Lompat ke isi

Pabrik Gula Djatiroto: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 24: Baris 24:


Perkembangan berikutnya berdasarkan ketentuan [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) tahun [[1949]], perkebunan-perkebunan milik asing harus dikembalikan ke Indonesia, karena itu perkebunan milik pemerintah kolonial. Belanda diambil alih oleh pemrintah Republik Indonesia, termasuk pula perusahaan milik asing yang tidak dikelola lagi oleh pemiliknya. Pada bulan [[Desember]] 1957 perdana menteri atau menteri pertahanan waktu itu dijabat [[Djoeanda Kartawidjaja]] selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan peraturan yang menempatkan bahwa semua perkebunan Belanda di bawah Republik Indonesia. Kemudian memberi wewenang kepada menteri pertanian yaitu [[Soedjarwo]] untuk mengadakan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan perusahaan perkebunan milik Belanda.
Perkembangan berikutnya berdasarkan ketentuan [[Konferensi Meja Bundar]] (KMB) tahun [[1949]], perkebunan-perkebunan milik asing harus dikembalikan ke Indonesia, karena itu perkebunan milik pemerintah kolonial. Belanda diambil alih oleh pemrintah Republik Indonesia, termasuk pula perusahaan milik asing yang tidak dikelola lagi oleh pemiliknya. Pada bulan [[Desember]] 1957 perdana menteri atau menteri pertahanan waktu itu dijabat [[Djoeanda Kartawidjaja]] selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan peraturan yang menempatkan bahwa semua perkebunan Belanda di bawah Republik Indonesia. Kemudian memberi wewenang kepada menteri pertanian yaitu [[Soedjarwo]] untuk mengadakan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan perusahaan perkebunan milik Belanda.

=== Nasionalisasi ===
Setelah Indonesia merdeka, masalah perkebunan pada level nasional juga mulai masuk dalam pembahasan. Menteri Kemakmuran [[Ir. Darmawan Mangunkusumo]] pada [[Februari]] [[1946]] memprakarsai konferensi ekonomi yang salah satu temanya membahas masalah status dan administrasi perkebunan. Masalah ini turut dibicarakan dalam konferensi ekonomi di [[Kota Surakarta|Surakarta]] pada [[Mei]] 1946, termasuk upaya rehabilitasi pabrik gula. Menteri Kemakmuran A.K. Gani menindaklanjuti dua konferensi tersebut dengan berinisiatif membentuk Badan Perancang Ekonomi yang bertugas menyusun rencana pembangunan ekonomi jangka pendek (2–3 tahun) dan jangka panjang (Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun). Namun, usaha itu tidak segera dapat dilaksanakan karena kondisi sosial-politik di Indonesia kembali tidak stabil akibat Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947–5 Agustus 1947.

Pemerintah Indonesia sendiri di sisi lain berhasil mengambil alih beberapa perusahaan Belanda di bawah pengawasan militer sejak Desember 1957. Pada 1957, dikeluarkan Undang-Undang Nasionalisasi No. 8 tahun 1957 tanggal 10 Desember 1957 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/57 tahun 1957 yang menyatakan bahwa semua perusahaan Belanda, termasuk perkebunan dan pabrik gula, semuanya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tujuan utama nasionalisasi tersebut adalah mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produktivitas pendapatan negara. Hal inilah yang mengakibatkan lebih dari 500 perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia telah berada di bawah pengawasan militer Indonesia, termasuk PG Djatiroto.

Peristiwa nasionalisasi bagi bangsa Indonesia merupakan usaha untuk mengembalikan aset-aset negara yang masih dikuasai oleh pihak asing, khususnya Belanda. Latar belakang peristiwa ini adalah memburuknya hubungan diplomatik Belanda dengan Indonesia pasca penundaan kembali pembahasan mengenai Irian Barat. Menurut catatan Wijanarko dan Muryadi, pemerintah Indonesia melakukan langkah nasionalisasi sepihak kepada seluruh aset perusahaan dan industri ini sejak 3 Desember 1957.

Secara formal, untuk melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 86 tahun 1958, diperlukan lembaga yang mengatur dan mengawasi jalannya nasionalisasi tersebut. Terkait dengan hal itu, pemerintah Indonesia kemudian membentuk Badan Nasionalisasi yang memiliki tujuan menjamin pengelolaan aset ekonomi nasional yang diperoleh melalui proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.

Penyerahan PG Djatiroto dari pihak Belanda kepada Indonesia tertuang dalam Surat Pemerintahan Militer No. SPPKM/016/12/1957 dan sebagai pelaksana pengambilalihan dilakukan oleh masing-masing pihak. Pihak Belanda diwakili oleh Grit Van Lietje dan Schipolt yang menjabat sebagai administratur PG Djatiroto, sedangkan dari pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Soekandar, dan Mochtar Effendi (pegawai PG Djatiroto). Menteri Pertanian Soedjarwo lantas mengangkat R. Moeljono Hadipoero sebagai administratur pertama PG Djatiroto.

Bersamaan dengan pengambilalihan pabrik tersebut, banyak pegawai PG Djatiroto yang berasal dari Belanda kembali ke negaranya. Hal ini menyebabkan kurangnya tenaga ahli yang berpengalaman dari Indonesia sendiri. Selain itu, kesulitan lain yang muncul adalah pasar baru penjualan hasil produksi di luar negeri, serta onderdil mesin yang biasanya didatangkan dari Belanda. Pemerintah Indonesia akhirnya membentuk BPUPPN (Badan Pimpinan Umum Pusat Perusahaan Negara) pada 1961 yang bertugas mengelola semua perkebunan bekas Belanda dan mengadakan pembaruan berencana dengan membuat onderdil di dalam negeri sendiri. BPUPPN sempat dihapus dan diganti namanya menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) pada April 1986 dikarenakan kinerjanya kurang berhasil saat itu. PG Djatiroto selanjutnya berada di bawah pengelolaan PNP XXIV-XXV. Namun, PNP XXIV-XXV diubah bentuknya menjadi perusahaan perseroan pada 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1975.

Sebagai upaya mengatasi permasalahan impor gula, pemerintahan Soeharto kemudian mengeluarkan kebijakan program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) untuk meningkatkan produksi gula pada 1975. Kebijakan ini didasarkan pada Instruksi Presiden No. 9 tahun 1975. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, PG Djatiroto sejak tahun 1978 telah meningkatkan kapasitas gilingnya, yaitu dari 2.400 TTH menjadi 4.800 TTH. Seiring dengan peningkatan kapasitas gilingnya, PG Djatiroto pada tahun berikutnya meningkatkan produksi spiritus dan alkohol dengan membangun pabrik bernama PASA II. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi sebesar 15.000 liter spiritus dan alkohol per hari.

Berdasarkan penelitian bersama yang dilakukan oleh Harnoko, kapasitas giling PG Djatiroto terus ditingkatkan hingga mencapai kapasitas giling sebesar 6.000 TTH. Pasokan tebu yang diperoleh tidak hanya berasal dari lahan HGU saja, tetapi juga tebu dari rakyat. Selanjutnya, setiap tahun selalu diadakan inovasi peralatan proses maupun efisiensi perusahaan, sehingga kapasitas gilingnya mencapai 7.000 TTH.


== Lihat pula ==
== Lihat pula ==

Revisi per 16 Juni 2021 22.43

Pabrik Gula Djatiroto adalah pabrik gula yang didirikan pada awal abad XX oleh Perkumpulan Dagang Amsterdam atau disebut Handelsvereeniging Amsterdam (H.V.A), Perkumpulan dagang ini memiliki kantor perwakilan di Surabaya. Pabrik Gula Djatiroto pada masa kolonial menjadi salah satu pabrik gula yang paling modern di Jawa Timur.

Dalam perkembangannya Pabrik Gula Djatiroto mengalami pasang surut sejak berdiri hingga sekarang. Pada masa perang kemerdekaan Pabrik Gula Djatiroto ditangani oleh suatu badan yang bernama Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan berada di bawah naungan PT. Perkebunan Nusantara XI Jawa Timur. Kemudian pada tahun 1957 industri gula yang ada di Indonesia oleh pemerintah Indonesia dilakukan nasionalisasi dan diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia.

Tahun 1961 pemerintah Republik Indonesia membentuk badan baru untuk mengganti BPPGN menjadi Badan Pimpinan Umum Perusahaan Gula Negara dan Karong Goni. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1968 menjadi Perusahaan Negara Perkebunan dan Pabrik Gula Djatiroto berada di bawah PNP XXIV yang berkantor pusat di Surabaya.

Pada 1974, terjadi pengalihan bentuk dari perusahaan negara menjadi perusahaan perseroan perkebunan. Kemudian pada 1975 lahir Inpres no. 9 tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Sistem TRI merupakan suatu peristiwa penting bagi sejarah pergulaan dan kehidupan petani gula di Indonesia. Perpindahan sistem itu secara resmi berlaku sejak 22 April 1975. Dengan demikian Inpres tersebut merupakan dasar hukum bagi pelaksanaannya. Sistem TRI ini diharapakan pada akhir pelita II harus sudah dapat menggantikan sitem yang telah berlalu sebelumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1979 seluruh pabrik gula di Jawa sudah tidak diperkenankan lagi menyewa tanah untuk tanaman tebunya termasuk Pabrik Gula Djatiroto. Dengan adanya Inpres tersebut Pabrik Gula Djatiroto harus melaksanakan sistem yang baru.

Sejarah

Sebelum nasionalisasi

Kondisi tanah di Desa Kaliboto Lor yang begitu subur dan iklim yang cocok mempunyai daya tarik yang kuat bagi pengusaha Eropa maupun Cina untuk mendirikan perkebunan tebu. Tahun 1832 mulanya orang Cina yang banyak memperoleh kesempatan untuk mendirikan perkebunan tebu. Orang-orang Cina membeli atau menyewa tanah-tanah desa untuk membuka perkebunan, terutama perkebunan tebu. Pada tahap selanjutnya Pemerintah Kolonial Hindia Belanda baru melihat manfaat gula sebagai komoditi yang penting. Sejak abad ke-18 kedudukan rempah-rempah di pasaran internasional mulai tergeser oleh gula, Hindia Belanda mulai melakukan monopoli hampir semua tanaman yang mempunyai nilai ekspor seperti; kopi, teh, karet, dan tebu. Pada masa sistem tanam paksa, tanaman tebu secara berangsur-angsur menempati posisi yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Karena terlihat menguntungkan, kemudian Belanda mengambil alih posisi orang Cina. Pemerintah Hindia Belanda membangun pabrik gula di pulau Jawa Timur dan memaksa penduduk desa untuk menjalankan pabrik gula.

Rencana pembangunan Pabrik Gula Djatiroto dimulai sejak tahun 1884, oleh perusahaan swasta milik Belanda yaitu HVA (Handel Vereeniging Amsterdam). Belanda mencari lokasi yang tepat untuk mendirikan pabrik gula. Akhirnya pada tahun 1901 menemukan lokasi untuk mendirikan pabrik gula yaitu di Desa Ranupakis, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang. Belanda juga mulai melakukan penebangan hutan dan rawa-rawa di kawasan Klakah hingga selesai pada tahun 1905. Setelah penebangan hutan selesai, Belanda mulai melakukan pembangunan Pabrik Gula Ranupakis (nama pertama Pabrik Gula Djatiroto) di Desa Ranupakis. Pembangunan Pabrik Gula Ranupakis selesai tahun 1910 dan siap melakukan giling untuk pertama kalinya.

Setelah Pabrik Gula Ranupakis sudah melakukan giling ternyata masih belum mampu memenuhi pemintaan gula yang semakin meningkat di pasaran Eropa sehingga pada tahun 1912 diadakan pengembangan peningkatan kapasitas giling yang awalya 1100 TTH (Ton Tebu per hari) menjadi 2400 TTH. Dengan adanya peningkatan kapasitas giling HVA mendirikan pabrik gula lagi yaitu Pabrik Gula Djatiroto yang terletak di Desa Kaliboto Lor, Kecamatan Jatiroto tahun 1915. Djatiroto yang dipilih sebagai tempat pabrik gula yang baru untuk pengembangan Pabrik Gula Ranupakis, sebenarnya bukan daerah yang sama sekali baru untuk pabrik gula tersebut. Hal ini karena Djatiroto semula sudah menjadi daerah perkebunan untuk menanam tebu milik Pabrik Gula Ranupakis. Menurut keterangan K.H. Cholil, daerah Djatiroto tanahnya cukup banyak mengandung air. Sewaktu pembukaan daerah Djatiroto untuk pabrik gula, terjadi bedhol desa, orang-orang dari Ranupakis dibawa atau berpindah dari Kaliboto dan membuka lahan di daerah baru tersebut.

Peningkatan kapasitas giling didukung dengan mengeluarkan ordonantie sewa tanah (Gronduur ordonantie) tahun 1918 oleh Belanda. Dengan peraturan sewa tanah, perusahaan-perusahaan perkebunan memperoleh kesempatan untuk menyewa tanah rakyat dalam jangka waktu 21,5 tahun. Pabrik Gula memperoleh kesempatan menyewa tanah milik rakyat di Jatiroto setelah dikeluarkan peraturan sewa tanah. Dengan mendapat sewa tanah dan rakyat serta tanah HGU yang sebagian besar berada di Jatiroto. Pada tahun 1920 HVA menutup Pabrik Gula Ranupakis dan menggabungkan Pabrik Gula Djatiroto, dengan Pabrik Gula Djatiroto sekarang ini yang terletak di desa Kaliboto Lor. Adapun alasan penggabungan Pabrik Gula Djatiroto di Kecamatan Jatiroto yaitu tanah yang subur dibanding dengan di Klakah dengan jenis tanah aluvial, mediteran, legusol, dan latosol yang cocok untuk tanaman tebu, tenaga kerja yang mudah diperoleh dari Desa Kaliboto Lor, Kaliboto Kidul, Rojopolo, dan bahkan dari luar Kecamatan Jatiroto. Sarana transportasi yang lancar, yaitu dekat dengan jalan raya dan penyediaan air yang cukup karena dekat dengan sungai Bondoyudo yang dibuat bendungan untuk mengairi lahan tebu, sedangkan di Klakah tidak ada sungai yang mengairi lahan tebu, hanya mengandalkan air hujan saja serta keadaan dataran berupa gunung-gunung. Dengan penggabungan Pabrik Gula Ranupakis dengan Pabrik Gula Djatiroto, Pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar akibat penguasaannya terhadap Pabrik Gula Djatiroto dan pabrik gula lain yang ada di Indonesia. Sepanjang sejarah kolonial, gula menjadi sarana eksploitasi yang efektif oleh pemerintah Belanda untuk memenuhi kebutuhan pasar di Eropa sampai Jepang datang ke Indonesia.

Jepang datang ke Indonesia merebut dan menguasai semua perusahaan Belanda di bawah penguasaan militer Jepang pada masa Perang Dunia II tahun 1942-1945. Setelah pendudukan Jepang semakin kuat, mulai diadakan perubahan-perubahan pengolahan pabrik gula yang selanjutnya dilakukan oleh sebuah badan usaha Jepang bernama Taiwan Seito Kaushi Keisa. Jumlah produksi pabrik gula di Indonesia diperkirakan merosot diakibatkan berhektar-hektar tanaman tebu diganti dengan tanaman makanan seperti jagung, beras, ketela pohon dan lain sebagainya untuk kebutuhan perang Jepang dalam perang dunia ke-2 melawan sekutu. Jepang tidak lama menguasai perusahaan Belanda di Indonesia karena Jepang kalah melawan sekutu dan menyerah tanpa syarat tanggal 16 Agustus 1945. Setelah Jepang kalah melawan sekutu, Belanda datang lagi dan menguasai perusahaan-perusahaan pekebunan yang dulunya dirempas oleh Jepang.

Datangnya Belanda ke Indonesia setelah pendudukan Jepang berakhir mengadakan rehabilitasi terhadap Pabrik Gula Djatiroto dengan cara mengembalikan alih fungsi lahan sawah yang dulunya ditanami tanaman pangan dikembalikan lagi ditanami tebu. Rehabilitasi yang lain yaitu Belanda mengembangkan produksi lain sebagai hasil ikutan, yaitu pabrik spiritus dan alkohol (PASA) dan tetes dengan membangun pabrik spiritus dan alkohol yang sekarang dikenal dengan nama PASA I yang berkapasitas produksi 1000 liter spiritus dan alkohol perhari. Mulanya PASA I merupakan pabrik peninggalan Jepang yang dibangun pada tahun 1942 yang pada awalnya memproduksi aseton dan butanol (selayang pandang pabrik alkohol dan spiritus).

Kedatangan Belanda ke Indonesia setelah merdeka adalah untuk menguasai daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam. Sejak tanggal 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 Belanda melakukan agresi militer Belanda dengan fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sasaran Belanda di Sumatera Timur adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula diantaranya Pabrik Gula Djatiroto. Pada tahun 1948 Belanda mengubah PASA I beralih memproduksi alkohol atau etanol. Belanda mulai mengembangkan usahanya lagi setelah Indonesia merdeka di bidang perkebunan tebu. Hal ini memebuat pemerintah Indonesia menjadi geram untuk merampas semua perusahaan Belanda di Indonesia. Karena Indonesia yang sudah merdeka tidak diberi hak untuk mengelola hasil buminya sendiri.

Perkembangan berikutnya berdasarkan ketentuan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, perkebunan-perkebunan milik asing harus dikembalikan ke Indonesia, karena itu perkebunan milik pemerintah kolonial. Belanda diambil alih oleh pemrintah Republik Indonesia, termasuk pula perusahaan milik asing yang tidak dikelola lagi oleh pemiliknya. Pada bulan Desember 1957 perdana menteri atau menteri pertahanan waktu itu dijabat Djoeanda Kartawidjaja selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan peraturan yang menempatkan bahwa semua perkebunan Belanda di bawah Republik Indonesia. Kemudian memberi wewenang kepada menteri pertanian yaitu Soedjarwo untuk mengadakan tindakan yang dianggap perlu berkaitan dengan perusahaan perkebunan milik Belanda.

Nasionalisasi

Setelah Indonesia merdeka, masalah perkebunan pada level nasional juga mulai masuk dalam pembahasan. Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo pada Februari 1946 memprakarsai konferensi ekonomi yang salah satu temanya membahas masalah status dan administrasi perkebunan. Masalah ini turut dibicarakan dalam konferensi ekonomi di Surakarta pada Mei 1946, termasuk upaya rehabilitasi pabrik gula. Menteri Kemakmuran A.K. Gani menindaklanjuti dua konferensi tersebut dengan berinisiatif membentuk Badan Perancang Ekonomi yang bertugas menyusun rencana pembangunan ekonomi jangka pendek (2–3 tahun) dan jangka panjang (Rencana Pembangunan Sepuluh Tahun). Namun, usaha itu tidak segera dapat dilaksanakan karena kondisi sosial-politik di Indonesia kembali tidak stabil akibat Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947–5 Agustus 1947.

Pemerintah Indonesia sendiri di sisi lain berhasil mengambil alih beberapa perusahaan Belanda di bawah pengawasan militer sejak Desember 1957. Pada 1957, dikeluarkan Undang-Undang Nasionalisasi No. 8 tahun 1957 tanggal 10 Desember 1957 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/57 tahun 1957 yang menyatakan bahwa semua perusahaan Belanda, termasuk perkebunan dan pabrik gula, semuanya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Tujuan utama nasionalisasi tersebut adalah mempermudah pengelolaan dan meningkatkan produktivitas pendapatan negara. Hal inilah yang mengakibatkan lebih dari 500 perusahaan perkebunan Belanda di Indonesia telah berada di bawah pengawasan militer Indonesia, termasuk PG Djatiroto.

Peristiwa nasionalisasi bagi bangsa Indonesia merupakan usaha untuk mengembalikan aset-aset negara yang masih dikuasai oleh pihak asing, khususnya Belanda. Latar belakang peristiwa ini adalah memburuknya hubungan diplomatik Belanda dengan Indonesia pasca penundaan kembali pembahasan mengenai Irian Barat. Menurut catatan Wijanarko dan Muryadi, pemerintah Indonesia melakukan langkah nasionalisasi sepihak kepada seluruh aset perusahaan dan industri ini sejak 3 Desember 1957.

Secara formal, untuk melaksanakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan itu sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 86 tahun 1958, diperlukan lembaga yang mengatur dan mengawasi jalannya nasionalisasi tersebut. Terkait dengan hal itu, pemerintah Indonesia kemudian membentuk Badan Nasionalisasi yang memiliki tujuan menjamin pengelolaan aset ekonomi nasional yang diperoleh melalui proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda.

Penyerahan PG Djatiroto dari pihak Belanda kepada Indonesia tertuang dalam Surat Pemerintahan Militer No. SPPKM/016/12/1957 dan sebagai pelaksana pengambilalihan dilakukan oleh masing-masing pihak. Pihak Belanda diwakili oleh Grit Van Lietje dan Schipolt yang menjabat sebagai administratur PG Djatiroto, sedangkan dari pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Soekandar, dan Mochtar Effendi (pegawai PG Djatiroto). Menteri Pertanian Soedjarwo lantas mengangkat R. Moeljono Hadipoero sebagai administratur pertama PG Djatiroto.

Bersamaan dengan pengambilalihan pabrik tersebut, banyak pegawai PG Djatiroto yang berasal dari Belanda kembali ke negaranya. Hal ini menyebabkan kurangnya tenaga ahli yang berpengalaman dari Indonesia sendiri. Selain itu, kesulitan lain yang muncul adalah pasar baru penjualan hasil produksi di luar negeri, serta onderdil mesin yang biasanya didatangkan dari Belanda. Pemerintah Indonesia akhirnya membentuk BPUPPN (Badan Pimpinan Umum Pusat Perusahaan Negara) pada 1961 yang bertugas mengelola semua perkebunan bekas Belanda dan mengadakan pembaruan berencana dengan membuat onderdil di dalam negeri sendiri. BPUPPN sempat dihapus dan diganti namanya menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan) pada April 1986 dikarenakan kinerjanya kurang berhasil saat itu. PG Djatiroto selanjutnya berada di bawah pengelolaan PNP XXIV-XXV. Namun, PNP XXIV-XXV diubah bentuknya menjadi perusahaan perseroan pada 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1975.

Sebagai upaya mengatasi permasalahan impor gula, pemerintahan Soeharto kemudian mengeluarkan kebijakan program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) untuk meningkatkan produksi gula pada 1975. Kebijakan ini didasarkan pada Instruksi Presiden No. 9 tahun 1975. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, PG Djatiroto sejak tahun 1978 telah meningkatkan kapasitas gilingnya, yaitu dari 2.400 TTH menjadi 4.800 TTH. Seiring dengan peningkatan kapasitas gilingnya, PG Djatiroto pada tahun berikutnya meningkatkan produksi spiritus dan alkohol dengan membangun pabrik bernama PASA II. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi sebesar 15.000 liter spiritus dan alkohol per hari.

Berdasarkan penelitian bersama yang dilakukan oleh Harnoko, kapasitas giling PG Djatiroto terus ditingkatkan hingga mencapai kapasitas giling sebesar 6.000 TTH. Pasokan tebu yang diperoleh tidak hanya berasal dari lahan HGU saja, tetapi juga tebu dari rakyat. Selanjutnya, setiap tahun selalu diadakan inovasi peralatan proses maupun efisiensi perusahaan, sehingga kapasitas gilingnya mencapai 7.000 TTH.

Lihat pula

Keterangan

Rujukan

Daftar pustaka

Buku

  • Harnoko, Darto, dkk (2018). Pabrik Gula Djatiroto: Kajian Industri Gula 1958–1980. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta. ISBN 978-979-8971-85-3. 

Buku terbitan lama

  • Anonim (2000). Selayang Pandang Pabrik Alkohol dan Spiritus Djatiroto. Lumajang: Pabrik Gula Djatiroto. 
  • Anonim (2007). Selayang Pandang Pabrik Gula Djatiroto. Lumajang: Pabrik Gula Djatiroto. 

Pranala luar