Lompat ke isi

Teung: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k cosmetic changes
Baris 1: Baris 1:
'''Teun''', kadang dieja sebagai ''teon'', ''teong'', atau ''teung'' adalah nama adat atau gelar yang diberikan terhadap suatu [[negeri adat|negeri]] atau kampung di Maluku khususunya Maluku Bagian Tengah.<ref>{{Cite book
'''Teun''', kadang dieja sebagai ''teon'', ''teong'', atau ''teung'' adalah nama adat atau gelar yang diberikan terhadap suatu [[negeri adat|negeri]] atau kampung di Maluku khususunya Maluku Bagian Tengah.<ref name="Bartels 2017 493">{{Cite book
| last = Bartels
| last = Bartels
| first = Dieter
| first = Dieter
Baris 8: Baris 8:
| year = 2017
| year = 2017
| page = 493
| page = 493
| isbn = 9786024241513}}</ref> ''Teun'' secara lisan mewakili sejarah suatu negeri, batas-batas negeri tersebut dan petuanannya dengan negeri-negeri lain dan petuanan mereka, serta struktur politik, kekuasaan, dan sosial-ekonomis masyarakat di suatu negeri.<ref>{{Cite book
| isbn = 9786024241513}}</ref> ''Teun'' secara lisan mewakili sejarah suatu negeri, batas-batas negeri tersebut dan petuanannya dengan negeri-negeri lain dan petuanan mereka, serta struktur politik, kekuasaan, dan sosial-ekonomis masyarakat di suatu negeri.<ref name="Bartels 2017 493"/> ''Teun'' tidak hanya dimiliki oleh negeri atau kampung, masing-masing [[soa]] dan fam atau ''matarumah'' di suatu negeri juga memiliki ''teun'' masing-masing. Keberadaan ''teun'' berkorelasi atau berkaitan erat dengan monumen pendirian suatu negeri oleh nenek moyang mereka. Monumen itu dikenal sebagai [[batu pamali]]. Selain batu pamali, ''teun'' umumnya juga diasosiasikan dengan petuanan darat yang disebut ''ewang'', sumber air berupa sumur keramat yang dinamakan ''parigi'', dan wilayah petuanan laut tempat melepas sauh yang disebut labuhan (''labuang'').<ref name="Bartels 2017 493"/> Khususnya matarumah atau fam, ''teun'' adalah nama yang diberikan kepada nenek moyang mereka tatkala pertama kali tiba di suatu negeri.<ref>{{Cite book
| last = Bartels
| first = Dieter
| authorlink =
| author2=
| title = Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
| year = 2017
| page = 493
| isbn = 9786024241513}}</ref> ''Teun'' tidak hanya dimiliki oleh negeri atau kampung, masing-masing [[soa]] dan fam atau ''matarumah'' di suatu negeri juga memiliki ''teun'' masing-masing. Keberadaan ''teun'' berkorelasi atau berkaitan erat dengan monumen pendirian suatu negeri oleh nenek moyang mereka. Monumen itu dikenal sebagai [[batu pamali]]. Selain batu pamali, ''teun'' umumnya juga diasosiasikan dengan petuanan darat yang disebut ''ewang'', sumber air berupa sumur keramat yang dinamakan ''parigi'', dan wilayah petuanan laut tempat melepas sauh yang disebut labuhan (''labuang'').<ref>{{Cite book
| last = Bartels
| first = Dieter
| authorlink =
| author2=
| title = Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
| year = 2017
| page = 493
| isbn = 9786024241513}}</ref> Khususnya matarumah atau fam, ''teun'' adalah nama yang diberikan kepada nenek moyang mereka tatkala pertama kali tiba di suatu negeri.<ref>{{Cite book
| last = Bartels
| last = Bartels
| first = Dieter
| first = Dieter
Baris 55: Baris 37:
| [[Pulau Ambon]]
| [[Pulau Ambon]]
| ''Teun'' Negeri Rutong kira-kira berarti bertarung dengan [[parang]] dalam jarak yang dekat. Hal ini merefleksikan sejarah pendirian Rutong yang melibatkan pertarungan fisik antara pendatang dari Rumahkay di Pulau Seram, dalam hal ini Corputty (nenek moyang fam Talahatu) dan Kakerissa (nenek moyang fam Maspaitella) melawan Agabus, orang pertama yang mendiami Rutong. Bagaimana pun, pertarungan antara Corputty dan Kakerissa melawan Agabus tersebut berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan untuk bersama-sama membangun negeri.
| ''Teun'' Negeri Rutong kira-kira berarti bertarung dengan [[parang]] dalam jarak yang dekat. Hal ini merefleksikan sejarah pendirian Rutong yang melibatkan pertarungan fisik antara pendatang dari Rumahkay di Pulau Seram, dalam hal ini Corputty (nenek moyang fam Talahatu) dan Kakerissa (nenek moyang fam Maspaitella) melawan Agabus, orang pertama yang mendiami Rutong. Bagaimana pun, pertarungan antara Corputty dan Kakerissa melawan Agabus tersebut berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan untuk bersama-sama membangun negeri.
| <ref>{{Cite book
| <ref name="Bartels 2017 494">{{Cite book
| last = Bartels
| last = Bartels
| first = Dieter
| first = Dieter
Baris 81: Baris 63:


== Teun Soa dan Pemertahanannya Saat Ini ==
== Teun Soa dan Pemertahanannya Saat Ini ==
Kenyataan bahwa tiap soa yang merupakan asosiasi beberapa fam dalam suatu negeri memiliki ''teun'' sendiri menjelaskan bahwa pada mulanya mereka mendirikan perkampungan sendiri-sendiri di daerah pegunungan. Sebelum kemudian bersepakat mengadakan persekutuan dan bergabung menjadi negeri yang lebih besar seperti yang dijumpai saat ini. Mulanya peran ''teun'' tiap soa sangat penting. ''Teun'' soa yang merefleksikan sejarah suatu soa adalah penanda ekslusivitas anggota-anggotanya. Ekslusivitas tersebut ditandai dengan pengelompokan permukiman sehingga wilayah tinggal suatu soa tidak berbaur dengan soal yang lain. Namun, ekslusivitas semacam itu sudah memudar dan ditinggalkan.<ref>{{Cite book
Kenyataan bahwa tiap soa yang merupakan asosiasi beberapa fam dalam suatu negeri memiliki ''teun'' sendiri menjelaskan bahwa pada mulanya mereka mendirikan perkampungan sendiri-sendiri di daerah pegunungan. Sebelum kemudian bersepakat mengadakan persekutuan dan bergabung menjadi negeri yang lebih besar seperti yang dijumpai saat ini. Mulanya peran ''teun'' tiap soa sangat penting. ''Teun'' soa yang merefleksikan sejarah suatu soa adalah penanda ekslusivitas anggota-anggotanya. Ekslusivitas tersebut ditandai dengan pengelompokan permukiman sehingga wilayah tinggal suatu soa tidak berbaur dengan soal yang lain. Namun, ekslusivitas semacam itu sudah memudar dan ditinggalkan.<ref name="Bartels 2017 494"/> Lebih lanjut, di banyak negeri di Maluku Tengah, perpindahan ke pantai pada abad ke-17 Masehi yang diperintahkan dan dipaksakan oleh VOC hampir mematikan peran ''teun'' soa. Hanya di beberapa tempat saja seperti di [[Jazirah Leihitu]] yang penduduknya mayoritas beragama Islam serta negeri-negeri pegunungan di [[Leitimur, Ambon|Leitimur]] ''teun'' soa masih dianggap penting.<ref name="Bartels 2017 494"/>
| last = Bartels
| first = Dieter
| authorlink =
| author2=
| title = Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
| year = 2017
| page = 494
| isbn = 9786024241513}}</ref> Lebih lanjut, di banyak negeri di Maluku Tengah, perpindahan ke pantai pada abad ke-17 Masehi yang diperintahkan dan dipaksakan oleh VOC hampir mematikan peran ''teun'' soa. Hanya di beberapa tempat saja seperti di [[Jazirah Leihitu]] yang penduduknya mayoritas beragama Islam serta negeri-negeri pegunungan di [[Leitimur, Ambon|Leitimur]] ''teun'' soa masih dianggap penting.<ref>{{Cite book
| last = Bartels
| first = Dieter
| authorlink =
| author2=
| title = Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
| year = 2017
| page = 494
| isbn = 9786024241513}}</ref>


Salah satu negeri yang masih mempertahankan penggunaan ''teun'' soa dewasa ini adalah [[Hatalai, Leitimur Selatan, Ambon|Hatalai]]. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.<ref>{{Cite book
Salah satu negeri yang masih mempertahankan penggunaan ''teun'' soa dewasa ini adalah [[Hatalai, Leitimur Selatan, Ambon|Hatalai]]. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.<ref name="Bartels 2017 494"/>
| last = Bartels
| first = Dieter
| authorlink =
| author2=
| title = Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah
| publisher = Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
| year = 2017
| page = 494
| isbn = 9786024241513}}</ref>


{|class="wikitable sortable"
{|class="wikitable sortable"
Baris 155: Baris 110:
== Referensi ==
== Referensi ==
{{reflist}}
{{reflist}}

{{budaya-stub}}


[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Maluku]]
[[Kategori:Maluku]]


{{budaya-stub}}

Revisi per 21 Juli 2019 10.48

Teun, kadang dieja sebagai teon, teong, atau teung adalah nama adat atau gelar yang diberikan terhadap suatu negeri atau kampung di Maluku khususunya Maluku Bagian Tengah.[1] Teun secara lisan mewakili sejarah suatu negeri, batas-batas negeri tersebut dan petuanannya dengan negeri-negeri lain dan petuanan mereka, serta struktur politik, kekuasaan, dan sosial-ekonomis masyarakat di suatu negeri.[1] Teun tidak hanya dimiliki oleh negeri atau kampung, masing-masing soa dan fam atau matarumah di suatu negeri juga memiliki teun masing-masing. Keberadaan teun berkorelasi atau berkaitan erat dengan monumen pendirian suatu negeri oleh nenek moyang mereka. Monumen itu dikenal sebagai batu pamali. Selain batu pamali, teun umumnya juga diasosiasikan dengan petuanan darat yang disebut ewang, sumber air berupa sumur keramat yang dinamakan parigi, dan wilayah petuanan laut tempat melepas sauh yang disebut labuhan (labuang).[1] Khususnya matarumah atau fam, teun adalah nama yang diberikan kepada nenek moyang mereka tatkala pertama kali tiba di suatu negeri.[2]

Teun Beberapa Negeri di Maluku Bagian Tengah

Nama Negeri Teun Lokasi Negeri Keterangan Referensi
Abubu Kakerissa Amapatti Pulau Nusalaut
Rutong Lopurisa Uritalai Pulau Ambon Teun Negeri Rutong kira-kira berarti bertarung dengan parang dalam jarak yang dekat. Hal ini merefleksikan sejarah pendirian Rutong yang melibatkan pertarungan fisik antara pendatang dari Rumahkay di Pulau Seram, dalam hal ini Corputty (nenek moyang fam Talahatu) dan Kakerissa (nenek moyang fam Maspaitella) melawan Agabus, orang pertama yang mendiami Rutong. Bagaimana pun, pertarungan antara Corputty dan Kakerissa melawan Agabus tersebut berakhir dengan perdamaian dan kesepakatan untuk bersama-sama membangun negeri. [3]
Sameth Samasuru Resirolo Pulau Haruku [4]
Tuhaha Beinusa Amalatu Pulau Saparua [5][6]

Teun Soa dan Pemertahanannya Saat Ini

Kenyataan bahwa tiap soa yang merupakan asosiasi beberapa fam dalam suatu negeri memiliki teun sendiri menjelaskan bahwa pada mulanya mereka mendirikan perkampungan sendiri-sendiri di daerah pegunungan. Sebelum kemudian bersepakat mengadakan persekutuan dan bergabung menjadi negeri yang lebih besar seperti yang dijumpai saat ini. Mulanya peran teun tiap soa sangat penting. Teun soa yang merefleksikan sejarah suatu soa adalah penanda ekslusivitas anggota-anggotanya. Ekslusivitas tersebut ditandai dengan pengelompokan permukiman sehingga wilayah tinggal suatu soa tidak berbaur dengan soal yang lain. Namun, ekslusivitas semacam itu sudah memudar dan ditinggalkan.[3] Lebih lanjut, di banyak negeri di Maluku Tengah, perpindahan ke pantai pada abad ke-17 Masehi yang diperintahkan dan dipaksakan oleh VOC hampir mematikan peran teun soa. Hanya di beberapa tempat saja seperti di Jazirah Leihitu yang penduduknya mayoritas beragama Islam serta negeri-negeri pegunungan di Leitimur teun soa masih dianggap penting.[3]

Salah satu negeri yang masih mempertahankan penggunaan teun soa dewasa ini adalah Hatalai. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.[3]

Soa Teun Parigi Fam/Matarumah
Lohaha Kohilan Namarisa Weir Tamauli Makatita
Luhu Sounalu Tunalessy Weir Sute Mahu * Loppies
* Pattiruhu
* Waas
Nusy Souwaka Lesisina Weir Tulumasu * Alfons
* Parera
* Gomies
Paly Soulisa Eruwakan Weir Tulutoma * Kastanya
* Muskita
* Paays
Pessy Tourale Sasamata Weir Tulumasu * De Lima
* Salamena

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ a b c Bartels, Dieter (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 493. ISBN 9786024241513. 
  2. ^ Bartels, Dieter (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid I: Kebudayaan. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 192. ISBN 9786024241506. 
  3. ^ a b c d Bartels, Dieter (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, Jilid II: Sejarah. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). hlm. 494. ISBN 9786024241513. 
  4. ^ Sialana, Fatimah "Tinjauan Tentang Ikatan Persekutuan Masyarakat Negeri Haruku dan Masyarakat Negeri Sameth" pp. 26-35 from Jendela Pengetahuan: Jurnal Pendidikan, Volume 6, Cetakan # 14, p. 31.
  5. ^ Aipassa, Suliatiawati "Wacana Ritual Panas Pela Negeri Beinusa Amalatu dan Mandalise Haitapessy (Kajian Etnolinguistik)" Tesis Universitas Gajah Mada, p. 2, 3, dan 4.
  6. ^ Thomas, Frans "Wacana Tradisi Pela Dalam Masyarakat Ambon" pp. 166-180 from Bahasa dan Seni, 2010, Volume 38, Cetakan # 2, p. 170.