Estetika agama: Perbedaan antara revisi
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 47: | Baris 47: | ||
Tokoh lain yang membincangkan estetika seni (Islam) adalah intelektual dari Iran Syyid Husein Nasr (1933). Ia adalah pemikir yang membagi atau mengklasifikasikan seni dalam Islam. Nasr membagi seni Islam menjadi: seni suci. Lawannya adalah seni profan, di seberang lain ada juga seni tradisional, anti-tesisnya adalah anti-tradisional. Dan ketiga adalah seni relijius. (soleh, 2004 : 322-323). Menurut penjelasan Pak Fahuruddin, seni suci adalah seni nan sakral yang itu berhubungan dengan agama. Lawannya adalah seni profan. Seni yang tidak berkaitan dengan agama sama sekali. Sementara seni tradisonal adalah seni yang hakikatnya profan, tetapi mengispirasi penikmatnya untuk menghayati Sang Pencipta. Contoh: pedang yang dibuat pada abad pertengahan dalam agama Kristen dan Islam tidak pernah digunakan untuk ritual-riotual keagamaan. Sementara pedang Shinto di kuil I Se Jepang dijadikan media ritual dalam agama Shinto. Pedang Islam atau Kristen inilah yang disebut seni tradisional, sementara pedang Shinto itu adalah seni suci/sakral (Soleh, 2004:322-323). Adapun seni relijius adalah seni yang obyek atau fungsinya bertemu keagamaan, tetapi bentuk dan cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Contohnya adalah lukisan-lukisan relijius abad pertengahan (Solhe, 2004:323). |
Tokoh lain yang membincangkan estetika seni (Islam) adalah intelektual dari Iran Syyid Husein Nasr (1933). Ia adalah pemikir yang membagi atau mengklasifikasikan seni dalam Islam. Nasr membagi seni Islam menjadi: seni suci. Lawannya adalah seni profan, di seberang lain ada juga seni tradisional, anti-tesisnya adalah anti-tradisional. Dan ketiga adalah seni relijius. (soleh, 2004 : 322-323). Menurut penjelasan Pak Fahuruddin, seni suci adalah seni nan sakral yang itu berhubungan dengan agama. Lawannya adalah seni profan. Seni yang tidak berkaitan dengan agama sama sekali. Sementara seni tradisonal adalah seni yang hakikatnya profan, tetapi mengispirasi penikmatnya untuk menghayati Sang Pencipta. Contoh: pedang yang dibuat pada abad pertengahan dalam agama Kristen dan Islam tidak pernah digunakan untuk ritual-riotual keagamaan. Sementara pedang Shinto di kuil I Se Jepang dijadikan media ritual dalam agama Shinto. Pedang Islam atau Kristen inilah yang disebut seni tradisional, sementara pedang Shinto itu adalah seni suci/sakral (Soleh, 2004:322-323). Adapun seni relijius adalah seni yang obyek atau fungsinya bertemu keagamaan, tetapi bentuk dan cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Contohnya adalah lukisan-lukisan relijius abad pertengahan (Solhe, 2004:323). |
||
== Tuhan itu indah == |
|||
{{sedang ditulis}} |
|||
Filsuf yang tak ketinggalan bicara estetika adalah ahli hikmah yang juga sufi terbesar Islam, Al-Ghazali (1058-1111). Ia membagi keindahannya, seperti dijelaskan Pak Fahruddin, ke dalam hierarki atau tingkatan. Yang pertama adalah level keindahan indrawi. Sifatnya luar atau fisik semata. Kemudian ada level emotif. Level yang berhubungan dengan emosi, atau imajinasi. Ia berkait dengan rasa yang ada dalam diri manusia. |
|||
Selanjutnya ada level rasional dan ilahiyyah. Keindahan rasional berkaitan dengan akap pikiran atau ilmu pengetahuan. Sementara keindahan puncak versi Ghazali adalah keindahan ilahiyyah. Pemenyatuan dengan Tuhan. Di sinilah keindahan yang paling hakiki. |
|||
Dengan penjabaran seperti ini, maka menurut Ghazali fungsi spiritual dalam Islam adalah ''tawajjud''. Seni yang membawa penikmat-penikmat seni mencapai ''mutmainnah'' dan menyatu dengan keabadian (Fahruddin Faiz, kajian filsafat MJS). |
|||
Sebagai pemungkas kata, beginilah rupa makhluk yang bernama ''estetika'' itu. Ia adalah bagian kehidupan yang tidak bisa lepas dari diri manusia. Manusia tanpa jiwa estetika tidak bisa diangga sebagai manusia. Serupa seperti makhluk-Nya, Tuhan juga mempunyai dimensi dalam dirinya. Lihatlah alam semesta beserta isinya, sangat estetis, bukan! Sebagai penutup kalam, Tuhan itu indah, maka ia menyukai keindahan. ''Wallahu a’lam bi al-shawab.''{{sedang ditulis}} |
Revisi per 4 Juli 2021 14.50
Puja dan puji bagi Allah sendiri. Penyempurna segala alam perwujudan/Penuh kasih, penuh ampunan/Raja Hari Keputusan/Cuma Pada-Mu kami semua sembah menghadap/Cuma pada-Mu kami semua palingkan harap/Bimbinglah kami ke lebuh lempang/Menjejaki siapa telah Kauberi hati/Buan yang Kaudera dengan kemurkaan/Bukan yang hilang jalan (Surat al-Fatihah yang dipuisian oleh Muhammad Diponegoro dalam Ulumul Qur’an no.1. VII, 1996)
Estetika adalah salah satu penanda penting dalam filsafat. Tidak sah kiranya bicara filsafat jika bidang yang satu tidak dibincangkan. Ia terlingkup ke dalam aksiologi selain etika. Kehidupan manusia tentunya juga tak bisa lepas dari estetika. Bahkan saking pentingnya bidang yang berkutat pada indah atau tidaknya sesuatu ini, ia dianggap sebagai puncak dari agama. Agama manjadi sempurna jika estetika termaktub di dalamnya. Penjelasannya: tujuan agama adalah etika, dan tujuan etika tak lain adalah demi rasa nyaman, aman, serta tentram. Nah, rasa di sini adalah domainnya estetika (Fahruddin, Faiz, kajian filsafat Masjid Jenderal Sudirman/MJS). Dengan bahasa lain, penilaian indah natau tidaknya sesuatu itu pasti akan terus ada pada diri manusia karena potensi yang dimiliki manusia itu sendiri, bisa indra, akal ataupun hati nurani.
Estetika dalam ranah filsafat memancangkan tokoh-tokoh besarnya, di antaranya ada Shaftesbury, Reid, Hume, Socrates, juga Kant (Suseno, 2006). Yang lain Plato, atau juga mengulas bidang yang juga disebut filsafat keindahan ini. Buku pertama yang mengungkai estetika adlah karya Baum Garten, Aesthetica < 1750 > (Fahruddin Faiz, kajian filsafat MJS).
Estetika sering disebut juga dengan filsafat seni. Ya, kita tahu seni adalah hasil oleh rasa seorang seniman. Logika modern memilih seni dengan sangat reduktif. Seni dikerucutkan menjadi seni rupa (lukis dan patung), seni pertunjukan (musik, film, dan lain-lain), seni tari, dan sastra. Tentu saja banyak varian lain dari seni, misal yang kita jumpai di daerah-daerah seluruh Nusantara. Seni di pelosok negeri sungguh sangat kaya, seni anyam saja, misalnya, ditemukan yang dianyam juga beragam bisa pandan, rotan, pohon terap, dan lainnya. Belum lagi beragam ritual lain, yang itu tentu saja mengandung unsur seni di dalamnya.
Hari ini, kita sebagai penikmat seni pasti sangat terhibur dengan hasil olah sastra model Pramoedya Ananta Toer Sapardi Djoko Damono, Dewi Lestari, atau torehan-torehan ala Tere Liye. Dalam seni lukis, kita juga pasti kagum dengan sapuan di atas kanvas ala Affandi, Sudjojono, atau Joko Pekik. Begitu juga dengan kesehatan kita dari pagi hingga menjelang tidur, sebagian dari kita pasti tidak bisa lepas dari yang namanya musik. Sehingga, mengalunkan lagu-lagu Peterpan, Taylor Swift, atau Syahrini di gadget yang kita pakai. Atau bagi yang sedang jatuh cinta, berduaan di gedung bioskup adalah solusi, sebelum target mengena. Di sinilah letak betapa seni adalah hidup itu sendiri.
Nah, seni tidak bisa dilepaskan dari keindahan. Dalam kajian filsafat MJS, Pak Fahruddin menjelaskan definisi keindahan dari beberapa tokoh filsafat. Aristoteles, misalnya, mengatakan keindahan adalah suatu yang baik dan menyenangkan. Kaum Sophis mengatakan keindahan adalah apapun yang membuat senang. Sementara Hegel menyatakan, keindahan adalah identitas yang sempurna dari yang ideal dan nyata. Ditambahkan Pak Fahruddin, jika Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat bangsa kita belum mengejawantah dalam kehidupan masyarakat Indonesia, berti itu belumlah indah.
Keindahan, seperti dijelaskan dosen berperawakan kecil ini, ada parameternya, di antaranya: unity (kesatuan, keutuhan), harmony (sebagai contoh adalah keselarasan nada), symetry (terpadu, misal merah dan putih), balance, dan contrast (berbeda tapi saling mendukung). Selain parameter, ada pula nilai dari sebuah keindahan. Ada nilai intrinsik, dan ada nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada pada bandanya, sementara ekstrinsik ada pada aspek luarnya. Misalnya, si A menyukai sebuah buku karena buku tersebut berkaitan dengan seseorang di masa lalunya.
Nilai keindahan yang lain, ada juga yang disebut dengan nilai intelektual. Nilai ini berkaitan dengan teori tentang obyek yang diserap. Misalnya, sebuah patung dikatakan indah karena berkait dengan ulasan di buku tentang patung tersebut. Ada pula yang disebut nilai katarsis. Hal ini berkaitan dengan psikis seseorang, dan yang terakhir nilai ekspresi. Biasanya berkaitan dengan kepuasan senimannya, atau si pembuat karya.
Berbicara tentang estetika, tidak terlepas juga dari sejarah. Karena bagaimanapun estetika tidak muncul di ruang hampa. Ia berkutat dengan ruang dan waktu. Ia hadir dan berkelindan dengan manusia yang dianggap sebagai “pusat” kosmos. Kata Pak Fahruddin, di masa klasik, estetika berfokus pada si subyek. Masa ini, senimanlah yang menjadi pembicaraan. Sedang di era modern, si subyek digantikan oleh obyek. Obyek di sini maksudnya adalah karya si seniman, dan di zaman posmo, subyek sekaligus obyek dipadupadankan. Tidak ada lagi pemilihan antara subyek dan obyek.
Estetika tentu saja tidak bisa lepas dari tokoh besarnya. Merekalah yang membuat estetika menemukan tempatnya dalam ruang-ruang kefilsafatan. Kita mulai dari Plato, satu dari tiga filsuf terbesar selain Sang Maha Guru Socreates dan Sang Murid, Aristoteles. Plato adalah filsuf yang “bemain-main” pada dunia “Idea”. Makanya, berkait estetika, cintalah yang menjadi sumber keindahan. Cinta di sini adalah cinta diserap secara maksimal,
Level keindahan Plato, seperti diurai Pak mFahruddin, dimulai dari yang fisik (tubuh, tampilan luar), selanjutnya adalah intersubjektif (mencintai tubuh yang lain), kemudian spiritual, dan terakhir keindahan yang tak terikat aspek jasmani. Keindahan yang non-jasmani ini terkait dengan ide, misalnya sifat seseorang yang toleran dengan sesama, dan lain sebagainya.
Sementara Aristoteles setia dengan konsep realismenya. Sebagaimana kita tahu, ia adalah anti-tesis dari gurunya Plato yang mengatakan realitas itu adalah “idea”. Dalam estetika ia mengatakan bahwa seni adalah mimesis (tiruan) dari alam, benda, dan manusia. Perlu digarisbawahi, tiruan di sini adalah penciptaan yang baru, bukan meniru yang sudah ada.
Filsuf lain yang tak bisa diabaikan dalam menerka estetika tentu saja Immanuel Kant. Filsuf asal Jerman ini mengurai estetika yang disebutnya momen. Momen di sini sifatnya hierarkis. Pak Fahruddin menjelaskan, momen pertama adalah dis-interestedness (tanpa campur tangan manusia). Sebagai contoh, laut yang dilihat dari puncak gunung terlihat indah, tanpa adanya intervensi dari manusia.
Momen kedua adalah keuniversalan. Di sini tidak ada standar dalam keindahan. Sifatnya sama bagi semua orang. Misalnya, jika si A mengatakan seseorang itu jelek, sehingga si B, atau si C juga mengatakan hal yang sama. Ia tidak dibatasi budaya, agama, dan sekat-sekat kelompok lainnya. Berikutnya adalah momen esensialitas. Keterjangkauan adalah kata kuncinya. Sejauh mana manusia bisa menangkap objek estetis. Jadi, manusia menyesuaikan dengan daya (jangkau/tangkap) yang dimilikinya. Enggan kata lain, menyesuaikan dengan kemampuan. Dan yang terakhir adalah momen kebertujuan (purpose). Sebuah karya harus jelas tujuan estetikanya. Pak Fahruddin mencontohkan dengan sebuah handpone/hape. Tujuan hape adalah sebagai alat komunikasi.
Terakhir estetika perspektif Socrates. Guru semua filsuf ini meneropong estetika secara berbeda. Parameter keindahan versi Socrates, demikian Pak Fahruddin, adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhi keinginan terakhir (idealitas). Ukurannya tergantung pribadi yang menyerap. Contohnya, kata dosen bergelar doktor ini, adalah manisnya teh. Masing-masing orang punya idealitas sendiri dari manisnya secangkir teh. Jadi, ukuran manisnya sudah ada dalam pribadi masing-masing orang.
Estetika dan agama
Dalam ranah agama (Islam), estetika juga memainkan perannya. Seperti dijelaskan di atas tadi, di mana estetika adalah puncak dari agama. Dalam Islam bisa ditemukan beragam seni. Yang paling populer adalah prosa dan puisi. Puisi bahkan sudah menjadi tradisi dalam masyarakat pra Arab. Dalam berbagai literatur sering dikatakan, puisi-puisi dibacakan oleh para pujangga di istana hingga pasar yang becek. Karena itu pulalah kitab suci umat Islam, Al-Qur’an, mendapatkan inspirasinya dari syair-syair pra-Arab ini. Saking identiknya Islam dan puisi ada yang mengatakan, zaman keemasan Islam itu sama dengan zaman kesusasteraan Arab.
Sehingga dari rahim Islam, muncullah para penyair dengan nama moncer, seperti Jalaluddin Rumi, Hafiz, Abu Nawas, Ibnu Arabi (sufi sekaligus penyair), Badi’ az-Zaman al Hamdhani (1969-1008 M), Al-Mutanabbin (915-965), dan Muhammad Iqbal. Ditambah lagi hampir semua ilmuwan Islam abad pertengahan adalah penyair, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan lainnya.
Seni Islam tidak bisa lepas dari unsur moral. Ia adalah sebagai payung atau tonggak bagi ekspresi para artis. Kita bisa melihat puisi-puisinya Rumi, misalnya, ia adalah ungkapan-ungkapan ketuhanan. Dalam Islam kontemporer, tokoh yang identik dengan estetika salah satunya adalah Ismail Raji al-Faruq (1921-1986), ada juga Muhammad Iqbal (1877-1938). Kata Faruq berdasar penjelasan Pak Fahruddin, kehidupan kita sebagai orang Islam tidak hanya berhenti pada tauhid yang pengejawantahannya ada pada syahadat, tetapi ada beberapa hal lain seperti berikut :
Implikasi doktrinal. Maksudnya adalah dalam kehidupan hanya ada makhluk dan khaliq. Hidup haruslah egaliter antar sesama makhluk. Dalam agama Nasrani disebut hidup yang penuh kasih. Ada lagi implikasi ritual. Hal ini bisa kita temui dalam agama-agama. Ritual adalah aspek penting dalam agama. Dalam Islam salah satu ritual misalnya salat.
Berikut adalah implikasi intelektual. Dalam Islam, kedudukan ilmu adalah urgen. Ada beberapa dimensi yang pokok dalam Islam, yakni iman, ilmu amal, dan ihsan. Ilmu atau dalam bahasa filsafat disebut epistemologi adalah obor penerang dokomandoi oleh ilmu. Dengan bahasa sederhana, sebelum kita menjalankan ritual, ilmunya harus kita ketahui terlebih dahulu.
Yang lain, ada implikasi sosial dan implikasi estetik. Implikasi sosial yang selalu disebut-sebut dalam Al-Qur’an tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Di mana tugas manusia di muka bumi tak lain hanyalah sebagai khalifah. Kita adalah wakil Tuhan dalam menyampaikan amanah-Nya. Makhluk lain seperti malaikat, binatang, atau tumbuhan tentu saja tidak mendapat mandat yang mulia ini. Hanya manusialah yang ditunjuk oleh Tuhan untuk tugas super-suci ini.
Terkait implikasi estetika, ia disebut juga tahsiny. Implikasi ini adalah sebagai komplementer atau pelengkap. Dalam Islam, seperti dikatakan dosen yang mukim di Yogyakarta ini, disebut ihsan. Contohnya kata dosen humoris ini, ketika kita salat, salat bagi laki-laki sah asal menutup aurat dari lutut hingga pusar, walaupun tidak memakai baju. Tapi hal ini tentu saja tidaklah estetis. Ia menjadi indah jika disempurnakan dengan baju atau jubah. Di sini letak ihsan tersebut.
Tokoh lain yang membincangkan estetika seni (Islam) adalah intelektual dari Iran Syyid Husein Nasr (1933). Ia adalah pemikir yang membagi atau mengklasifikasikan seni dalam Islam. Nasr membagi seni Islam menjadi: seni suci. Lawannya adalah seni profan, di seberang lain ada juga seni tradisional, anti-tesisnya adalah anti-tradisional. Dan ketiga adalah seni relijius. (soleh, 2004 : 322-323). Menurut penjelasan Pak Fahuruddin, seni suci adalah seni nan sakral yang itu berhubungan dengan agama. Lawannya adalah seni profan. Seni yang tidak berkaitan dengan agama sama sekali. Sementara seni tradisonal adalah seni yang hakikatnya profan, tetapi mengispirasi penikmatnya untuk menghayati Sang Pencipta. Contoh: pedang yang dibuat pada abad pertengahan dalam agama Kristen dan Islam tidak pernah digunakan untuk ritual-riotual keagamaan. Sementara pedang Shinto di kuil I Se Jepang dijadikan media ritual dalam agama Shinto. Pedang Islam atau Kristen inilah yang disebut seni tradisional, sementara pedang Shinto itu adalah seni suci/sakral (Soleh, 2004:322-323). Adapun seni relijius adalah seni yang obyek atau fungsinya bertemu keagamaan, tetapi bentuk dan cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Contohnya adalah lukisan-lukisan relijius abad pertengahan (Solhe, 2004:323).
Tuhan itu indah
Filsuf yang tak ketinggalan bicara estetika adalah ahli hikmah yang juga sufi terbesar Islam, Al-Ghazali (1058-1111). Ia membagi keindahannya, seperti dijelaskan Pak Fahruddin, ke dalam hierarki atau tingkatan. Yang pertama adalah level keindahan indrawi. Sifatnya luar atau fisik semata. Kemudian ada level emotif. Level yang berhubungan dengan emosi, atau imajinasi. Ia berkait dengan rasa yang ada dalam diri manusia.
Selanjutnya ada level rasional dan ilahiyyah. Keindahan rasional berkaitan dengan akap pikiran atau ilmu pengetahuan. Sementara keindahan puncak versi Ghazali adalah keindahan ilahiyyah. Pemenyatuan dengan Tuhan. Di sinilah keindahan yang paling hakiki.
Dengan penjabaran seperti ini, maka menurut Ghazali fungsi spiritual dalam Islam adalah tawajjud. Seni yang membawa penikmat-penikmat seni mencapai mutmainnah dan menyatu dengan keabadian (Fahruddin Faiz, kajian filsafat MJS).
Sebagai pemungkas kata, beginilah rupa makhluk yang bernama estetika itu. Ia adalah bagian kehidupan yang tidak bisa lepas dari diri manusia. Manusia tanpa jiwa estetika tidak bisa diangga sebagai manusia. Serupa seperti makhluk-Nya, Tuhan juga mempunyai dimensi dalam dirinya. Lihatlah alam semesta beserta isinya, sangat estetis, bukan! Sebagai penutup kalam, Tuhan itu indah, maka ia menyukai keindahan. Wallahu a’lam bi al-shawab.