Lompat ke isi

Chuo Sangi-In: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 9: Baris 9:
Anggota Chuo Sangi In terdiri dari 23 orang yang diangkat ''Saiko Shikikan'' ([[panglima]] tertinggi), 2 orang dipilih Chuo Sangi Kai dan Tokubetsu Shi Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Kotapraja), dan 2 orang disulkan oleh ''kooti'' dan ''koci'' ([[Solo]] dan [[Yogyakarta]]).<ref>{{Cite web|title=Organisasi Masa Bentukan Jepang di Indonesia|url=https://www.hariansejarah.id/2017/01/organisasi-masa-bentukan-jepang-di.html|website=Harian Sejarah|language=en|access-date=2020-08-29}}</ref>
Anggota Chuo Sangi In terdiri dari 23 orang yang diangkat ''Saiko Shikikan'' ([[panglima]] tertinggi), 2 orang dipilih Chuo Sangi Kai dan Tokubetsu Shi Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Kotapraja), dan 2 orang disulkan oleh ''kooti'' dan ''koci'' ([[Solo]] dan [[Yogyakarta]]).<ref>{{Cite web|title=Organisasi Masa Bentukan Jepang di Indonesia|url=https://www.hariansejarah.id/2017/01/organisasi-masa-bentukan-jepang-di.html|website=Harian Sejarah|language=en|access-date=2020-08-29}}</ref>


Setiap anggota Chuo Sangi In berhak mendapat [[uang]] [[jabatan]] f.3600/tahun dan jika bersidang mendapatkan uang saku f.5/hari dan tunjangan untuk [[penginapan]] senilai f.30/malam.<ref>{{Cite book|last=Aqsha|first=Darul|date=2005|url=https://books.google.co.id/books?id=dleWlsGRsjAC&pg=PA76&dq=chuo+sangi+in&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiyyoW0oKTrAhVu4nMBHYhtBkoQ6AEwA3oECAUQAg#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran|publisher=Erlangga|isbn=978-979-781-145-7|language=id}}</ref> Pada tanggal 15 [[November]] 1943, [[delegasi]] Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, [[Moh. Hatta]], dan [[Bagus Hadikusumo]] berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan [[Perdana Menteri]] [[Tojo]]. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan pusaka merah putih dan melantunkan [[lagu]] kebangsaan [[Indonesia Raya]]. Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat [[perang]] melawam [[sekutu]]. Pada tanggal 17 [[Juli]] 1944, kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan berbagai masalah politik lain membuat Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh [[Koisi]] sehari setelahnya. Tanggal 07 September 1944, Jepang semakin terdesak pada [[perang dunia II]] dan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dengan gagasan Gerakan Hidoep Baroe.<ref>{{Cite web|title=New Normal ala Zaman Jepang|url=https://historia.id/urban/articles/new-normal-ala-zaman-jepang-vo13p|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2020-08-29}}</ref> Janji Koiso ini membawa angin segar untuk perjuangan bangsa Indonesia.<ref name=":0" />
Setiap anggota Chuo Sangi In berhak mendapat [[uang]] [[jabatan]] f.3600/tahun dan jika bersidang mendapatkan uang saku f.5/hari dan tunjangan untuk [[penginapan]] senilai f.30/malam.<ref>{{Cite book|last=Aqsha|first=Darul|date=2005|url=https://books.google.co.id/books?id=dleWlsGRsjAC&pg=PA76&dq=chuo+sangi+in&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiyyoW0oKTrAhVu4nMBHYhtBkoQ6AEwA3oECAUQAg#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran|publisher=Erlangga|isbn=978-979-781-145-7|language=id}}</ref> Pada tanggal 15 [[November]] 1943, [[delegasi]] Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, [[Moh. Hatta]], dan [[Bagus Hadikusumo]] berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan [[Perdana Menteri]] [[Tojo]]. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan pusaka merah putih dan melantunkan [[lagu]] kebangsaan [[Indonesia Raya]]. Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat [[perang]] melawam [[sekutu]]. Pada tanggal 17 [[Juli]] 1944, kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan berbagai masalah politik lain membuat Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh [[Koisi]] sehari setelahnya. Tanggal 07 September 1944, Jepang semakin terdesak pada [[perang dunia II]] dan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dengan gagasan Gerakan Hidoep Baroe.<ref>{{Cite web|title=New Normal ala Zaman Jepang|url=https://historia.id/urban/articles/new-normal-ala-zaman-jepang-vo13p|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2020-08-29}}</ref>
Pada tanggal 10 September 1944 anggota Chuo Sangi In ditambah dari 23 orang ditambah menjadi 28 orang. Lima orang anggota baru yang masuk adalah [[R. Abikusno Cokrosuyoso]], R. [[Margono Joyodikusumo]], Mr. [[R. W. Sumanang]], Mr. R. [[Sujono]], dan R. [[Gatot Mangkuprojo]]. Pada tanggal 7 November 1944 anggota keseluruhan ditambah lagi menjadi 60 orang. Ada beberapa tokoh penting yang ikut masuk seperti [[Moh. Yamin]], Mr. [[J. Latuharhary]], [[Abdurrahman Baswedan]], dan seorang berkebangsaan [[Tiongkok]] [[Yap Cwan Bing]].<ref>{{Cite book|last=Suryanegara|first=Ahmad Mansur|date=2017-01-15|url=https://books.google.co.id/books?id=fonfDQAAQBAJ&pg=PA45&lpg=PA45&dq=chuo+sangi+in&source=bl&ots=niS5xbvNQZ&sig=ACfU3U32qieqvRGJ2DZbeaP7QprLDFVWgQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjbj_2ujMHrAhVBfisKHZjSABc4WhDoATAJegQIBRAB#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Api Sejarah 2|publisher=Surya Dinasti|isbn=978-602-71237-2-4|language=id}}</ref>

Pada 10 September 1944, anggota Chuo Sangi In ditambah. Jumlah ''Saiko Shikikan'' yang tadinya beranggota 23 orang ditambah menjadi 28 orang. Lima orang anggota baru tersebut adalah [[R. Abikusno Cokrosuyoso]], R. [[Margono Joyodikusumo]], Mr. [[R. W. Sumanang]], Mr. R. [[Sujono]], dan R. [[Gatot Mangkuprojo]]. Setelah itu, pada tanggal 7 November 1944 anggota keseluruhan ditambah lagi menjadi 60 orang. Ada beberapa tokoh penting yang ikut masuk seperti [[Moh. Yamin]], Mr. [[J. Latuharhary]], [[Abdurrahman Baswedan]], dan seorang berkebangsaan [[Tiongkok]] [[Yap Cwan Bing]].<ref>{{Cite book|last=Suryanegara|first=Ahmad Mansur|date=2017-01-15|url=https://books.google.co.id/books?id=fonfDQAAQBAJ&pg=PA45&lpg=PA45&dq=chuo+sangi+in&source=bl&ots=niS5xbvNQZ&sig=ACfU3U32qieqvRGJ2DZbeaP7QprLDFVWgQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjbj_2ujMHrAhVBfisKHZjSABc4WhDoATAJegQIBRAB#v=onepage&q=chuo%20sangi%20in&f=false|title=Api Sejarah 2|publisher=Surya Dinasti|isbn=978-602-71237-2-4|language=id}}</ref>
== Persidangan ==
== Persidangan ==
Chuo Sangi In melakukan 8 kali Sidang antara tahun 1943-1945. Dengan rincian sidang sebagai berikut.
Chuo Sangi In melakukan 8 kali Sidang antara tahun 1943-1945.
===Sidang pertama===
Sidang dimulai tanggal 16 sampai 20 Oktober 1943. Sidang pertama membentuk empat ''Bunkakai'' (komisi). Sidang ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan ''Saiko Shikikan'' tentang bagaimana cara yang paling tepat untuk memenangkan [[Perang Pasifik]]. ''Gunseikan'' dan para pejabat teras tentara Jepang ikut menghadiri dan melakukan fungsi pengawasannya selama sidang berlangsung. Jawaban dari persidangan ini berkaitan dengan pengerahan semua potensi [[kerja]] dan [[produksi]] untuk kepentingan [[perang]], terutama cara praktis memperkuat persiapan dalam menghadapi Perang Pasifik dengan meminta bantuan orang-orang dari [[Pulau]] [[Jawa]] dalam bentuk tenaga [[rakyat]] atau sumbangan [[sumber daya]] yang dimiliki.
=== '''Sidang pertama''' ===
Sidang ini dimulai tanggal 16-20 Oktober 1943. Sidang pertama dapat membentuk empat ''Bunkakai'' (komisi). Hal ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan ''Saiko Shikikan'' tentang bagaimana cara yang paling tepat untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya atau [[Perang Pasifik]]. ''Gunseikan'' dan para pejabat teras tentara Jepang ikut menghadiri dan melakukan fungsi pengawasannya selama sidang berlangsung. Jawaban yang didiskusikan selama berlangsungnya sidang tidak boleh keluar dari pertanyaan yang diajukan oleh panglima tertinggi mengenai pengerahan semua potensi [[kerja]] dan [[produksi]] untuk kepentingan [[perang]]. Sidang pertama ini memiliki pokok bahasan tentang usul yang diajukan ''Saiko Shikikan'', yaitu ''bagaimana cara praktis memperkuat persiapan dalam menghadapi Perang Pasifik dengan meminta bantuan orang-orang dari [[Pulau]] [[Jawa]] dalam bentuk tenaga [[rakyat]] atau sumbangan [[sumber daya]] yang dimiliki''. Untuk memperdebatkan hal tersebut, dibentuk empat ''Bunkakai'' ([[panitia]] kecil). ''Bunkakai'' I merundingkan melindungi dan memperkuat para [[prajurit]] [[PETA]]. ''Bunkakai'' II merundingkan pengerahan tenaga kerja untuk menghadapi perang. ''Bunkakai'' III merundingkan masalah penghidupan rakyat saat peperangan berlangsung. ''Bunkakai'' IV, merundingkan cara memperbanyak hasil produksi dalam rangka menunjang kebutuhan Perang Pasifik. Adapun pelaksanaan hasil rapat pertama ini adalah memperkuat latihan [[militer]] prajurit PETA dan mengerahkan masyarakat supaya bekerja keras dalam masa peperangan. Jepang menyebutkan bahwa [[petani]] yang tidak menjadi prajurit atau [[tentara]], akan ditugaskan untuk kerja paksa romusha untuk memenuhi kebutuhan perang. Banyak berbagai kalangan masyarakat dikirim keluar Pulau Jawa, bahkan sampai ada yang keluar tanah Indonesia. Keberadaan pekerja ini tidak dapat dipastikan dan tidak tahu kapan kembali, karena dalam sistem kerja romusha tidak dipedulikan masalah kesehatan dan kesejahteraan.
Untuk mencari solusi dalam persidangan dibentuk empat ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan perlindungan dan memperkuat para [[prajurit]] [[PETA]]. ''Bunkakai'' II merundingkan pengerahan tenaga kerja untuk menghadapi perang. ''Bunkakai'' III merundingkan masalah penghidupan rakyat saat peperangan berlangsung. ''Bunkakai'' IV merundingkan cara memperbanyak hasil produksi dalam rangka menunjang kebutuhan Perang Pasifik. Langkah pertama yang dilakukan setelah perumusan hasil persidangan adalah memperkuat latihan [[militer]] prajurit PETA dan mengerahkan masyarakat supaya bekerja keras dalam masa peperangan. Jepang menyebutkan bahwa [[petani]] yang tidak menjadi prajurit atau [[tentara]], akan ditugaskan untuk kerja paksa romusha untuk memenuhi kebutuhan perang. Banyak kalangan masyarakat yang dikirim keluar Pulau Jawa, bahkan sampai ada yang keluar tanah Indonesia. Keberadaan pekerja ini tidak dapat dipastikan dan tidak tahu kapan kembali, karena dalam sistem kerja romusha tidak dipedulikan masalah ke[[sehat]]an dan ke[[sejahtera]]an.


=== Sidang kedua ===
=== Sidang kedua ===
Sidang ini dilakukan tanggal 30 Januari-3 Februari 1944. Sidang ini membahas pertanyaan ''Saiko Shikikan'' yaitu ''bagaimana cara praktis dan nyata yang dilakukan oleh penduduk untuk menyempurnakan susunan kekuatan di Pulau Jawa yang sudah siap untuk peperangan yang harus berujung dengan kemenangan''. Dalam sidang ini hanya dibentuk dua ''Bunkakai'' saja. ''Bunkakai'' I merundingkan cara memperkuat barisan tenaga rakyat untuk membela tanah air. Sedangkan ''Bunkakai'' II merundingkan peninjauan memperbanyak bahan makanan selama peperangan berlangsung. Hasil persidangan kedua ini adalah harus ada gerakan untuk membantu prajurit PETA melawan Sekutu dan siap kapan saja menghalau serangan mendadak dari pasukan Sekutu. Atas dasar itu, pemerintah pendudukan Jepang membentuk ''[[Jawa Hokokai]]'', ''[[Heiho]],[[Tonarigumi]]'' dan ''[[Keibodan|Keibondan]]''. Sedangkan dalam rangka menambah hasil bumi atau [[pertanian]], pemerintah pendudukan Jepang mengharapkan petani memperhatikan kesuburan tanaman. Petani dituntut telit untuk pembasmian [[hama]], memberikan [[pupuk]] secara teratur, dan menjaga atau memperhatikan kesuburan tanah garapannya.<ref>{{Cite book|last=Poesponegoro|first=Marwati Djoened|last2=Notosusanto|first2=Nugroho|last3=Pandji ;)|first3=Soejono ((Raden|last4=Leirissa|first4=Richard Z.|date=2008|url=https://books.google.co.id/books/about/Sejarah_nasional_Indonesia.html?id=bl1DzAEACAAJ&redir_esc=y|title=Sejarah nasional Indonesia: zaman Jepang dan zaman republik Indonesia (± 1942-1998). VI|location=|publisher=Balai Pustaka|isbn=|pages=|language=id|url-status=live}}</ref>
Sidang ini dilakukan tanggal 30 Januari sampai 3 Februari 1944. Sidang ini membahas pertanyaan ''Saiko Shikikan'' tentang cara praktis yang dilakukan oleh penduduk untuk menyempurnakan susunan kekuatan di Pulau Jawa yang sudah siap untuk memenangkan Perang Pasifik. Sidang ini membentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan cara memperkuat barisan tenaga rakyat untuk membela tanah air. Sedangkan ''Bunkakai'' II merundingkan memperbanyak bahan makanan selama peperangan berlangsung. Hasil persidangan kedua ini adalah harus ada gerakan untuk membantu prajurit PETA melawan Sekutu dan siap kapan saja menghalau serangan mendadak dari pasukan Sekutu. Atas dasar itu, pemerintah pendudukan Jepang membentuk ''[[Jawa Hokokai]]'', ''[[Heiho]],[[Tonarigumi]]'' dan ''[[Keibodan|Keibondan]]''. Sedangkan dalam rangka menambah hasil bumi atau [[pertanian]], pemerintah pendudukan Jepang mengharapkan petani memperhatikan kesuburan tanaman. Petani dituntut teliti melakukan pembasmian [[hama]], memberikan [[pupuk]] secara teratur, dan menjaga atau memperhatikan kesuburan tanah garapannya.<ref>{{Cite book|last=Poesponegoro|first=Marwati Djoened|last2=Notosusanto|first2=Nugroho|last3=Pandji ;)|first3=Soejono ((Raden|last4=Leirissa|first4=Richard Z.|date=2008|url=https://books.google.co.id/books/about/Sejarah_nasional_Indonesia.html?id=bl1DzAEACAAJ&redir_esc=y|title=Sejarah nasional Indonesia: zaman Jepang dan zaman republik Indonesia (± 1942-1998). VI|location=|publisher=Balai Pustaka|isbn=|pages=|language=id|url-status=live}}</ref>


=== Sidang ketiga ===
=== Sidang ketiga ===
Sidang ketiga dilaksanakan pada tanggal 7-11 Mei 1944. Persidangan ini membicarakan cara menyadarkan penduduk untuk melaksanakan kewajiban dan meningkatkan kerjasama dalam balutan persahabatan yang tidak memandang perbedaan suku bangsa, pekerjaan, dan jabatan. Hasil sidang ini adalah berdirinya [[koperasi]] di daerah untuk memenuhi kebutuhan modal [[usaha]] dan pertanian masyarakat. Selain inisiatif itu, Pemerintahan Jepang juga menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti [[seni]] [[tradisional]], [[olahraga]], dan [[budaya]] daerah untuk menjalin persatuan dan kesatuan antar individu di sekeliling Pulau Jawa dan Madura. Dalam persidangan ini, anggota sidang mengusulkan agar masyarakat dilatih menggunakan [[senjata]] api, tapi Jepang menolak karena ada ketakutan diserang balik setelah dilatih. Jepang hanya berkenan melatih Masyarakat secara militer dengan senjata [[bambu]] runcing.
Sidang ketiga dilaksanakan pada tanggal 7 sampai 11 Mei 1944. Persidangan ini membicarakan penyadaran penduduk untuk melaksanakan kewajiban dan meningkatkan kerjasama secara bersahabat dengan tidak memandang perbedaan suku bangsa, pekerjaan, dan jabatan. Hasil sidang ini adalah berdirinya [[koperasi]] di berbagai daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan modal [[usaha]] dan pertanian masyarakat. Selain inisiatif itu, Pemerintahan Jepang juga menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti [[seni]] [[tradisional]], [[olahraga]], dan [[budaya]] daerah untuk menjalin persatuan dan kesatuan antar individu di sekeliling Pulau Jawa dan Madura. Dalam persidangan ini, anggota sidang mengusulkan agar masyarakat dilatih menggunakan [[senjata]] api, tapi Jepang menolak karena ada ketakutan serangan balik setelah dilatih. Jepang hanya berkenan melatih masyarakat secara militer dengan senjata [[bambu]] runcing.


=== Sidang keempat ===
=== Sidang keempat ===
Sidang pada tanggal 12-16 Agustus 1944. Sidang ini membicarakan usul ''Saiko'' ''Shikikan'' untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja atau pegawai, pembelaan terhadap tanah air, dan memperbanyak produksi hasil bumi. Untuk menjawab usulan tadi, maka sidang ke IV dibentuk tiga ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan masalah semangat bekerja para pegawai. ''Bunkakai'' II membahas peningkatan efisiensi pekerja. ''Bunkakai'' III membahas masalah usaha menggandakan bantuan kepada kaum pekerja dan keluarganya. Dari persidangan yang ke-4, pemerintah Jepang memerintahkan terhadap tokoh-tokoh Indonesia untuk membentuk perserikatan perusahaan pengangkutan di setiap daerah yang berada di Jawa dan Madura, guna mengontrol dan mendata perdagangan yang ada di setiap daerah dan mendata jumlah barang yang dijual di bawah pengawasan ''Tonarigumi''. Selain itu juga dilakukan pemberantasan terhadap pedagang gelap. Semua masyarakat tanpa terkecuali diharapkan bekerja, baik laki- laki dan perempuan tanpa terkecuali dan mereka akan didaftarkan sebagai anggota bekerja. Dalam masalah kemiliteran, Jepang akan melakukan pemeriksaan terhadap setiap anggota dan akan diperhatikan masalah makanan dan kesehatannya. Selain itu para prajurit juga akan dihormati sebagai pejuang. Dengan ini maka anggota dari ''Chuo Sangi-in'' berjumlah 48 anggota tetap, sehingga dapat diharapkan badan tersebut bisa bekerja dengan secara aktif dalam dunia pemerintahan. Kemudian pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Koiso mengumumkan janji kemerdekaan di kemudian hari.
Sidang ini dilaksanakan pada tanggal 12 sampai 16 Agustus 1944. Sidang ini membicarakan usul ''Saiko'' ''Shikikan'' untuk meningkatkan kinerja pegawai, pembelaan terhadap tanah air, dan memperbanyak produksi hasil bumi. Untuk menjawab usulan tadi, maka sidang ini membentuk tiga ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I merundingkan masalah semangat bekerja para pegawai. ''Bunkakai'' II membahas peningkatan efisiensi pekerja. ''Bunkakai'' III membahas masalah usaha dan mengadakan bantuan kepada kaum pekerja dan keluarganya. Pemerintah Jepang memerintahkan tokoh-tokoh Indonesia untuk membentuk perserikatan perusahaan pengangkutan di setiap daerah yang berada di Jawa dan Madura. Cara ini dilakukan untuk mengontrol dan mendata perdagangan yang ada di setiap daerah dan mendata jumlah [[barang]] yang dijual di bawah pengawasan ''Tonarigumi''. Selain itu juga dilakukan pemberantasan terhadap [[pedagang]] gelap. Semua masyarakat harus bekerja, baik laki- laki dan perempuan dan mereka akan didaftarkan sebagai anggota bekerja. Dalam masalah kemiliteran, Jepang akan melakukan pemeriksaan terhadap setiap anggota sekaligus memperhatikan masalah makanan dan kesehatannya. Nantinya, para prajurit yang menjadi anggota akan dihormati sebagai [[pejuang]]. Maka anggota dari ''Chuo Sangi-in'' berjumlah 48 anggota tetap, sehingga badan tersebut bisa bekerja secara aktif dalam dunia pemerintahan. Kemudian pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada Indonesia di kemudian hari.


=== Sidang kelima ===
=== Sidang kelima ===
Sidang dilaksanakan pada tanggal 11 September 1944, berdasarkan keputusan Maklumat nomor 5 pada 8 September 1944 tentang panggilan Sidang Istimewa ''Chuo Saingi-in''. Pertanyaan yang diajukan oleh ''Saiko Shikikin'' adalah ''bagaimana cara masyarakat Indonesia membuktikan rasa terima kasih terhadap Jepang atas keputusan perkenan untuk merdeka pada suatu hari nanti dan bagaimana membangkitkan semangat juang masyarakat Indonesia untuk melawan Amerika dan Inggris''. Dari persidangan kelima ini, Jepang meminta supaya masyarakat lebih progresif dalam mempersiapkan diri untuk perang. Jepang mengatakan bahwa jika suatu saat Jepang kalah dalam perang pasifik, maka tidak akan ada kemerdekaan bagi Indonesia. Masyarakat harus giat dalam bekerja keras untuk kepentingan perang Pasifik. Maka dari itu, masyarakat Indonesia harus memberikan semua kekayaannya untuk kepentingan perang pasifik.
Sidang ini dilaksanakan pada tanggal 11 sampai 15 September 1944, berdasarkan keputusan [[Maklumat]] nomor 5 pada 8 September 1944 tentang panggilan Sidang Istimewa Chuo Saingi-in. Hal yang dibahas adalah cara masyarakat Indonesia membuktikan rasa terima kasih terhadap Jepang atas keputusan merdeka pada suatu hari nanti dan membangkitkan semangat juang masyarakat Indonesia untuk melawan [[Amerika]] dan [[Inggris]]. Dari persidangan kelima ini, Jepang meminta masyarakat lebih progresif dalam mempersiapkan diri untuk perang. Jepang mengatakan bahwa jika suatu saat Jepang kalah dalam perang pasifik, maka tidak ada kemerdekaan bagi Indonesia. Masyarakat harus giat dan bekerja keras untuk kepentingan perang Pasifik. Sebagai wujud timbal balik terhadap Jepang, masyarakat Indonesia harus memberikan semua kekayaannya untuk mewujudkan kemenangan dalam perang pasifik.


=== Sidang keenam ===
=== Sidang keenam ===
Sidang pada 12-17 November 1944, membahas masalah yang diajukan oleh ''Saiko Shikikin'' yaitu “bagaimana cara memperoleh hasil dalam perang Asia Timur Raya yang sungguh-sungguh dan gemilang dalam hal membulatkan segala tenaga penduduk untuk menjalankan perang dan cara apakah yang harus dilakukan masyarakat Indonesia untuk mempertinggi derajat penduduk pribumi pada saat perang yang telah memuncak”. Untuk menindak lanjuti permasalahan di atas, maka dibentuklah dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai I'', membahas masalah memperhebat dan membulatkan segala tenaga dari masyarakat di Pulau Jawa. ''Bunkakai'' II, membahas bagaimana cara mempertinggi derajat dan martabat penduduk pada peperangan yang sudah memuncak. Dari hasil sidang ''Chuo Sangi-in'' yang ke-6, untuk lebih mematangkan perlawanan terhadap Sekutu dan pencapaian terhadap Janji Jepang atas kemerdekaan Indonesia, maka diharapkan kepada masyarakat Indonesia dengan bantuan Jepang untuk memantapkan beberapa usaha yang sebelumnya disepakati, seperti: melakukan upaya untuk menghambat kekuatan Sekutu di Asia Timur dengan memberikan latihan persenjataan api terhadap masyarakat Jawa dan Madura dan memberantas orang- orang di Jawa dan Madura yang dianggap sebagai mata-mata Sekutu. Jepang juga mengadakan pembersiahan masyarakat dari pengaruh Sekutu mulai dari pemerintahan tingkat atas sampai pada paling bawah di daerah-daerah. Jepang juga diharapkan melakukan pelatihan rohani yang bertujuan untuk memperkuat rasa kesatuan dan menebalkan rasa kebangsaan untuk mencapai cita-cita di Asia Timur Raya dan pelatihan Jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jawa dan Madura. Selain itu Jepang juga menekankan kepada masyarakat Indonesia untuk dilakukan sebuah pelatihan pengetahuan untuk memberantas masalah buta huruf. Untuk mencapai semua itu, maka harus dimulai dari setiap ''Shu'' dan kemudian bekerja sama dengan pemerintah pusat melalui ''Jawa'' ''Hokokai''. Dalam masalah perekonomian, Jepang menyuruh kepada masyarakat untuk meningkatkan hasil buminya dan membentuk koperasi pertaian bersama pangreh praja untuk mempererat hubungan dengan pabrik penggilingan padi.
Sidang ini dilakukan pada 12 sampai 17 November 1944. Pembahasan sidang tentang cara memperoleh kemenangan dalam perang pasifik dengan cara sungguh-sungguh dan gemilang. Dalam perang harus ada kontribusi nyata dari tenaga penduduk Indonesia untuk mempertinggi derajat pribumi di mata dunia. Dalam persidangan dibentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai I'' membahas peningkatan kontribusi tenaga dari masyarakat di Pulau Jawa. ''Bunkakai'' II,membahas cara memenangkan perang untuk meningkatkan derajat pribumi di mata dunia. Sidang ''Chuo Sangi-in'' yang ke-6, menekankan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam pemenangan perang pasifik, di antaranya menghambat kekuatan Sekutu di [[Asia]] [[Timur]] dan memberantas orang- orang yang dianggap sebagai mata-mata Sekutu dengan memberikan latihan senjata api terhadap masyarakat Jawa dan Madura. Jepang juga menghalau pengaruh Sekutu pada masyarakat mulai dari pemerintahan tingkat atas sampai pada paling bawah di daerah-daerah.
Jepang juga diharapkan melakukan pelatihan rohani yang bertujuan memperkuat rasa kesatuan dan menebalkan rasa kebangsaan untuk mencapai cita-cita kemanangan perang. Pelatihan jasmani juga diperlukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jawa dan Madura. Selain itu Jepang juga menekankan kepada masyarakat Indonesia untuk melaksanakan pelatihan pengetahuan dalam rangkan memberantas buta huruf. Struktur pelaksanaan dimulai dari setiap ''Shu'' dan kemudian bekerja sama dengan pemerintah pusat melalui ''Jawa'' ''Hokokai''. Dalam masalah perekonomian, Jepang menyuruh kepada masyarakat untuk meningkatkan hasil bumi dan membentuk koperasi pertanian bersama [[pangreh praja]] untuk mempererat hubungan dengan pabrik penggilingan padi.


=== Sidang ketujuh ===
=== Sidang ketujuh ===
Sidang pada 21-26 Februari 1945, berdasarkan Maklumat ''Saiko Shikikin'' Nomor I tanggal 10 Februari 1945 tentang panggilan Sidang ketujuh ''Chuoo Sangi-in'', pertanyaan yang diajukan adalah “bagaimana melaksanakan dengan cepat dan tepat pembaharuan kehidupan rakyat”. Alasan diajukannya pertanyaan ini adalah mengingat pentingnya usaha untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Hasil dari sidang yang ke-7 ini adalah mengharapkan kepada masyarakat Indonesia untuk siap menerima kehidupan baru dengan menebalkan rasa nasionalisme terhadap Tanah Air Indonesia dan semangat berjuang dengan [[ikhlas]] dan siap mati untuk agama dan Tanah Air Indonesia. Untuk mencapai itu semua maka yang harus dilakukan adalah sebagai berikut.
Sidang dilakukan tanggal 21 sampai 26 Februari 1945 berdasarkan Maklumat ''Saiko Shikikin'' Nomor I tanggal 10 Februari 1945 tentang panggilan Sidang ketujuh ''Chuoo Sangi-in''. Pembahasan sidang ini adalah pelaksanaan pembaharuan kehidupan rakyat dengan cepat dan tepat. Alasan diajukannya pembahasan ini adalah mengingat pentingnya usaha untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dari hasil sidang diharapkan peran masyarakat Indonesia untuk siap menerima kehidupan baru dengan menebalkan rasa [[nasionalisme]] terhadap tanah air dan semangat berjuang dengan [[ikhlas]] dalam menghadapi kemerdekaan. Untuk mewujudkan itu semua harus dilakukan cara strategis sebagai berikut.
* Melakukan pemantauan terhadap setiap barang-barang kepentingan perang yang berada di daerah di Jawa dan Madura.

* Rakyat harus dilatih siap dan bersedia dalam menghadapi [[musuh]] yang datang dengan memberikan pelatihan penggunaan senjata dan strategi perang terutama penambahan kekuatan dengan pembentukan barisan ''Seineidan, Keibondan, [[Suisintai]]'', [[Hizbullah]], dan [[prajurit]] propaganda lainnya.
* Melakukan pemantauan terhadap setiap barang-barang yang berada di daerah di Jawa dan Madura untuk kepentingan perang.
* Untuk masalah ''rhomusa'', setiap pekerja harus diberikan makanan yang cukup dan sewaktu-waktu juga dilakukan pemeriksaan kesehatan. Sehingga hasil setiap pekerjaan akan terus meningkat [[kualitas]]nya. Romusha juga harus memberikan kesempatan bekerja bagi para [[wanita]] yang sesuai dengan kemampuannya.
* Hendaknya rakyat dilatih untuk selalu siap dan bersedia dalam menghadapi [[musuh]] yang akan datang dengan memberikan pelatihan penggunaan senjata dan strategi perang terutama ada barisan ''Seineidan, Keibondan, Suisintai,'' Hizbullah, dan [[prajurit]] propaganda lainnya.
* Masyarakat harus diberikan [[pendidikan]] melalui [[sekolah]] atau lembaga pendidikan lainnya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menerima kemerdekaan secara utuh.
* Untuk masalah ''Rhomusa'', setiap pekerja harus diberikan makanan yang cukup dan sewaktu-waktu juga dilakukan pemeriksaan kesehatan, sehingga hasil dari setiap pekerjaan akan memberikan [[kualitas]] yang baik dan memberikan tempat bekerja bagi [[wanita]] yang sesuai dengan kapasitasnya.
* Harus ada penggabungan dari kedua organisasi masyarakat Jawa dan Madura yang mewakili golongan nasionalis dan Islam yang diwujudkan melalui ''Jawa Hokokai'' dan [[Masyumi]].
* Perlu bagi masyarakat untuk diberikan pengetahuan dari sekolah atau lembaga pendidikan lainnya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menerima kemerdekaan secara utuh.
* Berhubungan dengan perlunya persatuan dan kesatuan di antara seluruh masyarakat yang berada di Jawa dan Madura, maka perlu adanya penggabungan dari kedua organisasi yang mewakili nasionalis dan Islam yaitu ''Jawa Hokokai'' dan [[Masyumi]].


=== Sidang kedelapan ===
=== Sidang kedelapan ===
Sidang pada 18-21 Juni 1945, pembahasan yang akan dibicarakan adalah menjawab pertanyaan ''Saiko Shikikan:'' bagaimana cara melaksanakan usaha untuk membangkitkan penduduk agar mengerahkan tenaga dan menjalankan latihan untuk memperkuat pembelaan dan penyempurnaan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia secepatnya.  Dalam sidang ini, Soekarno membentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I membahas tentang bagaimana cara untuk menjalankan usaha dalam membangkitkan semangat penduduk agar mengerahkan seluruh tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. ''Bunkakai'' II, membahas cara menjalankan latihan untuk memperkuat pembelaan dan penyempurnaan usaha dalam rangka persiapan kemerdekaan secepatnya. Hasil dari persidangan ke-8 ini adalah mengadakan gerakan semangat yang di antaranya adalah sebagai berikut.
Sidang kedelapan dilakukan pada 18 sampai 21 Juni 1945. Pembahasan sidang ini tentang cara membangkitkan semangat juang rakyat untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang ini, Soekarno membentuk dua ''Bunkakai''. ''Bunkakai'' I membahas cara membangkitkan semangat rakyat agar mengerahkan seluruh tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. ''Bunkakai'' II membahas cara menjalankan latihan untuk memperkuat pembelaan dan penyempurnaan usaha dalam rangka merpercepat persiapan kemerdekaan Indonesia. Hasil dari persidangan kedelapan ini adalah mengadakan gerakan semangat rakyat sebagai berikut.
* Memperkuat cinta Tanah Air;
* Memperkuat cinta Tanah Air.
* Mengembangkan sifat keprajuritan.
* Mengembangkan sifat keprajuritan.
* Membangkitkan rasa kekeluargaan dan persatuan bangsa.
* Membangkitkan rasa kekeluargaan dan persatuan bangsa.
* Menyerahkan sepenuhnya kekuasaan [[pemerintah]], baik di pusat maupun di daerah kepada tenaga Indonesia.
* Menyerahkan sepenuhnya kekuasaan [[pemerintah]], baik pusat maupun daerah kepada tenaga Indonesia.
* Memperluas perkembangan masyarakat dalam bidang [[ekonomi]], kesehatan, [[pendidikan]], dan sebagainya.
* Meningkatkan perkembangan kehidupan masyarakat dalam bidang [[ekonomi]], kesehatan, pendidikan, dan sektor penting lainnya.
* Memperluas pergerakan tentara PETA dengan menyempurnakan latihan untuk menghadapi musuh dan perang [[gerilya]].
* Memperluas pergerakan tentara PETA dengan menyempurnakan latihan untuk menghadapi musuh dan perang [[gerilya]].
* Membangkitkan dan memperkuat usaha dalam segala bidang, seperti melatih para pemuda untuk ditempatkan dalam kota atau daerah, mengerahkan ahli [[ilmu]] [[pengetahuan]], [[filsafat]] dan kebudayaan [[Indonesia]] untuk memelihara benda-benda kebudayaan seperti [[museum]], [[perpustakaan]], arsip, kesenian, dan sebagainya, menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, menyelenggarakan latihan [[politik]], misalnya pengetahuan tentang masalah kenegaraan, kemerdekaan, nasionalisme, dan lain-lain.
* Membangkitkan dan memperkuat usaha dalam segala bidang, seperti melatih para [[pemuda]] untuk ditempatkan dalam kota atau daerah, mengerahkan ahli [[ilmu]] [[pengetahuan]], [[filsafat]] dan kebudayaan [[Indonesia]] untuk memelihara benda-benda kebudayaan seperti [[museum]], [[perpustakaan]], arsip, kesenian, dan sebagainya, menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, menyelenggarakan latihan [[politik]], misalnya pengetahuan tentang masalah kenegaraan, kemerdekaan, nasionalisme, dan lain-lain.


==Pembubaran==
==Pembubaran==

Revisi per 3 September 2020 18.08

Chuo Sangi-In adalah dewan atau badan pertimbangan pusat pada saat pendudukan Jepang di wilayah Indonesia. [1]

Pembentukkan

Pada 5 September 1943, Saiko Shikikan (panglima tertinggi) Kumaikici Harada mengeluarkan osamu seirei nomor 36 dan 37 tentang pembentukan Chuo Sangi In dan Chuo Sangi Kai. Badan ini berada di bawah pengawasan Saiko Shikikan dan bertanggungjawab menjawab berbagai pertanyaan Saiko Shikikan dalam hal politik dan pemerintahan.Pimpinan pertama Chuo Sangi In adalah Ir. Soekarno yang didampingi dua orang wakil ketua, yaitu R.M.A.A. Kusumo Utoyo dan dr. Buntaran Martoatmojo yang diangkat melalui sidang Chuo Sangi In pertama pada tanggal 17 Oktober 1943. Secara umum, badan ini mirip dengan volksraad pada masa pendudukan Belanda sebelumnya, tapi tidak berwenang menentukan pemerintahan Indonesia secara utuh. Pada waktu itu penentuan dan kendali utama pemerintahan Indonesia harus atas persetujuan pemerintah pusat di Tokyo.[1]

Identitas

Bendera Chuo Sangi In berlambang bulan dan bintang dengan dasar berwarna putih dan hijau. Di bagian tengah ada matahari merah yang bersinar ke segala penjuru. Pemilihan lambang ini adalah salah satu cara politik yang ditempuh Jepang untuk mendekati seluruh umat Islam. Kantor Chuo Sangi In ada di Jakarta Pusat (sekarang jadi gedung Pancasila atau gedung kementerian luar negeri Republik Indonesia).[2] Dalam berbagai sidangnya, Chuo Sangi In hanya boleh membahas pengembangan militer, kesehatan, mempertinggi derajat rakyat, Industri dan ekonomi, pendidikan dan peneranga, kemakmuran dan pemberian bantuan sosial.[3]

Anggota

Anggota Chuo Sangi In terdiri dari 23 orang yang diangkat Saiko Shikikan (panglima tertinggi), 2 orang dipilih Chuo Sangi Kai dan Tokubetsu Shi Sangi Kai (Dewan Pertimbangan Kotapraja), dan 2 orang disulkan oleh kooti dan koci (Solo dan Yogyakarta).[4]

Setiap anggota Chuo Sangi In berhak mendapat uang jabatan f.3600/tahun dan jika bersidang mendapatkan uang saku f.5/hari dan tunjangan untuk penginapan senilai f.30/malam.[5] Pada tanggal 15 November 1943, delegasi Chuo Sangi In yang terdiri dari Ir. Soekarno, Moh. Hatta, dan Bagus Hadikusumo berangkat ke Jepang untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Tojo. Ketiga delegasi mendesak agar Indonesia bisa mengibarkan pusaka merah putih dan melantunkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Tapi, usulan itu ditangguhkan. Perdana Menteri Tojo tidak memberi janji dan jaminan karena belum tentu menang pada saat perang melawam sekutu. Pada tanggal 17 Juli 1944, kemunduran-kemunduran pasukan Jepang dan berbagai masalah politik lain membuat Perdana Menteri Tojo jatuh dan digantikan oleh Koisi sehari setelahnya. Tanggal 07 September 1944, Jepang semakin terdesak pada perang dunia II dan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia dengan gagasan Gerakan Hidoep Baroe.[6] Pada tanggal 10 September 1944 anggota Chuo Sangi In ditambah dari 23 orang ditambah menjadi 28 orang. Lima orang anggota baru yang masuk adalah R. Abikusno Cokrosuyoso, R. Margono Joyodikusumo, Mr. R. W. Sumanang, Mr. R. Sujono, dan R. Gatot Mangkuprojo. Pada tanggal 7 November 1944 anggota keseluruhan ditambah lagi menjadi 60 orang. Ada beberapa tokoh penting yang ikut masuk seperti Moh. Yamin, Mr. J. Latuharhary, Abdurrahman Baswedan, dan seorang berkebangsaan Tiongkok Yap Cwan Bing.[7]

Persidangan

Chuo Sangi In melakukan 8 kali Sidang antara tahun 1943-1945.

Sidang pertama

Sidang dimulai tanggal 16 sampai 20 Oktober 1943. Sidang pertama membentuk empat Bunkakai (komisi). Sidang ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan Saiko Shikikan tentang bagaimana cara yang paling tepat untuk memenangkan Perang Pasifik. Gunseikan dan para pejabat teras tentara Jepang ikut menghadiri dan melakukan fungsi pengawasannya selama sidang berlangsung. Jawaban dari persidangan ini berkaitan dengan pengerahan semua potensi kerja dan produksi untuk kepentingan perang, terutama cara praktis memperkuat persiapan dalam menghadapi Perang Pasifik dengan meminta bantuan orang-orang dari Pulau Jawa dalam bentuk tenaga rakyat atau sumbangan sumber daya yang dimiliki. Untuk mencari solusi dalam persidangan dibentuk empat Bunkakai. Bunkakai I merundingkan perlindungan dan memperkuat para prajurit PETA. Bunkakai II merundingkan pengerahan tenaga kerja untuk menghadapi perang. Bunkakai III merundingkan masalah penghidupan rakyat saat peperangan berlangsung. Bunkakai IV merundingkan cara memperbanyak hasil produksi dalam rangka menunjang kebutuhan Perang Pasifik. Langkah pertama yang dilakukan setelah perumusan hasil persidangan adalah memperkuat latihan militer prajurit PETA dan mengerahkan masyarakat supaya bekerja keras dalam masa peperangan. Jepang menyebutkan bahwa petani yang tidak menjadi prajurit atau tentara, akan ditugaskan untuk kerja paksa romusha untuk memenuhi kebutuhan perang. Banyak kalangan masyarakat yang dikirim keluar Pulau Jawa, bahkan sampai ada yang keluar tanah Indonesia. Keberadaan pekerja ini tidak dapat dipastikan dan tidak tahu kapan kembali, karena dalam sistem kerja romusha tidak dipedulikan masalah kesehatan dan kesejahteraan.

Sidang kedua

Sidang ini dilakukan tanggal 30 Januari sampai 3 Februari 1944. Sidang ini membahas pertanyaan Saiko Shikikan tentang cara praktis yang dilakukan oleh penduduk untuk menyempurnakan susunan kekuatan di Pulau Jawa yang sudah siap untuk memenangkan Perang Pasifik. Sidang ini membentuk dua Bunkakai. Bunkakai I merundingkan cara memperkuat barisan tenaga rakyat untuk membela tanah air. Sedangkan Bunkakai II merundingkan memperbanyak bahan makanan selama peperangan berlangsung. Hasil persidangan kedua ini adalah harus ada gerakan untuk membantu prajurit PETA melawan Sekutu dan siap kapan saja menghalau serangan mendadak dari pasukan Sekutu. Atas dasar itu, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Jawa Hokokai, Heiho,Tonarigumi dan Keibondan. Sedangkan dalam rangka menambah hasil bumi atau pertanian, pemerintah pendudukan Jepang mengharapkan petani memperhatikan kesuburan tanaman. Petani dituntut teliti melakukan pembasmian hama, memberikan pupuk secara teratur, dan menjaga atau memperhatikan kesuburan tanah garapannya.[8]

Sidang ketiga

Sidang ketiga dilaksanakan pada tanggal 7 sampai 11 Mei 1944. Persidangan ini membicarakan penyadaran penduduk untuk melaksanakan kewajiban dan meningkatkan kerjasama secara bersahabat dengan tidak memandang perbedaan suku bangsa, pekerjaan, dan jabatan. Hasil sidang ini adalah berdirinya koperasi di berbagai daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan modal usaha dan pertanian masyarakat. Selain inisiatif itu, Pemerintahan Jepang juga menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti seni tradisional, olahraga, dan budaya daerah untuk menjalin persatuan dan kesatuan antar individu di sekeliling Pulau Jawa dan Madura. Dalam persidangan ini, anggota sidang mengusulkan agar masyarakat dilatih menggunakan senjata api, tapi Jepang menolak karena ada ketakutan serangan balik setelah dilatih. Jepang hanya berkenan melatih masyarakat secara militer dengan senjata bambu runcing.

Sidang keempat

Sidang ini dilaksanakan pada tanggal 12 sampai 16 Agustus 1944. Sidang ini membicarakan usul Saiko Shikikan untuk meningkatkan kinerja pegawai, pembelaan terhadap tanah air, dan memperbanyak produksi hasil bumi. Untuk menjawab usulan tadi, maka sidang ini membentuk tiga Bunkakai. Bunkakai I merundingkan masalah semangat bekerja para pegawai. Bunkakai II membahas peningkatan efisiensi pekerja. Bunkakai III membahas masalah usaha dan mengadakan bantuan kepada kaum pekerja dan keluarganya. Pemerintah Jepang memerintahkan tokoh-tokoh Indonesia untuk membentuk perserikatan perusahaan pengangkutan di setiap daerah yang berada di Jawa dan Madura. Cara ini dilakukan untuk mengontrol dan mendata perdagangan yang ada di setiap daerah dan mendata jumlah barang yang dijual di bawah pengawasan Tonarigumi. Selain itu juga dilakukan pemberantasan terhadap pedagang gelap. Semua masyarakat harus bekerja, baik laki- laki dan perempuan dan mereka akan didaftarkan sebagai anggota bekerja. Dalam masalah kemiliteran, Jepang akan melakukan pemeriksaan terhadap setiap anggota sekaligus memperhatikan masalah makanan dan kesehatannya. Nantinya, para prajurit yang menjadi anggota akan dihormati sebagai pejuang. Maka anggota dari Chuo Sangi-in berjumlah 48 anggota tetap, sehingga badan tersebut bisa bekerja secara aktif dalam dunia pemerintahan. Kemudian pada tanggal 7 September 1944, perdana menteri Koiso mengumumkan janji kemerdekaan kepada Indonesia di kemudian hari.

Sidang kelima

Sidang ini dilaksanakan pada tanggal 11 sampai 15 September 1944, berdasarkan keputusan Maklumat nomor 5 pada 8 September 1944 tentang panggilan Sidang Istimewa Chuo Saingi-in. Hal yang dibahas adalah cara masyarakat Indonesia membuktikan rasa terima kasih terhadap Jepang atas keputusan merdeka pada suatu hari nanti dan membangkitkan semangat juang masyarakat Indonesia untuk melawan Amerika dan Inggris. Dari persidangan kelima ini, Jepang meminta masyarakat lebih progresif dalam mempersiapkan diri untuk perang. Jepang mengatakan bahwa jika suatu saat Jepang kalah dalam perang pasifik, maka tidak ada kemerdekaan bagi Indonesia. Masyarakat harus giat dan bekerja keras untuk kepentingan perang Pasifik. Sebagai wujud timbal balik terhadap Jepang, masyarakat Indonesia harus memberikan semua kekayaannya untuk mewujudkan kemenangan dalam perang pasifik.

Sidang keenam

Sidang ini dilakukan pada 12 sampai 17 November 1944. Pembahasan sidang tentang cara memperoleh kemenangan dalam perang pasifik dengan cara sungguh-sungguh dan gemilang. Dalam perang harus ada kontribusi nyata dari tenaga penduduk Indonesia untuk mempertinggi derajat pribumi di mata dunia. Dalam persidangan dibentuk dua Bunkakai. Bunkakai I membahas peningkatan kontribusi tenaga dari masyarakat di Pulau Jawa. Bunkakai II,membahas cara memenangkan perang untuk meningkatkan derajat pribumi di mata dunia. Sidang Chuo Sangi-in yang ke-6, menekankan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh masyarakat dalam pemenangan perang pasifik, di antaranya menghambat kekuatan Sekutu di Asia Timur dan memberantas orang- orang yang dianggap sebagai mata-mata Sekutu dengan memberikan latihan senjata api terhadap masyarakat Jawa dan Madura. Jepang juga menghalau pengaruh Sekutu pada masyarakat mulai dari pemerintahan tingkat atas sampai pada paling bawah di daerah-daerah. Jepang juga diharapkan melakukan pelatihan rohani yang bertujuan memperkuat rasa kesatuan dan menebalkan rasa kebangsaan untuk mencapai cita-cita kemanangan perang. Pelatihan jasmani juga diperlukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat Jawa dan Madura. Selain itu Jepang juga menekankan kepada masyarakat Indonesia untuk melaksanakan pelatihan pengetahuan dalam rangkan memberantas buta huruf. Struktur pelaksanaan dimulai dari setiap Shu dan kemudian bekerja sama dengan pemerintah pusat melalui Jawa Hokokai. Dalam masalah perekonomian, Jepang menyuruh kepada masyarakat untuk meningkatkan hasil bumi dan membentuk koperasi pertanian bersama pangreh praja untuk mempererat hubungan dengan pabrik penggilingan padi.

Sidang ketujuh

Sidang dilakukan tanggal 21 sampai 26 Februari 1945 berdasarkan Maklumat Saiko Shikikin Nomor I tanggal 10 Februari 1945 tentang panggilan Sidang ketujuh Chuoo Sangi-in. Pembahasan sidang ini adalah pelaksanaan pembaharuan kehidupan rakyat dengan cepat dan tepat. Alasan diajukannya pembahasan ini adalah mengingat pentingnya usaha untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dari hasil sidang diharapkan peran masyarakat Indonesia untuk siap menerima kehidupan baru dengan menebalkan rasa nasionalisme terhadap tanah air dan semangat berjuang dengan ikhlas dalam menghadapi kemerdekaan. Untuk mewujudkan itu semua harus dilakukan cara strategis sebagai berikut.

  • Melakukan pemantauan terhadap setiap barang-barang kepentingan perang yang berada di daerah di Jawa dan Madura.
  • Rakyat harus dilatih siap dan bersedia dalam menghadapi musuh yang datang dengan memberikan pelatihan penggunaan senjata dan strategi perang terutama penambahan kekuatan dengan pembentukan barisan Seineidan, Keibondan, Suisintai, Hizbullah, dan prajurit propaganda lainnya.
  • Untuk masalah rhomusa, setiap pekerja harus diberikan makanan yang cukup dan sewaktu-waktu juga dilakukan pemeriksaan kesehatan. Sehingga hasil setiap pekerjaan akan terus meningkat kualitasnya. Romusha juga harus memberikan kesempatan bekerja bagi para wanita yang sesuai dengan kemampuannya.
  • Masyarakat harus diberikan pendidikan melalui sekolah atau lembaga pendidikan lainnya untuk mempersiapkan masyarakat dalam menerima kemerdekaan secara utuh.
  • Harus ada penggabungan dari kedua organisasi masyarakat Jawa dan Madura yang mewakili golongan nasionalis dan Islam yang diwujudkan melalui Jawa Hokokai dan Masyumi.

Sidang kedelapan

Sidang kedelapan dilakukan pada 18 sampai 21 Juni 1945. Pembahasan sidang ini tentang cara membangkitkan semangat juang rakyat untuk mempercepat kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang ini, Soekarno membentuk dua Bunkakai. Bunkakai I membahas cara membangkitkan semangat rakyat agar mengerahkan seluruh tenaganya untuk kemerdekaan Indonesia. Bunkakai II membahas cara menjalankan latihan untuk memperkuat pembelaan dan penyempurnaan usaha dalam rangka merpercepat persiapan kemerdekaan Indonesia. Hasil dari persidangan kedelapan ini adalah mengadakan gerakan semangat rakyat sebagai berikut.

  • Memperkuat cinta Tanah Air.
  • Mengembangkan sifat keprajuritan.
  • Membangkitkan rasa kekeluargaan dan persatuan bangsa.
  • Menyerahkan sepenuhnya kekuasaan pemerintah, baik pusat maupun daerah kepada tenaga Indonesia.
  • Meningkatkan perkembangan kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sektor penting lainnya.
  • Memperluas pergerakan tentara PETA dengan menyempurnakan latihan untuk menghadapi musuh dan perang gerilya.
  • Membangkitkan dan memperkuat usaha dalam segala bidang, seperti melatih para pemuda untuk ditempatkan dalam kota atau daerah, mengerahkan ahli ilmu pengetahuan, filsafat dan kebudayaan Indonesia untuk memelihara benda-benda kebudayaan seperti museum, perpustakaan, arsip, kesenian, dan sebagainya, menyelenggarakan usaha pendidikan dan pengajaran, menyelenggarakan latihan politik, misalnya pengetahuan tentang masalah kenegaraan, kemerdekaan, nasionalisme, dan lain-lain.

Pembubaran

Pada persidangan kedelapan, Soekarno memanfaatkan situasi untuk membahas masalah yang sedang dibicarakan oleh panitia kecil. Soekarno membentuk panitia kecil yang terkenal dengan sebutan panitia sembilan. Panitia ini diberi tugas untuk membuat buku rancangan undang-undang yang akan dijadikan dasar negara. Pembentukan panitia sembilan adalah upaya untuk menyatukan pandangan dua golongan, yaitu golongan Nasionalis dan Islam. Akhirnya, panitia sembilan berhasil merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang telah disetujui dan ditandatangani oleh seluruh anggota panitia sembilan pada tanggal 22 Juni 1945. Hasil perumusan Undang-Undang itu disebut juga Piagam Jakarta.[9] Setelah persidangan terakhir Chuo Sangi-in telah selesai, anggotanya disibukkan berbagai persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat, tidak ada usulan dari Saikho Sikikan untuk kepentingan Perang Pasifik. Atas dasar itu, maka Badan Penasehat Pusat atauChuo Sangi-in dibubarkan tanpa ada pernyataan resmi.[10]

Referensi

  1. ^ a b Sejarah 2. Yudhistira Ghalia Indonesia. ISBN 978-979-746-906-1. 
  2. ^ Aritonang, Jan S. (2004). Sejarah perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. BPK Gunung Mulia. ISBN 978-979-687-221-3. 
  3. ^ Llmu Pengetahuan Sosial. Grasindo. ISBN 978-979-462-448-7. 
  4. ^ "Organisasi Masa Bentukan Jepang di Indonesia". Harian Sejarah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-29. 
  5. ^ Aqsha, Darul (2005). Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: perjuangan dan pemikiran. Erlangga. ISBN 978-979-781-145-7. 
  6. ^ "New Normal ala Zaman Jepang". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-08-29. 
  7. ^ Suryanegara, Ahmad Mansur (2017-01-15). Api Sejarah 2. Surya Dinasti. ISBN 978-602-71237-2-4. 
  8. ^ Poesponegoro, Marwati Djoened; Notosusanto, Nugroho; Pandji ;), Soejono ((Raden; Leirissa, Richard Z. (2008). Sejarah nasional Indonesia: zaman Jepang dan zaman republik Indonesia (± 1942-1998). VI. Balai Pustaka. 
  9. ^ Latif, Yudi (2011). Negara paripurna: historisitas, rasionalitas, dan aktualitas Pancasila. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-22-6947-5. 
  10. ^ Herkusumo, Arniati Prasedyawati (1984). Chūō Sangi-in: Dewan Pertimbangan Pusat pada masa pendudukan Jepang. Rosda Jayaputra.