Harian Rakyat: Perbedaan antara revisi
k ←Suntingan 175.158.54.184 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Pratama26 Tag: Pengembalian |
Membalikkan revisi 17478263 oleh Gervant of Shiganshina (bicara) Tag: Pembatalan Dikembalikan |
||
Baris 47: | Baris 47: | ||
=== Akhir === |
=== Akhir === |
||
Setelah terjadi peristiwa [[G30S]] |
Setelah terjadi peristiwa [[G30S]] pada 2 Oktober 1965, ''Harian Rakjat'' terbit kembali dengan menurunkan kepala berita "[[Letkol Untung]] Bataljon [[Cakrabirawa|Tjakrabirawa]] Menjelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral", yang kelak menjadi edisi terakhirnya. ''Harian Rakyat'' bertekuk lutut dan berhenti terbit keesokan harinya. Tidak hanya bubar, semua anggota partai dan aktivis yang mendukung ''Harian Rakyat'' diburu, ditangkap, dipenjarakan dan dibunuh.{{sfn|Arif Zulkifi, dkk.|2014|p=46}} Kata-kata terakhir dari redaksi ''Harian Rakyat'' kepada para pembacanya ialah “Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!” {{sfn|Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan|2008|p=100}} |
||
== Ideologi dan Aliran Jurnalisme == |
== Ideologi dan Aliran Jurnalisme == |
Revisi per 6 Oktober 2020 18.27
Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat! | |
Redaksi | Mula Naibaho |
---|---|
Pemimpin redaksi | Njoto |
Didirikan | 31 Januari 1951 |
Bahasa | Bahasa Indonesia |
Berhenti publikasi | 02 Oktober 1965 |
Pusat | Jalan Pintu Besar Selatan no. 93, Jakarta |
Harian Rakyat adalah salah satu surat kabar Indonesia pada periode 1951-1965.[1] Surat kabar ini sering dianggap sebagai media resmi Partai Komunis Indonesia. Motto yang diusung oleh Harian Rakyat adalah “Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!”.
Sejarah
Awal mula
Harian Rakyat pertama kali terbit pada tanggal 31 Januari 1951 yang semula bernama Suara Rakyat. Berkantor di Jalan Pintu Besar Nomor 93, Jakarta, Harian Rakyat dipimpin oleh Njoto sebagai dewan redaksi dan Mula Naibaho sebagai penanggungjawab redaksi.[2] Wakil Ketua II CC PKI, Njoto, menjadi pemimpin redaksi media ini dan Supeno menjadi anggota dewan redaksinya. Njoto sering menulis rubrik Tjatatan Seorang Publisis yang terbit setiap Selasa.
Harian Rakjat menjadi koran politik terbesar dengan oplah 23.000 eksemplar yang pernah terbit di Indonesia pada kurun waktu 1950-1965.[3] Koran itu dijual dengan harga eceran Rp 0,60 dan harga langganan Rp 14,5 sebulan.
Pembredelan
Sebagai sebuah media massa yang mengambil aliran konfrontasi, Harian Rakyat selalu bertentangan dengan pihak lain tak terkecuali juga pihak penguasa. Karena pemberitaannya dianggap melanggar ketentuan pihak penguasa, Harian Rakyat ditutup.
Penutupan pertama terjadi selama 23 jam antara 13 September 1957 pukul 21.00 hingga 14 September 1957 pukul 20.00 bersama media lain seperti koran Indonesia Raya, Bintang Timur, Pemuda Merdeka, Djiwa Baru, Pedoman, Keng Po, Java Bode, serta tiga kantor berita Antara, PIA dan INPS.[4] Mereka dinilai melanggar ketentuan pemerintah agar media menyiarkan berita yang bersumber pada juru bicara resmi Musyawarah Nasional, yang sedang merujukkan para pemimpin pemerintah pusat dengan daerah-daerah yang memberotak.
Penutupan kembali berulang pada tahun 1959, lebih tepatnya pada tanggal 16 Juli 1959. Penutupan hampir terjadi selama satu bulan. Harian Rakyat dibredel karena memuat pernyataan CC PKI pada tanggal 3 Juli yang berjudul “Penilaian sesudah satu tahun Kabinet Kerdja, Komposisi, tidak mendjamin pelaksanaan program 3 pasal, perlu segera diretul”. Pada tanggal 2 Agustus 1959, sebulan setelah penutupan, Harian Rakyat kembali terbit lagi.[5]
Pada tanggal 2 November 1959, Harian Rakyat kembali dibreidel oleh Penguasa Perang. Alasan pembredelan kali ini tidak begitu jelas. Yang terjadi atas pembredelan ini adalah diadakan aksi perluasan peredaran Harian Rakyat yang dipimpin oleh para petinggi PKI yaitu D.N. Aidit, M.H Lukman dan aktivis PKI lainnya yang langsung turun ke jalan.[5] Pada tanggal 9 Desember 1959, pembredelan Harian Rakyat terulang kembali. Alasan pembredelan karena Harian Rakyat memuat berita “tjeramah Njoto di gedung SBKA” yang diadakan pada 23 November 1959 dan dimuat pada 24 November 1959. Alasan pembredelan ini juga tidak jelas sehingga menimbulkan protes dan desakan agar Harian Rakyat diterbitkan kembali. Oleh karena banyak desakan dari berbagai pihak, Harian Rakyat dapat terbit kembali pada tanggal 23 Desember 1959.[6]
Pada tanggal 3 Februari 1961 oleh Penguasa Perang Jakarta Raya, Harian Rakyat ditutup kembali. Alasan yang diajukan untuk pembredelan adalah pemuatan sambutan ketua CC PKI D.N Aidit pada hari jadi ke-10 koran Harian Rakyat. Dalam pidatonya, Aidit mengajukan tuntutan struktur kabinet dan menyinggung masalah demokrasi serta kebebasan politik. Menurut Penguasa Perang, komentar yang muncul itu dapat mengganggu kestabilan politik di Indonesia saat itu.[7]
Akhir
Setelah terjadi peristiwa G30S pada 2 Oktober 1965, Harian Rakjat terbit kembali dengan menurunkan kepala berita "Letkol Untung Bataljon Tjakrabirawa Menjelamatkan Presiden dan RI dari kup Dewan Djendral", yang kelak menjadi edisi terakhirnya. Harian Rakyat bertekuk lutut dan berhenti terbit keesokan harinya. Tidak hanya bubar, semua anggota partai dan aktivis yang mendukung Harian Rakyat diburu, ditangkap, dipenjarakan dan dibunuh.[8] Kata-kata terakhir dari redaksi Harian Rakyat kepada para pembacanya ialah “Banyak-banyak terimakasih, sekalian para pembaca!” [7]
Ideologi dan Aliran Jurnalisme
Aliran jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakyat adalah jurnalisme konfrontasi dengan bahasa yang meledak, tembak langsung dan pukul di tempat.[2] Garis politik redaksi yang ditarik Harian Rakyat adalah konfrontasi maka sering terjadi konflik dan pertentangan dengan media massa lain.[2][9] Secara sederhana, Harian Rakyat selalu menunjukkan sikap berani dan ofensif terhadap lawan-lawannya. Gaya bahasa yang digunakan hemat, lincah, dan terus terang sesuai dengan ajaran Marxisme dan Leninisme. Bahasa yang hemat, lincah dan terus terang itu mudah dimengerti petani dan buruh yang menjadi basis massa Partai Komunis Indonesia (PKI).[10]
Harian Rakyat dapat dikatakan sebagai barisan pembela Manifesto Politik (Manipol) Soekarno. Ketika koran beraliran kanan atau konservatif tidak terlalu memikirkan tentang Manipol Soekarno, Harian Rakyat ampil ke depan menjadi corong propaganda Manipol, anti imperialis, dan menganggap koran-koran kanan telah menghina Soekarno karena tidak mendukung Manipol.[11] Harian Rakyat berpendirian tidak akan mencetak yang bertentangan dengan cita-cita revolusi. Secara sederhana dalam pertentangan antara sosialisme dan kapitalisme, Harian Rakyat lebih memilih sosialisme. Antara demokrasi terpimpin dan demokrasi liberal, Harian Rakyat lebih berpihak pada demokrasi terpimpin.[12]
Rujukan
- ^ Taufik Rahzen, dkk. 2007, hlm. 699.
- ^ a b c Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 77.
- ^ "Harian Rakjat: Di Bawah Pukulan dan Sabetan Palu Arit", Jurnal Nasional, Senin, 23 Jul 2007
- ^ Taufik Rahzen, dkk. 2007, hlm. 700.
- ^ a b Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 98.
- ^ Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 99.
- ^ a b Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 100.
- ^ Arif Zulkifi, dkk. 2014, hlm. 46.
- ^ Sekretariat Negara Republik Indonesia 1994, hlm. 32.
- ^ Arif Zulkifi, dkk. 2014, hlm. 43.
- ^ Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 78.
- ^ Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan 2008, hlm. 79.
Daftar pustaka
- Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan (2008). Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merekasumba.
- Sekretariat Negara Republik Indonesia (1994). Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
- Taufik Rahzen, dkk. (2007). Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007). Yogyakarta: I.Boekoe.
- Arif Zulkifi, dkk. (2014). Seri Buku Tempo: Lekra dan Geger 1965. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.