Hari Ibu: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Hari Ibu''' adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya.
'''Hari Ibu''' adalah hari peringatan di Indonesia adalah perayaan terhadap peran seorang perempuan dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya.
, dan terutama dalam Masyarakat. Karena Hari Ibu di Indonesia Jatuh pada Tanggal 22 Desember adalah Hari dimana Pada tanggal 22 Desember 1928 melalukan perjuangkan memperjuangkan Hak-hak Perempuan, khususnya Kaum Ibu.


Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.
Akan tetapi pada saat Pemerintahan Suharto menjadi diarahkan pada peringatan dan perayaan sebagai mana Mother's Day di Amerika Serikat, sehingga biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.


Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal [[22 Desember]] dan ditetapkan sebagai perayaan nasional.
Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal [[22 Desember]] dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Esensi Hari Ibu tetaplah mengedepankan peran perempuan sebagai Ibu dan sebagai pejuang Bangsa, yaitu Ibu Bangsa---


Sementara di [[Amerika]], dan lebih dari 75 negara lain, seperti [[Australia]], [[Kanada]], [[Jerman]], [[Italia]], [[Jepang]], [[Belanda]], [[Malaysia]], [[Singapura]], [[Taiwan]], dan [[Hongkong]] Hari Ibu atau ''Mother’s Day'' (dalam bahasa Inggris dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan [[Mei]]. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mother’s Day diperingati setiap bulan [[Maret]].
Sementara di [[Amerika]], dan lebih dari 75 negara lain, seperti [[Australia]], [[Kanada]], [[Jerman]], [[Italia]], [[Jepang]], [[Belanda]], [[Malaysia]], [[Singapura]], [[Taiwan]], dan [[Hongkong]] Hari Ibu atau ''Mother’s Day'' (dalam bahasa Inggris dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan [[Mei]]. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mother’s Day diperingati setiap bulan [[Maret]].

Revisi per 26 Desember 2008 05.05

Hari Ibu adalah hari peringatan di Indonesia adalah perayaan terhadap peran seorang perempuan dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya. , dan terutama dalam Masyarakat. Karena Hari Ibu di Indonesia Jatuh pada Tanggal 22 Desember adalah Hari dimana Pada tanggal 22 Desember 1928 melalukan perjuangkan memperjuangkan Hak-hak Perempuan, khususnya Kaum Ibu.

Akan tetapi pada saat Pemerintahan Suharto menjadi diarahkan pada peringatan dan perayaan sebagai mana Mother's Day di Amerika Serikat, sehingga biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Di Indonesia hari ini dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Esensi Hari Ibu tetaplah mengedepankan peran perempuan sebagai Ibu dan sebagai pejuang Bangsa, yaitu Ibu Bangsa---

Sementara di Amerika, dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong Hari Ibu atau Mother’s Day (dalam bahasa Inggris dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Ibu atau Mother’s Day diperingati setiap bulan Maret.

Sejarah

Hari Ibu di Indonesia

Sejarah Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan Konteks Mother's Day di negara Amerika Serikat karena diawali bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.

Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama. Di Solo, misalnya, 25 tahun Hari Ibu dirayakan dengan membuat pasar amal yang hasilnya untuk membiayai Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Pada waktu itu panitia Hari Ibu Solo juga mengadakan rapat umum yang mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga, khususnya bahan-bahan makanan pokok. Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung.

Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.

Kini, Hari Ibu di Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, pesta kejutan bagi para ibu, aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan domestik sehari-hari.

22 DESEMBER 1928 PEREMPUAN BERSATU MELAWAN KEKERASAN PEREMPUAN

PERINGATAN HARI IBU DIPUTUSKAN PADA KONGRES PEREMPUAN 1938, DALAM ARTI IBU BANGSA, AGAR IBU MENDIDIK PUTRA-PUTRI UNTUK MEMILIKI NILAI-NILAI NASIONALISME DAN KEBANGSAAN

Sejarah Gerakan perempuan Indonesia tak lepas dari gerakan social pada umumnya. Perempuan aktif dalam kegiatan organisasi pemuda organisasi berlatar belakang kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatra atau Jong Ambon. Perempuan Indonesia juga aktivis pergerakan nasional, meski nama dan kerjanya tidak dicatat sejarah. Faktanya perempuan ikut mendeklarasian Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu pada organisasi umum juga divisi perempuan seperti Wanito Tomo dari Boedi Oetomo, Poetri Indonesia dari Poetra Indonesia dan Wanita Taman Siswa dari Taman Siswa. Organisasi perempuan yang berdiri di awal gerakan di antaranya adalah Putri Mardika, 1916.

Perempuan pelopor yang menjadi panitia pelaksana Kongres Perempuan Indonesia I 928 dan ikut dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928 antara lain Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, Sitti Sundari dan lain-lain. Merekalah inisiator dan penggerak Kongres Perempuan Pertama 22 Desember 1928.

Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928 adalah Momentum Kesadaran Kolektif Perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan bersama-sama. Kesadaran mengenai berbagai permasalahan yang hingga kini, tahun 2006 masih relevan: poligami, perdagangan orang, kekerasan, dan buruh perempuan

SEKILAS GERAKAN PEREMPUAN 1928-1935 ISU-ISU DAN UPAYA GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA

Kongres Perempuan Pertama 22-25 Desember 1928

Kongres Perempuan Indonesia 1928 bersifat kooperatif. Artinya perjuangan dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah kolonial. Secara resmi Kongres mengakui pemerintah kolonial, dan mengajukan usulan pada pemerintah. Ini strategi untuk memudahkan penyebarluasan gagasan kepada perempuan dan masyarakat umum, terutama pihak kolonial. Sehingga perempuan kelas menengah atau bangsawan tidak takut bergabung atau ikut serta dengan anggapan tidak radikal. Pemerintah kolonial sendiri masih memiliki nostalgia keberhasilan politik etis (kemajuan pendidikan bangsa bumi putra) pada perempuan. Juga adanya anggapan pemerintah dan masyarakat, mengenai stereotipe kegiatan perempuan dan organisasi perempuan yang bersifat social dan hobby. Organisasi perempuan dianggap tidak-politis. Strategi ini diperkuat dengan keputusan Kongres untuk tidak membicarakan “politik” dalam arti umum. Kongres menekankan pembahasan masalah perempuan sesuai anggapan umum dan pemerintah kolonial, sebagai tidak-politis.

Perempuan dengan berbagai latar belakang suku, agama, kelas, dan ras Berkumpul dan bersatu dalam Kongres yang dilaksanakan di Mataram (Yogyakarta, sekarang pen.). Umumnya yang hadir dalah perempuan muda. Persiapan Kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia: Nn. Soejatin dari Poetri Indonesia sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara dari Wanita Taman Siswa sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto dari Wanito Tomo sebagai Wakil Ketua.

Kongres dihadiri perwakilan 30 organisasi perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.

Berbagai isu utama masalah perempuan dibahas pada rapat terbuka. Topiknya antarea lain: kedudukan perempuan dalam perkawinan; perempuan ditunjuk, dikawin dan diceraikan di luar kemauannya; poligami; dan pendidikan bagi anak perempuan. Pembahasan melahirkan debat dan perbedaan pendapat dari berbagai organisasi perempuan. Walaupun begitu tak menghalangi kenyataan yang diyakini bersama, yaitu perempuan perlu lebih maju. Berdasarkan hasil pembahasan antara lain Kongres memutuskan:

1. mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan;

2. pemerintah wajib memberikna surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan); dan segeranya

3. memberikan beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki kemampuan belajar tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut stuidie fonds;

4. mendirikan suatu lembaga dan mendirikan kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan serta mengaktifkan usaha pemberantasan perkawinan kanak-kanak;

Selain putusan di atas, berbagai perkumpulan berdiri atas inisiatif peserta Kongres untuk membela dan melindungi hak perempuan, di antaranya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A) untuk didirikan 1929. Pendirian perkumpulan itu disebabkan oleh merajelanya perdagangan anak perempuan.

Kongres-kogres Perempuan Indonesia selanjutnya

Tak jauh berbeda pembahasan berbagai permasalahan perempuan 1928 Kongres Perempuan Selanjutnya tahun 1929, 1930, 1935. Kongres untuk kordinasi selanjutnya bernama Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia.

Kongres Perempuan, Jakarta 28-31 Desember 1929

Permasalahan perkawinan khususnya poligami, kawin paksa dan perkawinan anak-anak juga menjadi topik yang dibahas tersendiri. Kongres memutuskan antara lain: meningkatkan nasib dan derajat perempuan Indonesia dengan tidak mengkaitkan diri dengan soal politik dan agama; mengajukan mosi kepada pemerintah untuk menghapuskan pergundikan.

Kongres sempat diwarnai ketegangan dan kepanitiaan hampir kacau karena Kongres hampir dilarang pemerintah. Hal itu terkait dengan situasi saat itu, yaitu Bung Karno ditangkap di Yogyakarta. Kantor dan tempat gedung pertemuan sempat digeledah polisi. Akhirnya Kongres tetap dijinkan dan berlangsung, di Gedung Thamrin di Gang Kenari Jakarta.

Kongres terbuka didukung juga massa rakyat yang memekikan, “yel-yel merdeka!”. Gedung tempat pelaksanaan Kongres menjadi menggelegar. Polisi mengawasi mengancam akan membubarkan. Salah seorang pemimpin sidang menyerahkan kendali situasi kepada Soejatin (Poetri Indonesia), ketua pelaksana Kongres Perempuan Pertama 1928. Sambutan demi sambutan diakhiri dengan pekikan “Merdeka, Sekarang!” Maka ruangan kembali riuh. Ketika polisi akan membubarkan, Soejatin mengetuk palu rapat selesai dan ditutup, rapat selanjutnya dilakukan tertutup.

Kongres menyatakan keprihatinannya dengan penangkapan Sukarno dengan membatalkan rencana akan mengadakan pameran dan malam penutupan.


Kongres Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia, Surabaya 13-18 Desember 1930,

Ketua Kongres Ny. Siti Soedari Soedirman. Keputusan Kongres yang sangat relevan dengan kekinian antara lain mendirikan Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang diketuai oleh Ny. Sunarjati Sukemi. Terbentuknya BPPPA disebabkan keprihatinan yang mendalam atas nasib yang menimpa anak-anak peremepuan yang terkena praktek JERATAN UTANG Cina Mindering, yaitu petani meminjam uang dengan bunga sangat tinggi dan tidak dapat mengembalikannya, sehingga sering anak gadis petani dijadikan penebus hutang-hutang itu. Kongres juga mengangkat isu buruh perempuan, khususnya nasib buruh pabrik batik di Lasem, dan memberikan penyuluhan peningkatan kesadaran bagi pembatik.

Kongres Perempuan Indonesia, Jakarta 20-24 Juli 1935


Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935 diikuti tidak kurang dari 15 organisasi, di antaranya Wanita Katolik Indonesia, Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Aijsiah, Istri Sedar, Wanita Taman Siswa dsb. Ketua Kongres Ny. Sri Mangunsarkoro. Keputusan Kongres antara lain: Kongres memutuskan: mendirikan Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan yang berfungsi meneliti pekerjaan yang dilakukan perempuan Indonesia; meningkatkan pemberantasan buta huruf; mengadakan hubungan dengan perkumpulan pemuda, khususnya organisasi putri; mendasari perasaan kebangsaan, pekerjaan sosial dan kenetralan pada agama; Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”.

Kongres Perempuan Indonesia, Bandung, Juli 1938

Kongres dikuti: Poetri Indonesia, Poetri Boedi Sedjati, Wanito Tomo, Aisjiah, Wanita Katolik dan Wanita Taman Siswa. Ketua Kongres Ny. Emma Puradiredja. Isu dibahas antara lain, partisipasi perempuan dalam politik, khususnya mengenai hak dipilih. Pemerintah kolonial memberikan hak dipilih bagi perempuan untuk Badan Perwakilan. Perempuan yang menjadi anggota Dewan Kota (Gementeraad): Ny. Emma Puradiredja, Ny. Sri Umiyati, Ny. Soenarjo Mangunpuspito dan Ny. Sitti Soendari. Karena perempuan belum mempunyai hak pilih, maka Kongres menuntut perempuan punya hak memilih.

Kongres memutuskan: tanggal 22 Desember diperingati sebagai “Hari Ibu” dengan arti seperti yang dimaksud dalam keputusan Kongres tahun 1935; membangun Komisi Perkawinan untuk merancang peraturan perkawinan yang seadil-adilnya tanpa menyinggung pihak yang beragama Islam.

Mother's day

Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, yang mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret.

Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Hardi, Lasmidjah, ed. 1981. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalaman dan Pemikiran), Buku I. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Hardi, Lasmidjah, ed. 1985. Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi (Kumpulan Pengalam dan Pemikiran), Buku V. Jakarta: Yayasan Wanita Pejuang.

Suwondo, Nani, S.H. 1968. Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.

Siaran Perwari, Tahun I No.3 Desember 1950

Referensi