Lompat ke isi

Tarekat Wetu Telu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Wiendietry (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Wiendietry (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{rapikan}}
'''Wetu Telu''', '''Waktu Telu''' ([[bahasa indonesia]] : waktu tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat [[suku sasak]] yang mendiami pulau [[lombok]] dalam menjalankan agama [[Islam]]. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. <ref name="lsj">Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007 </ref>. Saat ini para penganut wetu telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.
'''Wetu Telu''', '''Waktu Telu''' ([[bahasa indonesia]] : waktu tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat [[suku sasak]] yang mendiami pulau [[lombok]] dalam menjalankan agama [[Islam]]. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. <ref name="lsj">Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007 </ref>. Saat ini para penganut wetu telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

==Sejarah==
==Sejarah==
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami Pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan [[animisme]], [[dinamisme]] kemudian [[Hindu]]. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau [[Jawa]] pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya [[Majapahit]]. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa jawa kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa jawa kuno. Bahkan [[syahadat]] bagi para penganut waktu telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa jawa kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami Pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan [[animisme]], [[dinamisme]] kemudian [[Hindu]]. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau [[Jawa]] pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya [[Majapahit]]. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa jawa kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa jawa kuno. Bahkan [[syahadat]] bagi para penganut waktu telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa jawa kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam <ref name="lsj"/> disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Waktu Telu di masa modern.
Dalam <ref name="lsj"/> disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Waktu Telu di masa modern.

==Lokasi==
==Lokasi==
Lokasi yang terkenal dengan praktik waktu telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di [[Kabupaten Lombok Barat]]. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan [[masjid]] yang digunakan oleh para penganut waktu telu.
Lokasi yang terkenal dengan praktik waktu telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di [[Kabupaten Lombok Barat]]. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan [[masjid]] yang digunakan oleh para penganut waktu telu.
==Referensi==

{{ref}}
{{reflist}}


[[Kategori:Budaya Islam]]
[[Kategori:Budaya Islam]]

Revisi per 27 Juli 2008 06.23

Wetu Telu, Waktu Telu (bahasa indonesia : waktu tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku sasak yang mendiami pulau lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam di masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. [1]. Saat ini para penganut wetu telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Sejarah

Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami Pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa jawa kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa jawa kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut waktu telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa jawa kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja.

Dalam [1] disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Waktu Telu di masa modern.

Lokasi

Lokasi yang terkenal dengan praktik waktu telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Barat. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid yang digunakan oleh para penganut waktu telu.

Referensi

  1. ^ a b Pulau Lombok dalam Sejarah, H. Lalu Lukman, cetakan 4 2007