Songket Pandai Sikek: Perbedaan antara revisi
kTidak ada ringkasan suntingan |
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
||
Baris 134: | Baris 134: | ||
== Daftar pustaka == |
== Daftar pustaka == |
||
* {{cite journal|last=Christyawaty|first=Eny|date=Juni 2011|title=Kontinuitas Pola Pewarisan Seni Menenun Songket di Nagari Pandai Sikek, Tanah Datar|url=https://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/284/230|journal=Patanjala|volume=3|issue=2|pages=210–226|doi=10.30959/patanjala.v3i2.284|issn=|ref={{sfnref|Christyawaty|2011}}|url-status=live}} |
* {{cite journal|last=Christyawaty|first=Eny|date=Juni 2011|title=Kontinuitas Pola Pewarisan Seni Menenun Songket di Nagari Pandai Sikek, Tanah Datar|url=https://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/284/230|journal=Patanjala|volume=3|issue=2|pages=210–226|doi=10.30959/patanjala.v3i2.284|issn=|ref={{sfnref|Christyawaty|2011}}|url-status=live|access-date=2020-09-17|archive-date=2018-12-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20181221083404/http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/download/284/230|dead-url=yes}} |
||
* {{cite journal|last=Devi|first=Silvia|date=2015|title=Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek|url=https://media.neliti.com/media/publications/103002-ID-sejarah-dan-nilai-songket-pandai-sikek.pdf|journal=Jurnal Ilmu Sosial Mamangan|volume=2|issue=1|pages=17–28|doi=|issn=|ref={{sfnref|Devi|2015}}|url-status=live}} |
* {{cite journal|last=Devi|first=Silvia|date=2015|title=Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek|url=https://media.neliti.com/media/publications/103002-ID-sejarah-dan-nilai-songket-pandai-sikek.pdf|journal=Jurnal Ilmu Sosial Mamangan|volume=2|issue=1|pages=17–28|doi=|issn=|ref={{sfnref|Devi|2015}}|url-status=live}} |
||
* {{cite journal|last=Erza, E.K., Yusup, P.M.,dan Erwina, W.|first=|date=Desember 2017|title=Komunikasi budaya masyarakat Pandai Sikek dalam melakukan transformasi pengetahuan lokal|url=http://jurnal.unpad.ac.id/jkip/article/download/10716/8170|journal=Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan|volume=5|issue=2|pages=141–154|doi=|issn=2540-9239|ref={{sfnref|Erza, Yusup, dan Erwina|2017}}|url-status=live}} |
* {{cite journal|last=Erza, E.K., Yusup, P.M.,dan Erwina, W.|first=|date=Desember 2017|title=Komunikasi budaya masyarakat Pandai Sikek dalam melakukan transformasi pengetahuan lokal|url=http://jurnal.unpad.ac.id/jkip/article/download/10716/8170|journal=Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan|volume=5|issue=2|pages=141–154|doi=|issn=2540-9239|ref={{sfnref|Erza, Yusup, dan Erwina|2017}}|url-status=live}} |
Revisi per 25 Mei 2021 03.23
Songket Pandai Sikek adalah kain songket khas Pandai Sikek, Sumatera Barat. Bahan pembuatannya adalah benang berwarna emas dan perak. Pola motifnya terbagi menjadi dua jenis yaitu cukie dan sungayang.[1] Songket Pandai Sikek memiliki tiga motif wajib yaitu motif pohon pinang, motif biji bayam, dan motif jalinan lidi.[2] Kainnya terbagi menjadi dua yaitu kain dengan motif yang jelas dan kain dengan warna dasar yang jelas. Warna dasar kainnya adalah hitam, merah, dan kuning. Ketiganya melambangkan kaum adat, cendekiawan, dan ulama.[3] Keahlian menenun Songket Pandai Sikek diwariskan secara turun-temurun.[4] Pengetahuan tentang cara menenunnya berasal dari Tiongkok Daratan yang kemudian menyebar hingga ke Pandai Sikek pada abad ke-16 Masehi.[5] Songket Pandai Sikek digunakan sebagai cendera mata dan pakaian pengantin pada upacara pernikahan adat Minangkabau.[6]
Sejarah
Pengetahuan mengenai pembuatan Songket Pandai Sikek merupakan perkembangan dari pengetahuan mengenai pembuatan kain tenun yang berasal dari Tiongkok Daratan. Cara menenun ini kemudian menyebar ke Kerajaan Siam di Thailand. Setelahnya, pengetahuan ini meluas ke kerajaan-kerajaan lain di Semenanjung Malaya, yaitu Selangor, Kelantan, Trengganu dan Brunei. Pengetahuan menenun dari Selangor kemudian menyebar ke pulau Sumatera yaitu ke Silungkang, Siak dan Palembang. Dari Silungkang, cara menenun kemudian dikenal oleh masyarakat Pandai Sikek pada abad ke-16 Masehi.[5]
Motif
Songket Pandai Sikek memiliki dua pola motif, yaitu cukie dan sungayang. Cukie digunakan pada bagian-bagian kain seperti tepi kain, kepala kain, badan kain, dan pembatas antara dua motif. Penamaan cukie didasari oleh nama kain tua yang hanya digunakan saat upacara adat. Sedangkan Sungayang adalah pola motif yang menutupi seluruh kain songket.[7] Songket Pandai Sikek memiliki tiga jenis motif wajib dalam keperluan adat maupun penggunaan sehari-hari. Ketiganya yaitu motif pohon pinang, motif biji bayam, dan motif jalinan lidi. Motif-motif ini menjadi ciri khas yang membedakan Songket Pandai Sikek dengan Songket dari daerah lain di Minangkabau.[2]
Kain yang digunakan untuk membuat Songket Pandai Sikek terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kain yang dipenuhi oleh motif sehingga warna dasarnya tidak terlihat dengan jelas. Kain ini menggunakan benang berwarna emas. Kedua, kain yang motifnya hanya pada bagian tertentu, sehingga warna dasarnya terlihat jelas. Motifnya menyerupai gambaran bintang di langit. Pada acara adat, Songket Pandai Sikek yang digunakan harus berwarna dasar merah dan hitam dengan motif berwarna kuning keemasan. Warna dasar merah untuk pengantin perempuan, sedangkan warna dasar hitam untuk pengantin laki-laki. Warna kuning melambang keagungan, ketenaran, tutur kata yang benar dan menempuh jalan yang benar. Warna merah melambangkan keberanian dan kesanggupan menghadapi cobaan hidup. Sedangkan warna hitam melambangkan keabadian. Perpaduan ketiga warna ini juga melambangkan tiga penguasa dalam masyarakat Minangkabau yaitu kaum adat (hitam), cendekiawan (merah), dan ulama (kuning).[3]
Pembuatan
Bahan dan alat
Songket Pandai Sikek dibuat dengan bahan dasar berupa benang lungsin. Bahan pembuat hiasannya adalah benang emas atau benang perak.[8] Alat tenun yang digunakan untuk membuatnya yaitu:[9]
Nama alat | Jenis Peralatan | Kegunaan |
---|---|---|
Panta | Peralatan utama | Tempat duduk penenun |
Paso | Peralatan utama | Penggulung kain |
Suri | Peralatan utama | Kawat perentang benang |
Karok | Peralatan utama | Benang nilon perentang benang |
Penggulung benang | Peralatan utama | Penggulung benang yang terentang |
Arang babi | Peralatan utama | Penyangga penggulung benang |
Kaminggang | Peralatan utama | penyangga panta |
Tijak-tijak | Peralatan utama | Perapat benang |
Atua kawa | Peralatan utama | Tempat masuknya karok |
Kudo-kudo | Peralatan utama | Pengikat karok |
Tandayan | Peralatan utama | Tali karok |
Langan-langan | Peralatan utama | Penggantung tandayan |
Pakan | Peralatan utama | Benang dasar kain Songket |
Palapah | Peralatan utama | Bilah bambu penyangga kain |
Pancukia | Peralatan utama | Membentuk motif |
Sangka | Peralatan utama | Penyangga kain |
Lidi | Peralatan utama | Membentuk motif |
Turak | Peralatan utama | Pemindah benang |
Kasali | Peralatan utama | Penggulung benang |
Tungau | Peralatan utama | Pemindah benang |
Kincia | Peralatan bantu | Penggulung benang |
Ulang-aliang | Peralatan bantu | Perentang benang |
Palapah bayam | Peralatan bantu | Pelurus benang kusut |
Daluang | Peralatan bantu | penyimpan lidi |
Teknik pembuatan
Benang emas pada Songket Pandai Sikek dihasilkan melalui teknik pakan tambahan. Caranya dengan menyungkit beberapa helai benang lungsi sesuai dengan ukuran motif yang diinginkan. Benang emas kemudian dimasukkan bersama dengan benang pakan secara silang. Songket Pandai Sikek memiliki teknik tambahan yang disebut tuhuak. Teknik ini mampu membuat Songket Pandai Sikek dengan kualitas yang beragam. Cara melakukannnya adalah dengan memasukan beberapa helai benang di antara jungkitan benang lungsi. Pengelompokan Tuhuak disesuaikan dengan jumlah benang pakan yang berada di antara benang lungsi. Masyarakat Pandai Sikek biasanya memasukkan dua, empat, atau enam benang pakan di antara benang lungsi.[3]
Penggunaan
Songket Pandai Sikek digunakan sebagai cendera mata pada upacara pernikahan adat Minangkabau. Kedua mempelai harus menggunakannya selama acara pernikahan. Selain itu, para pengiring pengantin juga harus mengenakan Songket Pandai Sikek.[6]
Pewarisan
Pewarisan pengetahuan mengenai pembuatan Songket Pandai Sikek hanya dilakukan kepada anak perempuan.[10] Pembelajaran cara menenun mulai dilakukan ketika anak perempuan berusia delapan tahun dan berakhir setelah ia berusia dua belas tahun.[11] Cara pembuatan Songket Pandai Sikek diwariskan secara turun temurun kepada masyarakat Pandai Sikek. Pewarisan keterampilan menenun ditugaskan kepada setiap anggota keluarga, kerabat, maupun masyarakat Pandai Sikek. Ahli waris yang diutamakan ialah penduduk asli Pandai Sikek. Para pendatang yang telah lama menetap juga dapat mewarisi keterampilan ini jika telah memperoleh pengakuan dari masyarakat. Selain itu, pendatang yang menikah dengan warga asli juga dapat menjadi ahli waris.[4]
Ahli waris yang akan memperoleh pengetahuan tentang keterampilan menenun harus menyiapkan mahar berupa beras satu gantang, uang, sirih, pinang, rangkaian bunga, dan sebatang rokok. Beras melambangkan bahwa menenun merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk memperoleh kebutuhan hidup. Sirih melambangkan sikap ramah tamah dan permohonan persetujuan kepada tuan rumah untuk memulai sesuatu. Sedangkan uang melambangkan bahwa suatu pekerjaan akan memperoleh hasil sesuai dengan yang dikerjakannya.[12]
Pewarisan pengetahuan tentang cara menenun Songket Pandai Sikek ditentukan oleh kedekatan antara pemberi warisan dan ahli waris. Jika keduanya tinggal dalam satu rumah, maka pewarisan akan dilakukan secara menyeluruh. Sedangkan jika keduanya tidak memiliki hubungan keluarga ataupu tinggal serumah, maka yang diwariskan hanyalah tentang pembuatan motif.[13] Masyarakat Pandai Sikek menjadikan Songket Pandai Sikek sebagai harta pusaka yang diwariskan oleh leluhur mereka. Karenanya, ada larangan pewarisan cara memenunnya ke masyarakat lain. Masyarakat Pandai Sikek meyakini bahwa orang yang melanggar larangan ini akan mengalami kerugian dan musibah.[14]
Referensi
- ^ Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2018). Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 Buku Dua (PDF). Jakarta: Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 271.
- ^ a b Yandri 2014, hlm. 30.
- ^ a b c Yandri 2014, hlm. 31.
- ^ a b Christyawaty 2011, hlm. 221.
- ^ a b Devi 2015, hlm. 21–22.
- ^ a b Yandri 2014, hlm. 33.
- ^ Devi 2015, hlm. 26.
- ^ Devi 2015, hlm. 23.
- ^ Devi 2015, hlm. 23–24.
- ^ Erza, Yusup, dan Erwina 2017, hlm. 142.
- ^ Christyawaty 2011, hlm. 220.
- ^ Christyawaty 2011, hlm. 222.
- ^ Erza, Yusup, dan Erwina 2017, hlm. 146–147.
- ^ Christyawaty 2011, hlm. 223.
Daftar pustaka
- Christyawaty, Eny (Juni 2011). "Kontinuitas Pola Pewarisan Seni Menenun Songket di Nagari Pandai Sikek, Tanah Datar". Patanjala. 3 (2): 210–226. doi:10.30959/patanjala.v3i2.284. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-12-21. Diakses tanggal 2020-09-17.
- Devi, Silvia (2015). "Sejarah dan Nilai Songket Pandai Sikek" (PDF). Jurnal Ilmu Sosial Mamangan. 2 (1): 17–28.
- Erza, E.K., Yusup, P.M.,dan Erwina, W. (Desember 2017). "Komunikasi budaya masyarakat Pandai Sikek dalam melakukan transformasi pengetahuan lokal". Jurnal Kajian Informasi & Perpustakaan. 5 (2): 141–154. ISSN 2540-9239.
- Yandri (2014). "Tenun Songket Pandai Sikek dalam Budaya Masyaraat Minangkabau". Humanus. 13 (1): –. doi:10.24036/jh.v13i1.4094. ISSN 2528-3936.