Lompat ke isi

Kuda gipang: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Sitti Namrijah (bicara | kontrib)
menyunting naskah
Sitti Namrijah (bicara | kontrib)
menambah suntingan
Baris 2: Baris 2:


== Asal mula Tarian kuda gipang ==
== Asal mula Tarian kuda gipang ==
Asal mula tari Kuda Gipang berawal dari cerita jaman dahulu tentang Lambung Mangkurat yang berlayar ke Jawa untuk menemui Raja Majapahit menggunakan kapal Prabayaksa. Setelah bertemu Gajah Mada, Lambung Mangkurat diantar untuk bertemu dengan Raja Majapahit. Pada saat Lambung Mangkurat pamit pulang ke negara Dipa, Dia diberi hadiah seekor besar berwarna putih dan gagah dan terbaik di kerajaan Majapahit. Untuk mengetahui kehebatan kuda tersebut Tumenggung Tatah Jiwa menyarankan kepada Lambung Mangkurat agar menunggang kuda pemberian Raja Majapahit. Akan tetapi setelah tiga kali Lambung Mangkurat mencoba menunggang kuda sebelum masuk Kapal Pabayaksa, kuda itu lumpuh. Dengan kesaktian Lambung Mangkurat kuda tersebut dipeluk di ketiak dan dibawa naik ke kapal prabayaksa sampai Banjar. Sejak itulah Tari Kuda Gipang dijepit di ketiak.
Asal mula tari Kuda Gipang berawal dari cerita jaman dahulu tentang Lambung Mangkurat yang berlayar ke Jawa untuk menemui Raja Majapahit menggunakan kapal Prabayaksa. Setelah bertemu Gajah Mada, Lambung Mangkurat diantar untuk bertemu dengan Raja Majapahit. Pada saat Lambung Mangkurat pamit pulang ke negara Dipa, Dia diberi hadiah seekor besar berwarna putih dan gagah dan terbaik di kerajaan Majapahit. Untuk mengetahui kehebatan kuda tersebut Tumenggung Tatah Jiwa menyarankan kepada Lambung Mangkurat agar menunggang kuda pemberian Raja Majapahit. Akan tetapi setelah tiga kali Lambung Mangkurat mencoba menunggang kuda sebelum masuk Kapal Pabayaksa, kuda itu lumpuh. Dengan kesaktian Lambung Mangkurat kuda tersebut dipeluk di ketiak dan dibawa naik ke kapal prabayaksa sampai Banjar. Sejak itulah Tari Kuda Gipang dijepit di ketiak.<ref name=":0" />


== Perbedaan dengan kuda lumping ==
== Perbedaan dengan kuda lumping ==
Tari Kuda Gipang mirip dengan Tari Kuda Lumping yang ada di pulau Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan, antara lain :
Tari Kuda Gipang mirip dengan Tari Kuda Lumping yang ada di pulau Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan, antara lain :<ref name=":1">{{Cite book|title=Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2017|last=Ratnawato|first=Lien|publisher=Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan|year=2017|isbn=|location=Jakarta|pages=188|url-status=live}}</ref>


# Dari segi properti, punggung Kuda Lumping memiliki lekukan yang lebih dalam daripada punggung Kuda Gipang;<ref name=":0" />
# Dari segi properti, punggung Kuda Lumping memiliki lekukan yang lebih dalam daripada punggung Kuda Gipang;<ref name=":1" />
# Cara memainkannya, Kuda Gipang dijepit di bagian ketiak oleh para penarinya, sedangkan Kuda Lumping dimainkan dengan cara ditunggangi;
# Cara memainkannya, Kuda Gipang dijepit di bagian ketiak oleh para penarinya, sedangkan Kuda Lumping dimainkan dengan cara ditunggangi;<ref name=":1" />
# Dalam hal penampilan, Kuda Lumping selalu menampilkan unsur sihir sedangkan Kuda Gipang selalu menampilkan penari yang gagah dan berwibawa seperti pada situasi tari peperangan dan atau penggiring Raja/pengawal Raja.<ref name=":0" />
# Dalam hal penampilan, Kuda Lumping selalu menampilkan unsur sihir sedangkan Kuda Gipang selalu menampilkan penari yang gagah dan berwibawa seperti pada situasi tari peperangan dan atau penggiring Raja/pengawal Raja.<ref name=":1" />


<br />
<br />

Revisi per 17 Desember 2019 06.46

Kuda gipang merupakan salah satu kesenian yang berupa tarian berbaris yang telah lama hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat Banjar. Kesenian ini berasal dari daerah Desa Pangaribuan , kecamatan Haruyan (sekarang), Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Dari desa inilah berkembang ke daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara, yakni ke Desa Bihara, Paringin, dan Amuntai.Gerakan tarian kuda gipang berupa gerakan step empat maju mundur, kiri kanan membuat posisi berhadapan, berbelakang dan lingkaran. Busana terdiri dari celana panjangberpita, baju kemeja lengan panjang dan selempang di bahu, bersepatu dan berkaos kaki sampai lutut.[1] Kuda Gipang selalu diiringi dengan musik gamelan Banjar, dan busana yang digunakan adalah pakaian kida-kida.[1]

Asal mula Tarian kuda gipang

Asal mula tari Kuda Gipang berawal dari cerita jaman dahulu tentang Lambung Mangkurat yang berlayar ke Jawa untuk menemui Raja Majapahit menggunakan kapal Prabayaksa. Setelah bertemu Gajah Mada, Lambung Mangkurat diantar untuk bertemu dengan Raja Majapahit. Pada saat Lambung Mangkurat pamit pulang ke negara Dipa, Dia diberi hadiah seekor besar berwarna putih dan gagah dan terbaik di kerajaan Majapahit. Untuk mengetahui kehebatan kuda tersebut Tumenggung Tatah Jiwa menyarankan kepada Lambung Mangkurat agar menunggang kuda pemberian Raja Majapahit. Akan tetapi setelah tiga kali Lambung Mangkurat mencoba menunggang kuda sebelum masuk Kapal Pabayaksa, kuda itu lumpuh. Dengan kesaktian Lambung Mangkurat kuda tersebut dipeluk di ketiak dan dibawa naik ke kapal prabayaksa sampai Banjar. Sejak itulah Tari Kuda Gipang dijepit di ketiak.[1]

Perbedaan dengan kuda lumping

Tari Kuda Gipang mirip dengan Tari Kuda Lumping yang ada di pulau Jawa, tetapi memiliki beberapa perbedaan, antara lain :[2]

  1. Dari segi properti, punggung Kuda Lumping memiliki lekukan yang lebih dalam daripada punggung Kuda Gipang;[2]
  2. Cara memainkannya, Kuda Gipang dijepit di bagian ketiak oleh para penarinya, sedangkan Kuda Lumping dimainkan dengan cara ditunggangi;[2]
  3. Dalam hal penampilan, Kuda Lumping selalu menampilkan unsur sihir sedangkan Kuda Gipang selalu menampilkan penari yang gagah dan berwibawa seperti pada situasi tari peperangan dan atau penggiring Raja/pengawal Raja.[2]


Referensi

  1. ^ a b c Ratnawati, Lien (2017). Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2017. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 187. 
  2. ^ a b c d Ratnawato, Lien (2017). Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 188.