Lompat ke isi

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Yahra Trisma (bicara | kontrib)
menambahkan isi dan referensi
Yahra Trisma (bicara | kontrib)
k menghapus templat
Baris 1: Baris 1:
{{Sedang ditulis}}

'''Muhammad bin Idris asy-Syafi'i''' (dikenal sebagai '''Imam Syafi'i''') adalah pendiri [[Mazhab Syafi'i]].{{Sfn|Une, dkk.|2015|p=59}} Ia termasuk salah satu [[Tabi'ut tabi'in]].{{Sfn|Marzuki|2017|p=104}} Asy-Syafi'i merupakan salah satu ulama yang berpengaruh di bidang [[fikih]] melalui kitab yang ditulisnya dengan judul Al-Umm.{{Sfn|Une, dkk.|2015|p=107}}
'''Muhammad bin Idris asy-Syafi'i''' (dikenal sebagai '''Imam Syafi'i''') adalah pendiri [[Mazhab Syafi'i]].{{Sfn|Une, dkk.|2015|p=59}} Ia termasuk salah satu [[Tabi'ut tabi'in]].{{Sfn|Marzuki|2017|p=104}} Asy-Syafi'i merupakan salah satu ulama yang berpengaruh di bidang [[fikih]] melalui kitab yang ditulisnya dengan judul Al-Umm.{{Sfn|Une, dkk.|2015|p=107}}



Revisi per 22 Januari 2022 01.50

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i (dikenal sebagai Imam Syafi'i) adalah pendiri Mazhab Syafi'i.[1] Ia termasuk salah satu Tabi'ut tabi'in.[2] Asy-Syafi'i merupakan salah satu ulama yang berpengaruh di bidang fikih melalui kitab yang ditulisnya dengan judul Al-Umm.[3]

Kelahiran

Tahun lahir

Para sejarawan menyepakati bahwa asy-Syafi'i dilahirkan pada tahun 150 Hijriah bertepatan dengan tahun kematian Abu Hanifah. Pendapat mengenai ketepatan tahun kelahiran asy-Syafi'i dengan meninggalnya Abu Hanifah dipersoalkan kebenarannya. Pendapat yang mendukung kelahiran asy-Syafi'i bertepatan dengan kematian Abu Hanifah hanya berasal dari informasi yang disampaikan oleh Abul Hasan Muhammad bin Husain bin Ibrahim. Ia memberitahukan informasi ini di dalam bukunya yang berjudul Manâqibusy Syafi'i dengan sanad jayyid. Dalam bukunya, kelahiran asy-Syafi'i yang bertepatan dengan hari kematian Abu Hanifah disampaikan oleh Ar-Rabi' bin Sulaiman. Pendapat ini dianggap kurang benar, karena penggunaan kata "yaum" yang diartikan sebagai hari kematian di dalam pernyataannya, dapat pula diartikan sebagai masa atau zaman. Beberapa pendapat lain juga menyebutkan bahwa Abu Hanifah wafat pada tahun 151 Hijriah atau 153 Hijriah. Semua pendapat ini memiliki kesamaan, yaitu tidak mengetahui bulan wafatnya Abu Hanifah. Dari pendapat-pendapat tersebut, disepakati bahwa asy-Syafi'i lahir pada tahun 150 Hijriah dengan bulan kelahiran yang tidak dapat dipastikan.[4]

Tempat lahir

Informasi mengenai tempat kelahiran asy-Syafi'i ada dalam banyak riwayat dengan lokasi yang berbeda. Pendapat yang paling umum adalah asy-Syfi'i lahir di kota Gaza. Sedangkan riwayat lainnya menyatakan bahwa asy-Syafi'i lahir di Ashkelon atau di Yaman. Riwayat yang menyatakan kelahirannya di Ashkelon adalah oleh Ibnu Abi Hatim dari Amr bin Sawad. Dalam riwayat ini, asy-Syafi'i hidup di Ashkelon hingga usia dua tahun, lalu ibunya membawanya ke Makkah setelahnya. Sementara riwayat kelahiran di negeri Yaman berasal dari riwayat Ibnu Abi Hatim melalui Abdullah bin Wahb yang merupakan keponakan dari asy-Syafi'i. Dalam riwayat ini, asy-Syafi'i dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah pada usia 10 tahun. Sementara dalam riwayat Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi dengan sanad dari Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakim, asy-Syafi'i dilahirkan di Gaza lalu kemudian ibunya membawanya ke Ashkelon.[5] Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi kemudian menyatukan beberapa pendapat tersebut dan menetapkan bahwa asy-Syafi'i dilahirkan di Gaza pada lingkungan keturunan Yaman lalu kemudian pindah ke Ashkelon dan pindah lagi ke Makkah.[6]

Ibnu Hajar al-'Asqalani lebih lanjut mengatakan bahwa Gaza adalah nama sebuah kampung di kota Ashkelon. Sehingga riwayat-riwayat sebelumnya tidak saling bertentangan tetapi saling mendukung satu sama lain. Ibnu Hajar juga menambahkan pendapatnya bahwa asy-Syafi'i dibawa oleh ibunya ke Hijaz karena ibunya berasal dari salah satu suku di negeri Yaman, yaitu suku Azdiyah. Di Hijaz, ia hidup bertetangga dengan penduduk yang berasal dari suku-suku di Yaman.[6]

Silsilah

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan keturunan dari suku Quraisy. Informasi ini berasal dari penyebutan Muhammad bin Ismail al-Bukhari mengenai dirinya. Al-Bukhari menyebut asy-Syafi'i dengan nama Muhammad bin Idris asy-Syafi'i al-Quraisyi. Pendapat ini ditolak oleh kelompok pengikut mazhab Maliki dan mazhab Hanafi yang fanatik. Mereka meyakini bahwa hubungan antara Muhammad dengan garis keturunan asy-Syafi'i hanya sebatas persahabatan.[7]

Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa nama lengkap dari asy-Syafi'i adalah Abu Abdillah Muhamad bin Idris bin Abbas bin Usman bin al- Syafi` bin al-Saib bin Ubaid bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abd al-Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib. Dalam penamaan ini, Ghalib adalah putra dari Fihr yang mempunyai julukan Quraisy. Selain itu, terdapat silsilah yang lebih panjang dari Fihr yaitu ia sebagai anak dari Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan bin Udd bin Udad.[8]

Masa muda

Muhammad bin Idris asy-Syafi'i merupakan anak yatim sejak kelahirannya. Ia hanya hidup bersama dengan ibunya di Gaza dengan kemiskinan. Pada usia dua tahun, ia dibawa oleh ibunya untuk diperkenalkan pada keluarganya di Makkah. Kemudian, pada usia sepuluh tahun, ia dan ibunya pindah ke Makkah.[9] Tujuan dari ibunya adalah untuk menjaga garis keturunannya hilang atau dilupakan.[6] Setelah tinggal di Makkah. asy-Syafi'i mulai menghafalkan Al-Qur'an dan menyelesaikan hafalannya pada usia tujuh tahun.[10]

Pendidikan

Ia belajar ilmu Al-Qur'an dari gurunya yang bernama Isma'il bin Qasthanthin. Pelajaran yang diperolehnya berasal dari riwayat Syibl, dari Ibnu Katsir, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka'ab dan bersambung ke Nabi Muhammad.[11] Asy-Syafi'i kemudian belajar kepada Muslim bin Khalid az-Zanji lalu ke Malik bin Anas.[11] Kitab Muwatta Malik telah ia hafal ketika berusia 10 tahun.[11] Asy-Syafi'i belajar kepada Malik bin Anas di Madinah ketika berusia 10 atau 12 tahun. Ia mempelajari kitab Muwatta Malik. Sebelum memplejarinya, ia terlebih dahulu telah menghafalkannya.[12] Pada usia 15 tahun atau 18 tahun, asy-Syafi'i belajar dari Muslim bin Khalid az-Zanji dan memberikan fatwa atas izinnnya.[11] Ia juga belajar bahasa Arab, syair dan balagah dari suku Hudzail. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa asy-Syafi'i belajar dari suku Hudzail selama 10 tahun atau 20 tahun.[11]

Mazhab Syafi'i

Asy-Syafi'i mendasarkan hukum-hukum Islam di dalam mazhab Syafi'i melalui argumentasi yang dilandasi oleh keputusan hukum dari para Sahabat Nabi. Ini dilandasi oleh kelangsungan hubungan antara Nabi Muhammad dengan mereka. Hubungan ini membuat sumber hukum Islam dapat diperoleh melalui tindakan dan ucapan Nabi Muhammad serta dari keputusan para Sahabat Nabi yang berdasarkan kepada pengamatan mereka terhadap sunnah.[13] Selain menggunakan Al-Qur'an dan sunnah, asy-Syafi'i juga menggunakan ijtihad untuk memutuskan suatu hukum di dalam Islam. Metode ini ia landasi sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Amr bin Ash oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Imam Muslim, dan Ahmad bin Hanbal mengenai pahala dari ijtihad. Dalam hadits ini disebutkan bahwa ijtihad memperoleh dua pahala ketika keputusannya benar, dan memperoleh satu pahala jika keputusannya salah. Dalam artian ini, ijtihad merupakan sesuatu yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad.[14] Metode lain yang digunakan oleh asy-Syafi'i dalam menetapkan hukum Islam adalah kias.[15] Asy-Sayfi'i juga menerima penggunaan istishhab dalam fikih.[16] Sebaliknya, asy-Syafi'i menolak penggunaan istihsan dan menyatakan kedudukannya sebagai haram ketika tidak lagi bersesuaian dengan ayat Al-Qur'an dan sunnah. Ini disampaikannya dalam bukunya yang diberi judul Ar-Risalah.[17]

Mazhab Syafi'i berkembang di dua negara yang ada di Asia Tenggara, yaitu Indonesia dan Malaysia.[18] Masyarakat di Nusantara mulai menggunakan kitab kuning dari mazhab Syafi'i yang berasal dari Mesir pada abad ke-13 Masehi.[19] Beberapa kesultanan di Nusantara telah menerapkan syariat Islam yang didasari oleh Mazhab Syafi'i sebelum kedatangan Perusahaan Hindia Timur Belanda. Beberapa kesultanan ini ialah Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, Kesultanan Ternate, Kesultanan Buton, Kesultanan Sumbawa, Kesultanan Palembang dan Kesultanan Pontianak. Penerapan syariat Islam ini diserahkan kepada lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh para ulama. Nama lembaga peradilan ini berbeda-beda di tiap kesultanan.[20]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 59.
  2. ^ Marzuki 2017, hlm. 104.
  3. ^ Une, dkk. 2015, hlm. 107.
  4. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 17.
  5. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 18.
  6. ^ a b c Al-'Aqil 2018, hlm. 19.
  7. ^ Afrizal 2020, hlm. 18.
  8. ^ Afrizal 2020, hlm. 20.
  9. ^ Misbah 2016, hlm. 34.
  10. ^ Al-'Aqil 2018, hlm. 20.
  11. ^ a b c d e Al-'Aqil 2018, hlm. 21.
  12. ^ Misbah 2016, hlm. 35.
  13. ^ Marzuki 2017, hlm. 99.
  14. ^ Marzuki 2017, hlm. 105-106.
  15. ^ Marzuki 2017, hlm. 117.
  16. ^ Marzuki 2017, hlm. 121.
  17. ^ Marzuki 2017, hlm. 118.
  18. ^ Adawiyah 2019, hlm. 11.
  19. ^ Adawiyah 2019, hlm. 104-105.
  20. ^ Adawiyah 2019, hlm. 105-106.

Daftar pustaka