Bengberokan: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 2: | Baris 2: | ||
== Sejarah == |
== Sejarah == |
||
Seni pertunjukan topeng berokan ini konon diciptakan oleh Mbah Kuwu Cirebon Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang mendirikan Kerajaan Cirebon di abad ke-15. Pangeran Cakrabuana tidak lain adalah Pangeran Walangsungsang, yaitu putra pertama dari pasangan Prabu Siliwangi dengan Ratu Mas Subang Larang yang lahir tahun 1423.<ref>{{Cite book|last=Sulendraningrat (Pangeran)|first=Sulaiman|date=1978|url=https://books.google.co.id/books?id=RuI7YAAACAAJ&dq=sejarah+cirebon&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjEvLHp0uzrAhXYcn0KHXt2DU0Q6AEwAHoECAIQAQ|title=Sejarah Cirebon|location=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah|isbn=|pages=71|language=id|url-status=live}}</ref> Ketika menyebarkan syiar [[Islam]] ke wilayah [[Galuh]], Pangeran Cakrabuana menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama agar mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu. Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata barokahan (keselamatan). Namun tampaknya keterangan tersebut hanya sebuah ''kirata'' ([[bahasa Sunda]], yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.<ref>{{Cite book|last=|first=|date=2003|url=https://books.google.co.id/books?hl=id&id=HHKBAAAAMAAJ&focus=searchwithinvolume&q=bengberokan|title=Deskripsi kesenian Jawa Barat|location=|publisher=Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad|isbn=978-979-97718-0-3|pages=6|language=id|url-status=live}}</ref> |
Seni pertunjukan topeng berokan ini konon diciptakan oleh Mbah Kuwu Cirebon Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang mendirikan Kerajaan Cirebon di abad ke-15. Pangeran Cakrabuana tidak lain adalah Pangeran Walangsungsang, yaitu putra pertama dari pasangan Prabu Siliwangi dengan Ratu Mas Subang Larang yang lahir tahun 1423.<ref>{{Cite book|last=Sulendraningrat (Pangeran)|first=Sulaiman|date=1978|url=https://books.google.co.id/books?id=RuI7YAAACAAJ&dq=sejarah+cirebon&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwjEvLHp0uzrAhXYcn0KHXt2DU0Q6AEwAHoECAIQAQ|title=Sejarah Cirebon|location=|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah|isbn=|pages=71|language=id|url-status=live}}</ref> Ketika menyebarkan syiar [[Islam]] ke wilayah [[Galuh]], Pangeran Cakrabuana menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama agar mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu. Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata barokahan (keselamatan). Namun tampaknya keterangan tersebut hanya sebuah ''kirata'' ([[bahasa Sunda]], yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.<ref name=":0">{{Cite book|last=|first=|date=2003|url=https://books.google.co.id/books?hl=id&id=HHKBAAAAMAAJ&focus=searchwithinvolume&q=bengberokan|title=Deskripsi kesenian Jawa Barat|location=|publisher=Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad|isbn=978-979-97718-0-3|pages=6|language=id|url-status=live}}</ref> |
||
== Bentuk Kesenian == |
|||
Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian. |
|||
Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur. Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap. |
|||
Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari [[kendang]], [[terebang]], [[kecrek]], dan [[bende]] (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadang kala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.<ref name=":0" /> |
|||
== Referensi == |
== Referensi == |
Revisi per 16 September 2020 02.56
Bengberokan atau berokan merupakan pertunjukan penolak bala mirip barongsai dari Tiongkok. Topeng berokan merupakan seni pertunjukan rakyat yang tersebar di desa-desa sepanjang pesisir utara Jawa Barat, seperti di pesisir Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Topeng berokan mengambil wujud harimau, yaitu hewan yang dianggap mewakili mahluk dihormati sekaligus ditakuti.[1]
Sejarah
Seni pertunjukan topeng berokan ini konon diciptakan oleh Mbah Kuwu Cirebon Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi yang mendirikan Kerajaan Cirebon di abad ke-15. Pangeran Cakrabuana tidak lain adalah Pangeran Walangsungsang, yaitu putra pertama dari pasangan Prabu Siliwangi dengan Ratu Mas Subang Larang yang lahir tahun 1423.[2] Ketika menyebarkan syiar Islam ke wilayah Galuh, Pangeran Cakrabuana menggunakan pertunjukan sebagai media syiar agama agar mudah diterima lingkungan budaya pada saat itu. Ada pendapat bahwa kata berokan berasal dari kata barokahan (keselamatan). Namun tampaknya keterangan tersebut hanya sebuah kirata (bahasa Sunda, yang artinya dikira-kira namun tampak nyata), sebuah gejala yang umum terjadi di dalam penamaan jenis seni rakyat.[3]
Bentuk Kesenian
Bengberokan merupakan kedok yang dibuat dari kayu, yang bentuknya mirip dengan buaya. Warna kedoknya merah dengan mata besar yang menyala, dengan mulut dapat digerakkan (dibuka–tutup) sehingga menghasilkan bunyi "plak-plok". Tubuhnya terbuat dari bekas karung beras yang dijahit sedemikian rupa sehingga mampu menutupi pemainnya, dan mengesankan tubuh binatang yang besar dan berbulu (ditambahi ijuk dan serpihan tambang), kemudian disambung kayu yang dibuat mirip seperti ekor dengan warna belang-belang merah putih, runcing sehingga ujungnya mirip ekor ikan cucut. Berokan biasanya dimainkan secara bergantian.
Pada umumnya para pemain berokan adalah laki-laki. Untuk melibatkan penonton, Berokan digerak-gerakan dengan lincah, kedoknya dimainkan seakan-akan mau mengigit penonton. Efek spontanitas ketakutan penonton (terutama anak-anak) dimanfaatkan oleh pemain Berokan untuk semakin garang dan menghibur. Pertunjukan Berokan diawali dengan tetalu dan kidung dalam bahasa ibu (Indramayu atau Cirebon), dilanjutkan dengan tarian Berokan yang lambat, perlahan-lahan untuk kemudian menjadi naik turun dan bergairah. Pertunjukan Berokan akan lebih menarik lagi, jika dimainkan di atas pecahan kaca (beling) dan menari-nari di atas bara api. Apabila pertunjukan Berokan dikaitkan dengan upacara tertentu, biasanya dilakukan Kirab Sawan, yakni upacara penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Kirab Sawan dilakukan setelah sesajen dan persyaratan lainnya lengkap.
Musik pengiring Berokan sangatlah sederhana, terdiri dari kendang, terebang, kecrek, dan bende (gong kecil) yang dimainkan oleh enam orang. Musiknya memang terasa monoton, namun demikian dinamika kadang kala muncul dari kendang dan kecrek, bersahutan dengan suara plak-plok dari kepala Berokan yang terbuka dan tertutup.[3]
Referensi
- ^ https://munas.kemdikbud.go.id/ejurnal/isi/prajnaparamita2013.pdf
- ^ Sulendraningrat (Pangeran), Sulaiman (1978). Sejarah Cirebon. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. hlm. 71.
- ^ a b Deskripsi kesenian Jawa Barat. Kerjasama Dinas Kebudayaan & Pariwisata, Jawa Barat [dengan] Pusat Dinamika Pembangunan, Unpad. 2003. hlm. 6. ISBN 978-979-97718-0-3.