Lompat ke isi

Psikologi korupsi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Keincaled (bicara | kontrib)
Menambahkan sub judul dan isinya
Keincaled (bicara | kontrib)
Kontribusi Cabang Psikologi: menambahkan referensi [12]
Baris 9: Baris 9:
== Kontribusi Cabang Psikologi ==
== Kontribusi Cabang Psikologi ==


Pada umumnya, cabang psikologi yang berkontribusi besar dalam mengkaji tingkah laku korupsi adalah psikologi sosial<ref>{{Cite journal|last=Zaloznaya|first=Marina|date=2014|title=The Social Psychology of Corruption: Why It Does Not Exist and Why It Should|url=https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/soc4.12120|journal=Sociology Compass|language=en|volume=8|issue=2|pages=187–202|doi=10.1111/soc4.12120|issn=1751-9020}}</ref>. Sebagai bagian dari psikologi sosial, psikologi forensik juga berperan, misalnya dengan melakukan pemrofilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi<ref>{{Cite journal|last=Nee|first=Claire|last2=Button|first2=Mark|last3=Shepherd|first3=David|last4=Blackbourn|first4=Dean|last5=Leal|first5=Sharon|date=2019-01-01|title=The psychology of the corrupt: some preliminary findings|url=https://doi.org/10.1108/JFC-03-2018-0032|journal=Journal of Financial Crime|volume=26|issue=2|pages=488–495|doi=10.1108/JFC-03-2018-0032|issn=1359-0790}}</ref>. Psikologi kesehatan dan psikologi ekonomi turut berkontribusi dengan memetakan hubungan antara korupsi dan masalah kehidupan mental.
Pada umumnya, cabang psikologi yang berkontribusi besar dalam mengkaji tingkah laku korupsi adalah psikologi sosial<ref>{{Cite journal|last=Zaloznaya|first=Marina|date=2014|title=The Social Psychology of Corruption: Why It Does Not Exist and Why It Should|url=https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/soc4.12120|journal=Sociology Compass|language=en|volume=8|issue=2|pages=187–202|doi=10.1111/soc4.12120|issn=1751-9020}}</ref>. Sebagai bagian dari psikologi sosial, psikologi forensik juga berperan, misalnya dengan melakukan pemrofilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi<ref>{{Cite journal|last=Nee|first=Claire|last2=Button|first2=Mark|last3=Shepherd|first3=David|last4=Blackbourn|first4=Dean|last5=Leal|first5=Sharon|date=2019-01-01|title=The psychology of the corrupt: some preliminary findings|url=https://doi.org/10.1108/JFC-03-2018-0032|journal=Journal of Financial Crime|volume=26|issue=2|pages=488–495|doi=10.1108/JFC-03-2018-0032|issn=1359-0790}}</ref>. Psikologi kesehatan dan psikologi ekonomi turut berkontribusi dengan memetakan hubungan antara korupsi dan masalah kehidupan mental serta ongkos atau beban finansial yang ditimbulkannya<ref>{{Cite journal|date=2021-05-01|title=Corruption and mental health: Evidence from Vietnam|url=https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167268121000639|journal=Journal of Economic Behavior & Organization|language=en|volume=185|pages=125–137|doi=10.1016/j.jebo.2021.02.008|issn=0167-2681}}</ref>.


== Referensi ==
== Referensi ==

Revisi per 10 September 2021 18.38

Psikologi korupsi merupakan sebuah bidang studi psikologi yang berfokus pada faktor-faktor, proses, akibat, dan dampak dari tingkah laku korupsi. Sejumlah faktor dan proses terjadinya tingkah laku ini berada pada tingkat perorangan, sosial, kultural, maupun struktural[1].

Pada tingkat perorangan, sejumlah mazhab pemikiran dalam psikologi, seperti psikoanalisis dan kognitivisme mencoba untuk menjelaskan tingkah laku korupsi. Sebagai contoh, psikoanalisis, atau dikenal juga sebagai psikodinamika, menjelaskan kemunculan tingkah laku korupsi dengan meninjau rasa iri dan cemburu seseorang yang terkait dengan otoritas atau kekuasaan, konflik oedipal pada masa lalu, serta mekanisme pertahanan diri[2]. Kognitivisme menjelaskan korupsi sebagai hasil dari keputusan rasional seseorang berdasarkan pemrosesan informasi dan perhitungan subjektifnya mengenai keuntungan dan kerugian serta peluang kesuksesan dan kegagalan[3] dari melakukan korupsi. Penjelasan pada tingkat perorangan umumnya tidak menyangkal adanya pengaruh sosial dalam dinamika tingkah laku individual. Rasa malu, misalnya, merupakan emosi moral individu yang bersifat sosial dan dapat mempengaruhi kerentanan seseorang untuk melakukan tindakan koruptif[4]. Contoh lain, rasa takut terhadap kematian, diri yang palsu, pembungkaman moralitas dari internal diri, serta pola pikir seseorang, baik mindset tumbuh (growth mindset) maupun mindset tetap (fixed mindset) mempengaruhi terjadinya tingkah laku korupsi[5]. Hal-hal ini tidak terlepas dari gejala sosialiasi, interaksi sosial, sejarah perilaku dalam lingkungan, serta perbandingan sosial yang dilakukan seseorang.

Pada tingkat sosial dan kultural, korupsi dijelaskan sebagai gejala kelompok dan kebudayaan. Orientasi nilai, seperti kolektivisme, norma sosial, dan budaya organisasi mempengaruhi bagaimana pribadi yang baik dapat bertingkah laku koruptif dalam lingkungan yang koruptif[6]. Di samping berpengaruh negatif, kebudayaan juga dapat berpengaruh positif. Sebagai contoh, terdapat sejumlah budaya lokal di Indonesia, seperti alus di Jawa dan siri’na pacce di Sulawesi Selatan, yang mampu menumbuhkan kepekaan dan empati kultural pada anggota budaya-budaya ini bahwa korupsi dapat merusak kebahagiaan orang lain dan karenanya tidak patut dilakukan[7]. Hal ini terkait juga dengan temuan penelitian di Indonesia tentang makna-makna korupsi. Salah satu makna yang menonjol dalam psike orang Indonesia adalah bahwa korupsi terkait dengan orang lain, seperti mengambil hak orang lain, merugikan orang lain. Makna ini berada di posisi paling atas dalam penghayatan orang Indonesia ketika memaknai korupsi[8]. Korupsi bukan hanya dimaknai sebagai masalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan, tindakan pencurian yang tak bermoral, ataupun penguatamaan kepentingan pribadi. Lebih daripada itu, korupsi itu destruktif atau menghancurkan sesama, dan karenanya pencegahan korupsi perlu menekankan pesan-pesan yang tidak hanya menekankan niat perorangan, seperti "Berani Jujur itu Hebat". Yang perlu ditonjolkan, menurut hasil penelitian ini, adalah pesan bahwa jika seseorang bertingkah laku korupsi, maka semua orang harus membayar akibat dari korupsi itu.

Pada tingkat struktural, tingkah laku korupsi dijelaskan sebagai produk dari situasi kebijakan publik yang dialami oleh masyarakat warga. Sebagai contoh, kebijakan publik yang tidak berkeadilan sosial dan cara pandang yang beredar bahwa korupsi merupakan "pelicin pembangunan"[9] dapat memicu, mendorong, dan memperparah tingkah laku korupsi. Di samping itu, hukum atau kebijakan yang secara behavioristik memberikan penguatan (rewarding, reinforcing) pada tingkah laku korupsi, seperti yang terjadi pada kasus pemotongan signifikan dalam vonis lama hukuman penjara yang harus dialami koruptor, dapat menjadi faktor struktural yang potensial menggandakan tingkah laku korupsi dalam masyarakat.

Kontribusi Cabang Psikologi

Pada umumnya, cabang psikologi yang berkontribusi besar dalam mengkaji tingkah laku korupsi adalah psikologi sosial[10]. Sebagai bagian dari psikologi sosial, psikologi forensik juga berperan, misalnya dengan melakukan pemrofilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi[11]. Psikologi kesehatan dan psikologi ekonomi turut berkontribusi dengan memetakan hubungan antara korupsi dan masalah kehidupan mental serta ongkos atau beban finansial yang ditimbulkannya[12].

Referensi

  1. ^ "Psychological Mechanism of Corruption: A Comprehensive Review". Science Alert (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-10. 
  2. ^ Corruption: oedipal configuration as social mechanism (dalam bahasa Inggris). Routledge. doi:10.4324/9781003196082-10/corruption-oedipal-configuration-social-mechanism-carlos-sapochnik-karen-izod. ISBN 978-1-003-19608-2. 
  3. ^ "Corruptive Tendencies, Conscientiousness, and Collectivism". Procedia - Social and Behavioral Sciences (dalam bahasa Inggris). 153: 132–147. 2014-10-16. doi:10.1016/j.sbspro.2014.10.048. ISSN 1877-0428. 
  4. ^ Abraham, Juneman; Pea, Amanda Giovani (2020). "Can proneness to moral emotions detect corruption? The mediating role of ethical judgment based on unified ethics". Kasetsart Journal of Social Sciences (dalam bahasa Inggris). 41 (1): 152–159–152–159. ISSN 2452-3151. 
  5. ^ Abraham, Juneman; Suleeman, Julia; Takwin, Bagus (2018-12-01). "The Psychology of Corruption: The Role of the Counterfeit Self, Entity Self-Theory, and Outcome-Based Ethical Mindset" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 
  6. ^ "Corruptive Tendencies, Conscientiousness, and Collectivism". Procedia - Social and Behavioral Sciences (dalam bahasa Inggris). 153: 132–147. 2014-10-16. doi:10.1016/j.sbspro.2014.10.048. ISSN 1877-0428. 
  7. ^ "Psychological Mechanism of Corruption: A Comprehensive Review". Science Alert (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-10. 
  8. ^ Abraham, Juneman; Pradipto, Yosef (2016-06-10). "Corruption: Its Representations and Psychology in Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Rochester, NY. 
  9. ^ "Korupsi Dipandang dari Sisi Psikologi Sosial". Bung Hatta Anti-Corruption Award (dalam bahasa Inggris). 2020-04-08. Diakses tanggal 2021-09-10. 
  10. ^ Zaloznaya, Marina (2014). "The Social Psychology of Corruption: Why It Does Not Exist and Why It Should". Sociology Compass (dalam bahasa Inggris). 8 (2): 187–202. doi:10.1111/soc4.12120. ISSN 1751-9020. 
  11. ^ Nee, Claire; Button, Mark; Shepherd, David; Blackbourn, Dean; Leal, Sharon (2019-01-01). "The psychology of the corrupt: some preliminary findings". Journal of Financial Crime. 26 (2): 488–495. doi:10.1108/JFC-03-2018-0032. ISSN 1359-0790. 
  12. ^ "Corruption and mental health: Evidence from Vietnam". Journal of Economic Behavior & Organization (dalam bahasa Inggris). 185: 125–137. 2021-05-01. doi:10.1016/j.jebo.2021.02.008. ISSN 0167-2681.