Negara Sumatera Timur: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 31: | Baris 31: | ||
|year_leader1 = 1947-1950 |
|year_leader1 = 1947-1950 |
||
}} |
}} |
||
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Spandoeken tijdens het bezoek van de Wali Negara Sumatera Timur aan Pematangsiantar TMnr 60024766.jpg|jmpl|Demonstrasi pendukung NST selama kunjungan Wali Negara Sumatera Timur ke Pematangsiantar]] |
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Spandoeken tijdens het bezoek van de Wali Negara Sumatera Timur aan Pematangsiantar TMnr 60024766.jpg|jmpl|275px|Demonstrasi pendukung NST selama kunjungan Wali Negara Sumatera Timur ke Pematangsiantar]] |
||
'''Negara Sumatera Timur''' ('''NST''') adalah salah satu negara yang merdeka dari Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang bertahan cukup lama di lingkungan eks Hindia Belanda selain [[Negara Indonesia Timur]], yakni 25 Desember 1947 hingga 1950. Negara ini tercipta karena banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan [[Suku Melayu|Melayu]], sebagian besar raja-raja [[Simalungun]], beberapa kepala suku [[Karo]] dan kebanyakan tokoh masyarakat Tionghoa. Bumiputera Melayu dengan daulah-daulah Islam-nya beserta Simalungun dan Karo merasa terancam dengan berdirinya negara baru, yang akan mendudukkan mereka sebagai bawahan dari Republik Indonesia Yogya. |
'''Negara Sumatera Timur''' ('''NST''') adalah salah satu negara yang merdeka dari Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang bertahan cukup lama di lingkungan eks Hindia Belanda selain [[Negara Indonesia Timur]], yakni 25 Desember 1947 hingga 1950. Negara ini tercipta karena banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan [[Suku Melayu|Melayu]], sebagian besar raja-raja [[Simalungun]], beberapa kepala suku [[Karo]] dan kebanyakan tokoh masyarakat Tionghoa. Bumiputera Melayu dengan daulah-daulah Islam-nya beserta Simalungun dan Karo merasa terancam dengan berdirinya negara baru, yang akan mendudukkan mereka sebagai bawahan dari Republik Indonesia Yogya. |
Revisi per 3 November 2018 03.06
Sumatera Timur | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Negara bagian RIS | |||||||||
1947–1950 | |||||||||
Panji daerah | |||||||||
Sejarah | |||||||||
Pemerintahan | |||||||||
• Jenis | Negara bagian | ||||||||
Walinegara | |||||||||
• 1947-1950 | Tengku Mansoer[1] | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 25 Desember 1947 | ||||||||
• Dibubarkan | 15 Agustus 1950 | ||||||||
|
Negara Sumatera Timur (NST) adalah salah satu negara yang merdeka dari Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda yang bertahan cukup lama di lingkungan eks Hindia Belanda selain Negara Indonesia Timur, yakni 25 Desember 1947 hingga 1950. Negara ini tercipta karena banyak faktor kompleks yang membentuk persekutuan anti-republik. Persekutuan tersebut terdiri atas kaum bangsawan Melayu, sebagian besar raja-raja Simalungun, beberapa kepala suku Karo dan kebanyakan tokoh masyarakat Tionghoa. Bumiputera Melayu dengan daulah-daulah Islam-nya beserta Simalungun dan Karo merasa terancam dengan berdirinya negara baru, yang akan mendudukkan mereka sebagai bawahan dari Republik Indonesia Yogya.
Bergabungnya tiga komunitas bumiputera itu diikat oleh kesamaan nasib, yakni sama-sama korban penyerangan dan pembantaian yang dilakukan oleh faksi komunis dan republik pada 1946. Dalam keadaan diserang dan dibantai, kedatangan Belanda dan Inggris di Sumatera pun disambut dengan tangan terbuka. Dan ini menjadikan apa yang disebut aksi agresi militer Belanda sejatinya merupakan aksi penyelamatan penduduk yang selama itu disekap oleh republiken Yogya. Dengan kekuatan tambahan ini maka persekutuan anti-republik menguat dan berdirilah NST sebagai negara baru yang di dalamnya terhimpun sisa-sisa daulah atau kesultanan Islam yang masih selamat. Meski demikian ada pula rakyat yang menentang berdirinya NST dan melakukan perlawanan militer terhadap Belanda, namun bukan bumiputera.
Sumatera Timur adalah negara yang kaya akan minyak dan perkebunan. Kekayaannya ini menjadi incaran banyak pihak, termasuk Republik Indonesia dan Belanda. Karena itu, selain diikat oleh kesamaan nasib, tegaknya Negara Sumatera Timur juga dipicu oleh keinginan melindungi harta kekayaannya dari incaran pihak-pihak luar. Negara ini dipimpin oleh wali negara atau presiden bernama Dr. Tengku Mansoer dari Kesultanan Asahan, yang juga ketua organisasi Persatuan Sumatera Timur.[2]. Adapun wakil wali negara atau wakil presiden adalah Raja Khaliamsyah Sinaga dari Simalungun. Sementara panglima angkatan bersenjatanya, Barisan Pengawal (BP), adalah Djumat Poerba dari Karo.
Sumatera Timur kemudian bergabung dengan negara baru Republik Indonesia Serikat melalui Konferensi Meja Bundar (KBM). Dalam perundingan tersebut Sumatera Timur tergabung dalam BFO atau Badan Permusyawaratan Federal yang kala itu dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Kalimantan Barat. Sebelum Sultan Hamid II, BFO diketuai oleh Sumatera Timur.
Akan tetapi, ketika telah bergabung dengan serikat, pada tanggal 3-5 Mei 1950 diadakan perundingan antara perdana menteri RIS M. Hatta dengan Wali Negara/Presiden NST Dr. Tengku Mansoer (juga dengan Presiden Negara Indonesia Timur Sukawati) yang menyetujui pembentukan negara kesatuan. Tapi pada tanggal 13 Mei 1950 Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Timur menentang keputusan tersebut. Meski demikian Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat NST dileburkan ke dalam RIS, bukan RI. Pada tanggal 15 Agustus 1950, terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan NST bubar.
Referensi
- ^ "Indonesian States 1946-1950".
- ^ The Malays, Anthony Milner, Oxford, Blackwell, 2008, hal.172, ISBN 978-0-631-17222-2
- ^ Nationalism and Revolution in Indonesia, George McTurnan Kahin, Cornell University Press, 2003 (cetak pertama 1952), hal.352-355, ISBN 0-87727-734-6
- ^ Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Haryono Rinardi, Jurusan Sejarah UNDIP [1]