy'ari mendirikan Asy'ariyah, Imam Asy'ari kembali bertaubat untuk kedua kalinya dan kembali ke Manhaj Salaf, sehingga Asy'ariyah bukan pengikut Imam Asy'ari. Sungguh ini fakta yang keliru dan sebuah fitnah yang besar terhadap beliau dan Ahlussunnah wal Jama'ah. |
|||
Ulama Asy'ariyah selanjutnya seperti Imam al-Haramian [[Al-Juwaini]] dan selainnya melakukan takwil terhadap sifat Allah dan menggunakan prinsip pokok (ushul) akidah [[Muktazilah]] ke dalam mazhabnya. Metode Takwil disebutkan oleh Ibnu Faurak dalam kitab Takwil, Muhammad bin Umar [[ar-Razi]] dalam kitabnya Ta’sisut Taqdis, juga ada pada Abul Wafa Ibnu Aqil dan Abu Hamid [[al-Ghazali]], takwil-takwil tersebut bersumber dari Bisyr al-Marisi, seorang tokoh Mu’tazilah. |
|||
Hal yang menjadi ciri khas aliran ini adalah konsep Aqidah 50 berdasarkan hukum akal, dimana Allah mempunyai 20 sifat wajib, 20 mustahil, dan 1 sifat ja'iz, sementara rasul mempunyai 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat ja'iz. Ajaran ini disebut juga Sifat 20 ketika dinisbatkan kepada Allah. Anehnya, musuh Asy'ariyah yang masih kurang ilmunya menyangka dan memfitnah bahwa Asy'ariyah membatasi sifat Allah hanya sampai 20, padahal latar belakang penyusunan Sifat 20 dikarenakan 20 sifat tersebut adalah yang paling sering mengundang perdebatan. Jadi, konsep itu disusun untuk memudahkan orang awam dalam mempelajari sifat-sifat Allah supaya bisa menipis serangan dari para misionaris, filsuf, dan atheis yang mencoba merusak aqidah Islam, bukan untuk membatasi jumlah Sifat Allah. |
|||
Asy'ariyah awalnya hanya menetapkan tujuh sifat ma’ani saja bagi Allah yang ditetapkan menurut akal (aqliyah) yaitu ''hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir,'' dan ''kalam''.<ref>http://islamicencyclopedia.narod.ru/articles/122.html</ref> Kemudian ditambahkan oleh As-Sanusi menjadi dua puluh sifat, dan tidak menetapkan satu pun sifat ''fi’liyah'' (seperti istiwa, nuzul, cinta, ridha, marah, dst). |
|||
== Sejarah == |
== Sejarah == |
Revisi per 11 September 2018 12.13
Asy'ariyah adalah mazhab kalam Ahlussunnah wal Jama'ah di samping mazhab Maturidiyah. Mazhab ini disandarkan kepada pendirinya, yaitu Imam Abul Hasan al-Asy'ari (w. 324 H/936 M). Asy'ariyah mengambil dasar keyakinannya dalam ilmu-ilmu aqidah berdasarkan Kullabiyah, yaitu pemikiran Abu Muhammad bin Kullab. Kemudian mengedepankan prinsip bahwa aqli dan naqli sama-sama merupakan anugerah dari Allah, sehingga keduanya tidak akan bertentangan.[1]
Keyakinan
Abul Hasan al-Asy'ari dalam masalah keyakinan terhadap sifat Allah mengikuti pendapat Ibnu Kullab, seorang mutakalim dari Bashrah di masa Salaf, sehingga Imam Asy'ari dan Asy'ariyah adalah pengikut Salaf serta aliran yang menggunakan metode Salaf. Hal ini terjadi saat beliau bertaubat dari paham Mu'tazilah saat ia berumur 40 tahun kemudian mendirikan Aqidah Asy'ariyah seraya kembali kepada manhaj Salaf untuk membantah Khawarij, Murji'ah, Syi'ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, dan Mujassimah. [2]
Ulama Asy'ariyah selanjutnya seperti Imam al-Haramian Al-Juwaini, Imam Ghazali, dan Imam-imam yang lain mengembangkan ajaran Asy'ariyah. Dalam menafsirkan dalil-dalil sifat, Asy'ariyah menggunakan metode ulama Salaf, yaitu Tafwidh (menyerahkan makna ayat kepada Allah dengan tujuan tanzih/menyucikan Allah), dan Takwil (menakwilkan ayat secara majasi manakala makna hakiki mustahil digunakan dengan tujuan tanzih) serta menolak Itsbat (mengatakan bahwa Allah punya mata, wajah, tangan, kaki, betis, duduk, berlari, tertawa, dan lain-lain, namun mata, wajah, tangan, kaki, betis, duduk, berlari, dan tertawanya Allah tidak bisa ditentukan dan berbeda dengan makhluk atau bila kaifa), Tajsim (menjasmanikan Allah dalam bentuk dan rupa), dan Tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Namun sayangnya beberapa musuh Ahlussunnah wal Jama'ah dan gembong fitnah aqidah melakukan pemalsuan Kitab al-Ibanah karya Imam Asy'ari, sehingga di dalam kitab tersebut tertulis bahwa Imam Asy'ari menggunakan metode Itsbat dan mengatakan bahwa antropomorfisme adalah layak bagi Allah. Di dalam kitab yang telah dipalsukan tersebut mereka juga mengatakan bahwa Imam Asy'ari mengalami tiga fase pemikiran dan Asy'ariyah bukan Ahlussunnah. Mereka mengatakan bahwa setelah Imam Asy'ari mendirikan Asy'ariyah, Imam Asy'ari kembali bertaubat untuk kedua kalinya dan kembali ke Manhaj Salaf, sehingga Asy'ariyah bukan pengikut Imam Asy'ari. Sungguh ini fakta yang keliru dan sebuah fitnah yang besar terhadap beliau dan Ahlussunnah wal Jama'ah.
Hal yang menjadi ciri khas aliran ini adalah konsep Aqidah 50 berdasarkan hukum akal, dimana Allah mempunyai 20 sifat wajib, 20 mustahil, dan 1 sifat ja'iz, sementara rasul mempunyai 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat ja'iz. Ajaran ini disebut juga Sifat 20 ketika dinisbatkan kepada Allah. Anehnya, musuh Asy'ariyah yang masih kurang ilmunya menyangka dan memfitnah bahwa Asy'ariyah membatasi sifat Allah hanya sampai 20, padahal latar belakang penyusunan Sifat 20 dikarenakan 20 sifat tersebut adalah yang paling sering mengundang perdebatan. Jadi, konsep itu disusun untuk memudahkan orang awam dalam mempelajari sifat-sifat Allah supaya bisa menipis serangan dari para misionaris, filsuf, dan atheis yang mencoba merusak aqidah Islam, bukan untuk membatasi jumlah Sifat Allah.
Sejarah
Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama menyebarnya Tasawuf (sufi), pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para penguasa di beberapa pemerintahan Islam. Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk.
Catatan kaki
- Rujukan
- ^ Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Ghazali. Ar-Razi menjelaskan dalam Asasut Taqdis, “Jika nash bertentangan dengan akal maka harus mendahulukan akal.”
- ^ Ibnu Katsir menyatakan dalam muqadimah Kitab Al-Ibanah bahwa para ulama menyebutkan bahwa Syaikh Abul Hasan memiliki tiga fase pemahaman: Pertama ia di atas manhaj Mu’tazilah. Kemudian fase kedua yaitu menetapkan sifat aqliyah yang tujuh: hayah, ilmu, qudrah, iradah, sam’u, bashir, dan kalam, serta menakwilkan sifat-sifat Allah yang khabariyah. Pada fase terakhir ia menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tanpa tasybih sebagaimana disebutkan dalam Al-Ibanah, kitab terakhir yang ditulisnya.” (Muqadimah Kitab Al-Ibanah, hal. 12-13, cet. Darul Bashirah).
- Daftar pustaka
- Asy-Syahrastani, Muhammad bin 'Abdul Karim (2001). "Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam". Surabaya: PT. Bina Ilmu.