Lompat ke isi

Songket: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
[revisi tidak terperiksa][revisi tidak terperiksa]
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Dikembalikan menghilangkan bagian [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Baris 8: Baris 8:


Songket menggunakan teknik menenun, di mana benang emas atau perak ditenun di antara benang sutra pada kain latar. Kain mewah dan mahal ini mencerminkan struktur sosial di kalangan bangsawan Melayu.
Songket menggunakan teknik menenun, di mana benang emas atau perak ditenun di antara benang sutra pada kain latar. Kain mewah dan mahal ini mencerminkan struktur sosial di kalangan bangsawan Melayu.

== Sejarah ==
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vrouw aan weefstoel Padangse Bovenlanden TMnr 10014503.jpg|jmpl|250px|kiri|Perempuan Minang yang tengah menenun songket sekitar tahun 1900]]
Penenunan songket secara sejarah dikaitkan dengan kawasan permukiman dan budaya [[Suku Palembang|Melayu Palembang]] maupun [[Minangkabau]] yang berasal dari pulau [[Sumatra]].<ref name="Rodgers and Summerfield"/> Menurut hikayat [[Suku Palembang|rakyat Palembang]], asal mula kain songket bermula dari kerajaan [[Sriwijaya]]. Bahan utama pembuatan songket seperti [[sutra]] biasanya diproduksi oleh petani ulat sutra [[Sumatra|lokal]], namun untuk menghasilkan kualitas songket yang lebih bagus masyarakat lokal juga mengekspor bahan sutra dari [[Tiongkok]], sedangkan untuk benang emas biasanya diproduksi oleh para masyarakat lokal dengan mengolah emas yang dihasilkan dari beberapa daerah di pulau Sumatra (pada masa lampau, [[Sumatra]] dikenali juga sebagai ''Swarnadwipa'', berasal dari gabungan kata dalam {{lang-sa|स्वर्ण}} (''svarna''; emas) dan {{lang|sa|द्वीप}} (''dvipa''; pulau), yang artinya "pulau emas"). Kain songket ditenun pada alat tenun bingkai, pola-pola rumit diciptakan dengan memperkenalkan benang-benang emas atau perak ekstra dengan penggunaan sehelai jarum leper.

Sebagai akibat dari pengaruh kekuasaan [[Sriwijaya|kemaharajaan Sriwijaya]], kain songket menyebar dari [[Palembang]] ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan Sriwijaya, yakni sebagian besar wilayah di Sumatra (terutama di [[Sumatra Barat]], [[Sumatra Selatan]], dan [[Lampung]]), [[Kepulauan Riau]], [[Kalimantan]] (terutama di [[Sambas]]), [[Semenanjung Malaya]] (juga bernama lain: Semenanjung Kra), [[Thailand]], [[Kamboja]], dan juga meliputi sebagian [[Jawa]]. Menurut tradisi [[Kelantan]], teknik tenun seperti ini diperkenalkan dari [[Chaiya]] (di Thailand) yang merupakan sebuah daerah yang pernah menjadi salah satu cabang daerah pusat dibawah kekuasaan [[Sriwijaya|kemaharajaan Sriwijaya]], yang mana kemudian teknik ini berkembang ke selatan di [[Pattani]] hingga mencapai ke [[Kelantan]] dan [[Terengganu]] sekitar abad ke-16. Akan tetapi menurut penenun [[Terengganu]], justru para pedagang [[Suku Minangkabau|Minangkabau]], [[Suku Palembang|Melayu Palembang]], dan India yang berlayar dari [[Palembang]] lah yang memperkenalkan teknik menenun ini pertama kali sejak zaman kejayaan [[Sriwijaya]].<ref name="Rodgers and Summerfield"/>
[[Berkas:Aesan Gede Songket Palembang.jpg|jmpl|190px|ka|Songket [[Palembang]] dikenakan oleh pengantin wanita berbusana pernikahan adat ''Aesan Gede'']]
Menurut tradisi Indonesia sendiri, kain songket nan keemasan juga kerap dikaitkan dengan kegemilangan [[Sriwijaya]],<ref>[http://beta.antaranews.com/berita/1279268106/the-ancient-sriwijaya-heritage-tampilkan-kemilau-songket-dan-adat-perkawinan-sumsel "The Ancient Sriwijaya Heritage" ("Warisan Purba Sriwijaya") Tampilkan Kemilau Songket dan Adat Perkawinan Sumatra Selatan]</ref><ref name="Sriwijaya Post">{{Cite news|first =|last =|authorlink =|author = Sriwijaya Post|coauthors =|title = Motif Abstrak Songket palembang|url = http://palembang.tribunnews.com/2011/12/21/motif-abstrak-songket-palembang|format = |work = |publisher = Sriwijaya Post|pages = |page = |date = |accessdate = 2012-01-16}}</ref> yang merupakan [[kemaharajaan]] niaga maritim nan makmur lagi kaya yang bersemi pada abad ke-7 hingga ke-14 di [[Sumatra]]. Dan hingga masa kini, tradisi songket tetap lestari terjaga dengan baik di [[Palembang]], dan daerah ini juga akhirnya dikenali sebagai pusat kerajinan songket paling mahsyur di Indonesia. Songket adalah kain mewah yang aslinya memerlukan sejumlah emas asli untuk dijadikan benang emas, kemudian ditenun tangan menjadi kain yang cantik. Secara sejarah, tambang emas di Sumatra terletak di [[Sumatra Selatan]] dan di pedalaman dataran tinggi [[Minangkabau]]. Penemuan benang emas di reruntuhan situs [[Sriwijaya]] di Sumatra, bersama dengan batu [[mirah delima]] yang belum diasah, serta potongan lempeng emas, mengindikasikan bahwa penenun lokal telah menggunakan benang emas seawal tahun 600-an hingga 700-an Masehi di Sumatra.<ref name="Rodgers and Summerfield"/> Songket Palembang merupakan songket terbaik di Indonesia baik diukur dari segi kualitasnya, yang berjuluk "Ratu Segala Kain". Songket eksklusif memerlukan di antara satu dan tiga bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan songket biasa hanya memerlukan waktu sekitar 3 hari. Mulanya kaum laki-laki menggunakan songket sebagai destar, tanjak atau ikat kepala. Kemudian barulah kaum perempuan Melayu dan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]] mulai memakai songket [[sarung]] dengan [[baju kurung]].

Selain dari pengaruh kemaharajaan Srijiwaya yang kuat di [[Semenanjung Malaya]] (juga dikenali sebagai Semenanjung Kra), kemungkinan tenun songket mencapai daerah tersebut melalui perkawinan atau persekutuan antar bangsawan Melayu dan [[Suku Minangkabau|Minangkabau]], karena songket yang berharga (seperti Songket Palembang dan Songket Minangkabau) kerap kali dijadikan maskawin atau hantaran dalam suatu perkawinan. Praktik seperti ini lazim dilakukan oleh negeri-negeri Melayu untuk mengikat persekutuan strategis. Pusat kerajinan songket terletak di pusat kerajaan Sriwijaya yakni Palembang (di [[Sumatra Selatan]]) yang secara politik penting karena bahan pembuatannya yang mahal karena benang emas sejatinya memang terbuat dari lembaran emas murni asli hasil dari [[Sumatra]].<ref name="Uchino2005"/> Songket sebagai busana diraja juga disebutkan dalam naskah Abdullah bin Abdul Kadir pada tahun {{circa}} 1849.<ref>[http://books.google.com/books?id=VihYSsllnjQC&pg=PA338&dq=berkain+songket+dan+berbaju+sikap+dan&lr=&as_brr=3&cd=2#v=onepage&q=berkain%20songket%20dan%20berbaju%20sikap%20dan&f=false Hikayat Abdullah By Hamzah Hamdani]</ref>


== Motif ==
== Motif ==

Revisi per 23 Oktober 2021 13.35

Songket hanya dikenakan oleh kalangan bangsawan, yaitu keluarga kerajaan dan pejabat negara. Kehalusan tenun dan kerumitan motif motif kain songket pada masa itu mencerminkan pangkat dan kedudukan tinggi seorang raja. Songket sudah terkenal di Malaysia dan Indonesia (kelompok Melayu) sejak abad ke-13.

Sejarah asal usul kain songket tidak dapat dipastikan secara pasti, namun asal usul kata songket dikatakan berasal dari 'menyungkit' karena dalam bahasa siam 'kek' berarti menyungkit selain 'songkok' (Cina) memiliki arti yang sama.
Menurut Robyn Maxwell (1990), pengetahuan Melayu tentang teknik songket mungkin telah diambil dari orang Cina yang memperkenalkan bahan logam tetapi kehadiran budaya dari Timur Tengah, Persia, Turki dan Moghul (India) semakin memperkuat produksinya.
Tidak banyak yang diketahui tentang asal-usul songket, namun kemungkinan tenun songket berkembang di Malaysia melalui perkawinan antar keluarga kerajaan, yang merupakan strategi penyatuan umum antara kedua negara sekitar abad ke-15.
Songket menggunakan teknik menenun, di mana benang emas atau perak ditenun di antara benang sutra pada kain latar.  Kain mewah dan mahal ini mencerminkan struktur sosial di kalangan bangsawan Melayu.

Motif

Songket memiliki motif-motif tradisional yang sudah merupakan ciri khas budaya wilayah penghasil kerajinan ini. Misalnya motif Saik Kalamai, Buah Palo, Barantai Putiah, Barantai Merah, Tampuak Manggih, Salapah, Kunang-kunang, Api-api, Cukie Baserak, Sirangkak, Silala Rabah, dan Simasam adalah khas songket Pandai Sikek, Minangkabau.[1] Beberapa pemerintah daerah telah mempatenkan motif songket tradisional mereka. Dari 71 motif songket yang dimiliki Sumatra Selatan, baru 22 motif yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dari 22 motif songket Palembang yang telah terdaftar di antaranya motif Bungo Intan, Lepus Pulis, Nampan Perak, dan Limar Beranti. Sementara 49 motif lainnya belum terdaftar, termasuk motif Berante Berakam pada seragam resmi Sriwijaya Football Club. Selain motif Berante Berakam, beberapa motif lain yang belum terdaftar yakni motif Songket Lepus Bintang Berakam, Nago Besaung, Limar Tigo Negeri Tabur Intan, Limar Tigo Negeri Cantik Manis, Lepus Bintang Penuh, Limar Penuh Mawar Berkandang, dan sejumlah motif lain.[2]

Songket kini

Adaptasi motif pucuk rebung pada songket di Masjid Raya Sumatra Barat

Ditinjau dari bahan, cara pembuatan, dan harganya; songket semula adalah kain mewah para bangsawan yang menujukkan kemuliaan derajat dan martabat pemakainya. Akan tetapi kini songket tidak hanya dimaksudkan untuk golongan masyarakat kaya dan berada semata, karena harganya yang bervariasi; dari yang biasa dan terbilang murah, hingga yang eksklusif dengan harga yang sangat mahal. Kini dengan digunakannya benang emas sintetis maka songket pun tidak lagi luar biasa mahal seperti dahulu kala yang menggunakan emas asli. Meskipun demikian, songket kualitas terbaik tetap dihargai sebagai bentuk kesenian yang anggun dan harganya cukup mahal.

Sejak dahulu kala hingga kini, songket adalah pilihan populer untuk busana adat perkawinan Melayu, Palembang, Minangkabau, Aceh dan Bali. Kain ini sering diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita sebagai salah satu hantaran persembahan perkawinan. Pada masa kini, busana resmi laki-laki Melayu pun kerap mengenakan songket sebagai kain yang dililitkan di atas celana panjang atau menjadi destar, tanjak, atau ikat kepala. Sedangkan untuk kaum perempuannya songket dililitkan sebagai kain sarung yang dipadu-padankan dengan kebaya atau baju kurung.

Meskipun berasal dari kerajinan tradisional, industri songket merupakan kerajinan yang terus hidup dan dinamis. Para pengrajin songket terutama di Palembang kini berusaha menciptakan motif-motif baru yang lebih modern dan pilihan warna-warna yang lebih lembut. Hal ini sebagai upaya agar songket senantiasa mengikuti zaman dan digemari masyarakat.[2] Sebagai benda seni, songket pun sering dibingkai dan dijadikan penghias ruangan. Penerapan kain songket secara modern amat beraneka ragam, mulai dari tas wanita, songkok, bahkan kantung ponsel.

Pusat kerajinan songket

Songket tradisional Sasak, Lombok.

Pusat kerajinan tangan tenun songket di Indonesia dapat ditemukan di Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Lombok dan Sumbawa. Di Pulau Sumatra pusat kerajinan songket yang termahsyur dan unggul adalah Songket Minangkabau di daerah Pandai Sikek dan Silungkang, Sumatra Barat,[1] serta Songket Palembang di Palembang, Sumatra Selatan. Di Bali, desa pengrajin tenun songket dapat ditemukan di kabupaten Klungkung, khususnya di desa Sidemen dan Gelgel. Sementara di Lombok, desa Sukarara di kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok Tengah, juga terkenal akan kerajinan songketnya.[3] Di luar Indonesia, kawasan pengrajin songket didapati di Malaysia; antara lain di pesisir timur Semenanjung Malaya[4] khususnya industri rumahan di pinggiran Kota Bahru, Kelantan dan Terengganu; serta di Brunei.[5]

Catatan kaki

  1. ^ a b "Tenun Songket Pandai Sikek (Sumatra Barat - Indonesia)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-04-23. Diakses tanggal 2010-10-24. 
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Sriwijaya Post
  3. ^ National Geographic Traveller Indonesia, Vol 1, No 6, 2009, Jakarta, Indonesia, page 62
  4. ^ The Malay handloom weavers: a study of the rise and decline of traditional ... By Maznah Mohamad
  5. ^ Uchino, Megumi (2005). "Socio-cultural history of Palembang Songket". Indonesia and the Malay World. Routledge. 33 (96): 205–223. doi:10.1080/13639810500283985.