Lompat ke isi

Universitas Islam Internasional Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Yogi2019 (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
k ←Suntingan Yogi2019 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Mufti Nasution
Tag: Pengembalian
Baris 8: Baris 8:
|established = 29 Juni 2016
|established = 29 Juni 2016
|type = [[Perguruan tinggi negeri berbadan hukum|PTN-BH]] di Bawah Kementerian Agama RI
|type = [[Perguruan tinggi negeri berbadan hukum|PTN-BH]] di Bawah Kementerian Agama RI
|rector = Prof. Dr. H.
|rector =
[[Komaruddin Hidayat]], M.A.
|vice rector = Prof. Muhamad Yogi, Ph.D.
|students =
|students =
|city =
|city =

Revisi per 23 Juni 2019 15.38

Universitas Islam Internasional Indonesia
Indonesian International Islamic University
 
Peta
 
Peta
Peta
Informasi
JenisPTN-BH di Bawah Kementerian Agama RI
Didirikan29 Juni 2016
Alamat,
Nama julukanUIII
Situs webwww.uiii.ac.id

PENDAHULUAN

Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) (Bahasa Inggris: Indonesian International Islamic University (IIIU), Bahasa Arab: الجامعة الإسلامية العالمية بإندونيسيا), didirikan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia sebagai perguruan tinggi berstandar Internasional yang menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam bidang studi agama Islam, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan sains teknologi.

Pendirian UIII juga tidak lepas dari keinginan untuk meningkatkan pengakuan masyarakat akademik internasional atas peran Islam di Indonesia, dan menjadikan Indonesia menjadi salah-satu pusat peradaban Islam di dunia melalui jalur dan jenjang pendidikan tinggi yang memenuhi standar internasional.

Sebagai lembaga Pendidikan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) berbasiskan universalisme Islam, paling tidak ada beberapa hal yang utama yang penting dijelaskan sehubungan dengan UIII ini. Pertama, konteks dan karakteristik Islam di Indonesia sebagai model peradaban Islam. Kedua, pendirian UIII sebagai pusat peradaban Islam melalui pendidikan; ketiga, kaitan UIII dengan integrasi ilmu, terutama cara pandang UIII berkaitan dengan epistemologi ilmu, model kajian yang berkaitan dengan Islam, dan model pengembangan kelembagaan; ketiga, UIII menjadi pusat kajian dan riset internasional dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

AMANAT SEJARAH; KEMAJUAN MELALUI PENDIDIKAN

Harapan terhadap Indonesia untuk lebih berkontribusi bagi tatanan politik dan kebudayaan dunia tidak bisa diabaikan. Dengan keberhasilan yang telah dicapai, sudah saatnya Indonesia tampil menawarkan solusi bagi berbagai persoalan kehidupan antarbangsa. Masyarakat internasional semakin membutuhkan dan peran tersebut, yang semua itu sebenarnya juga merupakan amanat sejarah. Sejak awal para pendiri republik sudah bertekad untuk turut memperjuangkan perdamaian dunia sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Sayangnya, pada tahun- tahun awal kemerdekaan Indonesia belum mampu berkontribusi karena masih berkutat dengan pembangunan negara dan bangsa yang baru lahir. Saat ini kondisi Indonesia sudah jauh berbeda, jauh lebih siap, dan jauh lebih dibutuhkan, sehingga amanat sejarah tersebut sudah semestinya dilaksanakan.

Para pendiri republik ini juga sadar bahwa semangat keberagamaan di Indonesia yang ditopang prinsip pluralitas, keterbukaan, dan toleransi merupakan modal besar bagi kemajuan bangsa. Keyakinan mereka terbukti benar, karena agama tidak pernah menjadi penghambat kemajuan, tetapi selalu tampil sebagai motor yang menggerakkan. Bagi Indonesia, dimana Islam tampil secara majemuk, menjaga dan mengelola keberagamaan kalangan Muslim dengan sendirinya berkontribusi bagi bangsa secara keseluruhan. Jika hubungan antarkelompok Muslim berjalan di atas prinsip-prinsip tersebut, maka umat agama lain juga akan menikmati kebebasan. Sebaliknya, jika hubungan internal Muslim berjalan menurut prinsip eksklusivisme dan intoleransi, maka umat beragama lain akan menerima imbas negatifnya.

Jalan yang ditempuh para pemimpin untuk memajukan Muslim beragam, mulai dari mendorong partisipasi politik sampai menyediakan modal ekonomi. Namun strategi pokok yang sangat ditekankan adalah dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan setinggi mungkin. Langkah ini bukan tanpa alasan, karena pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang akan menjadikan siswa sebagai sumber daya yang berkualitas. Melalui pendidikan warga negara diajari untuk berpikiran luas, bermental terbuka, siap mengakui kesalahan, siap menerima kebenaran baru, sehingga terbiasa hidup toleran dengan perbedaan. Dengan pendidikan pula batasan-batasan kemajuan terus diperbarui sampai mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa lain. Atas dasar pertimbangan inilah para pemimpin Indonesia tidak henti-hentinya menyerukan pentingnya untuk mengaitkan Islam dengan ilmu pengetahuan.

Dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (1961), Presiden Sukarno sudah menyerukan kepada Muslim Indonesia agar mewujudkan watak Islam yang modern, progresif dan maju. Tulisan-tulisan Soekarno tentang Islam yang lain juga selalu bernada sama. Bahkan pada saat memberikan Pidato Pengukuhan ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Dakwah, gelar Guru Besar Kehormatan, dan gelar Pendidik Agung di IAIN Jakarta 2 Desember 1964, Sukarno menekankan perlunya memiliki universitas Islam yang membanggakan. Sebuah institusi akademik yang mampu menggali dan mengembangkan api Islam, yang mampu menjaga semangat kemajuan yang dikobarkan Islam.

Visi untuk membentuk lembaga akademik Islam yang mencerahkan juga digagas tokoh-tokoh kemerdekaan lain. Saat itu sudah muncul keinginan untuk membangun Pesantren Luhur, yaitu institusi pendidikan Islam jenjang perguruan tinggi yang merupakan tahap lanjutan dari pesantren pada umumnya. Kemudian muncul juga keinginan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI), yang menjadi cikal bakal Universitas Islam Indonesia (UII). Pencetusnya adalah Wakil Presiden Muhammad Hatta, Menteri Agama K.H. A. Wachid Hasyim, Perdana Menteri Muhammad Natsir dan tokoh Islam Soekiman Wirjosandjoyo. Gagasan mereka tidak pernah padam dan terus bergulir di kalangan tokoh-tokoh Muslim dari berbagai golongan.

Menteri Agama periode 1962-1967, K.H. Saifuddin Zuhri, juga merupakan sosok yang menaruh perhatian besar terhadap pendidikan Islam. Pada periode kepemimpinannya, sekolah kedinasan bagi administratur agama (ADIA) diubah menjadi lembaga pendidikan tinggi Islam (IAIN) yang kemudian berkembang menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu keislaman yang memproduksi sarjana Muslim di Indonesia. Perubahan ini merupakan momentum penting sekaligus anak tangga bagi lahirnya Universitas Islam Negeri (UIN) di kemudian hari. Dalam buku yang ditulisnya, Guruku Orang-orang dari Pesantren (1976), K.H. Saifudin Zuhri bahkan mewasiatkan kepada generasi mendatang untuk tidak henti-hentinya memberikan perhatian bagi pengembangan pendidikan umat Islam.

Rintisan yang telah dimulai oleh para tokoh di atas terus dikembangkan pada masa-masa sesudahnya. Pada tingkat dasar dan menengah, pemerintah terus mentransformasikan pesantren dengan memperkenalkan sistem pendidikan modern dalam bentuk madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah). Pada saat yang sama, pemerintah juga mendorong pendirian Perguruan Tinggi Islam (PTI) di berbagai provinsi, sehingga kaderisasi kepemimpinan Islam dapat dilakukan sampai jenjang Perguruan Tinggi. Banyak guru agama, kyai, dan tokoh masyarakat yang dulunya hanya mengenyam pendidikan formal tingkat dasar atau menengah berkesempatan menjadi sarjana. Saat ini, para pemimpin lembaga pendidikan Islam, organisasi masyarakat, partai politik Islam, dan birokrasi Kementerian Agama, banyak yang berasal dari PTI.

Perkembangan paling mutakhir dari perjalanan Perguruan Tinggi Islam terjadi pada zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 031/2002, IAIN Jakarta berubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dengan mandat membuka program kajian baru di luar wilayah tradisionalnya. Langkah transformasi ini diikuti oleh beberapa IAIN lain seperti IAIN Jogjakarta, Malang, Riau, dan Bandung. Transformasi IAIN menjadi universitas ini merupakan tonggak sejarah baru bagi komunitas akademik Muslim. Mereka tidak hanya diharapkan mengurusi persoalan keagamaan, tetapi juga terlibat dalam pengembangan bidang-bidang kehidupan yang lain.

Meskipun modernisasi lembaga pendidikan Islam di berbagai jenjang terus berjalan, karakter Islam Indonesia tetap tidak berubah. Musim Indonesia tetap melanjutkan tradisi keberagamaan yang menjunjung prinsip pluralitas, keterbukaan, dan toleransi. Mereka yang pernah bersekolah di lembaga pendidikan Islam─madrasah, diniyah, pesantren, majlis taklim─ muncul dengan karakter yang beragam. Sebagian alumninya menjadi tokoh Islam puritan, sebagian Islam tradisional, sebagian lagi modernis, dan tidak sedikit pula yang lebih memilih Islam nasionalis. Keterbukaan ini dimungkinkan sebagian oleh fondasi peradaban yang sudah mengakar lama, dan sebagian lagi oleh para tokoh Muslim yang tidak henti-hentinya menyuarakan pentingnya bersikap terbuka dan toleran dalam beragama. Munawir Sjadzali, Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, adalah di antara nama yang sampai kini dikenang sebagai tokoh Muslim yang berkawan luas dengan siapa pun dan dari kelompok mana pun. Dengan menimbang capaian-capaian Muslim Indonesia, sudah saatnya pengalaman keberagamaan yang sangat khas Indonesia ini ditampilkan di arena hubungan antarbangsa.

POSISI PERGURUAN TINGGI ISLAM INDONESIA

Memandang Perguruan Tinggi (PT) semata-mata sebagai tempat pengajaran merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan hanyalah salah satu tugas PT yang berkaitan dengan reproduksi kekayaan pengetahuan yang sudah terakumulasi. Para siswa diperkenalkan dan dibekali dengan sistem pengetahuan tertentu agar dapat berpikir dan berperilaku lebih tertata. Namun tugas PT lain yang lebih penting adalah menemukan dan membuat inovasi baru yang mampu memperbaiki pengetahuan yang sudah ada. Tugas ini tidak bisa dilakukan oleh kalangan manapun selain komunitas akademik. Mereka adalah orang-orang terlatih dan berkhidmat menggeluti pengetahuan dengan cara mengevaluasi dan memproduksi sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Dari mereka inilah muncul temuan-temuan baru yang kemudian dijadikan bahan pengajaran dan disebarkan kepada masyarakat.

Proses produksi, reproduksi, dan diseminasi pengetahuan menunjukkan ketidakterputusan antara dunia akademik dan masyarakat. Dunia akademik merupakan tempat produksi dan reproduksi pengetahuan, dimana keluarannya akan menerapkan pengetahuan tersebut dalam berbagai wujud sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Politisi menerapkan pandangan ke-Islaman yang mereka pelajari ke dalam realitas politik, seniman ke dalam dunia seni, ekonom ke dalam kegiatan transaksi, dan seterusnya. Apa yang ditawarkan oleh para opinion maker ini kemudian menjadi rujukan berpikir dan bertindak masyarakat umum. Melalui proses akumulasi yang panjang, sistem pengetahuan tersebut mengejawantah menjadi kebudayaan. Pada titik inilah membangun Perguruan Tinggi yang baik sama dengan membangun peradaban.

Sebenarnya, Perguruan Tinggi Islam (PTI), yang sekarang resminya disebut Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), di Indonesia telah menjalankan perannya dengan cukup baik. PTI mampu memfasilitasi kelompok Muslim pinggiran yang kurang tersentuh pendidikan modern untuk ikut berkontribusi dalam kehidupan nasional. Pada saat yang sama, PTI juga telah memberikan kesempatan bagi para akademisinya untuk mengembangkan corak keislaman yang sesuai dengan budaya Indonesia. Meskipun demikian, tuntutan ke depan mengharuskan bangsa ini untuk memiliki PTI yang lebih mumpuni dan proaktif mengenalkan Islam Indonesia. Kiprah ulama dan intelektual kita di tingkat internasional masih sangat terbatas. Karya dan pikiran mereka belum banyak dikenal dunia, termasuk dunia Islam sendiri. Akibatnya, ide-ide tentang Islam Indonesia yang toleran, terbuka dan berkemajuan masih belum mampu memberikan pengaruh di luar batas negerinya sendiri.

Indonesia bisa membandingkan diri dengan Mesir, Arab Saudi, dan Iran, yang merupakan negara-negara paling berpengaruh dalam membentuk pemahaman keislaman dewasa ini. Melalui Universitas Al-Azhar, Mesir telah menghasilkan ribuan ulama yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka menjadi ujung tombak gerakan pengembangan pemikiran sunni konservatif. Pesantren-pesantren di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama lulusan Al-Azhar. Sementara itu, Arab Saudi membuka kesempatan luas dan memberi beasiswa kepada mahasiswa Muslim untuk belajar di Universitas Islam Madinah dan Ummul Qurro. Arab Saudi juga telah menghasilkan ribuan ulama yang cukup berpengaruh di dunia Islam yang amat paham dengan aliran Islam Wahabiyah. Bahkan di Jakarta, Arab Saudi pada 1980 mendirikan lembaga pendidikan tinggi yang disebut Lembaga Pengetahuan Islam dan Arab di Jakarta.

Iran tidak kalah berpengaruh. Bangsa ini telah memiliki tradisi intelektual yang kokok jauh sebelum Islam datang, yang hanya kalah tua dibandingkan Mesir dan Irak (Mesopotamia). Iran mengembangkan paham keislaman syiah yang menjadi salah satu aliran besar setelah sunni. Penyebaran syiah juga dimotori oleh lembaga pendidikan tinggi dan pusat pengkajian Islam, terutama yang berpusat di kota Qom. Salah satu Perguruan Tinggi yang terkenal adalah Al-Mustafa International University, yang memiliki 34.000 mahasiswa dan ulama dari 108 negara. Dapat dibayangkan betapa luas jaringan ulama syiah dalam mendiseminasikan sistem pengetahuan keagamaan yang mereka bangun.

Indonesia juga sudah memiliki lembaga pendidikan tinggi dan pusat penelitian Islam. Sayangnya lembaga-lembaga tersebut belum sekaliber Al-Azhar, Ummul Qurro atau Al-Mustafa University. Sumber daya dan fasilitasnya masih belum memungkinkan menjadi lembaga pendidikan tinggi internasional. Maka jika ingin menyebarkan peradaban Islam Indonesia, sudah seharusnya membangun institusi pendidikan tinggi yang setara dengan universitas-universitas tersebut. Kita sudah memiliki pemikiran dan paham keislaman yang khas Indonesia, yang berbeda dari model keberagamaan Mesir, Arab Saudi, maupun Iran. Artinya, Muslim Indonesia sudah memiliki modal peradaban Islam sendiri yang siap ditawarkan kepada Muslim dan non-Muslim di negara-negara lain. Jika Mesir menawarkan peradaban Islam konservatif, Saudi Arabia tradisi puritanisme, dan Iran dengan budaya syiah, maka Indonesia bisa menawarkan corak Islam yang toleran, terbuka dan berkemajuan.

UIII SEBAGAI PERGURUAN TINGGI ISLAM UNGGULAN

Sampai hari ini Indonesia belum memiliki institusi pendidikan tinggi yang bisa disejajarkan dengan perguruan tinggi unggulan di dunia. Perguruan Tinggi Islam sudah cukup banyak, namun kualifikasinya belum sampai internasional, sehingga fungsi pengembangan peradaban Islam, terutama yang memberikan perhatian yang besar terhadap Indonesia, belum maksimal. Bangsa ini juga belum memiliki institusi yang secara khusus berfungsi mengumpulkan, mengembangkan dan menampilkan kekayaan peradaban Islam. Pusat-pusat Islam (Islamic center) sudah tersebar di sejumlah tempat, tetapi aktivitasnya terbatas pada pengajian konvensional dan kegiatan karitas. Lembaga pengkajian Islam yang menyoroti masalah-masalah aktual juga sudah berdiri di mana-mana, tetapi belum banyak memproduksi karya yang bisa dijadikan alat pengambilan keputusan.

Atas dasar kekurangan ini, perlu dibangun lembaga yang khusus bertugas meneguhkan peradaban Islam. Ini didasarkan pada tiga kondisi yang cukup mendesak. Pertama, belum ada sebuah lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang memberikan perhatian khusus pada kajian dan pengembangan peradaban Islam terutama yang berkaitan dengan Indonesia. Baik di lingkungan Perguruan Tinggi Agama (PTA) maupun Perguruan Tinggi Umum (PTU), kajian Islam secara akademis belum mendapatkan prioritas. Kedua, belum ada upaya sistematis untuk mengumpulkan hasil karya keagamaan para ulama, cendekiawan, sarjana, dan seniman Muslim. Sampai saat ini buah pikiran mereka masih terserak di berbagai tempat di dalam dan luar negeri serta sebagian lagi belum tergali.

Ketiga, belum ada lembaga yang berfungsi menerapkan dan menampilkan pemikiran dan kreasi budaya keagamaan yang dihasilkan para cerdik pandai Muslim kepada pihak-pihak yang memerlukan, baik di dalam maupun luar negeri. Masih banyak pemikiran yang dihasilkan para cendekiawan Muslim yang belum ditindaklanjuti menjadi masukan kebijakan. Atas dasar pertimbangan ini, negara perlu segera membangun lembaga yang mampu menjalankan tugas untuk mereservasi, mengumpulkan, mengembangkan, dan mempromosikan peradaban Islam secara baik.

A. UIII sebagai Perguruan Tinggi Islam yang Ikonik

Seperti dikemukakan di awal, Indonesia membutuhkan Perguruan Tinggi Islam unggulan yang mampu mengemban sejumlah misi strategis. Pertama, mampu berada di garda paling depan dalam kajian keislaman secara umum dan menjadi kiblat dunia dalam bidang kajian Islam Indonesia. Kedua, menjadi pusat penyebaran kebudayaan Islam yang modern, toleran, dan berkemajuan. Kedua misi ini merupakan sumbangan penting bangsa Indonesia terhadap masyarakat internasional, di tengah kondisi negara-negara Muslim yang masih terbelakang dan penuh ketegangan serta konflik. Oleh karena itu, pendirian UIII dirancang sedemikian rupa agar mampu memberikan kontribusi strategis yang melampaui kemampuan Perguruan Tinggi Islam yang telah ada.

Dari model-model perguruan tinggi unggulan yang cukup beragam, bentuk graduate university tampaknya lebih cocok diterapkan di UIII. Saat ini, sudah terlalu banyak Perguruan Tinggi Islam negeri dan swasta yang memfokuskan pada pengajaran program Strata-1. Baik sekolah tinggi (STAIN), institut (IAIN), maupun universitas Islam (UIN), porsi kegiatan akademik yang paling banyak adalah pengajaran di tingkat Strata-1. Lebih dari itu, porsi kegiatan riset yang terkait dengan program S-2 dan S-3 juga masih minim. Di samping dana terbatas, sumber daya peneliti ahli di lingkungan pendidikan tinggi Islam juga masih belum mencukupi. Masalah ini tidak hanya dihadapi Perguruan Tinggi Islam, tetapi juga menjadi batu ganjalan di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

UIIII tidak akan tumbang-tindih dengan Perguruan Tinggi Islam yang ada karena tidak memiliki program Strata-1. Model program Strata-2 dan 3 di UIII juga tidak sama persis dengan program pasca-sarjana yang diterapkan di Perguruan Tinggi Islam secara umum. Di samping kurikulumnya berbeda, sifat UIII yang khusus juga mensyaratkan standar kualifikasi yang jauh lebih tinggi bagi calon mahasiswa dan dosennya.

Dalam konteks pendidikan tinggi nasional, UIII menjadi pionir pembentukan research university bagi bidang keilmuan yang lain. Saat ini, semua perhuruan tinggi umum Indonesia juga terlalu fokus pada program pengajaran Strata-1, sehingga porsi dana riset selalu tidak mencukupi. Dengan mengkonsentrasikan riset lanjutan pada beberapa research university, tujuan untuk ikut menjadi kelompok terdepan dalam inovasi keilmuan akan lebih mudah tercapai.

Sumberdaya yang terseleksi ketat membuat komunitas akademik UIII siap melakukan pertukaran ide di pentas internasional. Mereka juga akan lebih lantang dalam menyuarakan perdamaian, keragaman budaya, toleransi, dan kerukunan, sesuai dengan nilai-nilai yang dipeluk bangsa ini. Pada saat yang sama, civitas akademik UIII juga menerima mahasiswa internasional yang ingin mendapatkan pengajaran tentang Islam secara lebih mendalam. Tidak akan ada lagi kendala bahasa atau fasilitas belajar yang berstandar internasional. Pada saatnya, Muslim di dunia akan sadar bahwa masa depan Islam tidak semata-mata ditentukan oleh Mesir, Saudi Arabia, atau Iran. Indonesia juga memiliki kemampuan untuk merumuskan masa depan Islam secara lebih baik. Khusus Muslim Indonesia, mereka tidak perlu lagi mencari-cari kiblat keislaman yang selama ini sering membuat bingung antaranak bangsa sendiri.

Sesuai dengan misi yang diemban, UIII membagi kegiatannya menjadi sub rangkaian, yaitu pengajaran dan penelitian. Kedua kegiatan utama ini tidak terpisah- pisah, melainkan saling melengkapi. Namun demikian, setiap kegiatan diwadahi institusi yang berbeda, yang masing-masing memiliki tujuan, target, dan wilayah kerja tersendiri.

B. Karakteristik, Distinksi dan Prinsip UIII

UIII menghadirkan temuan-temuan baru yang digagas sarjana dunia untuk mengkaji bidang-bidang keilmuan yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim sebagai obyek utama wilayah akademiknya. Strategi ini untuk mendukung tujuan utama UIII agar menjadi salah satu institusi akademik terdepan dalam kajian yang berkaiatan dengan Islam dan masyarakat Muslim di dunia. Kararteristik ini membedakan pola kajian Islam konvensional yang banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi Islam yang ada. Sebagai misal, UIII tidak menjadikan perdebatan epistemologi Islamisasi ilmu pengetahuan atau pemilahan ilmu Barat versus ilmu Islam seperti keinginan membangun paradigma Sosiologi Islam atau Ekonomi Islam sebagai barometer perkembangan ilmu pengetahuan baru. UIII menjadi pendekatan yang mapan dalam khazanah teori-teori sosiologi dan ekonomi itu secara komprehensif dalam memotret Islam dan masyarakat Muslim di dunia.

Sikap terbuka dalam mengkaji pengetahuan ini menjadi kunci pokok kemajuan akademik di UIII. Sejarah Islam sendiri sebenarnya sudah mencontohkan bahwa komunikasi intensif dengan model ilmu dan semua komunitas akademik merupakan kunci kemajuan pada masanya. Abad ke-9 menjadi bukti yang baik, dimana ilmuwan Muslim sangat aktif dalam interaksi keilmuan dengan sarjana- sarjana dari berbagai tempat dan latar belakang etnis dan agama. Hasilnya adalah kemajuan peradaban yang saat ini selalu dibangga-banggakan oleh Muslim di seluruh dunia. Dalam pandangan UIII, jika mau mengkaji sedikit tentang proses keberhasilan tersebut, umat Islam akan menemukan bahwa interaksi dan keterbukaan berpikir merupakan motor kemajuan yang dicapai Muslim abad ke-9.

Secara sederhana, dapat diasumsikan bahwa ilmu tidak berkembang dari ruang vakum, tetapi melalui akumulasi bertahap selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Dengan kata lain, teori astronomi, matematika, teknik, dan kedokteran yang dibangun sarjana Muslim abad ke-9 tidak akan terealisasi jika mereka tidak mengkaji warisan budaya Mesopotamian dan Persia. Ilmu kalam dan falsafah yang digagas al-Kindi, al- Farabi, dan Ibn Sina juga tidak akan terbangun sistematis jika para pemikir Muslim tersebut tidak bersentuhan dengan warisan peradaban Yunani. Para fuqaha juga tidak akan bisa menelurkan teori dan pemikiran hukum yang canggih jika mereka tidak berkomunikasi dengan khazanah keilmuan Romawi. Sayangnya, fakta sejarah ini sering dinafikan karena kepentingan ideologis atau konflik politik yang terus mendera sebagian masyarakat Muslim dengan Eropa dan negara Barat lain.

Dalam konteksi ini, UIII mengikuti jejak negara-negara maju dalam membangun institusi pendidikan tinggi unggulan untuk kajian yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim dalam perspektif ilmu pengetahuan yang sudah mapan seperti politik, sosiologi antropologi, ekonomi, hukum, sejarah dan pendidikan.

Dalam hal prinsip, UIII adalah sebuah lembaga akademik yang menyelenggarakan kegiatan layanan pendidikan, penelitian dan penerapan keahlian tingkat lanjut (advanced). Sebagai lembaga yang dibangun di atas idealisme untuk mengembangkan studi tentang Islam dan masyarakat Muslim, dan peningkatan kemanfaatan ilmu pengetahuan bagi masyarakat dunia, UIII selalu menjaga idealismenya untuk terus berkembang dan meningkatkan dampak kehadiran sarjana- sarjananya bagi masyarakat dunia. Dalam rangka menjalankan kegiatan-kegiatan akademiknya, UIII memiliki sebuah desain tata kelola yang efektif guna memastikan berjalannya fungsi-fungsi organisasi guna mewujudkan visi dan misi UIII.

Kualifikasi UIII yang tinggi mensyarakatkan sebuah sistem tata kelola yang profesional. Dari sisi akademik, semua lembaga yang dimiliki, mulai dari fakultas, departemen, direktorat, sampai pusat kajian, harus dipimpin oleh akademisi atau profesional yang mumpuni. Oleh karena itu, UIII memerlukan keleluasaan dalam merekrut tenaga akademik dan manajerial. Dengan itu akan memungkinkan lembaga ini untuk menerapkan patokan-patokan yang kompetitif dengan berbagai perguruan tinggi di negara-negara maju.

UIII juga membutuhkan ruang fleksibel dalam memobilisasi dan mengelola dana, agar bisa melibatkan pihak swasta dan tidak hanya bertumpu pada anggara yang disipakan negara. Semua keistimewaan yang dibutuhkan ini berkaitan langsung dengan beban yang harus dipikul UIII yang bobotnya jauh lebih berat dibandingkan beban PT lainnya. UIII tidak hanya diharuskan mencetak sarjana, tetapi sarjana unggulan, dan juga harus menjadi pusat kebudayaan.

C. VisiUIII

Menjadi bagian dari komunitas akademik yang memberi konstribusi aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang Islam dan masyarakat Muslim.

D. MisiUIII

UIII memiliki misi sebagai berikut:

  1. Melakukan pengajaran dan pendidikan tinggi yang berkualitas dan inovatif dengan menjunjung moralitas, etika dan kebebasan akademik untuk menyiapkan tenaga peneliti professional, pemikir dan intelektual yang berkaitan dalam bidang khazanah Islam dan masyarakat Muslim;
  2. Melakukan dan memfasilitasi riset-riset rintisan dan lanjutan ilmu politik yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim dalam bentuk program program riset (fellowship) dan paska doktoral (post-doctoral program);
  3. Melakukan kajian-kajian strategis tentang kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim di Indonesia, kawasan regional dan global.

E. Nilai-Nilai UIII

UIII memiliki nilai-nilai sebagai berikut:

  1. Keislaman Moderat
  2. Kebebasan Akademik
  3. Meritokrasi dan Profesionalisme
  4. Penghargaan terhadap Keberagaman
  5. Persamaan Kesempatan

F. Tujuan UIII

UIII memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. Memberikan kontribusi aktif dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, ilmu humaniora dan sain teknologi yang berkaitan dengan khazanah Islam dan masyarakat Muslim di Indonesia secara khusus dan dunia Muslim secara umum, dan kajian-kajian keislaman melalui bidang pengajaran dan penelitian yang berkualitas tinggi dan inovatif dengan menjunjung tinggi moral, etika dan kebebasan akademik;
  2. Menyiapkan dan mendidik tenaga peneliti professional, pemikir dan intelektual dalam studi ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora dan sain teknologi dengan menyelenggarakan pendidikan tingkat lanjut tingkat pascasarjana dalam bidang khazanah Islam dan masyarakat Muslim;
  3. Melakukan dan memfasilitasi riset-riset rintisan dan lanjutan yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim dalam bentuk program tanpa gelar (non-degree program), program kunjungan (fellowship) dan paska doktoral (post-doctoral program);
  4. Melakukan kajian-kajian strategis tentang kebijakan yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim di Indonesia, kawasan regional dan global.

G. Penguatan Kapasitas UIII

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, secara normatif UIII merupakan pusat keunggulan dalam pengkajian dan penelitian yang berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim yang mampu menjawab kebutuhan dan tantangan masyarakat secara ril. Untuk itu, strategi yang ditempuh UIII berorientasikan pada pendekatan yang beragam dengan mempertimbangkan potensi yang ada di UIII. Pada titik ini maka penguatan kelembagaan yang terdiri atas komponen-komponen strategis seperti mahasiswa dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana yang ada mutlak untuk diperhatikan.

Berdasarkan hal tersebut paling tidak terdapat 3 (tiga) strategi dasar yang penting dalam rangka pengembangan UIII yakni pertama penguatan input perguruan tinggi agama Islam dalam hal sumber daya manusia yang menyangkut mahasiswa dan tenaga pendidik; kedua, penguatan kultur akademik yang ada; dan yang ketiga adalah penguatan dan pemberdayaan lembaga-lembaga yang menunjang UIII sebagai ikon lembaga pengkajian dan penelitian yang berorientasi Internasional berkaitan dengan Islam dan masyarakat Muslim.

1. Mahasiswa dan Pengajar

Unsur mahasiswa dan pengajar (dosen) merupakan komponen utama dalam pengembangan kelembagaan UIII sebagai perguruan tinggi internasional. Untuk pengembangan pendidikan tinggi Islam di tanah air maka strategi pengembangan kedua komponen merupakan salah-satu kata kunci bagi keberhasilan UIII.

Berdasarkan hal tersebut, kualifikasi calon mahasiswa potensial yang dipersyaratkan UIII tidak sama dengan di Perguruan Tinggi Umum maupun Perguruan Tinggi Islam Indonesia. UIII menerapkan standar akademik tinggi bagi semua calon mahasiswanya. Strategi ini untuk memastikan agar mereka mampu mencapai target-target belajar yang ketat. Seperti perguruan tinggi unggulan di negara-negara maju, UIII memiliki ekspektasi tinggi bagi peserta program tingkat master maupun doktor. Karena itu, calon mahasiswa yang akan belajar di UIII disyaratkan untuk memenuhi kualifikasi akademik pokok seperti latar belakang akademik yang baik, kemampuan bahasa dan pengalaman dalam penelitian berdasarkan kajian yang akan ditekuni.

UIII menerapkan standar akademik tinggi bagi semua calon pengajar (dosen) untuk memastikan agar pengajaran dan penelitian yang dilakukan sesuai dengan standar intenasional. Pengajar di UIII terbuka untuk para dosen dari dalam dan luar negeri dengan memenuhi kualifikasi antara lain memiliki gelar akademik tertinggi (Dr), memiliki track record penelitian yang diterbitkan dalam buku maupun jurnal internasional, dan memiliki keahlian yang dibutuhkan UIII.

2. Kurikulum UIII

UIII mendesain kurikulum di setiap departemen dengan mengacu pada patokan-patokan akademik yang sudah menjadi norma perguruan tinggi umum terkemuka. Cara ini untuk menjamin agar lulusan UIII tidak sekadar unggul di tingkat nasional, tetapi juga mampu menjadi bagian dari aktivitas keilmuan komunitas akademik internasional.

Secara umum program master UIII ditujukan untuk mencetak ilmuwan setara dengan peneliti madya. Mahasiswa program ini diarahkan untuk mempelajari secara mendalam teori-teori utama (grand theory) dalam bidang kajian masing-masing. Mereka juga harus mendalami sejumlah teori yang lebih spesifik (meso theory) yang berhubungan dengan minat sub-spesialisasinya. Selain itu, mereka akan dibekali dengan pengetahuan tentang metodologi yang melandasi bangunan keilmuan program studinya. Sebagai catatan, mahasiswa tingkat master tidak diarahkan untuk mengambil spesialisasi, tetapi didorong untuk mengambil bidang peminatan yang bisa dikembangkan sebagai spesialisasi pada tingkat doktoral. Untuk itu, mereka disediakan mata kuliah pilihan (elective course) yang jumlahnya cukup banyak agar leluasa mengembangkan tema yang menjadi minatnya.

Sementara itu, program doktoral UIII dirancang untuk melahirkan pemikir dan peneliti ahli. Mahasiswa program doktoral diwajibkan menguasai seluruh teori-tori pokok dari program studi yang diambil. Mereka juga harus memahami dengan benar seluruh teori yang lebih spesifik yang berhubungan dengan bidang atau spesialisasinya. Pada tingkat ini, mahasiswa juga sudah harus mengerti dan mampu menerapkan seluruh metodologi yang berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing. Dibanding program master, program doktoral UIII mensyaratkan penguasaan yang tuntas pada tingkat teori dan metodologi, serta pendalaman sub-bidang atau spesialisasi yang menjadi minat utama mahasiswa. Lulusan program ini disiapkan untuk menjadi peneliti ahli yang mampu melakukan inovasi dan melahirkan pemikiran dan temuan baru.

Persyaratan pokok di atas belum tentu bisa dipenuhi oleh calon mahasiswa dalam waktu bersamaan, sehingga perlu dibuat program matrikulasi. UIII juga menerapkan program matrikulasi bidang studi bagi calon mahasiswa yang berlatar belakang ilmu tidak sama dengan program studi yang akan dimasuki. Pada dasarnya, semua program studi di universitas ini lebih mengutamakan calon mahasiswa yang bidangnya linear. Hal ini didasarkan pada harapan agar mahasiswa yang diterima sudah siap memasuki program spesialisasi. Untuk itu, mereka tidak lagi harus disibukkan oleh penguasaan pengetahuan dasar dari bidang keilmuan yang akan digeluti.

3. Etika Akademik

Sebagai perguruan tinggi internasional, UIII menerapkan standar-standar etika akademik yang berlaku secara universal dalam hal penelitian dan penulisan hasil penelitian. Etika akademik meliputi berbagai hal seperti bagaimana sebuah prosedur penelitian dilakukan, bagaimana penelitian itu ditulis dengan sistem penulisan baku dengan mencantumkan sumber-sumber secara cermat sampai bagaimana sebuah hasil penelitian bisa diakses oleh para peneliti lain.

UIII harus menjadi pelopor bahwa penjiplakan atas sesuatu karya ilmiah sebagai sebuah kejahatan intelektual (intelectual crime) dan pelakunya harus mendapatkan sanksi hukum, bukan sebatas sanksi moral semata. Sanksi yang berat seperti dipecat dari jabatan fungsional, misalnya, patut diberikan. Karena itu, UIII memiliki aturan atau panduan yang jelas untuk mengatur masalah plagiarisme sehingga karya-karya intelektual yang dihasilkan oleh para sarjana di UIII memang terhindar dari budaya plagiarisme ini. Untuk penerapannya, UIII membentuk Dewan Kehormatan Akademik, yang berwenang menjatuhkan sanksi jika terjadi pelanggaran Kode Etik tersebut.

4. Penguatan Kultur Penelitian

Berkaitan dengan etika akademik sebagaimana dijelaskan di atas, penguatan kultur penelitian akademik di UIII menjadi prioritas utama untuk menjadikan UIII sebagai perguruan tinggi Islam dengan reputasi internasional. Harus diakui, cukup banyak kendala yang dihadapi peniliti maupun dosen di perguruan tinggi selama ini berkenaan dengan penelitian.

Pertama, lemahnya wawasan metodologis dan teori yang diperlukan untuk melaksanakan suatu penelitian. Hal ini antara lain karena tingkat pendidikan peniliti atau dosen yang masih rendah dan/atau kurang berpengalaman dalam melaksanakan penelitian. Kedua, kurangnya dana yang tersedia untuk penelitian. Tidak jarang seorang peneliti atau dosen terpaksa menggunakan uang sendiri untuk penelitian. Sementara dana yang tersedia bukan hanya terbatas, tetapi juga harus dibagi-bagi dengan banyak orang. Selain itu, karena menyesuaikan dengan sistem anggaran pertahun, dana penelitian biasanya diberikan untuk jangka waktu pendek, maksimal setahun. Ini mengakibatkan penelitian yang serius dan mendalam, yang perlu waktu lebih lama, tidak mungkin dilakukan. Ketiga, seringkali terjadi tumpang tindih antara satu penelitian dengan penelitian yang lain. Hal ini antara lain karena kurangnya komunikasi akademis perihal apa saja penelitian yang sudah dilaksanakan orang, atau karena ketidakjujuran si peneliti sendiri alias penjiplakan. Keempat, laporan hasil penelitian kadangkala tidak ditelaah dengan sungguh-sungguh, baik oleh konsultan ataupun oleh penyandang dana. Tidak jarang, laporan penelitian hanya sekadar memenuhi persyaratan administratif agar pengeluaran dana bisa dipertanggungjawabkan.

Peneliti dan dosen di UIII diharapkan adalah orang-orang yang memang sudah menguasai metodologi penelitian di bidang ilmunya masing-masing. Hasil penelitian yang dilakukan harus tidak hanya harus dipubikasikan baik dalam bentuk buku maupun artikel di jurnla-jurnal internasional tetapi juga didiseminasi melaluk berbagai forum nasional dan internasional.

UIII harus mampu menyiapkan dana yang cukup dan proporsional untuk penelitian yang dilakukan oleh peneliti maupun pengajarnya yang digunakan secara akuntabel. Dalam kaitan ini selain sistem penganggaran biaya penelitian yang baik menggunakan dana pemerintah, UIII harus mampu menjalin kemitraan dengan pihak- pihak luar untuk mendapatkan dana penelitian. Di sini tentu diperlukan upaya mempertemukan kepentingan kedua belah pihak. Selama kepentingan-kepentingan itu tidak melanggar etika akademis, dan tidak pula merugikan bangsa Indonesia secara normatif, maka kerjasama semacam itu layak dilaksanakan.

5. Perpustakaan dan Museum

Peran dan fungsi perpustakaan dan museum dalam penguatan pengajaran dan penelitian menempati posisi strategis dan menjadi jantung bagi UIII sebagai perguruan tinggi internasional. Perpustakaan UIII dikelola secara baik dan profesional tidak hanya dari koleksi jumlah sumber bacaan yang terus ditambah dan didukung oleh sistem katalogisasi yang baik, tetapi juga peningkatan pelayanan yang diberikan kepada para pengguna. Perpustakaan UIII diarahkan pada penggunaan teknologi mutakhir yang membantu secara maksimal pengajaran dan penelitian insan akademik yang ada di UIII.

Lebih jauh, perpustakaan dan museum UIII didesain sebagai preservasi karya intelektual yang ditulis para cendekiawan Muslim yang belum banyak diketahui karena berserak di berbagai tempat. Naskah-naskah lama yang membahas aspek- aspek pokok kehidupan belum terkodifikasi dengan baik. Sebagian masih tersimpan di sejumlah institusi pengetahuan yang terpencar di berbagai tempat. Masih cukup beruntung dikoleksi dengan baik, meskipun lembaga yang menyimpan tersebut berada di negara-negara yang berbeda. Universitas Leiden, Cornell, Ohio, dan Australian National University (ANU) merupakan intitusi pendidikan tinggi yang banyak menyimpan naskah Indonesia. Di dalam negeri, naskah-naskah keagamaan sebagian tersimpan di sejumlah perpustakaan, seperti Baitul Qur’an, Museum Nasional, dan Radya Pustaka di Surakarta. Selebihnya masih banyak yang disimpan oleh individu sebagai pusaka keluarga atau warisan komunitas.

Koleksi naskah yang berada di tangan lembaga profesional, seperti universitas atau pusat riset di negara maju, tidak terlalu menjadi masalah. Namun naskah yang masih disimpan individu bisa rusak dan bahkan hilang. Tentu ada individu yang memiliki cara konservasi yang baik, fasilitas yang memadai, tetapi sebagian besar tidak memiliki biaya yang cukup untuk memelihara barang kuno. Lebih parah lagi jika pemilik naskah tidak mengetahui nilai sejarahnya, sehingga mereka tidak memberikan proteksi maksimal. Soal konservasi ini belum menghitung naskah atau peninggalan tertulis yang belum ditemukan. Bisa jadi benda tersebut bercampur dengan benda-benda kuno lainnya, tetapi bisa juga tidak diketahui nilainya sehingga diperlakukan sebagai barang biasa.

Sama seperti naskah intelektual, karya-karya non-tulis juga masih tersebar luas dan banyak yang belum tergali. Bahkan sangat mungkin nasibnya lebih buruk dari peninggalan tertulis karena jenis-jenis budaya material yang sangat beragam. Misalnya, karya seni yang berhubungan dengan ritual-kegiatan keagamaan. Karena diproduksi oleh berbagai aliran keagamaan dan suku, wujud kreasi dalam bidang ini sangat kaya. Mulai dari tembang pujian, kaligrafi, arkitek masjid, mushola, pakaian ibadah, sampai asesori tasbih, alas salat, dan kopiah. Masyarakat Aceh, Melayu, Minang, Sunda Jawa, Banjar, Lombok, sampai suku-suku yang ada di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku mengembangkan kreasi yang berbeda-beda. Kekayaan yang tidak ternilai harganya ini belum mendapat perhatian serius. Belum ada institusi yang secara khusus mengoleksi, mempelajari, dan mensosialisasikan hasil karya artistik ritus-ritus keagamaan.

6. Pusat Pengkajian Strategis

UIII sebagai pusat peradaban Islam Indonesia juga terlibat dalam pembentukan beberpa pusat pengkajian strategis yang berhubungan dengan masalah-masalah penting dalam kehidupan masyarakat Islam kontemporer. Pusat-pusat ini bertujuan untuk mengimplementasikan temuan-temuan baru dari aktivitas akademik yang dilakukan di UIII yang berkaitan dengan ide-ide orisinal mengenai Islam yang plural, terbuka dan toleran. Lingkup kegiatannya cukup luas, mencakup kajian-kajian akademik seperti seminar, konferensi, perumusan rekomendasi kebijakan, strategi, dan penyediaan data yang diperlukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat, pelaku usaha, partai politik serta lembaga pendidikan.

Di samping kegiatan konsultasi, Pusat-Pusat ini juga merancang kegiatan lain untuk menopang penerapan temuan-temuan baru. Di antaranya adalah kursus singkat (short course), pelatihan, workshop, dialog publik, diskusi online, yang langsung melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan dengan masyarakat Muslim. Program-program singkat ini untuk mengakomodasi kalangan yang tidak banyak memiliki waktu. Kelompok ini cukup banyak, mulai dari pelajar, mahasiswa, kalangan profesional, maupun akademisi yang ingin bertukar pikiran dengan kolega mereka di lembaga akademik lain.

Pranala luar