Lompat ke isi

Perjanjian Giyanti: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
AnsyahF (bicara | kontrib)
Membalikkan revisi 15347052 oleh Astronom5109 (bicara)
Tag: Pembatalan
k Bot: Perubahan kosmetika
Baris 3: Baris 3:
Kelompok [[Pangeran Mangkubumi]]
Kelompok [[Pangeran Mangkubumi]]
----
----
[[File:VOC.svg|22px]] [[VOC]]|long_name=Perjanjian di Giyanti/Gianti|languages=[[Bahasa Jawa]] dan [[Bahasa Belanda]]}}
[[Berkas:VOC.svg|22px]] [[VOC]]|long_name=Perjanjian di Giyanti/Gianti|languages=[[Bahasa Jawa]] dan [[Bahasa Belanda]]}}


'''Perjanjian Giyanti''' adalah sebuah perjanjian antara [[VOC]], pihak [[Kesultanan Mataram]] yang diwakili oleh [[Sunan Pakubuwana III]], dan kelompok [[Pangeran Mangkubumi]]. Kelompok [[Pangeran Sambernyawa]] tidak ikut dalam perjanjian ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.
'''Perjanjian Giyanti''' adalah sebuah perjanjian antara [[VOC]], pihak [[Kesultanan Mataram]] yang diwakili oleh [[Sunan Pakubuwana III]], dan kelompok [[Pangeran Mangkubumi]]. Kelompok [[Pangeran Sambernyawa]] tidak ikut dalam perjanjian ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.
Baris 14: Baris 14:
Menurut dokumen register harian [[N. Hartingh]], [[Gubernur]] VOC untuk [[Jawa Utara]], pada tanggal [[10 September]] [[1754]] ia berangkat dari [[Semarang]] untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal [[22 September]] [[1754]]. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh [[Paku Alam I|Pangeran Natakusuma]] dan [[Tumenggung Ronggo]]. Hartingh sendiri didampingi oleh [[Breton]], [[C. Donkel|Kapten C. Donkel]], dan sekretarisnya, [[W. Fockens]]. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah [[Pendeta Bastani]].
Menurut dokumen register harian [[N. Hartingh]], [[Gubernur]] VOC untuk [[Jawa Utara]], pada tanggal [[10 September]] [[1754]] ia berangkat dari [[Semarang]] untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal [[22 September]] [[1754]]. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh [[Paku Alam I|Pangeran Natakusuma]] dan [[Tumenggung Ronggo]]. Hartingh sendiri didampingi oleh [[Breton]], [[C. Donkel|Kapten C. Donkel]], dan sekretarisnya, [[W. Fockens]]. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah [[Pendeta Bastani]].


[[Berkas:Ringin Jantiharjo.jpg|jmpl|254x254px|Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.|al=|kiri]]Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kesultanan. Mangkubumi menyatakan bahwa di [[Cirebon]] ada lebih dari satu [[sultan]]. Hartingh pun menawarkan [[Mataram]] sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan bisa berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar [[sunan]] dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.
[[Berkas:Ringin Jantiharjo.jpg|jmpl|254x254px|Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.|al=|kiri]]Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kesultanan. Mangkubumi menyatakan bahwa di [[Cirebon]] ada lebih dari satu [[sultan]]. Hartingh pun menawarkan [[Mataram]] sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan bisa berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar [[sunan]] dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.


Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika [[Pakubuwana II]] wafat di daerah [[Kabanaran]], bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi [[Pakubuwana III]].[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|jmpl|Peta pembagian Matarampada tahun 1757]]Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal [[23 September]] [[1754]] akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau ''daerah pesisiran'' yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada [[Pakubuwana III]]. Pada tanggal [[4 November]] [[1754]], [[Pakubuwana III]] menyampaikan surat kepada [[Gubernur Jenderal]] VOC, [[Mossel]], mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N. Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi.
Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika [[Pakubuwana II]] wafat di daerah [[Kabanaran]], bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi [[Pakubuwana III]].[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|jmpl|Peta pembagian Matarampada tahun 1757]]Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal [[23 September]] [[1754]] akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau ''daerah pesisiran'' yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada [[Pakubuwana III]]. Pada tanggal [[4 November]] [[1754]], [[Pakubuwana III]] menyampaikan surat kepada [[Gubernur Jenderal]] VOC, [[Mossel]], mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N. Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi.
Baris 23: Baris 23:
[[Soedarisman Poerwokoesoemo]] dalam bukunya, ''Kadipaten Pakualaman'', mengemukakan isinya sebagai berikut:
[[Soedarisman Poerwokoesoemo]] dalam bukunya, ''Kadipaten Pakualaman'', mengemukakan isinya sebagai berikut:


# '''Pasal 1''' Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai '''Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah''' di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini '''Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro'''.
# '''Pasal 1''' Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai '''Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah''' di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini '''Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro'''.
# '''Pasal 2''' Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
# '''Pasal 2''' Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
# '''Pasal 3''' Sebelum Pepatih Dalem (''Rijks-Bestuurder'') dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adala||h pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari [[residen]] atau [[gubernur]].
# '''Pasal 3''' Sebelum Pepatih Dalem (''Rijks-Bestuurder'') dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adala||h pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari [[residen]] atau [[gubernur]].
# '''Pasal 4''' Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
# '''Pasal 4''' Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
# '''Pasal 5''' Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
# '''Pasal 5''' Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
# '''Pasal 6''' Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas [[Pulau Madura]] dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh [[Pakubuwana II|Sri Sunan Pakubuwana II]] kepada VOC dalam kontraknya tertanggal [[18 Mei]] [[1746]]. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
# '''Pasal 6''' Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas [[Pulau Madura]] dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh [[Pakubuwana II|Sri Sunan Pakubuwana II]] kepada VOC dalam kontraknya tertanggal [[18 Mei]] [[1746]]. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
# '''Pasal 7''' Sri Sultan akan memberi bantuan kepada [[Pakubuwana III|Sri Sunan Pakubuwana III]] sewaktu-waktu jika diperlukan.
# '''Pasal 7''' Sri Sultan akan memberi bantuan kepada [[Pakubuwana III|Sri Sunan Pakubuwana III]] sewaktu-waktu jika diperlukan.
# '''Pasal 8''' Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
# '''Pasal 8''' Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
# '''Pasal 9''' Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun [[1705]], [[1733]], [[1743]], [[1746]], dan [[1749]].
# '''Pasal 9''' Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun [[1705]], [[1733]], [[1743]], [[1746]], dan [[1749]].
# '''Penutup''' Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, [[W. van Ossenberch]], [[J.J. Steenmulder]], C. Donkel, dan W. Fockens dari pihak VOC.
# '''Penutup''' Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, [[W. van Ossenberch]], [[J.J. Steenmulder]], C. Donkel, dan W. Fockens dari pihak VOC.


== Polemik ==
== Polemik ==

Revisi per 12 Juli 2019 08.33

Perjanjian Giyanti
Perjanjian di Giyanti/Gianti
Naskah Perjanjian Giyanti yang ditandatangani dan dibubuhi stempel oleh pihak-pihak yang terlibat.
Ditandatangani13 Februari 1755
LokasiDukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah
Penanda tangan Kesultanan Mataram

Kelompok Pangeran Mangkubumi


VOC
BahasaBahasa Jawa dan Bahasa Belanda

Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III, dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Kelompok Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Demi keuntungan pribadi, Pangeran Mangkubumi memutar haluan dengan menyeberang dari kelompok pemberontak ke kelompok pemegang legitimasi kekuasaan untuk memerangi pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.

Perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 tersebut secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.

Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi 2. Wilayah di sebelah timur Sungai Opak (yang melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Wilayah di sebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi yang sekaligus diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang menetap di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat klausul bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah itu jika diperlukan.

Perundingan

Menurut dokumen register harian N. Hartingh, Gubernur VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.

Berkas:Ringin Jantiharjo.jpg
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.

Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kesultanan. Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan bisa berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar sunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya. Mangkubumi keberatan melepas gelar sunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai sunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan yang Dipertuan atas Kesultanan Mataram ketika Pakubuwana II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.

Peta pembagian Matarampada tahun 1757

Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC, Mossel, mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Gubernur Jawa Utara, N. Hartingh, dan Pangeran Mangkubumi.

Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.

Isi perjanjian

Soedarisman Poerwokoesoemo dalam bukunya, Kadipaten Pakualaman, mengemukakan isinya sebagai berikut:

  1. Pasal 1 Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
  2. Pasal 2 Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
  3. Pasal 3 Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adala||h pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
  4. Pasal 4 Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
  5. Pasal 5 Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
  6. Pasal 6 Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
  7. Pasal 7 Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
  8. Pasal 8 Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
  9. Pasal 9 Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
  10. Penutup Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens dari pihak VOC.

Polemik

Perjanjian Giyanti belum mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa.

Oleh VOC, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.

Referensi

  • Soedarisman Poerwokoesoemo. 1985. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.