Demonstrasi Nasi Bungkus: Perbedaan antara revisi
Rahmatdenas (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
Rahmatdenas (bicara | kontrib) |
||
Baris 14: | Baris 14: | ||
== Tuntutan == |
== Tuntutan == |
||
Massa menuntut secepatnya pemerintah mengambil tindakan tegas dengan mengembalikan toko kepada pemilik ataupenyewa lamanya. Selain itu, mereka juga meminta agar menunjukkan penghargaan kepada bekas pejuang gerilya yang telah mempertaruhkan jiwa-raga, demi kemerdekaan Indonesia. Para demonstran juga mengingatkan aparat pemerintah, agar jangan hidup mewah, sebab pemerintahan baru terbentuk dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat belum stabil.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> |
Massa menuntut secepatnya pemerintah mengambil tindakan tegas dengan mengembalikan toko kepada pemilik ataupenyewa lamanya. Selain itu, mereka juga meminta agar menunjukkan penghargaan kepada bekas pejuang gerilya yang telah mempertaruhkan jiwa-raga, demi kemerdekaan Indonesia. Para demonstran juga mengingatkan aparat pemerintah, agar jangan hidup mewah, sebab pemerintahan baru terbentuk dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat belum stabil.<ref name=":0" /><ref name=":1" /> |
||
== Lihat pula == |
|||
*[[Barisan Pengawal Nagari dan Kota]] |
|||
== Rujukan == |
== Rujukan == |
||
{{reflist |
{{reflist}} |
||
[[Kategori:Sejarah Sumatra Barat]] |
[[Kategori:Sejarah Sumatra Barat]] |
Revisi per 17 Oktober 2021 05.37
Demonstrasi Nasi Bungkus adalah aksi protes sekitar 10.000 penduduk Kota Bukittinggi dan nagari sekitarnya terhadap pemerintah setempat pada awal tahun 1950. Demonstrasi ini dipicu oleh ketidakpuasan terhadap pemimpin daerah dalam menyelesaikan masalah kepemilikan toko di Bukittinggi, diikuti kekecewaan rakyat yang merasa diabaikan oleh para pemimpin sipil dan militer yang mereka bantu selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia yang disimbolkan dengan nasi bungkus.[1][2][3]
Latar belakang
Saat Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, Kota Bukittinggi dianggap tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan alasan taktik perang, komandan militer setempat mengeluarkan perintah agar membumihanguskan Bukittinggi. Sebagian arsip dan gedung pemerintahan dibakar begitu saja. Hanya perlengkapan yang dianggap sangat penting saja yang diselamatkan.[1]
Warga kota diimbau agar mengungsi keluar kota. Namun, sebagian penduduk yang terdiri dari orang Tionghoa dan pendukung Belanda tidak memilih mengungsi. Mereka tetap tinggal dalam kota dan melakukan aktivitas seperti hari-hari sebelumnya. Belanda berusaha untuk membujuk masyarakat agar tidak meninggalkan kota dan melaksanakan aktivitas seperti biasanya dengan janji menjamin keamanan.[1]
Selama warga mengungsi keluar kota, banyak toko-toko kosong ditinggalkan oleh pemiliknya. Belanda berusaha terus melakukan berbagai siasat untuk meramaikan kehidupan kota. Toko-toko harus dibuka kembali, kalau bukan oleh pemiliknya sendiri diserahkan kepada orang lain di bawah ancaman-ancaman yang menakutkan. Berkat bujukan Belanda, sebagian toko telah dibuka oleh bukan pemilik atau penyewa lama.[1]
Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949 dan kota berlangsung pulih, hampir seluruh toko masih ditempati oleh bukan pemilik atau penyewa lama. Akibatnya, timbul ketegangan dari pedagang yang merasa tokonya dirampas, sementara pihak pemerintah tidak tegas dalam mengatasi permasalahan. Ketidakpuasan terhadap pemerintah muncul, yang diperparah dengan rendahnya taraf hidup rakyat yang sebelumnya ikut berperang dan menjadi korban perang.[1]
Pada Januari 1950, berlangsung demonstrasi yang diikuti sekitar 10.000 penduduk Bukittinggi dan nagari sekitarnya. Mereka bergerak dari arah Jam Gadang menuju Kantor Gubernur Sumatra Tengah sambil membawa puluhan spanduk berisi kalimat kekecewaan. Meskipun dipicu oleh ketidakpuasan pedagang, demonstrasi mendapatkan simpati luas dari masyarakat yang merasa diabaikan oleh para pemimpin sipil dan militer yang mereka bantu selama masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka menamakan demonstrasi ini sebagai demonstrasi nasi bungkus, simbol bantuan mereka pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.[4]
Tuntutan
Massa menuntut secepatnya pemerintah mengambil tindakan tegas dengan mengembalikan toko kepada pemilik ataupenyewa lamanya. Selain itu, mereka juga meminta agar menunjukkan penghargaan kepada bekas pejuang gerilya yang telah mempertaruhkan jiwa-raga, demi kemerdekaan Indonesia. Para demonstran juga mengingatkan aparat pemerintah, agar jangan hidup mewah, sebab pemerintahan baru terbentuk dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat belum stabil.[1][2]
Lihat pula
Rujukan
- ^ a b c d e f Departemen Penerangan Indonesia (1959). Propinsi Sumatera Tengah. Kementerian Penerangan.
- ^ a b Zed, Mestika (2001). Ahmad Husein: perlawanan seorang pejuang. Pustaka Sinar Harapan. ISBN 978-979-416-721-2.
- ^ Mestika Zed (1995). Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945–1995. Bidang Penerbitan Khusus, Panitia Peringatan 50 Tahun RI, Sumatera Barat.
- ^ Mas'oed Abidin (2005). Ensiklopedi Minangkabau. Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. ISBN 978-979-3797-23-6.