Atmaja dari Kasepuhan: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 4: | Baris 4: | ||
{{Utama|Geger Cilegon 1888}} |
{{Utama|Geger Cilegon 1888}} |
||
Pada tahun 1872 - 1876 Syekh Abdul Karim berdakwah di [[Banten]], pada tahun 1876 beliau ditunjuk sebagai pengganti syekh Chatib Sambas pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah di Mekah. Syekh Chatib Sambas juga merupakan guru dari syekh Tolhah dari Trusmi, [[Cirebon]]<ref>Mulyati. Sri. 2010. Peran Edukasi Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah Dengan Referensi Utama Suryalaya. [[Jakarta]] : Prenada Media</ref> |
|||
Pada tahun 1872 - 1876 Syekh Abdul Karim berdakwah di [[Banten]] |
|||
Pada tahun 1883 gunung Krakatau meletus, penduduk Anyer yang selamat mengungsi ke [[Cilegon]]<ref name=buya1888/> |
Pada tahun 1883 gunung Krakatau meletus, penduduk Anyer yang selamat mengungsi ke [[Cilegon]]<ref name=buya1888/> |
Revisi per 17 Agustus 2020 16.30
Atmaja menggantikan Sultan Sepuh Jayawikarta sebagai penguasa kesultanan Kasepuhan pada tahun 1880 dengan gelar Sultan Sepuh Atmaja Rajaningrat
Hubungan dengan Syekh Trusmi
Pada tahun 1872 - 1876 Syekh Abdul Karim berdakwah di Banten, pada tahun 1876 beliau ditunjuk sebagai pengganti syekh Chatib Sambas pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah di Mekah. Syekh Chatib Sambas juga merupakan guru dari syekh Tolhah dari Trusmi, Cirebon[1]
Pada tahun 1883 gunung Krakatau meletus, penduduk Anyer yang selamat mengungsi ke Cilegon[2]
Pada tahun 1885, di Banten terjadi peristiwa penyakit ternak yang menyerang kerbau, Belanda memerintahkan agar menembaki kerbau-kerbau jika diantara kawanan itu terdapat kerbau yang sakit[2]
Pada 18 November 1887, ditengah bencana akibat meletusnya gunung Krakatau dan wabah penyakit ternak, Belanda kemudian menyinggung rasa keagamaan masyarakat Banten dengan membawa seorang seorang ulama Banten yang bernama Wasid dan mendendanya sebesar 7.5 Gulden atau 3 ringgit akibat perbuatannya memotong pohon keramat pada suatu lahan yang dijadikan sebagai tempat sesajen dikarenakan masyarakat percaya jika menaruh sesajen pada pohon tersebut maka bencana yang terjadi dapat segera hilang. Denda yang dijatuhkan kepada Kyai Wasid dikarenakan pemilik lahan yang merasa diuntungkan dengan adanya pemujaan pohon keramat tersebut melaporkan kerugian yang diakibatkan dari rusaknya pohon tersebut, kyai Wasid lantas dilaporkan dengan tuduhan memasuki lahan milik orang lain tanpa izin dan merusak pohoh milik orang lain[2]