Lompat ke isi

Geriten: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Masih dalam pengembangan
Tag: tanpa kategori [ * ] VisualEditor
 
Masih dalam pengembangan
Baris 1: Baris 1:
Giriten adalah salah satu bentuk bangunan tradisional pada suku Karo. Geriten juga berbentuk seperti rumah adat, tetapi bentuknya jauh lebih kecil dan mempunyai empat sisi. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding sedang lantai di atasnya berdinding.
Giriten adalah salah satu bentuk bangunan tradisional pada suku Karo. Geriten juga berbentuk seperti rumah adat, tetapi bentuknya jauh lebih kecil dan mempunyai empat sisi. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding sedang lantai di atasnya berdinding.<ref>{{Cite web|url=https://www.gobatak.com/mengenal-geriten-bangunan-tradisional-karo/|title=Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo|last=|first=Ganda|date=2 Desember 2010|website=www.gobatak.com|access-date=}}</ref>


== Pengertian Geriten ==
== Pengertian Geriten ==
Menurut Samaria Ginting (1994): Geriten hampir sama bentuknya dengan jambur. Geriten lebih kecil dari jambur. Ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. Di atasnya dibuat berdinding dan di dalamnya digunakan untuk tempat menyimpan tulang-belulang orang yang telah meninggal cawir metua (lanjut usia). Dalam penjelasan lain Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan.  Geriten merupakan bangunan lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul  Upacara Adat Kampung Lingga . Yakni:  Mate cawir metua artinya meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua, dia sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia pada budaya Karo.
Menurut Samaria Ginting (1994): Geriten hampir sama bentuknya dengan jambur. Geriten lebih kecil dari jambur. Ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. Di atasnya dibuat berdinding dan di dalamnya digunakan untuk tempat menyimpan tulang-belulang orang yang telah meninggal cawir metua (lanjut usia). Dalam penjelasan lain Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan.  Geriten merupakan bangunan lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul  Upacara Adat Kampung Lingga . Yakni:  Mate cawir metua artinya meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua, dia sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia pada budaya Karo.<ref>{{Cite web|url=https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/3/12/221385/geriten-bagi-masyarakat-karo/|title=Geriten Bagi Masyarakat Karo|last=M.Hum|first=Dr. Daulat Saragih|date=12 Mar 2016|website=analisadaily.com|access-date=2 Peb 2020}}</ref>


== Makna Geriten Pada Mayarakat Karo ==
== Makna Geriten Pada Mayarakat Karo ==

Revisi per 2 Februari 2020 04.27

Giriten adalah salah satu bentuk bangunan tradisional pada suku Karo. Geriten juga berbentuk seperti rumah adat, tetapi bentuknya jauh lebih kecil dan mempunyai empat sisi. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding sedang lantai di atasnya berdinding.[1]

Pengertian Geriten

Menurut Samaria Ginting (1994): Geriten hampir sama bentuknya dengan jambur. Geriten lebih kecil dari jambur. Ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. Di atasnya dibuat berdinding dan di dalamnya digunakan untuk tempat menyimpan tulang-belulang orang yang telah meninggal cawir metua (lanjut usia). Dalam penjelasan lain Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan.  Geriten merupakan bangunan lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul  Upacara Adat Kampung Lingga . Yakni:  Mate cawir metua artinya meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua, dia sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia pada budaya Karo.[2]

Makna Geriten Pada Mayarakat Karo

Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, tidak langsung dikebumikan. Diadakan upacara adat kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan. Selanjutnya tulang-tulang atau kerangka yang sudah kering dibungkus dengan kain putih. Dimasukkan ke dalam geriten, diiringi dengan upacara yang disebut  nurun-nurun. Kerangka ditempatkan di geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung/kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten. Misalnya: guru, penggual, penarune dan lain sebagainya. Di samping itu orang ini harus mempunyai pekerti. Kewibawaan dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat. Karenanya akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.

Filosofi Geriten

Geriten tidak sembarang bangunan. Bagian-bagian konstruksinya sarat dengan nilai-nilai yang harus ditafsirkan kembali. Terdapat nilai-moral, nilai-nilai sosial, nilai religius dan nilai pedagogis. Patut ditiru dan digugu oleh generasi sesudahnya. Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika raga binasa maka roh kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya.

Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten. Tidak boleh  jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Dareh jadi lau, daging jadi taneh, kesah jadi angin, buk jadi ijuk, tulan jadi batu, tendi mulih ku dibata simada tinuang (roh kembali kepada maha pencipta). Masyarakat Karo lama (sebelum menganut agama Kristen maupun non-kristen) telah paham. Dirinya bukanlah miliknya. Suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahtraan umat.

  1. ^ "Geriten, Rumah Tulang Belulang pada Suku Karo". www.gobatak.com. 2 Desember 2010. 
  2. ^ M.Hum, Dr. Daulat Saragih (12 Mar 2016). "Geriten Bagi Masyarakat Karo". analisadaily.com. Diakses tanggal 2 Peb 2020.