Lompat ke isi

Hukum pers: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Fuadi Zikri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Fuadi Zikri (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 75: Baris 75:
|-
|-
|Penafsiran Hukum
|Penafsiran Hukum
|Ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan fitnah masih belum diatur secara rinci dan multitafsir, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda dalam penyelesaian sengketa pers. Namun tidak membuka peluang kepada pemerintah untuk menafsirkan sesuai kehendaknya.
|Ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan fitnah masih belum diatur secara rinci dan multitafsir, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda dalam penyelesaian sengketa pers. Namun tidak membuka peluang kepada pemerintah untuk menafsirkan sesuai kehendaknya.<ref>{{Cite journal|last=Rahmawan|first=Triya Indra|date=2018|title=KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI|journal=Waskita|volume=2|issue=2|pages=11}}</ref>
|}
|}



Revisi per 7 Juli 2021 09.42

Hukum pers

Pengertian

Agar dapat memahami apa itu hukum pers, terlebih dahulu harus memahami apa itu hukum dan apa itu pers. Secara garis besar hukum pers merupakan semua peraturan perundang-undangan tertulis yang berkaitan dengan pers, terutama yang diatur dalam Undang-undang tentang Pers.[1] Hukum pers pada dasarnya digunakan untuk proses hukum terhadap karya/produk jurnalistik, dan bukan persoalan lain di luar itu.[2]

Pengertian Hukum

Terkait pengertian hukum, dari dulu hingga sekarang tidak pernah ada kesamaan pendapat di antara para sarjana tentang definisi dari hukum. Hal demikian terjadi disebabkan masing-masing memberikan definisi dari sudut pandang yang berbeda. Bahkan perbedaan tersebut berkembang menjadi semakin luas yaitu hukum itu sebagai ilmu atau bukan, kalau sebagai ilmu apakah sebagai ilmu eksakta atau ilmu humaniora dan sebagainya.[3]

Immanuel Kant memberikan defenisi bahwa hukum adalah keseluruhan syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang kemerdekaan.[4] Sementara, J.T.C. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mendefenisikan hukum sebagai peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.[4]

Dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap sarjana hukum melihat hukum sebagai sejumlah peraturan, atau kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Dalam hal ini umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah tersebut.[5]

Pengertian Pers

Istilah pers atau press berasal dari istilah latin Pressus artinya adalah tekanan, tertekan, terhimpit, padat. Pers dalam kosakata Indonesia berasal dari bahasa Belanda yang mempunyai arti sama dengan bahasa inggris “press”, sebagai sebutan untuk alat cetak.[6] Dalam Ensiklopedi Nasional Inonesia Jilid 13, pengertian pers itu dibedakan dalam dua arti. Pers dalam arti luas, adalah media tercetak atau elektronik yang menyampaikan laporan dalam bentuk fakta, pendapat, usulan dan gambar kepada masyarakat luas secara regular. Laporan yang dimakasud adalah setelah melalui proses mulai dari pengumpulan bahan sampai dengan penyiarannya. Dalam pengertian sempit atau terbatas, pers adalah media tercetak seperti surat kabar harian, surat kabar mingguan, majalah dan buletin, sedangkan media elektronik, meliputi radio, film dan televisi.[6]

Wilbur Schramm, dalam bukunya Four Theories of the Pressyang ditulis oleh Wilbur Schramm dkk mengemukakan empat teori terbesar pers, yaitu the authotarian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory. Keempat teori tersebut mengacu pada satu pengertian pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat.[6] Raden Mas Djokomono memberikan defenisi Pers adalah yang membentuk pendapat umum melalui tulisan dalam surat kabar. Pendapatnya ini yang mampu membakar semangat para pejuang dalam memperjuangkan hak hak Bangsa Indonesia masa penjajahan Belanda.[6]

Dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, yang dimaksud dengan pers ialah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.[7] Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia kata pers didefenisikan sebagai usaha percetakan dan penerbitan. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita disebut sebagai wartawan atau penyiar berita atau jurnalis yang menyampaikan berita melalui Koran, majalah, televisi, radio, dan sebagainya.[8]

Pengertian Hukum Pers

Dari dua defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum perse merupakan keseluruhan perangkat hukum yang mengatur seputar pers yang bersifat memaksa dan akan ada sanksi terhadap para pelanggar. Menurut kamus bahasa ingris, hukum pers adalah setiap undang-undang yang berkaitan dengan perizinan atau pengaturan percetakan atau penerbitan, terutama yang berkaitan dengan industri surat kabar.[9]

Hubungan pers dan hukum dapat dilihat dari dua segi, yang pertama dari segi rules atau ketentuan-ketentuan yang mengatur pers. Kedua, dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum yang dapat dikenakan kepada pers.[10] Hukum pers menjamin dan melindungi kebebasan berbicara.[11]

Sejarah

Sejarah hukum pers di dunia bermula dari terbitnya undang-undang tentang pers di negara Swedia. Pada tanggal 2 December 1766, perlemen di negara itu mengesahkan undang-undang yang sekarang diakui sebagai hukum pertama di dunia yang tentang pers. Pada undang-undang itu, lebih mendukung mendukung kebebasan pers dan kebebasan informasi. Secara sempit, undang-undang tersebut menghapuskan peran pemerintah Swedia sebagai penyensor materi cetak, dan memungkinkan kegiatan resmi pemerintah dipublikasikan. Secara lebih luas, undang-undang tersebut mengkodifikasikan prinsip—yang sejak itu menjadi landasan demokrasi di seluruh dunia—bahwa setiap warga negara suatu negara harus dapat mengekspresikan dan menyebarkan informasi tanpa rasa takut akan pembalasan.[12]

Berbicara mengenai sejarah hukum pers di Indonesia, maka penguraiannya akan berawal sejak zaman penjajahan Kolonial Belanda. Haryadi Suadi mengatakan bahwa dalam dunia pers di Indonesia, tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa orang Eropalah khususnya bangsa Belanda yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media massa yang dibuat oleh bangsa pribumi.[13]

Tekanan keras terhadap pers oleh pemerintah kolonial Belanda akhirnya dilapisi oleh produk hukum pers yang represif seperti Hatzaai Artikelen, dan Drukpers Ordonantie 1856. Hatzaai Artikelen merupakan ketentuan pidana yang dimasukan ke dalam Wetboek van Straftrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disingkat KUHP), mengatur tentang kejahatan melanggar ketertiban umum dan kejahatan melanggar kekuasaan umum. Atau sering juga disebut sebagai pasal-pasal yang mengatur perbuatan yang dapat menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian terhadap umum dan penguasa waktu itu.[14] Drukpers Ordonantie mengatur mengenai penyensoran barang-barang cetakan.[14]

Hukum Pers di Indonesia

Hukum Pers di Indonesia diatur khusus dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (disebut juga UU Pers). Tidak seperti undang-undang pada umumnya, UU Pers tidak memiliki ketentuan peraturan pelaksana berupa peraturan pemerintah. Karena sifat dari pers adalah mengatur dirinya sendiri, peraturan pelaksana dari undang-undang ini dirumuskan oleh komunitas pers dan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.

Sejarah Hukum Pers di Indonesia

Proses pembentukan UU Pers diwarnai dengan banyaknya aspirasi dari masyarakat yang menuntut kemerdekaan pers. Hal ini dikarenakan semasa pemerintahan Orde Baru kemerdekaan pers benar-benar sudah terbelenggu dengan adanya pembredelan, penyensoran dan keharusan setiap penerbitan persmemiliki SIUPP (Surat Izun Usaha Penerbitan Pers) yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketentuan mengenai SIUPP dapat diketahui dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967.[15]

Di era reformasi, masyarakat menuntut agar pemerintah benar-benar menjamin kemerdekaan pers, tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut dapat dilihat dari berbagai pemberitaan yang berkembang pada saat pembentukan UU Pers. Aspirasi dari masyarakat muncul ketika Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menggelar diskusi dengan masyarakat pers dan para pakar pada 23 Oktober 1999. Setelah menggelar diskusi dengan masyarakat, kemudian SPS merumuskan Rancangan Undang-undang (RUU) Pers sendiri. Dalam RUU tersebut, SPS dan masyarakat menuntut agar Undang-Undang Pers:

  1. Memberikan jaminan kemerdekaan pers
  2. Memberikan perlindungan terhadap wartawan
  3. Meniadakan intervensi pemerintah terhadap pers
  4. Meminimalkan ketentuan sanksi, yaitu peng- gunaan hukuman denda bagi wartawan jika pemberitaannya mengandung permusuhan, kebencian, dan fitnah, serta hukuman pidana kurungan atau penjara khusus untuk pemberitaan yang menghina suku, agama, ras, dan antargolongan(SARA)
  5. Menghapuskan “cek kosong” kemerdekaan pers, dalam artian menghapuskan pasal- pasal yang dalam pelaksanaannya masih membutuhkan peraturan pelaksana yang pada nantinya dikhawatirkan akan men- jadi “cek kosong” bagi kemerdekaan pers. (Istilah cek kosong digunakan untuk meng- gambarkan ketakutan masyarakat bahwa undang-undang pers yang akan dibentuk sama dengan UU Pokok Pers tahun 1982. Dalam UU Pokok Pers tahun 1982, meskipun disebutkan pemerintah tidak bisa membredel penerbitan pers. Tetapi pada kenyataannya, melalui peraturan menteri, SIUPP bisa dibatalkan).[15]

Setelah itu, terbentuklah Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers diundangkan pada tanggal 23 September 1999. Setelah undang-undang tersebut terbentuk, ternyata aspirasi masyarakat banyak yang dimasukkan dalam ketentuan UU Pers tersebut, diantaranya:[16]

  1. Pengaturan jaminan kemerdekaan pers
  2. Pengaturan perlindungan terhadap warta- wan, terdapat dalam Pasal 8 yang menya- takan: Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
  3. Pengaturan peniadaan intervensi pemerintah terhadap pers
  4. Pengaturan mengenai sanksi meniadakan ketentuan sanksi pidana kurungan atau penjara bagi perusahaan pers. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal18 ayat (2) dan (3)[16]
  5. Tidak ada satupun pasal dalam UU Pers yang membutuhkan peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri. Dengan kata lain Undang Undang ini menghapuskan kekhawatiran masyarakat akan adanya bentuk intervensi dari pemerintah seperti yang pernah terjadi pada era pemerintahan Orde Baru.[17]

Peran dan Fungsi Hukum Pers di Indonesia

Peran dan fungsi Hukum Pers di Indonesia tidak terlepas dari latar belakang lahirnya UU Pers. UU Pers merupakan perwujudan dari hukum pers di Indonesia. Berikut bentuk perwujudan tersebut:

  1. Pengakuan pentingnya jaminan kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat dalam rangka menciptakan masyarakat yang demokratis sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945
  2. Pengakuan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan unsur penting dalam menciptakan negara yang demokratis
  3. Pengakuan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki
  4. Jaminan pers terbebas dari tekanan pengu- asa, ada pelarangan intervensi pemerintah terhadap pers dan adanya perlindungan hukum terhadap pers;
  5. Penekanan fungsi pers sebagai alat kontrol sosial yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang tertib
  6. Penjaminan sudah tidak adanya pembre- delan dan pencabutan SIUPP.[17]

Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam UU Pers telah memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat. Tuntutan masyarakat telah diakomodir oleh undang-undang tersebut. Selain itu, merujuk pada Pasal 15 Ayat (1) sampai dengan Ayat (7), terdapat pengaturan mengenai pembentukan Dewan Pers yang bersifat inde- penden. Hal ini tentu saja memberikan peluang dalam menciptakan kemandirian kehidupan pers nasional.[18]

Karakteristik Hukum Pers di Indonesia

Indikator UU Pers
Proses Pembentukan Hukum Partisipatif, karena dalam proses pembuatan Undang- Undang, legislatif menerima aspirasi-aspirasi masyarakat dengan memasukkan aspirasi-aspirasi tersebut ke dalam UU Pers.
Pemberian Fungsi Hukum Sesuai kehendak masyarakat, karena memberikan perlindungan dan jaminan terhadap kemerdekaan pers. Ketentuan sanksi dalam UU Pers menerapkan pidana denda, bukan pidana penjara.
Penafsiran Hukum Ketentuan mengenai pencemaran nama baik dan fitnah masih belum diatur secara rinci dan multitafsir, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda dalam penyelesaian sengketa pers. Namun tidak membuka peluang kepada pemerintah untuk menafsirkan sesuai kehendaknya.[19]

Produk Hukum Pers di Indonesia

Undang-undang UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Transaksi Elektronik
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
Regulasi Peraturan Dewan Pers Nomor 3 (Standar organisasi perusahaan pers)
Peraturan Dewan Pers Nomor 5 (Standar organisasi perlindungan wartawan)
Peraturan Dewan Pers Nomor 6 (Kode etik jurnalistik)
Peraturan Dewan Pers Nomor 9 (Pedoman hak jawab)
Peraturan Dewan Pers Nomor 8 (Pedoman penyebaran media cetak dewasa)

Referensi

  1. ^ "Dewan Pers". dewanpers.or.id. Diakses tanggal 2021-06-20. 
  2. ^ Sahputra, Dedi (2020). "IMPLEMENTASI HUKUM PERS DI SUMATERA UTARA (Implementation of Press Law in North Sumatera)". DE JURE. 20 (2): 262.  line feed character di |title= pada posisi 42 (bantuan)
  3. ^ "MORALITAS HUKUM DALAM HUKUM PRAKSIS SEBAGAI SUATU KEUTAMAAN". Jurnal Hüküm dan Peradilan. 4 (3): 387. 2015. 
  4. ^ a b Syarifin, Pipin (1998). Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 21. 
  5. ^ Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2018. hlm. 4. 
  6. ^ a b c d Wahidin, Samsul (2011). Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 35. 
  7. ^ Lihat Pasal Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
  8. ^ Abdillah, Pius (2010). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Arkola. hlm. 498. 
  9. ^ "PRESS LAW | Definition of PRESS LAW by Oxford Dictionary on Lexico.com also meaning of PRESS LAW". Lexico Dictionaries | English (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-07. 
  10. ^ Manan, Bagir (2013). Kemerdekaan Pers Dalam Perspektif Pertanggungjawaban Hukum. Jurnal Dewan Pers. hlm. 11. 
  11. ^ "HUKUM & ETIKA JURNALISME" (PDF). www.ocw.upj.ac.id. Diakses tanggal 7 Juli 2021.  line feed character di |title= pada posisi 14 (bantuan);
  12. ^ "Understanding Kepler's Laws of Planetary Motion". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-05. 
  13. ^ Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat (2005). Jurnalistik, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya. hlm. 11. 
  14. ^ a b Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat (2005). Jurnalistik, Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya. hlm. 4. 
  15. ^ a b Rahmawan, Triya Indra (2018). "KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI". Waskita. 2 (2): 6. 
  16. ^ a b Rahmawan, Triya Indra (2018). "KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI". Waskita. 2 (2): 7. 
  17. ^ a b Rahmawan, Triya Indra (2018). "KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI". Waskita. 2 (2): 8. 
  18. ^ Rahmawan, Triya Indra (2018). "KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI". Waskita. 2 (2): 9. 
  19. ^ Rahmawan, Triya Indra (2018). "KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM PERS DAN PROSPEK KONSOLIDASI DEMOKRASI". Waskita. 2 (2): 11.