Kertas Daluwang: Perbedaan antara revisi
Tag: Pengembalian |
|||
Baris 25: | Baris 25: | ||
== Daerah Penghasil Daluwang == |
== Daerah Penghasil Daluwang == |
||
Daerah yang masih menghasilkan daluwang pada awal abad ke-20 ialah [[Purwokerto]] di Jawa Tengah serta [[Sumenep]] dan [[Pamekasan]] di pulau Madura [[dimana]] daluwang yang dibuat dari Madura harganya relatif lebih murah daripada yang dibuat di Purwokerto. Selain itu pembuatan kertas daluwang dilaporkan juga di daerah [[Ponorogo]] pernah diuraikan dalam risalah yang ditulis |
Daerah yang masih menghasilkan daluwang pada awal abad ke-20 ialah [[Purwokerto]] di Jawa Tengah serta [[Sumenep]] dan [[Pamekasan]] di pulau Madura [[dimana]] daluwang yang dibuat dari Madura harganya relatif lebih murah daripada yang dibuat di Purwokerto. Selain itu pembuatan kertas daluwang dilaporkan juga di daerah [[Ponorogo]] pernah diuraikan dalam risalah yang ditulis oleh Kepala Bagian Kerajinan (Hoofd der Afd.Nijverheid) dan dimuat dalam Indische Gids tahun 1894 dan Indische Mercuur pada tahun 1923, daluwang juga dibuat di [[Garut]] dengan kualitas kasar dan berwana buruk, dengan harga tiap lembar yang berukuran 49 x 36 cm adalah 5 sen. |
||
Perihal pembuatan daluwang di Garut terdapat dalam uraian singkat yang ditulis oleh sejarahwan Belanda [[Noorduyn]] yang diterbitkan dalam majalah BKI. Dalam uraiannya itu, ia merujuk pada berita singkat dari Haksan Wirasutisna, yang dimuat dalam majalah mingguan berbahasa Sunda Parahiangan ([[Balai Pustaka]]) yang terbit pada tanggal 17 April 1941, [[dimana]] antara lain ditulis bahwa di kampung [[Tunggilis]], [[desa]] [[Tegalsari]] [[kecamatan Wanaraja]], yang berjarak 7 km dari kota [[Garut]], pada waktu ada seorang petani bernama Bisri yang membuat daluwang dari kulit kayu bernama saeh (Broussonetia papyrifera) yang keterampilannya dibuat secara turun-temurun dari leluhurnya dari [[Kediri]], [[Jawa Timur]]. Karena pohon saeh tidak banyak terdapat di kampungnya, dia mencari bahannya dari kawasan lain seperti [[Lebakjero]], dan [[Ngamplang]] di [[Kabupaten Garut]] serta dari [[Majalaya]] dan [[Cicalengka]] di [[Kabupaten Bandung]]. Hasilnya berupa kertas daluwang atau kertas saeh diperdagangkan di kantor-kantor pemerintah di Jawa Barat antara lain Garut, [[Bandung]], [[Cianjur]] bahkan hingga [[Jakarta]]. Beberapa keterangan menuliskan bahwa pada tahun 1960-an kertas daluwang masih dibuat orang dan diperjualbelikan sebagai pembungkus buku untuk para pelajar di daerah Garut. |
Perihal pembuatan daluwang di Garut terdapat dalam uraian singkat yang ditulis oleh sejarahwan Belanda [[Noorduyn]] yang diterbitkan dalam majalah BKI. Dalam uraiannya itu, ia merujuk pada berita singkat dari Haksan Wirasutisna, yang dimuat dalam majalah mingguan berbahasa Sunda Parahiangan ([[Balai Pustaka]]) yang terbit pada tanggal 17 April 1941, [[dimana]] antara lain ditulis bahwa di kampung [[Tunggilis]], [[desa]] [[Tegalsari]] [[kecamatan Wanaraja]], yang berjarak 7 km dari kota [[Garut]], pada waktu ada seorang petani bernama Bisri yang membuat daluwang dari kulit kayu bernama saeh (Broussonetia papyrifera) yang keterampilannya dibuat secara turun-temurun dari leluhurnya dari [[Kediri]], [[Jawa Timur]]. Karena pohon saeh tidak banyak terdapat di kampungnya, dia mencari bahannya dari kawasan lain seperti [[Lebakjero]], dan [[Ngamplang]] di [[Kabupaten Garut]] serta dari [[Majalaya]] dan [[Cicalengka]] di [[Kabupaten Bandung]]. Hasilnya berupa kertas daluwang atau kertas saeh diperdagangkan di kantor-kantor pemerintah di Jawa Barat antara lain Garut, [[Bandung]], [[Cianjur]] bahkan hingga [[Jakarta]]. Beberapa keterangan menuliskan bahwa pada tahun 1960-an kertas daluwang masih dibuat orang dan diperjualbelikan sebagai pembungkus buku untuk para pelajar di daerah Garut. |
Revisi per 10 Maret 2020 06.58
Kertas Daluwang adalah kertas tradisional yang dibuat dari serat-serat tanaman yang memiliki tekstur kasar. Kertas ini digunakan oleh masyarakat di Indonesia khususnya di pulau Jawa yang berkembang pesat pada masa Islam, sebagai pengganti kertas lontar yang dulu digunakan sebagai media tulis.
Di Indonesia khususnya di Jawa pernah dikenal Kertas Jawa atau Kertas Daluwang atau Kertas Dluwang, kertas ini, kini berkonotasi sebagai kertas daur ulang . Pada masa lalu, kertas dluwang atau daluwang ini digunakan sebagai media tulis menulis selain menggunakan Kertas Lontar sebagai media tulis, selain itu, kertas yang kemudian dikenal sekarang, pada masa itu diimpor baik dari Cina, Arab maupun Eropa melalui perantara para pedagang baik pedagang Belanda, Eropa, Arab dan Cina yang mengunjungi Nusantara.
Asal muasal kertas Daluwang
Di kepulauan Nusantara hingga kawasan kepulauan di Samudera Pasifik, sejak zaman pra-sejarah, masyarakatnya memiliki keterampilan membuat bahan pakaian dari serat sejenis pohon yang dihasilkan dengan cara dipukul-pukul dan dikerjakan oleh kaum wanita. Bahan pakaian tersebut di Polynesia dikenal dengan nama tapa, sedangkan di Sulawesi Tengah disebut dengan fuya. Serat pohon yang digunakan berasal dari pohon yang dalam bahasa Jawa dikenal sebagai glugu atau galugu, dalam bahasa Melayu-bahasa Bosamah dikenal sebagai sepukau, kemudian saeh (bahasa Sunda), dhalubang, dhulubang (bahasa Madura), kembala (bahasa Sumba Utara), rowa (bahasa Sumba Barat), ambo(bahasa Baree), lingowas (bahasa Banggai), iwo (bahasa Tembuku), malak (bahasa Seram) (nama latinnya Broussonetia papyrifera). Di Polynesia dipergunakan juga serat pohon jenis lain, di antaranya pohon Sukun (Artocarpus Blumei) dan jenis ficus. Bahan pakaian itu di Jawa disebut dluwang atau daluwang dalam bahasa Sunda.
Pada masa pra-Islam, pakaian dluwang itu bukan pakaian biasa untuk keperluan sehari-hari, melainkan dipakai dalam kegiatan upacara keagamaan, bagi orang-orang yang hidup dilingkungan keagamaan atau orang-orang saleh.
Lembaran dluwang dapat dihiasi dengan gambar-gambar berwarna, demikian juga tapa di Polynesia dan fuya di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Zat pewarna dapat dibuat dari jenis-jenis tumbuhan seperti kunyit (Curcuma) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Di daerah Kalimantan, Suku Dayak juga memiliki bahan kain tenun tradisional yang berasal dari serat dari suatu jenis tanaman yang dikenal dengan ulap doyo.
Penggunaan Daluwang sebagai kertas
Pada masa pemeluk agama Islam telah mengambil posisi yang berpengaruh di kota-kota pantai utara Jawa, penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian berakhir dan mulai dipakai sebagai bahan tulis-menulis dengan contoh yang dikenal dengan kertas Arab yang diperkenalkan oleh pedagang Islam. Hal ini menyebabkan orang-orang Jawa yang baru masuk Islam mengubah penggunaan daluwang sebagai bahan pakaian menjadi bahan tulis. Hal lain adalah penggunaan lontar tidak praktis untuk menulis huruf Arab, dengan demikian penggunaan kertas dan bahan sejenis kertas semakin berkembang.
Naskah tertua yang dikenal dalam Ilmu pengetahuan dengan bahan tulis dluwang atau daluwang dan memakai aksara Jawa, berasal dari akhir abad ke-16 serta isinya mengenai mistik Islam kini di simpan di Perpustakaan Universitas Leiden di Belanda dengan nomor kode Lor.1928.
Semenjak abad ke-17 penggunaan kertas impor, di samping dluwang semakin meningkat. Dluwang tidak dapat diproduksi dalam jumlah besar dan dalam warna serta mutu yang sama, karena bahan mentah yang dipasok sangat bermacam-macam. Karena itu kertas Impor sangat diandalkan. Pada abad ke-17 kertas Impor yang dikatakan kertas Cina atau kertas Arab telah biasa diimpor dan diperjualbelikan di Jawa oleh VOC. Demikian pula pada abad-abad sesudahnya.
Namun di samping kertas impor tersebut, Pemerintah Hindia Belanda masih juga mencantumkan pembelian kertas jenis Javaanshc papier/kertas Jawa (plat geklopte boombast) yaitu kertas dluwang. Dalam rencana anggaran rutin tahunannya disediakan anggaran untuk membeli kertas untuk alat tulis dinas seperti termuat dalam Plakatboek:3 Lentemaand (3 Maret 1810).Regeling van schriff-behoften
De schriff-behoften bestonde toenmaal uit: post papier schriff-papier, kardoes pafier, Chineesch of Macaosh papier, bord-papier, Javaansch papier (plat geklopte boombast), pennen-schachten, zegel-lak, boekbinders-garen, hoorn-perkament, was en vermillioen (voor het stempelen, der brevetten), scharen, boekbinders-naalden, linialen, inktkoker, vloi-papier, smeerkaarsen, leijen en friffels (voor de Generale Rekenkamer), zandkokers, potlooden, inkt, O.I.inkt, verwstoffen, penseelen, gomelastiek.
Daerah Penghasil Daluwang
Daerah yang masih menghasilkan daluwang pada awal abad ke-20 ialah Purwokerto di Jawa Tengah serta Sumenep dan Pamekasan di pulau Madura dimana daluwang yang dibuat dari Madura harganya relatif lebih murah daripada yang dibuat di Purwokerto. Selain itu pembuatan kertas daluwang dilaporkan juga di daerah Ponorogo pernah diuraikan dalam risalah yang ditulis oleh Kepala Bagian Kerajinan (Hoofd der Afd.Nijverheid) dan dimuat dalam Indische Gids tahun 1894 dan Indische Mercuur pada tahun 1923, daluwang juga dibuat di Garut dengan kualitas kasar dan berwana buruk, dengan harga tiap lembar yang berukuran 49 x 36 cm adalah 5 sen.
Perihal pembuatan daluwang di Garut terdapat dalam uraian singkat yang ditulis oleh sejarahwan Belanda Noorduyn yang diterbitkan dalam majalah BKI. Dalam uraiannya itu, ia merujuk pada berita singkat dari Haksan Wirasutisna, yang dimuat dalam majalah mingguan berbahasa Sunda Parahiangan (Balai Pustaka) yang terbit pada tanggal 17 April 1941, dimana antara lain ditulis bahwa di kampung Tunggilis, desa Tegalsari kecamatan Wanaraja, yang berjarak 7 km dari kota Garut, pada waktu ada seorang petani bernama Bisri yang membuat daluwang dari kulit kayu bernama saeh (Broussonetia papyrifera) yang keterampilannya dibuat secara turun-temurun dari leluhurnya dari Kediri, Jawa Timur. Karena pohon saeh tidak banyak terdapat di kampungnya, dia mencari bahannya dari kawasan lain seperti Lebakjero, dan Ngamplang di Kabupaten Garut serta dari Majalaya dan Cicalengka di Kabupaten Bandung. Hasilnya berupa kertas daluwang atau kertas saeh diperdagangkan di kantor-kantor pemerintah di Jawa Barat antara lain Garut, Bandung, Cianjur bahkan hingga Jakarta. Beberapa keterangan menuliskan bahwa pada tahun 1960-an kertas daluwang masih dibuat orang dan diperjualbelikan sebagai pembungkus buku untuk para pelajar di daerah Garut.
Ketika Gunung Galunggung di Tasikmalaya meletus, penduduk kampung Tunggilis termasuk yang ditransmigrasikan ke luar Jawa termasuk orang-orang yang terampil membuat daluwang. Maka sejak tahun 1985, belum ditemukan lagi orang-orang sebagai pengrajin daluawang di kawasan itu.
Referensi
- Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta, Edi S. Ekadjati, Pustaka Jaya, 2005.