Chairuddin Ismail: Perbedaan antara revisi
Jovan Kevin (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Berkas Jenderal_Polisi_Chairuddin_Ismail.gif dibuang karena dihapus dari Commons oleh Racconish |
||
Baris 3: | Baris 3: | ||
|honorific-prefix = |
|honorific-prefix = |
||
|name = {{PAGENAME}} |
|name = {{PAGENAME}} |
||
|image = |
|image = |
||
|imagesize = 200px |
|imagesize = 200px |
||
|caption = |
|caption = |
Revisi per 27 Desember 2018 09.54
artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Chairuddin Ismail | |
---|---|
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia | |
Masa jabatan 2 Juni 2001 – 7 Agustus 2001 | |
Presiden | Abdurrahman Wahid |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1 November 1946 Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Hanura |
Almamater | Akademi Kepolisian |
Pekerjaan | Polisi |
Sunting kotak info • L • B |
Jenderal Polisi (Purn.) Chairudin Ismail (lahir 1 November 1946) adalah Kapolri yang menggantikan Jenderal Suroyo Bimantoro, dan pernah menjadi tim sukses pasangan capres JK-Wiranto.
Pada masa kepemimpinan Suroyo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri. Presiden dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Bimantoro, meski dengan syarat.[butuh rujukan] Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Bimantoro dan mengangkat Jenderal Chaerudin Ismail tanpa persetujuan parlemen.[butuh rujukan] Dan situasi berbalik, Bimantroro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.[butuh rujukan] Bagaimanapun, masa bulan madu antara Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar. Baru satu bulan menjadi Kapolri, Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.[butuh rujukan] Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka. Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Bimantoro tegas tidak menoleransinya.[butuh rujukan] Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.[butuh rujukan] Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.[butuh rujukan] Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.[butuh rujukan] Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.[butuh rujukan] Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.[butuh rujukan] Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.[butuh rujukan] Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.[butuh rujukan] Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat[butuh rujukan]. Presiden marah besar. Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Bimantoro mengundurkan diri.[butuh rujukan] Namun, Bimantoro menolak.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chaerudin Ismail sebagai Wakil Kapolri[1]. Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres No. 54/2001 tertanggal 1 April 2001.[butuh rujukan] Pengangkatan Chaerudin sekaligus merevisi keppres tersebut dengan keluarnya Keppres No. 77 tertanggal 21 Juni[butuh rujukan], yang berlaku surut 1 Juni 2001.[butuh rujukan] Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseturan Presiden dengan parlemen.[butuh rujukan]
Pengangkatan Chaerudin memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.[butuh rujukan] Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.[butuh rujukan] Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia[2]. Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Bimantoro menolak. Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden. Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis. Pada tanggal 21 Juli 2001, dia melantik Chaerudin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal. Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chaerudin hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.[butuh rujukan]
Referensi
Lihat pula
Jabatan kepolisian | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Surojo Bimantoro |
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 2001 |
Diteruskan oleh: Da'i Bachtiar |