Lompat ke isi

Freeport Indonesia: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Ciko (bicara | kontrib)
Ciko (bicara | kontrib)
Baris 63: Baris 63:


==Sumber==
==Sumber==
*La­por­an inves­tigatif wartawan [[New York Times]] Jane Perlez, Ray­mond Bonner dan kontributor Eve­lyn Rus­li, ''Below a Mountain of Wealth, a River of Waste'', 27 De­sem­ber 2005.
*Laporan investigatif wartawan [[New York Times]] Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, ''Below a Mountain of Wealth, a River of Waste'', 27 Desember 2005. [http://www.nytimes.com/2005/12/27/international/asia/27gold.html?ex=1293339600&en=fba5e5cb626e7d5c&ei=5088&partner=rssnyt&emc=rss]
*Disunting dan beritakan dalam bahasa Indonesia oleh ''Rakyat Merdeka'' dengan judul ''Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport'' secara bersambung pada 16-22 Februari 2006 [http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=10812]
*Disunting dan beritakan dalam bahasa Indonesia oleh ''Rakyat Merdeka'' dengan judul ''Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport'' secara bersambung pada 16-22 Februari 2006 [http://www.rakyatmerdeka.co.id/edisicetak/?pilih=lihat&id=10812]


==Pranala luar==
==Pranala luar==

Revisi per 24 Februari 2006 13.26

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988).

Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 miliar dolar AS. Menurut Freeport, keberadaannya memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada Indonesia sebesar 33 miliar dolar dari tahun 19922004. Angka ini hampir sama dengan 2 persen GDP Indonesia. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons, Freeport diperkirakan akan mengisi kas pemerintah sebesar 1 miliar dolar.

Mining In­terna­tio­nal, sebuah majalah per­da­­ga­ngan, menyebut tambang emas Free­­port sebagai yang ter­be­­sar di du­­­nia.

Freeport Indonesia sering dikabarkan telah melakukan penganiayaan terhadap para penduduk setempat. Selain itu, pada tahun 2003 Freeport Indonesia mengaku bahwa mereka telah membayar TNI untuk mengusir para penduduk setempat dari wilayah mereka. Menurut laporan New York Times pada Desember 2005, jumlah yang telah dibayarkan antara tahun 1998 dan 2004 mencapai hampir 20 juta dolar AS.

Pemegang saham

Kontroversi

Menurut karyawan dan bekas karyawan Freeport, selama bertahun-tahun James R Moffett, seorang ahli geologi kelahiran Louisiana, yang juga adalah pimpinan perusahaan ini, dengan tekun membina persahabatan dengan Presiden Soeharto, dan kroni-kroninya. Ini dilakukannya untuk mengamankan usaha Freeport. Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.

Surat-surat dan dokumen-do­ku­men lain yang diberikan ke­pada The Times oleh para pejabat pe­me­­rintah menunjukkan, Ke­men­terian Lingkungan Hidup te­lah ber­kali-kali memperingatkan p­e­ru­sahaan ini sejak tahun 1997, Free­port melanggar peraturan per­undang-undangan tentang ling­­kungan hidup. Menurut per­hi­tungan Freeport sendiri, penambangan mereka dapat meng­hasilkan limbah/bahan buang­an se­besar kira-kira 6 mi­liar ton (le­bih dari dua kali ba­han-bahan bu­mi yang digali un­tuk membuat Te­rusan Panama). Ke­banyakan dari limbah itu di­buang di pegunungan di sekitar lo­kasi pertambangan, atau ke sis­tem sungai-sungai yang mengalir tu­r­un ke dataran rendah basah, yang dekat dengan Taman Na­sio­nal Lorentz, sebuah hutan hujan tro­pis yang telah di­be­ri­kan status khusus oleh PBB.

Sebuah studi bernilai jutaan do­lar tahun 2002 yang dilakukan Pa­ra­metrix, perusahaan konsultan Ame­rika, dibayar oleh Freeport dan Rio Tin­to, mitra bisnisnya, yang hasilnya tidak pernah di­umumkan menca­tat, bagian hulu su­ngai dan daerah da­taran rendah ba­sah yang diban­jiri dengan limbah tambang itu se­karang ti­dak cocok untuk ke­hi­dupan makh­luk hidup akuatik. La­poran itu diserahkan ke The Ti­mes oleh Kementerian Ling­kun­g­an Hidup Republik Indonesia. The Ti­mes berkali-kali meminta izin ke­pa­da Freeport dan pemerintah In­donesia untuk mengunjungi tam­bang dan daerah di sekitarnya ka­rena untuk itu diperlukan izin khu­sus bagi wartawan. Semua per­mintaan itu ditolak. Freeport hanya memberikan res­pon secara tertulis. Sebuah su­rat yang ditandatangani oleh Stan­ley S Arkin, penasihat hu­kum pe­rusahaan ini menyatakan, Gras­berg adalah tambang tem­baga, de­ngan emas sebagai pro­duk sam­ping­an, dan bahwa banyak warta­wan telah mengun­ju­ngi pertam­bang­an itu sebelum pe­merintah In­donesia mem­per­ke­tat aturan pada ta­hun 1990-an.

Menyadap email

Menurut seorang pejabat dan dua bekas pejabat perusahaan yang terlibat dalam mengembangkan suatu program rahasia, Freeport selama ini menyadap e-mail para aktivis lingkungan yang melawan perusahaan ini untuk memata-matai apa yang mereka lakukan. Freeport menolak mengomentari hal ini. Free­port bergandengan tangan de­ngan perwira-perwira intelijen TNI, mulai me­nya­dap korespondensi e-mail dan per­cakapan telepon lawan-lawan ak­tivis lingkungannya. Hal ini di­ka­takan oleh seorang karyawan Free­port yang terlibat dalam ke­gia­tan ini dan bertugas membaca e-mail-e-mail tersebut.

Menurut bekas karyawan dan kar­yawan Freeport, perusahaan ini juga membuat sistemnya sen­diri untuk mencuri berita-berita me­lalui e-mail. Caranya adalah de­­ngan mem­bentuk sebuah ke­lom­pok pe­cinta lingkungan ga­dungan, yang meminta mereka yang berminat untuk mendaftar se­cara on-line dengan mengguna­kan kode rahasia (password) ter­ten­tu. Banyak di an­tara mereka yang mendaftar itu menggunakan pass­word yang sa­ma seperti yang me­reka gunakan un­tuk e-mail mereka. De­ngan cara ini, Free­port dengan gam­pang men­curi berita. Menurut se­seorang yang waktu itu bekerja untuk pe­rusahaan ini, awalnya para pe­nga­cara Freeport khawatir de­ngan pencurian ini. Tetapi, me­reka kemudian memutuskan, se­ca­ra le­gal perusahaan itu tidak di­la­rang un­­tuk membaca e-mail pi­hak-pi­hak di luar negeri.

Hubungan Freeport dan TNI

Selama bertahun-tahun, Free­port memiliki unit pengaman­an­nya sendiri, sementara militer In­donesia meme­rangi perlawanan se­paratis yang lemah dan rendah ge­rakannya. Ke­mudian kebutuhan keamanan ini mulai saling terkait.

Tidak ada investigasi yang me­nemukan keterkaitan Freeport se­ca­ra langsung dengan pe­lang­ga­ran HAM, tetapi semakin banyak orang-orang Papua yang meng­hu­­bungkan Freeport dengan tin­dak kekerasan yang dila­kukan oleh TNI, dan pada sejumlah kasus keke­ra­san itu dilakukan dengan meng­gu­­na­kan fa­si­litas Freeport. Seo­rang ahli antro­pologi Australia, Chris Ballard, yang pernah be­kerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, seorang aktivis HAM dari Amerika Serikat, mem­­­perkirakan, sebanyak 160 orang telah dibunuh oleh militer an­tara tahun 19751997 di dae­rah tambang dan sekitar­nya.

Pada bulan Maret 1996, kemarahan terhadap peru­sa­haan pecah dalam bentuk ke­ru­suhan ketika sen­ti­men anti-pe­rusahaan dari beberapa ke­lompok yang berbeda bergabung.

Free­port menyadap berita-berita da­lam e-mail. Menurut dua orang yang mem­baca e-mail-e-mail itu pa­da saat itu, ada unit-unit militer tertentu, ma­sya­rakat se­tem­pat, dan kelompok-ke­lom­­pok ling­­kung­an hidup yang be­ker­ja­sama. Sebuah pertukaran informasi de­ngan menggunakan e-mail an­ta­ra seorang tokoh masyarakat de­ngan pimpinan organisasi ling­kungan hidup penuh dengan tak­tik intelijen militer. Dalam e-mail yang lain, seorang pimpinan or­ga­nisasi lingkungan meminta pa­ra ang­gotanya mundur karena de­monstrasi telah berubah menjadi ke­rusuhan.

Dari wawancara yang dila­ku­kan, bekas pejabat dan pejabat Free­port menyatakan, mereka terkejut melihat sejumlah orang de­ngan potongan ram­but militer, me­ngenakan sepatu tem­­pur dan meng­genggam radio wal­kie-tal­kie di antara para perusuh itu. Orang-orang itu terlihat menga­rah­kan kerusuhan itu, dan pada sa­tu ke­ti­ka, mengarahkan massa menuju ke la­bo­­ratorium Freeport yang ke­mudian me­reka obrak-ab­rik.

Uang Keamanan

Dokumen-dokumen Freeport menunjukkan, dari tahun 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para jenderal, kolonel, mayor dan kapten militer dan polisi, dan unit-unit militer. Komandankomandan secara perorangan menerima puluhan ribu dolar, bahkan dalam satu kasus sampai mencapai 150.000 dolar, sebagaimana tertera dalam dokumen itu.

Dokumen-dokumen itu diberikan kepada The Times oleh seseorang yang dekat dengan Freeport, dan menurut bekas karyawan maupun karyawan Freeport sendiri, dokumen-dokumen itu asli alias otentik. Dalam respon tertulisnya kepada The Times, Freeport menyatakan bahwa perusahaan itu telah mengambil langkah-langkah yang perlu sesuai dengan undang-undang Amerika Serikat dan Indonesia untuk memberikan lingkungan kerja yang aman bagi lebih dari 18.000 karyawannya maupun karyawan perusahaan-perusahaan kontraktornya. Freeport juga mengatakan tidak punya alternatif lain kecuali tergantung sepenuhnya kepada militer dan polisi Indonesia dan keputusan-keputusan yang diambil dalam kaitannya dengan hubungan dengan pemerintah Indonesia dan lembaga-lembaga keamanannya, adalah kegiatan bisnis biasa.

Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer – barak-barak, kantor-kantor pusat, ruang-ruang makan, jalan – dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun. Semua memperoleh sesuatu, bahkan juga angkatan laut dan angkatan udara. Menurut bekas karyawan dan karyawan Freeport, ketika itu perusahaan ini sudah merekrut seorang bekas agen lapangan CIA, dan atas rekomendasinya, perusahaan kemudian mendekati seorang atase militer di Kedubes Amerika Serikat di Jakarta dan memintanya untuk bergabung. Kemudian dua orang bekas perwira militer Amerika Serikat direkrut, dan sebuah departemen khusus, yang diberi nama Perencanaan Operasi Darurat (Emergency Planning Operation) didirikan untuk menangani hubungan baru Freeport dengan militer Indonesia.

Departemen Perencanaan Operasi Darurat yang baru ini mulai melakukan pembayaran bulanan kepada para komandan TNI, sementara kantor Pengelolaan Risiko Keamanan (Security Risk Management office) mengatur pembayaran kepada polisi. Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen perusahaan dan keterangan bekas karyawan dan karyawan Freeport. Menurut dokumen perusahaan, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar.

The Times menerima dokumen keuangan Freeport selama tujuh tahun dari seorang yang dekat dengan perusahaan itu. Tambahan dokumen selama tiga tahun diberikan oleh Global Witness, sebuah LSM yang mengeluarkan laporan pada bulan Juli, yang berjudul Paying for Protection (Bayaran Perlindungan) tentang hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Diamird 0'Sullivan, yang bekerja untuk Global Witness di London, mengkritik pembayaran yang dilakukan Freeport itu.

Menurut perusahaan, semua pengeluaran yang dilakukannya itu harus melalui proses pemeriksaan anggaran. Catatan yang diterima The Times menunjukkan adanya pembayaran kepada perwira-perwira militer secara perseorangan yang didaftarkan di bawah topik-topik seperti biaya makanan, jasa administrasi dan tambahan bulanan. Para komandan yang menerima dana tersebut tidak diharuskan menandatangani tanda terima.

Pendeta Lowry, yang pensiun dari Freeport pada bulan Maret 2004 tetapi tetap menjadi konsultan sampai bulan Juni, mengatakan, sebetulnya tidak ada alasan yang cukup bagi Freeport untuk memberikan dana secara langsung kepada para perwira militer itu.

Catatan perusahaan menunjukkan, penerima terbesar adalah komandan pasukan di daerah Freeport, Letnan Kolonel Togap F. Gultom. Selama enam bulan tahun 2001, ia diberikan hanya kurang sedikit dari 100.000 dolar untuk biaya makanan, dan lebih dari 150.000 dolar di tahun berikutnya. Di tahun 2002, Freeport juga memberikan uang kepada paling tidak 10 komandan lainnya mencapai lebih dari 350.000 dolar untuk biaya makan.

Menurut para bekas karyawan dan karyawan Freeport, pembayaran-pembayaran tersebut dilakukan kepada para perwira itu, kepada istri-istri dan anak-anak mereka, secara perorangan. Yang berpangkat jenderal terbang di kelas satu atau kelas bisnis, dan para perwira yang lebih rendah pada kelas ekonomi, demikian kata Brigadir Jenderal Ramizan Tarigan yang menerima tiket senilai 14.000 dolar pada tahun 2002 untuk dirinya dan anggota keluarganya.

Jenderal Tarigan yang menduduki posisi senior di kepolisian mengatakan, para perwira polisi dibolehkan menerima tiket pesawat udara karena gaji mereka sangat rendah tetapi adalah melanggar peraturan kepolisian untuk menerima pembayaran uang tunai. Pada bulan April 2002, Freeport membayar perwira senior militer di Papua, Mayor Jenderal Mahidin Simbolon, lebih dari 64.000 dolar untuk yang disebut dalam buku keuangan Freeport sebagai "dana untuk rencana proyek militer tahun 2002".

Delapan bulan kemudian, di bulan Desember, Jenderal Simbolon menerima lebih dari 67.000 dolar untuk proyek aksi sipil kemanusiaan. Pembayaran-pembayaran ini pertama kali dilaporkan Global Witness. Jenderal Simbolon, yang kini menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat Indonesia, menolak permohonan untuk diwawancarai.

Pada tahun 2003, sesudah terjadinya skandal Enron dan disahkannya Undang-undang Sarbanes-Oxley, yang mengharuskan praktek-praktek akuntansi keuangan yang lebih ketat pada perusahaan-perusahaan, Freeport mulai melakukan pembayaran kepada unit-unit militer ketimbang kepada para perwira secara individu. Demikian menurut catatan yang tersedia dan seperti yang dituturkan oleh bekas karyawan dan karyawan perusahaan ini.

Menurut catatan, perusahaan membayar unit-unit polisi di Papua sedikit di bawah angka 1 juta dolar di tahun 2003, didaftarkan di bawah topik-topik seperti "tambahan pembayaran bulanan," "biaya administrasi" dan "dukungan administratif." Freeport menyatakan kepada The Times, di dalam menentukan jenis dukungan yang dapat diberikan, adalah merupakan kebijakan perusahaan untuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM.” Menurut catatan yang diterima oleh The Times, pasukan paramiliter polisi, yaitu Brigade Mobil (Brimob), yang sering dikutip oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat karena kekejamannya, menerima lebih dari 200.000 dolar di tahun 2003.

Sumber

  • Laporan investigatif wartawan New York Times Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, Below a Mountain of Wealth, a River of Waste, 27 Desember 2005. [1]
  • Disunting dan beritakan dalam bahasa Indonesia oleh Rakyat Merdeka dengan judul Menyusuri Sungai Limbah Di Kaki Gunung Emas Freeport secara bersambung pada 16-22 Februari 2006 [2]

Pranala luar