Kebandakhan Raja Basa (Pesisir): Perbedaan antara revisi
k Dedy Tisna Amijaya memindahkan halaman Marga Raja Basa (Pesisir) ke Kebandakhan Raja Basa (Pesisir): Memperbaiki judul |
→Pengikhan Cecobaian: Konten Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 6: | Baris 6: | ||
=== Pengikhan Cecobaian === |
=== Pengikhan Cecobaian === |
||
Menurut riwayat, dahulu pulau ini tidak berada di bawah kekuasaan Sultan |
Menurut riwayat, dahulu pulau ini tidak berada di bawah kekuasaan Sultan |
||
Banten. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang Meranai (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian ( |
Banten. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang Meranai (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian (Keramian) datang ke gunung Sepan dan mendirikan sebuah kampung. |
||
Sang Pemuda juga datang ke [[Pulau Sebesi]] dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar Pengikhan Cecobaian (ejaan dalam arsip Belanda : Pengikhan Tjetjobaian / Pengikhan Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu Kesultanan Banten belum pernah memberikan gelar Pengikhan kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pengikhan tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, dan Gugusan Krakatau kepadanya <ref name="adatrechtbundelsxxxii">Helfrich, O.L.: "[http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Adatrechtbundels XXXII: Zuid-Sumatra''"], hlm. 233-241. 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1930.</ref>. |
Sang Pemuda disebut manuk bekhuga juga datang ke [[Pulau Sebesi]] dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar Pengikhan Cecobaian (ejaan dalam arsip Belanda : Pengikhan Tjetjobaian / Pengikhan Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu Kesultanan Banten belum pernah memberikan gelar Pengikhan kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pengikhan tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, dan Gugusan Krakatau kepadanya <ref name="adatrechtbundelsxxxii">Helfrich, O.L.: "[http://sipus.simaster.ugm.ac.id/digilib/index.php?mod=book_detail&sub=BookDetail&act=view&typ=htmlext&buku_id=181119&obyek_id=1 ''Adatrechtbundels XXXII: Zuid-Sumatra''"], hlm. 233-241. 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1930.</ref>. |
||
Karena keahliannya dalam menguasai berbagai bahasa, maka nama kampung tersebut dinamai kampung ''Khaja Basa'' (Raja Basa) Lampung Selatan saat ini yang berarti Raja Bahasa <ref name="bandakhmargarajabasa" />. |
Karena keahliannya dalam menguasai berbagai bahasa, maka nama kampung tersebut dinamai kampung ''Khaja Basa'' (Raja Basa) Lampung Selatan saat ini yang berarti Raja Bahasa <ref name="bandakhmargarajabasa" />. |
Revisi per 29 Juli 2021 00.09
Kebandakhan Raja Basa (Pesisir) adalah Kebandakhan yang berada di wilayah kaki gunung Raja Basa, Kabupaten Tanggamus saat ini, Indonesia. Sejarah Kebandakhan ini diketahui sudah terbentuk sejak era kolonial Portugis abad ke-16. Saat itu masyarakat dari pulau Jawa menggunakan istilah orang Sabrang untuk menyebut orang Lampung.
Kepala Kebandakhan
Kebandakhan Raja Basa (Kebandaran Raja Basa) dikepalai oleh Kepala Kebandakhan (Belanda: Kebandakhan Hoofd). Kepala Kebandakhan berdasarkan aturan adat Kebandakhan Raja Basa, seperti halnya adat istiadat di nusantara, dipilih berdasarkan garis keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki tertua dalam bahasa Lampung disebut Anak Tuha bakas.
Pengikhan Cecobaian
Menurut riwayat, dahulu pulau ini tidak berada di bawah kekuasaan Sultan Banten. Lalu pada akhir abad ke-16 seorang Meranai (Pemuda) Lampung dari Desa Damaian (Keramian) datang ke gunung Sepan dan mendirikan sebuah kampung.
Sang Pemuda disebut manuk bekhuga juga datang ke Pulau Sebesi dan Gugusan Krakatau untuk membeli hasil lada yang ditanam warga. Sebagian dari hasil lada tersebut diserahkan oleh pemuda itu kepada Sultan Banten. Sebagai imbalannya Sultan memberikan pemuda tersebut gelar Pengikhan Cecobaian (ejaan dalam arsip Belanda : Pengikhan Tjetjobaian / Pengikhan Tjoba Tjoba), sebagai percobaan karena saat itu Kesultanan Banten belum pernah memberikan gelar Pengikhan kepada orang Sabrang (sebutan untuk orang Lampung pada masa itu). Selain gelar Pengikhan tersebut, diberikan pula hak kepemilikan atas Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, dan Gugusan Krakatau kepadanya [1].
Karena keahliannya dalam menguasai berbagai bahasa, maka nama kampung tersebut dinamai kampung Khaja Basa (Raja Basa) Lampung Selatan saat ini yang berarti Raja Bahasa [2].
Pengikhan Singa Brata ( ..... - 1883 )
Pengikhan Singa Brata (Pengikhan Singa Branta) adalah kepala Kebandakhan Raja Basa berikutnya yang tercatat. Setelah Pangeran Cecobaian wafat, hak kepemilikan atas Pulau Sebesi ini pada akhirnya diwariskan pada Pengikhan Singa Brata, yang juga menjabat sebagai Kepala Kebandakhan Raja Basa Lampung Selatan. Pengikhan Singa Brata adalah keturunan ke-18 dari Pengikhan Cecobaian. Ia juga merupakan salah satu pejuang kemerdekaan daerah Lampung yang turut membantu Raden Intan II berjuang melawan Belanda [3]. Sempat terjadi sengketa kepemilikan Pulau Sebesi dan Sebuku antara Pengikhan Singa Brata dengan seorang penduduk Teluk Betung yang bernama Haji Abdurrachman bin Ali. Haji Abdurrachman bin Ali mengajukan permintaan tertanggal 17 Juli 1848 kepada Civiele en Militaire Gezaghebber agar diperbolehkan menanam di Pulau Sebesi dan Sebuku. Hal ini diduga dilakukan untuk melemahkan perjuangan Pengikhan Singa Brata terhadap tentara Belanda. Pengikhan Singa Brata pun mengajukan keberatan pada pihak pemerintah. Lalu pemerintah Hindia - Belanda melakukan penyelidikan terhadap status hukum Pulau Sebesi dan Sebuku. Dari hasil investigasi diketahui bahwa Pengikhan Singa Brata adalah pemilik yang sah atas Pulau Sebesi dan Sebuku. Namun pada akhirnya Pengikhan Singa Brata tertangkap oleh tentara Belanda dan dibuang ke Manado, Sulawesi Utara. Untuk mengakhiri konflik, maka hak kepemilikan Pengikhan Singa Brata atas pulau ini disahkan melalui Besluit (Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia - Belanda tahun 1864. Selama masa pengasingan Pengikhan Singa Brata ke Manado, pemerintahan Kebandakhan Raja Basa dan pengelolaan tanah adat ditangani oleh para famili dari Pengikhan Singa Brata, antara lain Pangeran Warta Manggala yang tinggal di banten, Pangeran Rasa Manggala (Saudara dari Pangeran Warta Manggala), dan Dalom Mangku Minggar (tetua dalam Kebandakhan Raja Basa) Kabupaten Tanggamus saat ini[4][5].
Tahun 1879, atau 23 tahun setelah menjalani pengasingannya, Pengikhan Singa Brata dipulangkan ke Raja Basa Lampung selatan saat ini atas permintaan 14 kepala kampung di pesisir dengan jaminan bahwa Pengikhan Singa Brata tidak akan melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun 4 tahun setelah kepulangannya, tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dengan dahsyat yang memporak-porandakan wilayah pesisir gunung Raja Basa Lampung Selatan. Pengikhan Singa Brata pun ikut tewas dalam bencana ini tanpa meninggalkan keturunan[4].
Pengikhan Minak Putra (1884 - 1927 )
Tahun 1884, Muncul seorang pemuda bernama Minak Putra yang mengaku sebagai adik mendiang Pengikhan Singa Brata, lalu dia menjadi kepala Kebandakhan pengganti mendiang Pengikhan Singa Brata. Hal ini dikarenakan mendiang Pengikhan Singa Brata tidak memiliki keturunan sebagai penerusnya. Maka berdasarkan aturan dan tata cara budaya, Minak Putra diangkat menjadi Pengikhan dan meneruskan tahta sebagai kepala Kebandakhan (Anak Tuha bakas) Raja Basa Lampung Selatan dan mewarisi hak atas kepemilikan P. Sebesi, P. Sebuku, dan Gugusan Krakatau. Peristiwa pengangkatan dan peralihan hak atas kepulauan ini juga disetujui oleh Sultan Banten Pangeran Surya Kumala (Pangeran Suryo Kumolo) dan Pemerintah Hindia Belanda, dengan syarat pendirian Kebandakhan tidak boleh lagi memakai nama Raja Basa di Kalianda Lampung Selatan Saat ini. Maka Pengikhan Minak Putra pun memilih menggunakan nama Marga Teluk Peminggir. Kemudian hal ini dikuatkan oleh Staatsblad tahun 1885 ketika Pengikhan Minak Putra menyewakan P. Sebuku kepada Mr. Barzal.
Tahun 1888 Pengikhan Minak Putra selaku kepala kampung Raja Basa Kalianda Lampung Selatan bersama Haji Djamaludin (kepala kampung Kalianda) dan Hadji Mohamad Said (penduduk kampung Kalianda) dipanggil oleh Pemerintah Banten di Anyer untuk menerima penghargaan. Pengikhan Minak Putra mendapat penghargaan berupa bintang Perak. Penghargaan ini didapat setelah Pengikhan Minak Putra berhasil menumpas perompak.
Tahun 1896 Pengikhan Minak Putra menjual Pulau Sebesi dan Sebuku kepada Haji Djamaludin.[6] Lalu pada tahun 1913 gugusan Krakatau dibeli oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Pengikhan Minak Putra seharga f. 10.000 untuk ditetapkan sebagai kawasan cagar alam berdasarkan Besluit (Surat Keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.83 Stbl 392 tanggal 11 Juli 1919 Jo.No.7 Stbl 392 tanggal 5 Januari 1925 dengan luas 2.405,10 ha.[2][7]
Pangeran Warta Manggala II ( 1927 - 1938 )
Pangeran Warta Manggala II menjabat sebagai kepala Kebandakhan Pesisir/Rajabasa (Pesirah van Pesisir) mulai tahun 1927. Pada masa Pangeran Warta Manggala II inilah Kebandakhan Pesisir dikenalluas tak hanya di wilayah nusantara, tetapi juga hingga negeri Belanda. Cukup banyak catatan yang menceritakan eksistensi Pangeran Warta Manggala II yang masih terdapat di arsip KITLV Belanda. Masa pemerintahan Kebandakhan oleh Pangeran Warta Manggala II dikukuhkan oleh Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten tertanggal 24 Juli 1928.
Berbagai koran berbahasa Belanda yang terbit di nusantara maupun negeri Belanda juga mencatat peristiwa-peristiwa gugatan hukum yang diajukan oleh Pangeran Warta Manggala II.
Catatan Kaki:
- Nama Warta Manggala berasal dari nama gelar yang disandang oleh ayah dari dati tutu khatin, yaitu Pangeran Warta Manggala (Pangeran Warta Manggala I). Namun pada zaman kolonial, para pencatat biasanya menulis nama Manggala dengan ejaan Menggala (mengacu pada penulisan nama salah satu Residen di Lampung). Kekeliruan penulisan itu mengakibatkan kesalahan tafsir terhadap silsilah keluarga besar Manggala. Ada beberapa pihak yang mengait-ngaitkan bahwa keluarga Manggala berasal dari Menggala. Padahal nama Manggala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti Orang Yang Sakti Mandraguna. Gelar ini berkaitan dengan nama Kebandakhan Raja Basa yang berarti orang yang serba bisa (dalam hal bahasa).
Pengkhan Marzuki Manggala ( 1938 - 1981 )
Sepeninggalan Pangeran Warta Manggala II, maka posisi sebagai kepala marga Pesisir digantikan oleh Pengkhan Marzuki Manggala. Hal ini dikuatkan oleh surat keputusan resmi pemerintah saat itu [8][9][10]
Pada masa ini kedudukan pasirah atau kepala Kebandakhan dalam pemerintahan secara resmi dihapuskan oleh pemerintah Jepang dan digantikan oleh Camat. Sejak saat itu juga kedudukan kepala Kebandakhan hanya berkisar dalam lingkungan budaya - kebudayaan / keluarga.
Pangeran Warta Manggala III ( 1981 - 2012 )
Pangeran Warta Manggala III menjabat sebagai kepala Kebandakhan Pesisir mulai tahun 1981 hingga ia wafat pada tahun 2012.
.
Klaim
Di luar keturunan Minak Putra, ada 2 kelompok yang mengklaim sebagai keturunan yang sah dari mendiang Pangeran Singa Brata. Kelompok tersebut adalah Seliwat Agung. Yang kedua adalah keluarga Raden Kemala. Namun setelah dilakukan uji materiil di pengadilan, kedua pihak tersebut tidak terbukti sebagai keturunan Singa Brata. Keluarga Saliwat Agung kalah dalam gugatan pada tahun 1996. Sedangkan keluarga Raden Kemala kalah dalam rangkaian perkara pada tahun 2014. Gugatan keluarga Raden Kemala yang terdiri dari Kompol Sardan Raden Kemala dan Sofyan Raden Kemala beserta anggota keluarga lainnya ditolak oleh hakim Pengadilan Negeri Kalianda dan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang[11]. Dengan begitu klaim keluarga Saliwat Agung dan keluarga Raden Kemala tidak terbukti.
Referensi
- ^ Helfrich, O.L.: "Adatrechtbundels XXXII: Zuid-Sumatra", hlm. 233-241. 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1930.
- ^ a b Perbatasari, RG: "Kebandakhan Kebandakhan Raja Basa". Pesisir Kalianda Lampung Selatan, 2012.
- ^ Weitzel, A.W.P: "Schetsen uit het oorlogsleven in Nederlandsch Indië: de Lampongs in 1856". J. Noorduijn, 1863.
- ^ a b Nederlands-Indië. 1864. Besluiten van den Gouvernement 6 April 1864. Staatblad No. 54. 1864
- ^ Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies: "Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde". Nederlands-Indie, 1879.
- ^ Proatin Kalianda, Putusan No. 25. Tertanggal 5 Juli 1906.
- ^ Besluiten van den Gouvernement Nederlands-Indië No. 83, Staatblad No.. 392 tanggal 11 Juli 1919, jo. No. 7 Staatblad No. 392 tanggal 5 Januari 1925.
- ^ Nederlands-Indië. 1938. Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten No. 200, 2 April 1938.
- ^ Nederlands-Indië. 1941. Besluiten van den Resident der Lampongsche Districten, J. van Bodegom. 11 Oktober 1941.
- ^ Nederlands-Indië. 1942. Keputusan Taicho Dono daerah Lampoeng No. 42/M, K. Yonezawa. 13 Sjitsi-Gats 2602 (1942 M), Tandjoeng Karang.
- ^ Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 64/Pdt./2015/PT TJK
Daftar Pustaka
- Pernamasari, Rieke. 2006. "Adu Besi Di Pulau Sebesi", Teknokra: Pulau Inji Benyak, No. 208, hlm. 24 - 42. Juli - September. Lampung, Universitas Lampung.
Pranala luar
- Balai Konservasi Dan Sumber Daya Alam: "Sejarah Krakatau". Diarsipkan 2014-04-07 di Wayback Machine. Diakses 1 April 2014.
- Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang No. 64/Pdt./2015/PT TJK