Andi Alfian Mallarangeng: Perbedaan antara revisi
k link ke Rizal Mallarangeng |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 23: | Baris 23: | ||
*{{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0702/29/0102.htm "Dua Pengamat Politik Mendeklarasikan PPDK"], ''[[Pikiran Rakyat]]'', 29 Juli 2002 |
*{{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0702/29/0102.htm "Dua Pengamat Politik Mendeklarasikan PPDK"], ''[[Pikiran Rakyat]]'', 29 Juli 2002 |
||
'''Pendapat Tentang Andi Alifian Mallarangeng''' |
|||
{{DEFAULTSORT:Mallarangeng, Andi Alfian}} |
|||
DIALOG hari ini, Rabu (2/7), di Metro TV cukup menjemukan bagiku. Menghadirkan sejumlah pembicara seperti Sutiyoso, Alifian Mallarangeng, Saiful Mujani, Anis Baswedan, hingga Sutrisno Bachir. Namun, saya tidak akan mengisahkan detail dialog tersebut. Saya hanya ingin bertutur tentang dosenku Alifian Mallarangeng, pria asal Parepare yang kini menduduki jabatan yang sangat prestisius yaitu juru bicara presiden SBY. |
|||
[[Kategori:Alumni Universitas Gadjah Mada]] |
|||
[[Kategori:Kelahiran 1963]] |
|||
Dalam dialog tersebut, hampir semua kalimat yang dilontarkan Alifian adalah pujian kepada Presiden SBY. Setiap ada keraguan atau kritik yang dilancarkan kepada pemerintah, maka ia akan dengan sigap membelanya, kemudian memberikan pujian –yang menurutku udah keterlaluan menjilatnya. Mungkin, ia sedang menjalankan tugasnya dengan efektif sebagai seorang jubir, namun bagiku ia adalah seorang intelektual yang semestinya bisa lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Mestinya, ia juga mengakui kelemahan di berbagai sisi, kemudian menjelaskan proses-proses politik yang terjadi sehingga mempengaruhi berbagai keputusan pemerintah. Kelemahan adalah perkara yang sangat manusiawi dan melalui kelemahan itu, manusia kian tertantang untuk mengembangkan pemikiran serta strategi kebudayaan untuk mengubah masalah menjadi titian melangkah. Sayang sekali, dalam dialog itu Alifian selalu melihat pemerintah sebagai sosok Superman yang selalu sempurna. |
|||
[[Kategori:Tokoh Sulawesi Selatan]] |
|||
[[Kategori:Politikus Indonesia]] |
|||
Saya mengenal sosok Alifian sudah cukup lama (sementara ia sendiri sama sekali tidak mengenalku). Di tahun 1998, ia datang ke Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk menjadi dosen setelah menyelesaikan pendidikannya di satu universitas di Amerika Serikat (AS). Menurut informasi, ia menuntaskan pendidikan S1-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedatangannya di Unhas membersitkan rasa kagum dari banyak mahasiswa termasuk saya yang saat itu baru dua tahun kuliah. Saya kagum karena sering melihatnya ikut dalam diskusi di koridor kampus atau di lantai di Baruga Andi Pangerang Pettarani. Bagiku, Alifian adalah sosok yang cerdas, dan sangat merakyat sebab bersedia duduk di lantai kotor untuk membagikan pengetahuannya kepada mahasiswa. |
|||
Bahkan di saat mahasiswa Unhas berdemonstrasi dalam bara reformasi, Alifian ikut menemani mahasiswa untuk turun ke jalan. Pernah, saya melihatnya ikut menemani mahasiswa Unhas yang berjalan kaki sekitar enam kilometer dari kampus Unhas menuju kantor Gubernur Sulsel untuk menentang kebijakan pemerintah. Saat itu, Alifian adalah sosok yang sempurna sebagai akademisi yang rela turun gunung demi mendengungkan suara intelektual untuk perubahan. Ia juga membuka pintu rumahnya di kawasan Pengayoman, Makassar, untuk berdiskusi dengan siapa saja mengenai tema politik, khususnya tema otonomi daerah. Pendeknya, Alifian adalah dosen yang sangat membanggakan. |
|||
Hingga suatu hari, saya terkejut ketika mendengarnya meninggalkan Unhas. Ia merasa kecewa karena sebagai dosen, ia tidak menerima banyak fasilitas sebagaimana layaknya dosen yang ada di luar negeri. “Bagaimana saya mau betah mengajar. Masak, meja kecil untuk saya duduk dan meletakkan foto istri saya tidak disediakan pihak kampus,” katanya dengan penuh nada protes. Memang, di Unhas tak banyak fasilitas buat dosen. Mereka tak punya ruangan pribadi dan ada meja serta buku-buku. Mereka hanya duduk-duduk di aula dosen untuk menunggu waktu mengajar. Ternyata, Alifian merasa kecewa. Tapi menurut informasi yang beredar di kampus Unhas, ia meninggalkan kampus bukan karena kecewa. Ia menerima tawaran yang menggiurkan yaitu menjadi pengajar senior di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dan mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan Unhas. |
|||
Mendengar cerita itu, kekagumanku langsung memudar. Jika itu benar, artinya naluri selebriti dan duit lebih mendarahdaging dalam dirinya, ketimbang berada di lapangan (field) untuk mencari tantangan, berdialog dengan komunitas, serta menyaksikan langsung denyut nadi perubahan. Ia tak tahan menceburkan diri di tempat yang jauh dari kekuasaan. Sebagai dosen IIP, ia tak lama mengajar. Selanjutnya ia menjadi anggota KPU, yang kemudian menjadi batu loncatan bagi kariernya kelak. Ia cukup sukses menggelar Pemilu demokratis yang bersejarah bagi bangsa Indonesia yaitu Pemilu 1999. Pada awal tahun 2000, masa jabatannya di KPU berakhir. Ia sempat menjadi pemandu talkshow yang populer bersama sosiolog Imam Prasodjo. |
|||
Selanjutnya, Alifian memasuki gelanggang partai dan bergabung dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK) di bawah pimpinan Ryaan Rasyid. Maka mulailah petualangan Alifian di jalur politik. Dalam setiap kampanye Partai PDK, nama dan fotonya selalu dipasang berdampingan dengan foto Ryaas Rasyid. Saat itu, saya sudah menjadi wartawan dan mencatat beberapa kali kunjungannya ke Makassar. Ia sering menemui ulama di Sulsel dan meminta restu kalau dirinya hendak menjadi presiden. Saat difoto wartawan, ia langsung mencium tangan ulama sambil berjanji bahwa siri’na pacce atau harga diri orang Bugis akan dijunjungnya tinggi-tinggi. Suatu janji yang belakangan dilupainya. |
|||
Ia menjadi caleg untuk daerah pemilihan Jakarta. Sayang sekali, namanya tenggelam. Hasil pemilu 2004 hanya sedikit mencatat perolehan suaranya. Meski cukup populer, ia tidak dipilih oleh rakyat sehingga gagal memasuki gelanggang Senayan. Namun Alifian tak kehabisan akal. Di ajang pemilihan presiden, ia berbalik haluan. Ketika Ryaas dan Partai PDK memilih dukungan ke Wiranto, Alifian justru berbeda pendapat. Ia mengemukakan penolakannya. Alasannya, Wiranto adalah seorang militer yang justru bisa menghambat proses demokratisasi. Ia mengesankan dirinya seolah-olah anti militer. Dan publik terkejut ketika ia memilih mendukung SBY yang nota bene juga berasal dari kalangan militer. Ketika SBY menang, ia keluar dari Partai PDK sehingga membuat orang-orang di partai itu marah-marah. Kata Ryaas, “Itu si Daeng Anto (nama panggilan Alifian di Parepare), bohong besar kalau alasannya keluar dari PDK karena isu Wiranto. Sejak dulu dia mau keluar karena masih mau jadi selebritis dan selalu tampil di tivi. Dia merasa mati karier kalau sama kita. Makanya dia suka bohong. Dasar!! Tidak konsisten!!” |
|||
Ryaas merasa kesal dengan sikap Alifian. Dalam banyak kesempatan saat ke Makassar, Ryaas selalu mengatakan itu. Namun Alifian tetap tidak bergeming. Terbukti, pilihannya mendukung SBY dirasanya tepat, sebab SBY kemudian memenangkan pilpres. Ia lalu ditunjuk sebagai jubir presiden. Ia memilih meninggalkan semua teman-temannya baik di Unhas, IIP, kemudian Partai PDK. Dan ia selalu tidak mau menyinggung-nyinggung masa lalunya itu. Saat berkunjung ke koran tempatku bekerja, saya sempat menyinggung bahwa sebelumnya ia pernah datang ke media di saat menjadi pengurus Partai PDK. Alifian cepat-cepat meralat. “Wah, tolong. Jangan lagi ungkit semua cerita lama waktu di PDK,” katanya. Yah, inilah Daeng Anto selalu oportunis dalam setiap langkahnya.(*) |
Revisi per 10 Agustus 2008 05.03
Andi Alifian Mallarangeng (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada 14 Maret 1963) adalah seorang pengamat politik Indonesia yang saat ini menjabat sebagai juru bicara kepresidenan bagi Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga menjabat pemimpin redaksi situs web presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Andi Alifian Mallarangeng meraih gelar Doctor of Philisophy di bidang ilmu politik dari Northern Illinois University (NIU) Dekalb, Illinois, Amerika Serikat pada tahun 1997. Di universitas yang sama, ia meraih gelar Master of Science di bidang sosiologi. Sedangkan gelar Drs Sosiologi diraihnya dari Fisipol Universitas Gajah Mada, Yogyakarta pada tahun 1986.
Ayahnya, Andi Mallarangeng (1936-1972) adalah walikota Parepare yang menjadi walikota pada usia 32 tahun. Ayahnya meninggal dunia pada usia 36 tahun, ketika Andi yunior berusia 9 tahun. Sejak itu, ibunya, Andi Asni Patoppoi dan kakeknya, Andi Patoppoi (1910-1977), Mantan Bupati Grobogan, Jawa Tengah dan juga Bupati Bone, Sulawesi Selatan yang membesarkannya. Kakeknya ini adalah salah seorang tokoh pemuda Sulawesi Selatan yang berhasil membujuk raja-raja di Sulawesi Selatan untuk mendukung dan menyerahkan kedaulatannya kepada Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dari ayah dan kakeknya, ia belajar tentang semangat keindonesiaan yang mengatasi semangat kedaerahan, dari mereka pula ia belajar tentang nilai-nilai kedaerahan yang memperkaya nilai-nilai keindonesiaan. Dan dari ibunya belajar tentang hidup sebagai suatu perjuangan.
Sejak menjadi mahasiswa Fisipol UGM mengikuti jejak ayahnya, ia bercita-cita menjadi dosen. Cita-cita ini akhirnya tercapai dengan menjadi dosen di Universitas Hasanuddin (1988-1999) dan di Institut Ilmu Pemerintahan (1999-2002). Tetapi nasib berkata lain. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan munculnya tuntutan reformasi, mengharuskan penataan ulang sistem politik dan sistem pemerintahan di Indonesia, yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi dan desentralisasi. Sebagai Doktor Ilmu Politik baru dengan disertai tentang Contextual Analysis on Indonesian Electoral Behavior, Andi diminta menjadi anggota Tim Tujuh (1998-1999) yang dipimpin oleh Prof. DR. Ryaas Rasyid, untuk merumuskan paket Undang-undang Politik yang baru sebagai landasan bagi pemilu demokratis pertama di era reformasi. Tim Tujuh ini kemudian juga merumuskan Undang-undang Pemerintahan Daerah yang baru, sebagai landasan reformasi sistem pemerintahan dengan desentralisasi dan otonomi daerah.
Keterlibatannya dalam gerakan reformasi berlanjut ketika ia dipercaya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), wakil pemerintah, yang menyelenggarakan pemilu demokratis pertama pada tahun 1999. Dengan dibentuknya Kementerian Otonomi Daerah dalam pemerintah era reformasi, Andi mengundurkan diri dari KPU dan bergabung sebagai staf ahli Menteri Negara Otonomi Daerah (1999-2000). Kementerian itu kemudian dibubarkan walau baru berusia 10 bulan. Ia kemudian bekerja mengembangkan ide tata pemerintahan yang baik sebagai Chair of Policy Committee pada Partnership for Govermance Reform in Indonesia (2000-2002). Ia sempat mendirikan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan bersama Prof. DR. Ryaas Rasyid pada tahun 2002, namun keluar dua tahun kemudian, ia juga dikenal sebagai pengamat, kolumnis dan komentator politik di berbagai media.
Andi sementara ini berhenti menjadi dosen, karena sejak Oktober 2004 ia ditunjuk sebagai Juru Bicara Kepresidenan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak itu pula, mantan aktivis mahasiswa di Himpunan Mahasiswa Islam dan Senat Mahasiswa ini pun berhenti sementara menjadi pengamat dan komentator politik. Baginya tugas sebagai Juru Bicara Kepresidenan ini adalah suatu kehormatan yang menuntut seluruh waktu dan perhatiannya.
Penghargaan yang pernah diraih Andi A. Mallarangeng adalah Man of the Year, Majalah MATRA (2002), Future Leader of Asia, Majalah Asia Week (1999), Bintang Jasa Utama RI (1999), dan Percy Buchman Prize (1995).
Ia mempunyai seorang istri yang bernama Vitri Cahyaningsih dan tiga orang anak yang bernama Gemilang Mallarangeng, Gemintang Kejora Mallarangeng dan Mentari Bunga Rantiga Mallarangeng. Adiknya, Rizal Mallarangeng, adalah seorang politikus.
Pranala luar
- (Inggris) Profil di Asia Inc.
- (Inggris) Profil Keluarga Besar Mallarangeng
- (Inggris) Profil di Asiaweek (1996)
- (Inggris) Dari Km 0,0
- (Indonesia) "Dua Pengamat Politik Mendeklarasikan PPDK", Pikiran Rakyat, 29 Juli 2002
Pendapat Tentang Andi Alifian Mallarangeng
DIALOG hari ini, Rabu (2/7), di Metro TV cukup menjemukan bagiku. Menghadirkan sejumlah pembicara seperti Sutiyoso, Alifian Mallarangeng, Saiful Mujani, Anis Baswedan, hingga Sutrisno Bachir. Namun, saya tidak akan mengisahkan detail dialog tersebut. Saya hanya ingin bertutur tentang dosenku Alifian Mallarangeng, pria asal Parepare yang kini menduduki jabatan yang sangat prestisius yaitu juru bicara presiden SBY.
Dalam dialog tersebut, hampir semua kalimat yang dilontarkan Alifian adalah pujian kepada Presiden SBY. Setiap ada keraguan atau kritik yang dilancarkan kepada pemerintah, maka ia akan dengan sigap membelanya, kemudian memberikan pujian –yang menurutku udah keterlaluan menjilatnya. Mungkin, ia sedang menjalankan tugasnya dengan efektif sebagai seorang jubir, namun bagiku ia adalah seorang intelektual yang semestinya bisa lebih proporsional dalam melihat permasalahan. Mestinya, ia juga mengakui kelemahan di berbagai sisi, kemudian menjelaskan proses-proses politik yang terjadi sehingga mempengaruhi berbagai keputusan pemerintah. Kelemahan adalah perkara yang sangat manusiawi dan melalui kelemahan itu, manusia kian tertantang untuk mengembangkan pemikiran serta strategi kebudayaan untuk mengubah masalah menjadi titian melangkah. Sayang sekali, dalam dialog itu Alifian selalu melihat pemerintah sebagai sosok Superman yang selalu sempurna.
Saya mengenal sosok Alifian sudah cukup lama (sementara ia sendiri sama sekali tidak mengenalku). Di tahun 1998, ia datang ke Universitas Hasanuddin (Unhas) untuk menjadi dosen setelah menyelesaikan pendidikannya di satu universitas di Amerika Serikat (AS). Menurut informasi, ia menuntaskan pendidikan S1-nya di Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedatangannya di Unhas membersitkan rasa kagum dari banyak mahasiswa termasuk saya yang saat itu baru dua tahun kuliah. Saya kagum karena sering melihatnya ikut dalam diskusi di koridor kampus atau di lantai di Baruga Andi Pangerang Pettarani. Bagiku, Alifian adalah sosok yang cerdas, dan sangat merakyat sebab bersedia duduk di lantai kotor untuk membagikan pengetahuannya kepada mahasiswa.
Bahkan di saat mahasiswa Unhas berdemonstrasi dalam bara reformasi, Alifian ikut menemani mahasiswa untuk turun ke jalan. Pernah, saya melihatnya ikut menemani mahasiswa Unhas yang berjalan kaki sekitar enam kilometer dari kampus Unhas menuju kantor Gubernur Sulsel untuk menentang kebijakan pemerintah. Saat itu, Alifian adalah sosok yang sempurna sebagai akademisi yang rela turun gunung demi mendengungkan suara intelektual untuk perubahan. Ia juga membuka pintu rumahnya di kawasan Pengayoman, Makassar, untuk berdiskusi dengan siapa saja mengenai tema politik, khususnya tema otonomi daerah. Pendeknya, Alifian adalah dosen yang sangat membanggakan.
Hingga suatu hari, saya terkejut ketika mendengarnya meninggalkan Unhas. Ia merasa kecewa karena sebagai dosen, ia tidak menerima banyak fasilitas sebagaimana layaknya dosen yang ada di luar negeri. “Bagaimana saya mau betah mengajar. Masak, meja kecil untuk saya duduk dan meletakkan foto istri saya tidak disediakan pihak kampus,” katanya dengan penuh nada protes. Memang, di Unhas tak banyak fasilitas buat dosen. Mereka tak punya ruangan pribadi dan ada meja serta buku-buku. Mereka hanya duduk-duduk di aula dosen untuk menunggu waktu mengajar. Ternyata, Alifian merasa kecewa. Tapi menurut informasi yang beredar di kampus Unhas, ia meninggalkan kampus bukan karena kecewa. Ia menerima tawaran yang menggiurkan yaitu menjadi pengajar senior di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) dan mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan Unhas.
Mendengar cerita itu, kekagumanku langsung memudar. Jika itu benar, artinya naluri selebriti dan duit lebih mendarahdaging dalam dirinya, ketimbang berada di lapangan (field) untuk mencari tantangan, berdialog dengan komunitas, serta menyaksikan langsung denyut nadi perubahan. Ia tak tahan menceburkan diri di tempat yang jauh dari kekuasaan. Sebagai dosen IIP, ia tak lama mengajar. Selanjutnya ia menjadi anggota KPU, yang kemudian menjadi batu loncatan bagi kariernya kelak. Ia cukup sukses menggelar Pemilu demokratis yang bersejarah bagi bangsa Indonesia yaitu Pemilu 1999. Pada awal tahun 2000, masa jabatannya di KPU berakhir. Ia sempat menjadi pemandu talkshow yang populer bersama sosiolog Imam Prasodjo.
Selanjutnya, Alifian memasuki gelanggang partai dan bergabung dengan Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (Partai PDK) di bawah pimpinan Ryaan Rasyid. Maka mulailah petualangan Alifian di jalur politik. Dalam setiap kampanye Partai PDK, nama dan fotonya selalu dipasang berdampingan dengan foto Ryaas Rasyid. Saat itu, saya sudah menjadi wartawan dan mencatat beberapa kali kunjungannya ke Makassar. Ia sering menemui ulama di Sulsel dan meminta restu kalau dirinya hendak menjadi presiden. Saat difoto wartawan, ia langsung mencium tangan ulama sambil berjanji bahwa siri’na pacce atau harga diri orang Bugis akan dijunjungnya tinggi-tinggi. Suatu janji yang belakangan dilupainya.
Ia menjadi caleg untuk daerah pemilihan Jakarta. Sayang sekali, namanya tenggelam. Hasil pemilu 2004 hanya sedikit mencatat perolehan suaranya. Meski cukup populer, ia tidak dipilih oleh rakyat sehingga gagal memasuki gelanggang Senayan. Namun Alifian tak kehabisan akal. Di ajang pemilihan presiden, ia berbalik haluan. Ketika Ryaas dan Partai PDK memilih dukungan ke Wiranto, Alifian justru berbeda pendapat. Ia mengemukakan penolakannya. Alasannya, Wiranto adalah seorang militer yang justru bisa menghambat proses demokratisasi. Ia mengesankan dirinya seolah-olah anti militer. Dan publik terkejut ketika ia memilih mendukung SBY yang nota bene juga berasal dari kalangan militer. Ketika SBY menang, ia keluar dari Partai PDK sehingga membuat orang-orang di partai itu marah-marah. Kata Ryaas, “Itu si Daeng Anto (nama panggilan Alifian di Parepare), bohong besar kalau alasannya keluar dari PDK karena isu Wiranto. Sejak dulu dia mau keluar karena masih mau jadi selebritis dan selalu tampil di tivi. Dia merasa mati karier kalau sama kita. Makanya dia suka bohong. Dasar!! Tidak konsisten!!”
Ryaas merasa kesal dengan sikap Alifian. Dalam banyak kesempatan saat ke Makassar, Ryaas selalu mengatakan itu. Namun Alifian tetap tidak bergeming. Terbukti, pilihannya mendukung SBY dirasanya tepat, sebab SBY kemudian memenangkan pilpres. Ia lalu ditunjuk sebagai jubir presiden. Ia memilih meninggalkan semua teman-temannya baik di Unhas, IIP, kemudian Partai PDK. Dan ia selalu tidak mau menyinggung-nyinggung masa lalunya itu. Saat berkunjung ke koran tempatku bekerja, saya sempat menyinggung bahwa sebelumnya ia pernah datang ke media di saat menjadi pengurus Partai PDK. Alifian cepat-cepat meralat. “Wah, tolong. Jangan lagi ungkit semua cerita lama waktu di PDK,” katanya. Yah, inilah Daeng Anto selalu oportunis dalam setiap langkahnya.(*)