Lompat ke isi

Suku Betawi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 35: Baris 35:


Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama [[Pemoeda Kaoem Betawi]] yang lahir pada tahun [[1923]].<ref>[http://langgambudaya.ui.ac.id/betawi/video/detail/9/profil-kesenian-tanjidor/ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.]</ref>
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama [[Pemoeda Kaoem Betawi]] yang lahir pada tahun [[1923]].<ref>[http://langgambudaya.ui.ac.id/betawi/video/detail/9/profil-kesenian-tanjidor/ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.]</ref>

== Seni dan kebudayaan ==

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan [[arkeologi]]s, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di [[Babelan, Bekasi|Babelan]], [[Kabupaten Bekasi]] yang berasal dari abad ke-11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah [[Mestizo]]. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang [[Jakarta]]) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa di mana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, [[Suku Jawa|Jawa]], [[Suku Sunda|Sunda]], [[suku Melayu|Melayu]], [[Suku Minang|Minang]], [[Suku Batak|Batak]], dan [[Suku Bugis|Bugis]]. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti [[budaya Arab]], [[Tiongkok]], [[India]], dan [[Portugis]].

Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi [[Jawa Barat]] dan provinsi [[Banten]]. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah [[cagar budaya]] di [[Situ Babakan]].

=== Bahasa ===
{{utama|Bahasa Betawi}}
[[Berkas:Java languages.JPG|jmpl|kiri|300px|Peta persebaran bahasa yang dituturkan di [[Jawa]], [[Madura]], dan [[Bali]]. Bahasa Betawi dituturkan dalam dan sekitar Jakarta modern (bur) secara tradisional terdaftar sebagai [[Bahasa Melayu]].]]
Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari [[asimilasi]] kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.<ref name="JP-Betawi Language">{{cite news | title = The perseverance of Betawi language in Jakarta | newspaper = The Jakarta Post | location = Jakarta | date = 21 Juni 2008 | author = Setiono Sugiharto | url = http://www.thejakartapost.com/news/2008/06/21/the-perseverance-betawi-language-jakarta.html}}</ref>

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto-Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatra. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan [[bahasa Melayu]], bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di [[Sumatra]] dan [[Kalimantan Barat]], penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya-Kediri yang dimediasi oleh Tiongkok yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan [[suku Sunda]] di wilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam [[bahasa Sunda]] seperti kata [[Ancol]], [[Pancoran]], [[Cilandak]], Ciliwung, [[Cideng, Gambir, Jakarta Pusat|Cideng]] (yang berasal dari ''Cihideung'' dan kemudian berubah menjadi ''Cideung'' dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno ''[[Bujangga Manik]]''<ref>{{cite book
|last =
|first =
|publisher=KITLV Press
|title = Three Old Sundanese Poems
|date =
|year =2007
|url =
|accessdate = }}</ref> yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah [[Bahasa Indonesia]], bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek [[Betawi]]. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah sering kali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, [[Sawah Besar]], [[Tugu, Cimanggis, Depok|Tugu]], [[Cilincing]], Kemayoran, [[Senen]], [[Kramat, Senen, Jakarta Pusat|Kramat]], hingga batas paling selatan di Meester ([[Jatinegara]]). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, [[Condet]], [[Jagakarsa]], [[Depok]], Rawa Belong, [[Ciputat]] hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin Sueb, [[Ida Royani]] dan [[Aminah Cendrakasih]], karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah [[Mandra]] dan [[Pak Tile]]. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan ''kenape/kenapa'''' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji [[Al Quran]].

=== Musik ===
[[Berkas:Gambang Kromong Betawi.jpg|jmpl|ka|Gambang Kromong.]]
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni [[Gambang Kromong]] yang berasal dari seni musik [[Tionghoa]], tetapi juga ada [[Rebana]] yang berakar pada tradisi musik [[Bangsa Arab|Arab]], orkes [[Samrah]] berasal dari [[suku Melayu|Melayu]], Keroncong Tugu dengan latar belakang [[Portugis]]-Arab, dan [[Tanjidor]] yang berlatarbelakang ke-[[Belanda]]-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni [[Lenong]], [[Gambang Kromong]], [[Rebana]] [[Tanjidor]] dan [[Keroncong]]. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

=== Tari dan drama ===
[[Berkas:Ondel-Ondel Betawi.jpg|jmpl|kiri|[[Ondel-Ondel]] Betawi.]]
Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi,<ref>{{cite web | title = Jakarta Traditional Dance – Betawi Mask Dance | date = 4 Agustus 2015 | work = Indonesia Travel Guide | url = http://www.indonesiatravelguides.com/jakarta-traditional-dance-betawi-mask-dance.html}}</ref> Yapong yang dipengaruhi tari [[Jaipong]] Sunda,<ref>{{cite web | title = Yapong Dance, Betawi Traditional Dance | date = 27 Maret 2013 | work = Indonesia Tourism | url = http://indonesia-tourism.com/jakarta/hotel/774/}}</ref> [[Cokek]], tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain [[Opera Beijing]]. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama tradisional Betawi antara lain [[lenong]] dan [[tonil]]. Pementasan lakon tradisional ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu, [[pantun]], lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi langsung dengan penonton.<ref>{{cite web |title=Lenong |url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1739/Lenong |publisher=Pemprov DKI Jakarta |work=Encyclopedia of Jakarta |archiveurl=https://www.webcitation.org/6KKz6WtAG?url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1739/Lenong |date=13 Oktober 2013 |archivedate=2013-10-13 |deadurl=yes |df= }}</ref><gallery caption="Tari tradisional Betawi">
Berkas:Tari Ronggeng Blantek.jpg|Tari Ronggeng Blantek
Berkas:Gitekbalen.jpg|Tari Gitek Balen
Berkas:Topenggong.jpg|Tari Topeng Gong
Berkas:Lambangsari.jpg|Tari Lambang Sari
Berkas:Ngarojeng.jpg|Tari Ngarojeng
Berkas:Tari cokek.jpg|Tari Cokek
Berkas:Lenggojingke.jpg|Tari Lenggo Jingke
</gallery>

=== Cerita rakyat ===
[[Berkas:Pencak Silat Betawi 2.jpg|jmpl|Silat Betawi.]]
[[Cerita rakyat]] yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal seperti ''[[Si Pitung]]'', juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial [[Jagoan Tulen]] atau ''Si Jampang'' yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang dikenal "keras".<ref name="JP-Silat Betawi1">{{cite news | title = Betawi ‘pencak silat’ lays low among locals | author = Indra Budiari | newspaper = The Jakarta Post | location = Jakarta | date = 13 Mei 2016| url = http://www.thejakartapost.com/news/2016/05/13/betawi-pencak-silat-lays-low-among-locals.html}}</ref> Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita ''[[Nyai Dasima]]'' yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. Cerita lainnya ialah ''Mirah dari Marunda'', ''Murtado Macan Kemayoran'', ''Juragan Boing'' dan yang lainnya.

=== Senjata tradisional ===
Senjata khas Jakarta adalah ''bendo'' atau [[golok]] yang bersarungkan dari kayu.

=== Rumah tradisional ===
Rumah tradisional/adat Betawi adalah [[rumah kebaya]]. Terdapat pula rumah tradisional lain seperti [[rumah panggung Betawi]].


== Bacaan lebih lanjut ==
== Bacaan lebih lanjut ==

Revisi per 10 Agustus 2020 17.37

Betawi
Jumlah populasi
6.807.968 (sensus 2010)[1]
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia (Jakarta: 2,700,722)[1]
 Brunei (Bandar Seri Begawan: 920)[butuh rujukan][per kapan?]
Bahasa
Betawi, Melayu, Indonesia
Agama
Mayoritas Islam dan sisanya beragama Katolik dan Protestan

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta, Bogor dan sekitarnya.[2] Mereka adalah keturunan penduduk yang bermukim di Batavia (nama kolonial dari Jakarta) dari sejak abad ke-17.[3][4]

Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta.[5] Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti Sunda, Melayu, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Arab, Tionghoa, dan India.

Etimologi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta[4] dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan, seperti Ridwan Saidi ada beberapa acuan:

  • Pitawi (bahasa Melayu Polinesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Candi Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Candi Batu Jaya, Tatar Pasundan, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.[6]
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) digunakan untuk menyebut giwang[7]. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi[8], yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
  • Flora Guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kukuh[9] Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, pergeseran huruf tersebut biasa terjadi dalam bahasa Melayu.

Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut sejarahwan Ridwan Saidi pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan"[10] Sehingga kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (nama lama kota Jakarta pada masa Hindia Belanda), dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda, terlebih lagi naskah-naskah yang ditulis pada tahun 1700 - 1800-an menuliskan nama Batavia sebagai Batafia dan menyebut nama suku Betawi sebagai Batawi[11] yang menerangkan posisi suku Betawi yang bukanlah sebuah suku yang terbentuk karena adanya kota Batavia yang dibangun Belanda.

Batavia is the Latin name for the land of the Batavians during Roman times. This was roughly the area around the city of Nijmegen, Netherlands, within the Roman Empire. The remainder of this land is nowadays known as Betuwe. During the Renaissance, Dutch historians tried to promote these Batavians to the status of "forefathers" of the Dutch people. They started to call themselves Batavians, later resulting in the Batavian Republic, and took the name "Batavia" to their colonies such as the Dutch East Indies, where they renamed the city of Jayakarta to become Batavia from 1619 until about 1942, when its name was changed to Djakarta (this is the short for the former name Jayakarta, later respelt Jakarta; see: History of Jakarta). The name was also used in Suriname, where they founded Batavia, Suriname, and in the United States where they founded the city and the town of Batavia, New York. This name spread further west in the United States to such places as Batavia, Illinois, near Chicago, and Batavia, Ohio.

Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923.[12]

Bacaan lebih lanjut

  • Castles, Lance The Ethnic Profile of Jakarta, Indonesia vol. I, Ithaca: Cornell University April 1967
  • Guinness, Patrick The attitudes and values of Betawi Fringe Dwellers in Djakarta, Berita Antropologi 8 (September), 1972, hlm. 78–159
  • Knoerr, Jacqueline Im Spannungsfeld von Traditionalität und Modernität: Die Orang Betawi und Betawi-ness in Jakarta, Zeitschrift für Ethnologie 128 (2), 2002, hlm. 203–221
  • Knoerr, Jacqueline Kreolität und postkoloniale Gesellschaft. Integration und Differenzierung in Jakarta, Frankfurt & New York: Campus Verlag, 2007
  • Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya
  • Shahab, Yasmine (ed.), Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya, Jakarta: LKB, 1997
  • Wijaya, Hussein (ed.), Seni Budaya Betawi. Pralokarya Penggalian Dan Pengembangannya, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1976
  1. ^ a b "Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, Dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia". Badan Pusat Statistik. 2010. Diakses tanggal 18 Juli 2017. 
  2. ^ Knorr, Jacqueline (2014). Creole Identity in Postcolonial Indonesia. Volume 9 of Integration and Conflict Studies. Berghahn Books. hlm. 91. ISBN 9781782382690. 
  3. ^ No Money, No Honey: A study of street traders and prostitutes in Jakarta by Alison Murray. Oxford University Press, 1992. Glossary page xi
  4. ^ a b Dina Indrasafitri (26 April 2012). "Betawi: Between tradition and modernity". The Jakarta Post. Jakarta. 
  5. ^ "Debunking the 'native Jakartan myth'". The Jakarta Post. Jakarta. 7 November 2011. 
  6. ^ Pernyataan Ridwan Saidi dalam tulisan ini belum menjelaskan konteks Karawang yang tertutup dan terbuka apakah dalam konteks kurun waktu yang sama atau periode berbeda.
  7. ^ Etimologi dari Giwang menurut Kamus Daerah - Kamus Bahasa Daerah Online Berbagai Bahasa Daerah di Indonesia :
    1. Giwang (bhs. Sunda) Artinya: kerabu, subang. (bhs. Indonesia)
    2. Giwangkara (bhs. Sunda)
    Artinya: matahari. (bhs. Indonesia)
    3. Giwang (bhs. Sunda)
    Artinya: gewang giwang 1 kurabu 2 (halus) suweng, giwang 1 giwang (bhs. Indonesia)
  8. ^ Penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno). Kata “Bekasi” secara filologis berasal dari kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi. Dalam pengucapannya sering disingkat Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun Lemahabang pernah ditemukan plang nama Bacassie). Kata Bacassie kemudian berubah menjadi Bekasi sampai dengan sekarang.

    Candrabhaga merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad ke-5 Masehi. Ada 7 prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada di daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).

    Diduga bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, berbunyi: ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang indah dan berair jernih, “Gomati” namanya. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman Yang Mulia Sang Purnawarman. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra. Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian kali itu mencapai 6.122 tumbak. Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…). Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanagara (Lebih lanjut lihat : Kabupaten Bekasi).
  9. ^ Fillet, GJ, 1888. Plaaantkundig Woordenboek van Nederlandsch - Indie. Amsterdam : J.H. de Bussy
  10. ^ "Dari Gagang Keris Menjadi Betawi"
  11. ^ Saputra, Yahya Andi. 2008. Upacara daur hidup adat Betawi. Jakarta : Wedatama Widya Sastra
  12. ^ Profil Kesenian Tanjidor di situs web LanggamBudaya.ui.ac.id.