Lompat ke isi

Gugatan permohonan: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Atikah Krsn (bicara | kontrib)
merubah gaya bahasa
Atikah Krsn (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Gaya penulisan}}
{{Gaya penulisan}}
'''Gugatan permohonan''' atau disebut '''''gugatan voluntair'''''  dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 bahwa ''“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair.”'' Menjelaskan bahwa ''yuridiksi voluntair'' dalam hal penyelesaian perkara kepada badan-badan peradilan dimana terdapat penyelesaian masalah bersangkutan.<ref name=":0">{{Cite book|title=Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970|url-status=live}}</ref> Maka dapat dikatakan bahwa gugatan permohonan berupa putusan berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat deklarator.
'''Gugatan permohonan''' atau disebut '''''gugatan voluntair'''''  dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 bahwa ''“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair.”'' Menjelaskan bahwa ''yuridiksi voluntair'' terkait penyelesaian perkara kepada badan-badan peradilan di mana terdapat penyelesaian masalah bersangkutan.<ref name=":0">{{Cite book|title=Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970|url-status=live}}</ref> Maka dapat dikatakan bahwa gugatan permohonan berupa putusan berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat deklarator.


Permohonan atau ''gugatan'' ''voluntair'' adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. <ref>{{Cite book|date=1994|title=Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan|location=Jakarta|publisher=Mahkamah Agung Republik Indonesia|url-status=live}}</ref>
Permohonan atau ''gugatan'' ''voluntair'' adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. <ref>{{Cite book|date=1994|title=Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan|location=Jakarta|publisher=Mahkamah Agung Republik Indonesia|url-status=live}}</ref>
Baris 9: Baris 9:
# Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata;
# Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata;
# Permasalahan dimohon dalam penyesuaian kepada Pengadilan Negeri, tanpa ada sengketa pada prinsipnya; dan
# Permasalahan dimohon dalam penyesuaian kepada Pengadilan Negeri, tanpa ada sengketa pada prinsipnya; dan
# Tidak terdapat ditarik sebagai lawan dalam hal orang lain atau pihak, Sehingga bersifat ''ex-parte.'' Bahwa pengajuan berdasarakan kepentingan satu pihak.
# Tidak terdapat ditarik sebagai lawan terkait orang lain atau pihak, Sehingga bersifat ''ex-parte.'' Bahwa pengajuan berdasarakan kepentingan satu pihak.


== Landasan hukum ==
== Landasan hukum ==
Landasan Hukum ''Yurisdiksi'' ''Voluntair'':
Landasan Hukum ''Yurisdiksi'' ''Voluntair'':


1. Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sehingga proses penyelenggaran kekuasaan kehakiman pada badan-badan peradilan perdata dengan melakukan menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya dimana itu adalah fungsi utamanya.<ref name=":0" />
1. Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sehingga proses penyelenggaran kekuasaan kehakiman pada badan-badan peradilan perdata dengan melakukan menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di mana itu adalah fungsi utamanya.<ref name=":0" />


2. Berbagai pendapat mengenai ''yuridiksi'' ''voluntair''
2. Berbagai pendapat mengenai ''yuridiksi'' ''voluntair''
Baris 24: Baris 24:
* Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987. Menjelaskan bahwa masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang bersifat sengketa ''(contentience jurisdictie).'' Di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk ruang lingkup ''voluntair jurisdictie'', akan tetapi kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.<ref name=":1">{{Cite book|last=Harahap|first=M. Yahya|date=1997|title=Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum|location=Bandung|publisher=Citra Aditya Bakti|url-status=live}}</ref>
* Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987. Menjelaskan bahwa masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang bersifat sengketa ''(contentience jurisdictie).'' Di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk ruang lingkup ''voluntair jurisdictie'', akan tetapi kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.<ref name=":1">{{Cite book|last=Harahap|first=M. Yahya|date=1997|title=Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum|location=Bandung|publisher=Citra Aditya Bakti|url-status=live}}</ref>


* Pendapat Prof. Sudargo Gautama bahwa penyelesaian ''voluntair'' pada suatu perkara, yang mengandung sengketa diantaranya proses ex-parte sudah terjadi; penyelesaian sengketa yang melanggar tata tertib beracara yang baik ''(goede process orde),'' dan juga melanggar asas ''audi alteram partem'' (hak pihak lain untuk membela dan hak mempertahankan kepentingannya);dan padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan ''voluntair'' dalam kasus ini, harus didengar sebagai pihak.<ref name=":1" />
* Pendapat Prof. Sudargo Gautama bahwa penyelesaian ''voluntair'' pada suatu perkara, yang mengandung sengketa di antaranya proses ex-parte sudah terjadi; penyelesaian sengketa yang melanggar tata tertib beracara yang baik ''(goede process orde),'' dan juga melanggar asas ''audi alteram partem'' (hak pihak lain untuk membela dan hak mempertahankan kepentingannya);dan padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan ''voluntair'' dalam kasus ini, harus didengar sebagai pihak.<ref name=":1" />


* Berdasarkan Putusan MA dalam Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan Pengadilan Negeri yang telah ''memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya terkadang sengketa, tidak ada dasar hukumnya.'' Perlu diingat bahwa ''yuridksi'' voluntair tidak termasuk dalam penyelesaian hak. 
* Berdasarkan Putusan MA dalam Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan Pengadilan Negeri yang telah ''memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya terkadang sengketa, tidak ada dasar hukumnya.'' Perlu diingat bahwa ''yuridksi'' voluntair tidak termasuk dalam penyelesaian hak. 

Revisi per 10 Oktober 2021 15.05

Gugatan permohonan atau disebut gugatan voluntair  dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 bahwa “Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair.” Menjelaskan bahwa yuridiksi voluntair terkait penyelesaian perkara kepada badan-badan peradilan di mana terdapat penyelesaian masalah bersangkutan.[1] Maka dapat dikatakan bahwa gugatan permohonan berupa putusan berbentuk penetapan yang hanya berisi diktum yang bersifat deklarator.

Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditunjukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. [2]

Ciri

Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair:[3]

  1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata;
  2. Permasalahan dimohon dalam penyesuaian kepada Pengadilan Negeri, tanpa ada sengketa pada prinsipnya; dan
  3. Tidak terdapat ditarik sebagai lawan terkait orang lain atau pihak, Sehingga bersifat ex-parte. Bahwa pengajuan berdasarakan kepentingan satu pihak.

Landasan hukum

Landasan Hukum Yurisdiksi Voluntair:

1. Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sehingga proses penyelenggaran kekuasaan kehakiman pada badan-badan peradilan perdata dengan melakukan menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya di mana itu adalah fungsi utamanya.[1]

2. Berbagai pendapat mengenai yuridiksi voluntair

  • Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 (Juni 1973) dalam Kasus Forest Products Corp Ltd menjelaskan bahwa \perjanjian dibuat tidak mengikat Forest Products Corp, Ltd. dan Sah Rapat Umum Pemegang Saham.  Pada 27 juni 1972 sejak putusan dijatuhkan.
  • Putusan Peninjauan Kembali (PK) No/K/AG/1990.
  • Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal 25 November 1987. Menjelaskan bahwa masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang bersifat sengketa (contentience jurisdictie). Di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang termasuk ruang lingkup voluntair jurisdictie, akan tetapi kewenangan itu hanya terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.[4]
  • Pendapat Prof. Sudargo Gautama bahwa penyelesaian voluntair pada suatu perkara, yang mengandung sengketa di antaranya proses ex-parte sudah terjadi; penyelesaian sengketa yang melanggar tata tertib beracara yang baik (goede process orde), dan juga melanggar asas audi alteram partem (hak pihak lain untuk membela dan hak mempertahankan kepentingannya);dan padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan voluntair dalam kasus ini, harus didengar sebagai pihak.[4]
  • Berdasarkan Putusan MA dalam Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan Pengadilan Negeri yang telah memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya terkadang sengketa, tidak ada dasar hukumnya. Perlu diingat bahwa yuridksi voluntair tidak termasuk dalam penyelesaian hak. 

Referensi

  1. ^ a b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. 
  2. ^ Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia. 1994. 
  3. ^ Harahap, M. Yahya (2006). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. 
  4. ^ a b Harahap, M. Yahya (1997). Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.